“Apa kamu sungguh sudah tidak apa-apa?” Brahmana bertanya pada Aruna yang berdiri di depannya. Ia cukup kaget melihat kehadiran Aruna di kediamannya pagi-pagi ini. Ia sudah meminta Fathan untuk menyampaikan bahwa Aruna diberi dua hari lagi untuk beristirahat. Semula, Brahmana memang sudah akan membiarkan Aruna masuk kerja kembali sepulang dari Rumah Sakit. Namun saat ada kejadian berita tentang foto Aruna yang menyebut Niskala, ia kembali memberi libur pada Aruna selama dua hari. Baru satu hari, hari ini Aruna telah masuk kembali. “Iya Pak, saya sudah tidak apa-apa,” jawab Aruna lalu tersenyum. Ia sengaja datang lebih pagi, agar bisa menemui Brahmana di ruang kerjanya, sebelum Brahmana berangkat kerja. Ia bahkan membuatkan roti lapis untuk Brahmana, sebagai rasa terima kasihnya. “Apa itu?” tanya Brahmana tatkala Aruna meletakkan kotak bekal di atas meja kerja Brahmana. “Sandwich ala saya, Pak.” Aruna diam sesaat. “Saya mau ucapkan terima kasih pada Bapak atas semua bantuan Bapa
“Kak Una lagi lihat apa?” Maira yang baru pulang sekolah memperhatikan Aruna yang langkahnya terhenti di anak tangga. “Emm.. ini.. ada pesan dari teman kakak,” jawab Aruna. Ia buru-buru memasukkan ponsel ke saku celana dan meraih tangan Maira lalu kembali menaiki sisa anak tangga, menuju lantai dua. Pikiran Aruna mendadak seperti kosong. Sesaat lalu ia masih bisa bercengkerama menyambut Maira pulang sekolah, namun begitu mereka berjalan menuju tangga, ponselnya bergetar berkali-kali. Menandakan ada panggilan masuk. Namun Aruna mengabaikannya, karena saat ini ia sedang berada dalam jam kerja. Ketika ia dan Maira menaiki tangga, ponselnya kembali bergetar. Kali itu, adalah beberapa pesan masuk melalui aplikasi pesan instan. Aruna mengira itu hal penting, lalu mengeluarkan ponsel dengan niat melihatnya sebentar. Namun langkah kakinya langsung terhenti saat membaca pesan demi pesan yang masuk dalam ponselnya. Maira yang tentu saja tidak tahu apa-apa, menatap dirinya heran. Sampai s
Aruna berdiri mematung menatap bangunan di hadapannya dengan lambang ‘Rastra Sewakottama’ itu tanpa berkedip.Punggungnya terasa mulai sedikit basah oleh keringat dingin, begitu pula dengan kedua telapak tangannya.Semula ia hendak datang ke sini ditemani Shanti, namun adik Shanti tiba-tiba mendapat masalah dan Shanti harus ke kampus adiknya itu untuk mengurusnya.Entah sudah berapa kali ia menelan ludah dengan sedikit sulit dan entah pula telah berapa lama ia berdiri di sana hanya memandang bangunan itu tanpa selangkah pun mendekat bahkan untuk masuk ke area halaman depannya saja.“Apa yang kau lakukan di sini?” Sebuah suara familiar menyapa Aruna dengan lembut.Aruna yang tersentak, segera menoleh dan ia kembali bernapas seolah sebelumnya ia kesulitan menghirup udara.“A-aku--”“Kau mau ke polres juga?” tanya orang itu.Sedikit ragu, Aruna mengangguk.“Kalo gitu, ke
Aruna menggeleng cepat. “Aku tidak tahu apa-apa, Ran! Kamu telah menyinggung dan membawa-bawa pihak yang seharusnya tidak kau singgung. Ini bukan hal remeh lagi! Dan aku tidak punya kuasa apapun untuk melakukan itu!”Rani menggeram marah.Namun ia tidak mengatakan apa-apa. Karena apa yang diucapkan Aruna, memang masuk akal.Ia juga berpikir bahwa Aruna tidak mungkin memiliki kemampuan untuk membuat dirinya tiba-tiba berada di tempat ini dalam waktu yang sangat cepat.Aruna tidak punya koneksi sekuat itu.Keluarga Aruna tidak memiliki uang apalagi kekuasaan. Sejak ayah Aruna kecelakaan, Rani tahu bahwa keluarga Aruna terpuruk.“Tapi kau benar bekerja di DG, kan?! Kau yang membuat dan menggerakkan DG melakukan ini semua!” tuding Rani.Ia tidak bersungguh-sungguh dengan tudingannya. Karena dialah satu-satunya dari semua teman Aruna, yang sangat yakin bahwa Aruna bekerja di Dananjaya Group adalah satu kebohon
