Aruna berdiri mematung menatap bangunan di hadapannya dengan lambang ‘Rastra Sewakottama’ itu tanpa berkedip.Punggungnya terasa mulai sedikit basah oleh keringat dingin, begitu pula dengan kedua telapak tangannya.Semula ia hendak datang ke sini ditemani Shanti, namun adik Shanti tiba-tiba mendapat masalah dan Shanti harus ke kampus adiknya itu untuk mengurusnya.Entah sudah berapa kali ia menelan ludah dengan sedikit sulit dan entah pula telah berapa lama ia berdiri di sana hanya memandang bangunan itu tanpa selangkah pun mendekat bahkan untuk masuk ke area halaman depannya saja.“Apa yang kau lakukan di sini?” Sebuah suara familiar menyapa Aruna dengan lembut.Aruna yang tersentak, segera menoleh dan ia kembali bernapas seolah sebelumnya ia kesulitan menghirup udara.“A-aku--”“Kau mau ke polres juga?” tanya orang itu.Sedikit ragu, Aruna mengangguk.“Kalo gitu, ke
Aruna menggeleng cepat. “Aku tidak tahu apa-apa, Ran! Kamu telah menyinggung dan membawa-bawa pihak yang seharusnya tidak kau singgung. Ini bukan hal remeh lagi! Dan aku tidak punya kuasa apapun untuk melakukan itu!”Rani menggeram marah.Namun ia tidak mengatakan apa-apa. Karena apa yang diucapkan Aruna, memang masuk akal.Ia juga berpikir bahwa Aruna tidak mungkin memiliki kemampuan untuk membuat dirinya tiba-tiba berada di tempat ini dalam waktu yang sangat cepat.Aruna tidak punya koneksi sekuat itu.Keluarga Aruna tidak memiliki uang apalagi kekuasaan. Sejak ayah Aruna kecelakaan, Rani tahu bahwa keluarga Aruna terpuruk.“Tapi kau benar bekerja di DG, kan?! Kau yang membuat dan menggerakkan DG melakukan ini semua!” tuding Rani.Ia tidak bersungguh-sungguh dengan tudingannya. Karena dialah satu-satunya dari semua teman Aruna, yang sangat yakin bahwa Aruna bekerja di Dananjaya Group adalah satu kebohon
Aruna mendesah. ‘Bener kan? Grup menjadi ramai dan semua tahu sekarang Rani di gelandang polisi.’ Suara Shanti terdengar begitu jelas dari ujung telepon. “Iya. Aku menyayangkan ini.” ‘Resiko dia sebenernya, kenapa juga nekad melakukan hal konyol kaya gitu. Itu sama aja bunuh diri!’ ujar Shanti. ‘Jangan lupa, gimana nasib keluarga Ishak dan Julian karena nyari masalah ama lu, Run,’ imbuh Shanti lagi. ‘Rani bisa jadi kandidat ketiga menuju tamat…’ Aruna terhenyak dari duduknya. Ia melupakan itu. “Shan, sorry. Gue jalan dulu ya.” ‘Eh? Lu mau kemana? Ini udah malem!’ “Bentar ada perlu.” Aruna berkata beberapa kalimat lagi sebelum akhirnya ia memutuskan sambungan telepon. Aruna gegas memakai cardigan dan menyambar tas kecil di meja ruang tengah. Kepalanya menunduk, memesan taksi online. Beberapa menit kemudian, satu mobil berhenti di depan rumah yang dihuni Aruna dan membawanya pergi. Belasan menit selanjutnya, mobil yang ditumpangi Aruna tiba di kediaman Brahmana. Satpam yang
“Saya…” Aruna menelan ludah sedikit kasar. “Apakah Bapak bisa membantu untuk mengeluarkan teman saya dari penahanan?”“Mengeluarkan dalang pengunggahan berita yang merugikan kamu itu?”“Ya, Pak.”“Apa kamu tidak ingin menghukum pelaku yang mencemarkan nama baik dirimu itu?” Brahmana terlihat memicingkan matanya.Sekian saat Aruna terdiam.“Mungkin Bapak tidak akan memercayai alasan saya. Tapi bagaimanapun dia adalah teman saya. Ini terjadi karena kesalahpahaman di masa lalu. Dan kesalahpahaman itu telah selesai.”“Sekalipun dia beberapa kali merugikan kamu dan berusaha menyakiti kamu?” Brahmana menaikkan alisnya.Dirinya sudah mendengar laporan dari Fathan, bahwa di hari Aruna pindah rumah, wanita itu bahkan mengirim preman untuk mengganggu Aruna di rumah kontrakannya yang lama.“Ya Pak. Sekalipun dia berusaha menyakiti saya,”
