[Thanks banget Runaa!!][Yoi!!][Sore lalu bener-bener jadi hari favorit gue sepanjang masa!][Keren abis. Makasih banget lagi yaa buat pak CEO][Kalian terbaik!][Sayang belum sempet ketemu pak CEO, buat ucapin makasih langsung]Dan masih banyak lagi kalimat demi kalimat ucapan terima kasih, sanjungan dan juga pujian mengalir di grup chat alumni itu.Aruna menggelengkan kepalanya dan tersenyum tanpa daya.Acara itu sudah lewat dua hari yang lalu. Namun, ucapan terima kasih mereka sejak kemarin masih membanjiri dan mendominasi isi dalam grup chat mereka.Sekali lagi, wanita muda yang tengah berada di dalam mobil itu, tersenyum. Matanya memandang ke arah jendela dengan hati yang betul-betul senang.Bahkan hari ini, Aruna telah diizinkan Brahmana untuk kembali ke kantornya di Niskala, meskipun tetap saja, ia harus menerima kenyataan dan konsekuensi iring-iringan yang baginya sungguh seperti dalam film saja.A
Di dalam ruang CEO.Brahmana tengah duduk bersandar dan tangan kanan memegang iPad Pro untuk membaca beberapa data yang dikirimkan oleh beberapa anak perusahaan di bawah Dananjaya Group.Kedua iris kelamnya bergerak-gerak, lalu mengerjap.Ia menggeleng pelan dan menghela napas sesaat lalu meletakkan iPad itu ke atas meja dan menarik siku ke atas pegangan kursi lalu menopang dagu.“Ada apa Tuan? Apakah laporan mereka tidak sesuai?” Fathan yang menyadari gestur sang CEO, bertanya pelan.Namun kalimat itu hanya menjadi angin lalu bagi pria tampan penguasa Dananjaya Group tersebut. Ia memutar kursi hingga menghadap jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit di luar sana.Posisi tersebut, membuat Fathan sedikit kehilangan sudut pandangnya pada sang Bos Besar, hingga luput darinya, Brahmana yang tengah menyeringai kecil.Pria tersebut bahkan memejamkan mata dan membasahi bibirnya dengan perlaha
Baik Aruna dan juga pria bule bernama Mike itu menoleh serempak ke asal suara. Kini tampak oleh keduanya sosok tinggi atletis seorang pria dengan aura begitu mendominasi. Meski pria tersebut hanya mengenakan jas berwarna monokrom, namun kesan yang ditampilkan begitu memukau dan jantan di saat bersamaan. Tatapan kelam itu berkabut bara dan menghunus tajam pada pria bule yang duduk di hadapan Aruna. “Agha!” Seruan riang Aruna tidak menutupi keterkejutan dalam nada suaranya. “Kau ada di sini?” “Siapa dia?” tanya Mike menoleh pada Aruna. Ada rasa lega dalam dirinya bisa sesaat terlepas dari adu tatap dengan pria berjas yang baru datang itu. Aura yang menguar dari pria itu membuatnya langsung merasa sedikit sesak. “The question is mine (Pertanyaan itu milik saya),” kata Brahmana pada Mike. “Siapa dia?” tanya-nya kemudian pada Aruna, namun tanpa melepas tatapan tajamnya ke arah pria bule itu. Aruna tersenyum canggung dan menggaruk pelipisnya yang tetiba terasa gatal, lalu menoleh pada
“Aku tidak mau tahu! Aruna harus sengsara, Ma! Aruna harus merasakan apa yang aku rasakan ini!!” pekik Katrina berulang-ulang. Ia masih mendapatkan perawatan di Rumah Sakit, dengan Elya yang berjaga dan menunggui Katrina. Elya tidak mampu membayar perawat khusus untuk Katrina, sehingga ia sendiri lah yang harus menunggui putrinya selama menjalani perawatan. Beruntung bagi Elya, biaya Rumah Sakit masih masuk dalam tanggungan asuransi yang ia miliki saat masih jaya sebelumnya. “Aku gak bisa hidup seperti ini terus Ma! Aku ingin kakiku! Aku ingin kedua kakiku kembali!!” “Kat.. tenanglah,” hibur Elya. “Bagaimana aku bisa tenang! Mama tidak merasakan lumpuh!” “Katrina!” Akhirnya habislah kesabaran Elya. Ia membentak putrinya dengan kencang. Wajahnya nyaris memerah menahan amarah. Sementara Katrina tersentak kaget dengan dada naik turun-- juga menahan amarah. “Tidak bisakah kau lebih tenang dan menerima kenyataan ini?” ujar Elya dengan nada suara yang menurun. Ia lalu buru-buru mene
“Semuanya telah siap, Tuan.” Fathan memberitahukan persiapan Dananjaya Group hari ini dalam menerima kunjungan dari kementerian perindustrian.Brahmana terlihat mengangguk kecil dengan mata tetap fokus pada beberapa dokumen yang tengah ia periksa.Ia lalu menarik satu berkas ke sisi dan berkata pada Fathan, “Berikan ini ke departemen legal. Sore ini sudah harus ada di meja saya lagi.”“Baik Tuan.”Setelah beberapa instruksi lagi dari Brahmana, Fathan keluar ruangan, meninggalkan Brahmana yang kemudian termenung memandang satu berkas di atas meja.Fathan menyerahkan berkas itu sebelum keluar ruangan.Tentang Michael Moore.“Orang ini seperti niat sekali menyembunyikan asal dana yang ia donasikan untuk organisasi amal.” Brahmana nyaris bergumam.Laporan terbaru menyebutkan bahwa tidak ditemukan rekening atas nama Michael Moore dalam transaksi tidak wajar atau transaksi jumlah besar.