Aruna mendesah. ‘Bener kan? Grup menjadi ramai dan semua tahu sekarang Rani di gelandang polisi.’ Suara Shanti terdengar begitu jelas dari ujung telepon. “Iya. Aku menyayangkan ini.” ‘Resiko dia sebenernya, kenapa juga nekad melakukan hal konyol kaya gitu. Itu sama aja bunuh diri!’ ujar Shanti. ‘Jangan lupa, gimana nasib keluarga Ishak dan Julian karena nyari masalah ama lu, Run,’ imbuh Shanti lagi. ‘Rani bisa jadi kandidat ketiga menuju tamat…’ Aruna terhenyak dari duduknya. Ia melupakan itu. “Shan, sorry. Gue jalan dulu ya.” ‘Eh? Lu mau kemana? Ini udah malem!’ “Bentar ada perlu.” Aruna berkata beberapa kalimat lagi sebelum akhirnya ia memutuskan sambungan telepon. Aruna gegas memakai cardigan dan menyambar tas kecil di meja ruang tengah. Kepalanya menunduk, memesan taksi online. Beberapa menit kemudian, satu mobil berhenti di depan rumah yang dihuni Aruna dan membawanya pergi. Belasan menit selanjutnya, mobil yang ditumpangi Aruna tiba di kediaman Brahmana. Satpam yang
“Saya…” Aruna menelan ludah sedikit kasar. “Apakah Bapak bisa membantu untuk mengeluarkan teman saya dari penahanan?”“Mengeluarkan dalang pengunggahan berita yang merugikan kamu itu?”“Ya, Pak.”“Apa kamu tidak ingin menghukum pelaku yang mencemarkan nama baik dirimu itu?” Brahmana terlihat memicingkan matanya.Sekian saat Aruna terdiam.“Mungkin Bapak tidak akan memercayai alasan saya. Tapi bagaimanapun dia adalah teman saya. Ini terjadi karena kesalahpahaman di masa lalu. Dan kesalahpahaman itu telah selesai.”“Sekalipun dia beberapa kali merugikan kamu dan berusaha menyakiti kamu?” Brahmana menaikkan alisnya.Dirinya sudah mendengar laporan dari Fathan, bahwa di hari Aruna pindah rumah, wanita itu bahkan mengirim preman untuk mengganggu Aruna di rumah kontrakannya yang lama.“Ya Pak. Sekalipun dia berusaha menyakiti saya,”
Sore itu memang cerah, masih meninggalkan hawa gerah pula --khas ibukota-- beserta polusi suara juga udara. Namun demikian, Aruna tersenyum ketika matanya memindai ke sekeliling. Hiruk pikuk padat jalan raya, menandakan kesibukan setiap manusianya yang hidup berjuang untuk diri dan keluarganya. Di antara pemandangan dan juga aroma knalpot yang tidak sedap itu, Aruna bersyukur berkali-kali. Dirinya tidaklah harus berkutat di jalanan berjam-jam demi sesuap nasi. Kini ia bekerja dengan luar biasa nyaman, di kediaman keluarga terkaya di negara ini, dengan gaji yang terbilang sangat cukup untuk dirinya dan sang ayah. Bahkan sang ayah kini dalam perawatan dan terapi intensif, yang tak perlu lagi ia khawatirkan biayanya. Apalagi yang kurang? “Kau senyum-senyum sendiri begitu. Apa ada sesuatu yang menyenangkan?” tegur seorang pria dari belakang Aruna. Aruna menoleh seketika lalu tersenyum lagi. “Kau mengagetkanku, Diya.” Kedua mata Aruna menangkap sosok Ardiya yang mengenakan jumper t
“Hadiah untuk mama-mu?” Ardiya mengangguk untuk menjawab pertanyaan Aruna itu. “Kau mau membelikan apa?” tanya Aruna lagi. “Entahlah. Kalau aku tahu, aku gak akan minta tolong padamu,” keluh Ardiya. Ia terlihat seperti orang yang sedang dalam kesusahan. “Hadiah ulang tahun?” “Tidak.” “Lalu?” “Hanya hadiah saja,” ujar Ardiya. Ia diam sesaat. “Aku ingin memberikan mamaku hadiah. Tapi bukan karena hari ultah atau hari istimewa yang lain.” “Itu bagus!” Spontan Aruna memuji. “Kamu ngerti maksudku?” “Tentu saja. Kenapa ngga?” jawab Aruna cepat. Matanya kini berbinar saat mengucapkan kalimat selanjutnya. “Seorang anak yang ingin memberikan hadiah tanpa menunggu alasan tertentu, itu hal yang bagus.” “Aku iri padamu.” cetusnya lagi. “Iri?” “Aku ingin melakukannya. Terlambat, memang.” “Terlambat?” “Ya.” Aruna mengangguk. “Karena yang ingin aku berikan hadiah, sudah tidak bisa menerimanya lagi,” sahut Aruna. “Kenapa tidak?” Ardiya mengerutkan dahi. Aruna tersenyum samar. “Ibuk