Mereka semua terkekeh dengan candaan yang dilontarkan mama Devan. Setelah dipersilahkan duduk, mama Devan segera menyuruh pelayan membuatkan minuman dan camilan. “Kamu usianya berapa, Nak Alin?” tanya mama. “Baru jalan 23 tahun, Tante,” jawab Alin menunduk. “Wah masih belia, ya. Kami yakin mau menerima anak Tante yang sudah bujang lapuk itu?” sindir mama pada anaknya. “Mama, jangan gitu dong. Masa anak sendiri di katain bujang lapuk?” ujar Devan protes. “Iya, Tante saya akan menerima Mas Devan dengan segala kekurangannya.” “Kamu jangan gugup gitu dong, Sayang. Tante nggak akan makan kamu kok, tenang saja!” ujar mama Devan mencairkan suasana. Mereka berbincang hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan jam makan siang. “Lin, makan siang di sini saja ya. Tante sudah menyuruh pelayan memasak banyak tadi. Ayo ayo kita kita ke ruang makan.” “Iya, Tante.” Mama Devan menggiring Alin ke ruang makan dan mengabaikan Devan yang masih ada diantara mereka. Di ruang makan pun, mama Devan se
Alin mendongak kala Rendra mendekat ke tempat duduknya hanya untuk melontarkan kalimat ejekan. “Memangnya apa urusanmu hingga kau harus repot mengomentari setiap aktivitasku?” tanya Alin balik. “Santai saja Lin tidak usah emosi begitu, dong. Untuk apa kau datang ke perhiasan mahal seperti ini? Kau tidak akan mampu membeli perhiasan semahal ini!” ejek Rendra. Alin tersenyum sinis menghadapi hinaan Rendra. Dia masih tampak menunggu lelaki itu mengucapkan kalimat selanjutnya. Sementara Rendra yang melihat banyak model perhiasan yang sedang dipilih Alin semakin getol untuk mempermalukannya. “Lihatlah, kau bahkan sampai menyuruh pelayan mengambil beberapa model perhiasan? Hei, kamu itu sudah miskin, Lin, apa kau sudah lupa? Mbak saya mau membeli cincin yang dipegang oleh wanita itu,” tunjuknya pada perhiasan yang dipegang Alin. “Tidak bisa, aku yang mengambilnya terlebih dahulu. Jadi kau tidak boleh merebut pilihanku!” ujar Alin dingin.“Hei sadarlah Nona, kau tidak akan mampu membayar
Tangan Alin mengepal dengan fitnah yang Rendra ucapkan. Dia tak mengira Rendra akan sejauh ini menyakiti perasaannya.“Hati-hati dengan ucapanmu, Tuan Rendra. Jangan sampai fitnahmu hari ini menjadi bumerang untukmu di kemudian hari,” ucap Devan mengingatkan.“Aku tidak memfitnah, Tuan. Aku mengatakan yang sebenarnya!” ujar Rendra berkilah.“Sayangnya saya tidak akan semudah itu percaya dengan semua pengakuan Anda. Saya tahu Alin bukan wanita murah yang dengan suka rela akan menyerahkan tubuhnya pada lelaki tak berpendidikan seperti Anda.” Devan langsung menoleh ke arah pelayan yang masih memegang kotak perhiasan dan cincin yang dipilih Alin. “Segera siapkan pesanan calon istri saya sekarang!” perintahnya.“Baik, Tuan.” “Sayang pokoknya aku mau perhiasan yang itu. Aku nggak mau yang lain,” rengek kekasih Rendra tiba-tiba.“Iya Sayang kamu tenang dulu ya. Aku akan memberikannya untuk kamu,” ujar Rendra sambil menoel p