“Ah, terima kasih,” ucap Mike saat Ningsih meletakkan secangkir teh melati di atas meja.Ningsih tersipu, menerima senyuman manis yang dilempar Mike kepadanya. Aruna yang melihat reaksi bodyguard-nya itu terkekeh geli.Sungguh, siapa akan mengira, Ningsih yang berperilaku imut dan malu-malu itu sesungguhnya sangat garang saat berkelahi.Aruna tidak mengatakan apa-apa pada Mike mengenai jati diri Ningsih, sehingga Mike mengira Ningsih ‘hanyalah’ seorang asisten pribadi Aruna, seperti kebanyakan orang mengira.“Cobalah,” kata Aruna pada Mike dengan menunjuk teh melati itu.Tanpa ragu dan sungkan, Mike mengulur tangan untuk mengambil cangkir itu dari atas meja. Dengan gerakan hati-hati ia mendekatkan bibir cangkir dan menghirup uap panas yang mengepul di sana.“Ini wangi…” gumam Mike tersenyum. Tak kalah hati-hati pula, ia kemudian mencoba menyeruput sedikit teh itu.“Hati-hati
“Ya Tuan, Saya bersama Nyonya Muda. Nyonya bertemu teman-temannya. Nona Shanti dan Nona Jasmine.” Ningsih melirik Aruna yang kini duduk bersama Shanti dan Jasmine dengan ponsel menempel di telinganya. “Ya Tuan, Saya mengerti.”Tubuh Ningsih yang tegang lalu melemas, saat sambungan telepon itu usai.Sangat jarang Bos Besar sendiri yang menelepon dirinya secara langsung. Biasanya itu dilakukan oleh Fathan, atas perintah CEO Dananjaya Group itu.Namun Ningsih mengerti situasinya tengah tidak terlalu baik.Wajahnya menjadi muram dengan tatapan lekat kepada majikannya itu.Aruna biasanya terlihat begitu riang dan ceria, namun saat ini ia melihat Nyonya Muda Dananjaya itu berwajah sendu dan terlihat tidak begitu menikmati pembicaraannya dengan para sahabatnya, Shanti dan Jasmine.Selepas pergi dari kantor dengan gusar tadi, Aruna tidak langsung pulang ke rumah. Alih-alih, ia menelepon kedua temannya itu dan mengajak mereka
“Iya, iya!” Aruna menyerah mendengarkan celoteh Shanti, lalu mengalihkan dengan tepat. “Gimana perkembangan kamu ama mas Fathan?”Shanti langsung menutup mulut.“Kenapa malah jadi kesana sih!” sungutnya tetiba kesal.“Ya kan bahasan soal suami gue, dah kelar. Gue dah nangkap maksud kamu dan gue tau gue harus jaga suami gue baik-baik,” kata Aruna. “Tinggal kamu Shan. Kapan mau ada kemajuan kalo kamu terus gengsian kaya gini?”“Gengsi apaa, ah.”“Nih, gue balikin ya, kata-katamu barusan. Laki model mas Fathan juga langka lho.”Shanti mencebik. “Langka apaan. Ada juga landak. Durinya itu nancep, ga liat situasi, nyakitin orang mulu.”Mendengar itu, Aruna terkekeh. “Kamu gak nyadar? Mas Fathan ama Agha tuh nyaris sebelas dua belas.”Shanti memutar bola matanya. “Mana ada.”“Mereka sama-sama profesiona