Sore itu memang cerah, masih meninggalkan hawa gerah pula --khas ibukota-- beserta polusi suara juga udara. Namun demikian, Aruna tersenyum ketika matanya memindai ke sekeliling. Hiruk pikuk padat jalan raya, menandakan kesibukan setiap manusianya yang hidup berjuang untuk diri dan keluarganya. Di antara pemandangan dan juga aroma knalpot yang tidak sedap itu, Aruna bersyukur berkali-kali. Dirinya tidaklah harus berkutat di jalanan berjam-jam demi sesuap nasi. Kini ia bekerja dengan luar biasa nyaman, di kediaman keluarga terkaya di negara ini, dengan gaji yang terbilang sangat cukup untuk dirinya dan sang ayah. Bahkan sang ayah kini dalam perawatan dan terapi intensif, yang tak perlu lagi ia khawatirkan biayanya. Apalagi yang kurang? “Kau senyum-senyum sendiri begitu. Apa ada sesuatu yang menyenangkan?” tegur seorang pria dari belakang Aruna. Aruna menoleh seketika lalu tersenyum lagi. “Kau mengagetkanku, Diya.” Kedua mata Aruna menangkap sosok Ardiya yang mengenakan jumper t
“Hadiah untuk mama-mu?” Ardiya mengangguk untuk menjawab pertanyaan Aruna itu. “Kau mau membelikan apa?” tanya Aruna lagi. “Entahlah. Kalau aku tahu, aku gak akan minta tolong padamu,” keluh Ardiya. Ia terlihat seperti orang yang sedang dalam kesusahan. “Hadiah ulang tahun?” “Tidak.” “Lalu?” “Hanya hadiah saja,” ujar Ardiya. Ia diam sesaat. “Aku ingin memberikan mamaku hadiah. Tapi bukan karena hari ultah atau hari istimewa yang lain.” “Itu bagus!” Spontan Aruna memuji. “Kamu ngerti maksudku?” “Tentu saja. Kenapa ngga?” jawab Aruna cepat. Matanya kini berbinar saat mengucapkan kalimat selanjutnya. “Seorang anak yang ingin memberikan hadiah tanpa menunggu alasan tertentu, itu hal yang bagus.” “Aku iri padamu.” cetusnya lagi. “Iri?” “Aku ingin melakukannya. Terlambat, memang.” “Terlambat?” “Ya.” Aruna mengangguk. “Karena yang ingin aku berikan hadiah, sudah tidak bisa menerimanya lagi,” sahut Aruna. “Kenapa tidak?” Ardiya mengerutkan dahi. Aruna tersenyum samar. “Ibuk
“Apa kak Una tidak senang ketemu Mai hari Sabtu dan Minggu ini?” Suara mungil dan lucu Maira terdengar sedikit lesu. Kedua bola mata bulat yang dinaungi bulu mata lentik itu menatap Aruna lekat dari cermin di hadapannya. Ia menunggu jawaban Aruna dengan sabar. Kepalanya bahkan tidak bergerak, membiarkan Aruna melakukan sesuatu pada rambut ikal bergelombangnya. “Bukan kak Una tidak senang, Mai. Kak Una senang kok,” balas Aruna sembari tersenyum. Jari jemarinya dengan lincah menjalin untaian rambut Maira menjadi kepangan yang cantik. “Terus kenapa kak Una keliatan gak bersemangat?” Maira terus mengejar. Hari ini memang hari Minggu dan ia melonjak kegirangan saat melihat Aruna datang ke kediaman Maira dan Brahmana pagi ini. Namun kegirangan itu menyusut saat menangkap raut wajah Aruna yang lesu dan terkesan sedikit cemberut. Aruna memang telat menyingkirkan wajah lesu, saat Maira melihat dirinya datang. Alhasil, Maira menuntut jawaban Aruna tentang itu. “Karena…” Aruna menarik nap
Aruna meraba kedua pipinya.Hasilnya masih sama dengan sekian puluh menit yang lalu.Panas. Dan memerah.Kepalanya menunduk menatap bahan-bahan masakan yang akan ia olah. Akan tetapi pikirannya tidak pada bahan-bahan tersebut.Pikirannya sibuk pada momen di dalam ruang kerja Brahmana tadi.Sungguh, ia terjebak dalam rasa yang bercampur aduk, tanpa bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan situasi hatinya saat ini.Brahmana yang menuntut Aruna untuk memanggil hanya dengan nama. Lalu map yang disodorkan Brahmana padanya yang isinya membuat Aruna kian dilanda kebingungan.Map itu berisi perjanjian terpisah, yang menyatakan bahwa Aruna menyanggupi untuk tidak terlibat hubungan khusus dengan lawan jenis selama dalam masa kontrak kerja sebagai pengasuh Maira.Betapa sesuatu menggelitik dirinya untuk berpikir, bahwa Brahmana tidak ingin ia punya kekasih.Dan itu hanya bisa diartikan satu hal. Brahmana cemburu.C
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m