Keesokan paginya, Alin tengah bersiap menemui sahabatnya untuk membahas kerja sama yang sempat mereka rencanakan beberapa bulan sebelum perusahaan papi Alin bermasalah. Mereka membuat janji temu di cafetamia.“Hay, Lin sudah lama ya di sini?” sapa sahabat Alin ramah.“Oh hay Nov, aku baru datang kok. Duduk gih, aku panggil waiters lagi ya,” tawar Alin diangguki sahabatnya.Mereka mulai fokus membahas bisnis yang akan mereka jalankan.“Jadi gimana, Nov? Kita jadinya bisnis apa?” tanya Alin.“Kenapa kita nggak mencoba buat bisnis skincare sama pakaian saja, Lin? Soalnya kalau dilihat-lihat fashion dan skincare itu nggak akan pernah ada habisnya, Lin. Kaum milenial zaman sekarang tidak pernah meninggalkan skincare dan outfit,” sanggah sahabat Alin.Alin tampak berpikir sejenak, “benar juga yang kamu katakan, Nov. Tapi kita juga harus memikirkan risiko yang mungkin terjadi jika kita bergerak di bidang fashion, Nov. Kita harus mengikuti kiblat fashion zaman sekarang, sedangkan kalau kita
Wanita itu terkejut saat melihat Alin keluar dari ruang kerja Devan. Sedangkan Devan hanya menyunggingkan senyum samar saat melihat sorot kemarahan di mata Alin. “Alin, apa yang kamu lakukan disini? Berani-beraninya masuk ke ruangan pribadi Tuan Devan!” “Kenapa aku harus takut masuk ke ruangan pribadi Mas Devan? Sebentar lagi, pimpinanmu ini akan menjadi suamiku. Jadi aku bebas melakukan apa pun di sini. Sebaiknya jagalah sikapmu mulai saat ini aku tidak akan membiarkan siapa pun di sini merangkap menjadi jalang!” ucap Alin penuh penekanan. Karyawan itu mengepalkan tangannya hingga uratnya terlihat. Dia tersinggung dengan ucapan pedas yang dilayangkan Alin kepadanya. “Menikah dengan Tuan Devan, Lin? Apa kau sedang bermimpi? Tunggu sebentar, bukannya kau baru saja putus dari Rendra? Kenapa bisa cepat sekali mendapat pengganti hanya dalam hitungan hari?” tanya karyawan itu dengan nada mengejek. Alin tertawa kecil, “apa yang tidak mungkin di dunia ini? Kalian saja yang dulu terlihat
Devan bangkit dari duduknya dan mendekati Alin yang masih berdiri diujung meja. Dia tersenyum penuh arti ke arah Alin yang menegang. Glukk! Gadis itu meneguk ludahnya dengan susah payah. Dia meremas ujung bajunya dengan kencang. “A-apa yang kamu inginkan, Mas?” tanyanya gugup. “Ayo pulang sekarang!” ucap Devan dari jarak dekat. Alin menghembuskan nafas lega saat Devan mengajaknya pulang. “Huh selamat,” ucapnya. “Apa kau pikir aku akan mencelakaimu?” tanya Devan tiba-tiba. “Eh ti-tidak Mas,” jawab Alin tergagap. *** Devan menggandeng tangan Alin saat mereka turun ke lobi kantor. Banyak karyawan yang berbisik mempertanyakan wanita yang ada di samping bos mereka. Tak sedikit pula yang melayangkan tatapan penuh permusuhan pada Alin karena berani menggandeng idola mereka. Alin dan Devan kompak bersikap cuek dengan beberapa karyawan yang sedang memperbincangkan mereka. Mereka terus berjalan sampai ke depan, namun saat hendak masuk ke dalam mobil, tiba-tiba Devan menerima panggilan
Alin seketika menoleh ke sumber suara begitu pun dengan Devan. Alin langsung mendapat ide untuk memberi wanita tua ini sedikit pelajaran. “Memangnya Anda ini siapa sampai berani mengusir saya? Apa Anda pemilik butik ini?” tanya Alin penuh ketenangan. “Aku memang bukan pemilik butik tapi ini adalah butik langgananku. Dan aku tidak suka jika kau berada di butik langgananku. Mengotori pemandangan saja!” jawab orang itu pedas. “Kenapa Anda terlihat kesal dengan kedatangan saya, Nyonya? Padahal sedari tadi Anda yang lebih dahulu mendekati dan menyerang saya,” balas Alin. “Karena kau itu hanya orang miskin yang tidak sepantasnya berada di sini. Untung saja cucuku segera memutuskan hubungan kalian,” ucap orang itu dengan angkuh. “Anda ini sombong sekali, Nyonya. Baru menjadi orang kaya sebentar saja sudah bersikap seperti itu. Seharusnya Anda malu dengan rambut Anda yang sudah memutih itu!” ucap Devan tiba-tiba. Alin tak mengira Devan akan berkata tajam pada wanita tua di sebelahnya ini
Alin terdiam saat ibunya mempertanyakan batinnya. Tidak mungkin dia mengatakan yang sesungguhnya pada sang ibu.“Aku sedang berusaha merangkai kebahagiaan, Mi. Doakan aku agar bisa meraihnya,” ujar Alin pada sang ibunda.“Selalu, Nak. Mami akan selalu mendoakan yang terbaik untuk putri cantik Mami,” jawab mami.***Hari beranjak siang, Alin yang sedang bersantai di kamarnya sambil mengerjakan pekerjaannya di depan laptop mendadak menghentikan aktivitasnya kala Devan terus menerus melakukan spam chat dan meneleponnya berkali-kali.“Orang ini kenapa sih selalu menelepon?” gerutu Alin sambil mengangkat panggilan.TutttAlin menekan tombol dan menjawab panggilan dari Devan.Alin : “Halo, ada apa Mas? Aku tidak kemana pun seharian ini.”Devan : “Aku tidak bertanya. Segera ke sini dan bawakan aku makan siang. Jangan lupa itu tugasmu!” Alin : “Jadi kamu memberondongku dengan banyak pesan dan panggilan hanya karena itu?”Devan : “Ya. Sudah jangan banyak bicara, segeralah berangkat. Ingatlah
Tak berselang lama, polisi dan Reno datang meringkus Rendra dan juga sepupunya. Mereka juga mengamankan preman-preman itu ke kantor polisi. Sedangkan Devan dan Alin segera pergi dari tempat itu.Sepanjang perjalanan, Devan tak tahan dengan rasa ingin tahunya. Dia segera bertanya pada sang istri mengenai keadaan sang istri saat ini."Sayang, sejak kapan ingatanmu kembali?" tanya Devan."Sejak saat putra kita menghilang, Mas. Tapi saat itu aku memutuskan untuk diam dulu sambil mengamati keadaan. Aku bergerak dalam diam dan aku sengaja mengecoh orang-orang agar mereka mengira aku masih hilang ingatan," jawab Alin."Untuk apa?" tanya Devan."Untuk mengetahui siapa saja yang hendak memanfaatkan keadaanku untuk mencari keuntungan." "Apapun itu, aku bahagia karena kamu sudah mengingat semuanya Sayang. Aku bisa lebih fokus untuk mencari keberadaan putra kita sekarang," jawab Devan dengan lega.Alin tersenyum tenang, "Mas jangan khawatir. Aku sudah tahu di mana keberadaan putra kita."Devan m
Tanpa pikir panjang, Devan langsung berlari ke dalam mencari keberadaan Alin. Dia masuk ke salah satu bilik tersebut. Akan tetapi, bilik tersebut ternyata dijaga oleh beberapa preman. Devan memancing preman tersebut untuk menjauh dari depan pintu dan berkelahi di luar.Tidak sulit mengalahkan para preman itu karena Devan sangat jago ilmu bela diri. Dalam sekejap, para preman itu langsung tumbang tak sadarkan diri. "Apa hanya segitu saja kemampuan kalian? Cih payah sekali kalian ini. Badan saja besar, tapi kemampuan nol. Ayo bangun dan serang saya. Hitung-hitung pemanasan," ejek Devan.Saat salah satu preman hendak bangun dan kembali menyerang, dalam satu pukulan saja preman tersebut sudah tidak mampu lagi bergerak. Devan segera masuk ke dalam setelah memastikan seluruh preman bayaran itu tumbang. Di depan pintu, dia mengendap-endap masuk dan mendengarkan percakapan dua orang yang sedang berada di ruangan tempat Alin di sekap."Ren, menurutmu, apakah Tuan Devan akan benar-benar datan
Setelah menempuh perjalanan laut selama lima hari, akhirnya akhirnya mereka sampai di kota A di pulau seberang. Mereka sengaja membawa bayi itu jauh dari pulau asalnya agar tidak mudah terlacak. Mereka langsung membawa bayi itu ke panti asuhan setempat. Mereka disambut baik oleh pemilik panti."Mari silakan masuk Bapak, Ibu."Setelah mereka dipersilahkan duduk dan disuguhi minuman, pemilik panti langsung bertanya maksud dan tujuan keduanya datang."Kalau boleh saya tahu, ada tujuan apakah Bapak dan Ibu datang ke sini?" "Kami ingin menitipkan bayi ini di sini, Bu," jawab Wina.Pemilik panti tersebut heran dengan sikap pasangan di depannya ini. Tega-teganya mereka hendak menitipkan bayi mungil tak berdosa itu di panti asuhan."Maaf Bapak, Ibu, tapi kenapa? Bukankah itu darah daging kalian? Apa kalian benar-benar tega meninggalkan mereka di sini?" tanya wanita setengah baya tersebut. "Bayi ini bukan anak kami, Bu. Kami menemukannya secara tidak sengaja di depan rumah kami. Jadi kami me
Rendra hanya menyunggingkan senyumnya saat ibu Alin menuduhnya sebagai pelaku penculikan putra Alin. Dia terlihat santai saja dengan tuduhan yang terlontar dari mulut ibu Alin. Sedangkan Alin hanya diam saja tanpa menanggapi lelaki itu. "Atas dasar apa Anda menuduh saya dalang dibalik penculikan cucu Anda Tante? Lihatlah, Alin saja tidak banyak bicara. Kenapa Anda malah terlihat sensi sekali Tante?" tanya Rendra dengan santai."Karena Lindra adalah cucuku!" jawab ibu Alin dengan penuh emosi."Lin, kenapa dari tadi kamu diam saja? Apa kamu tidak merasa kehilangan bayimu? Atau kamu malah senang jika bayimu tidak ditemukan?" tanya Rendra pada Alin."Sebenarnya Anda ini siapa? Saya perhatikan sejak tadi Anda selalu membicarakan hal yang berbau provokasi," jawab Alin dengan tenang."Lin, aku Rendra, Lin. Orang yang pernah ada di hatimu. Tidak mungkin kamu lupa denganku, kan?" "Apa maksudnya kalau kamu pernah ada di hatiku? Dan sebenarnya, apa tujuanmu datang ke sini? Aku sungguh tidak me
Wina tampak berpikir sejenak dengan gagasan yang disampaikan lelaki itu."Baiklah, kita harus bergerak cepat malam ini juga," kata Wina."Apa? Malam ini? Apa kau sudah gila? Tidak mungkin kita jalan malam ini. Apa kamu nggak kelelahan dengan pertempuran kita tadi? Apa kamu nggak mau mengulanginya lagi?" tanya lelaki itu—menaik turunkan alisnya."Kita tidak punya banyak waktu, Tuan Tama yang terhormat. Kalau kita menunda-nunda, mereka pasti akan menemukan dan menangkap kita," ucap Wina penuh penekanan."Sepertinya kau sangat takut sekali dengan si Devan itu ya?" tanya lelaki itu."Bagaimana aku tidak takut? Aku pernah menjalin hubungan dengannya, sudah pasti aku tahu bagaimana watak Devan. Kau sendiri saudaranya tapi malah tidak memahami bagaimana karakter saudaramu sendiri," ujar Wina meremehkan."Aku memang tidak tahu banyak tentang kehidupan Devan karena aku jarang bertemu dengannya. Aku juga sangat jarang berinteraksi dengannya selama ini karena aku sering berada di luar negeri. Wa
"Sialan, siapa kau? Berani-beraninya mengancam ku!" sentak lelaki itu."Kau tidak perlu tahu siapa aku, cukup kau dengarkan saja perintahku. Jangan pernah mengusik keluarga Alin atau kau akan menyesal."Setelah mengatakan itu, penelepon itu memutuskan panggilan secara sepihak. "Siapa yang menelepon?" tanya wanita itu."Nomor tidak jelas. Berani-beraninya dia mengancam ku agar tidak mengganggu Devan dan Alin.""Kurang ajar, sepertinya mereka mengutus mata-mata untuk mengawasi kita," jawab wanita itu."Aku tidak yakin, tapi sepertinya orang itu bukan suruhan Devan. Lelaki itu tidak mungkin bisa mengendus gerak gerik kita. Kita harus berhati-hati, jangan melakukan hal yang bisa membuat mereka curiga dan kedok kita terbongkar," kata orang itu.***Sedangkan di sisi lain, Rendra dan sepupunya saat ini sedang mencari informasi tentang Alin."Bagaimana? Apa kamu sudah mendapatkan informasi?" tanya sepupu Rendra."Alin sudah melahirkan, tapi sekarang penjagaan semakin diperketat. Sangat suli
Hari demi hari mereka lalui dengan sukacita. Devan juga sudah mulai beraktivitas di luar rumah. Dia yang berpikir semua sudah aman mulai lengah dari penjagaan. Lelaki itu tidak menyadari jika bahaya sedang mengintai keluarga kecil mereka. Hari ini, dia harus berangkat ke Surabaya karena salah satu klien berpengaruh meminta mengadakan pertemuan dengan Devan secara langsung di Surabaya."Tidak apa-apa Mas, berangkatlah. Aku bisa menjaga diri dan anak kita," kata Alin meyakinkan Devan."Kalau ada apa-apa segera hubungi Mas. Mas sudah mengabari Mami agar ke sini menemanimu," kata Devan.Lelaki itu mengecup kening sang istri dengan penuh cinta sebelum meninggalkannya pergi ke Surabaya."Jagoan Daddy baik-baik di rumah sama Mommy ya. Jangan nakal dan jangan rewel, kasihan Mommy. Daddy tinggal sebentar ke Surabaya," ucap Devan pada bayi mungil itu.Dengan berat hati, Devan meninggalkan mereka. Bertepatan dengan itu, hari ini baby sitter yang di rekomendasikan oleh salah satu saudara Devan d
Devan langsung menuju ruang perawatan bayi untuk memastikan keadaan sang anak. Setelahnya, lelaki itu langsung memanggil seluruh suster, dokter dan pihak keamanan yang bertugas menjaga sang anak. Sang kakak pun tidak mengira jika mereka lalai. “Apa saja pekerjaan kalian? Menjaga bayi saja kalian tidak becus. Untung saja anakku tidak hilang,” kata Devan marah. “Ampuni kami, Tuan, kami lalai menjaga bayi Tuan. Tadi ada seseorang yang menyamar sebagai suster hendak masuk ke ruangan Tuan kecil. Kami kira, dia memang benar-benar suster yang hendak memeriksa Tuan kecil. Tapi ternyata dia hendak membawa kabur Tuan kecil. Andai kami tahu dari awal, kami pasti tidak akan membiarkannya membawa Tuan kecil, Tuan. Ampuni kami,” ucap penjaga dengan gemetar. Devan mengangguk, “ya sudah tidak apa-apa. Jangan diulangi lagi, dan aku ingin kalian perketat keamanan di sini. Aku tidak mau hal seperti ini terulang kembali,” kata Devan.Setelah mengatakan hal itu, Devan langsung pergi meninggalkan mereka
Sang sepupu sangat menyayangkan sikap Rendra yang cenderung lembek. Wanita itu sangat dendam dengan Alin dan juga sang suami karena gara-gara mereka kini dia kehilangan pekerjaannya."Ndra, kamu itu laki-laki jangan lembek seperti ini. Apa kamu nggak kasihan sama kedua orang tua kamu? Apa kamu nggak mikirin mereka juga?" Rendra tampak terdiam dan menimbang-nimbang. Sedangkan sang sepupu terus saja meracuni pikiran Rendra agar mau bekerja sama dengannya."Apa kamu tidak sakit hati melihat kebahagiaan Alin di sana, sedangkan kamu di sini menderita? Lihatlah, mereka tertawa di atas kesedihan dan penderitaanmu. Pikirkan itu baik-baik," ujar sang sepupu sebelum berlalu pergi."Tunggu, apa ada yang bisa menjamin keamanan dan keselamatan kita jika kita kembali membuat ulah dan mengusik keluarga mereka? Kau tentu belum lupa kan bagaimana manusia-manusia itu menyingkirkan mu dari perusahaan? Bagi mereka, melenyapkan orang seperti kita bukanlah hal yang sulit dilakukan. Apalagi kita tidak puny