“Apa itu tadi? Kenapa kamu bisa sampe dipukulin?” Aruna mengarahkan tatapan penuh selidik pada Ardiya. Pada akhirnya, Ardiya mengarahkan tujuan ke tempat tinggal Aruna, alih-alih menuju klinik apalagi Rumah Sakit. Ardiya beralasan, lukanya tidaklah serius dan memalukan bagi dirinya jika sampai ke Rumah Sakit untuk luka kecil semacam itu. Ia menganjurkan mengantar Aruna, sebelum ia sendiri pulang ke rumahnya. Aruna setuju, dengan memberi syarat Ardiya mau diobati dulu. Dan di sinilah akhirnya Ardiya berada. Di teras depan rumah yang ditempati Aruna. Mata Ardiya mengikuti Aruna yang baru keluar dari dalam rumah sembari menenteng kotak P3K di tangannya. “Aku hanya apes aja. Lagi parkir bentar, buat ngerokok, tau-tau ada preman malak,” ujar Ardiya. “Kenapa bisa sampe dipukulin?” “Ya karena aku ogah ngasih apa yang mereka minta.” “Tinggal kasih aja sih. Nyawa kamu tuh lebih berharga daripada uang.” Aruna menggelengkan kepala. “Ya awalnya kupikir bisa mengatasi tiga orang itu.” “
Brahmana berdeham dua kali. “Bukankah kamu sudah menandatangani perjanjian tambahan?” Kening Aruna mengernyit. “Perjanjian tambahan? Oh-- yang itu?” Aruna menarik napas lalu berkata lagi. “Kaitannya sama malam ini apa, Pak-- eh maksud saya, Agha?” Kedua manik kelam Brahmana kembali menatap tajam wanita muda yang memandang dirinya tanpa paham itu. Betapa ia mulai merasakan kegusaran yang secara tiba-tiba muncul, melihat tidak adanya rasa bersalah sama sekali di diri Aruna. “Dalam perjanjian yang kamu tanda tangani itu, kamu tidak diperkenankan menjalin hubungan dengan lawan jenis. Apa saya perlu mengulang seluruh isi perjanjian itu?” Aruna terlongo. “Saya.. tidak menjalin hubungan dengan lawan jenis, Agha..” gumamnya setelah beberapa saat terdiam bingung. Satu detik Brahmana terdiam. Ia ingin sekali tersenyum, saat mendengar Aruna memanggilnya dengan nama panggilan itu, tanpa kelupaan menyebut dirinya ‘Pak’. Terdengar sangat indah. Namun, ia segera kembali fokus pada masalah
Itu pagi yang tidak terlalu cerah, tatkala Aruna tiba di kediaman Brahmana, sepulang mengantar Maira sekolah.Sang Bos Besar itu belum berangkat dan terlihat masih ada di meja makan sembari membaca beberapa data pada iPad Pro miliknya.Aruna yang hendak menuju area servis di belakang, tentu saja melihat Brahmana di ruang yang harus ia lewati itu.Kebetulan sekali. Aruna memang ingin menemui Brahmana untuk meminta izin menengok dan menemani ayahnya di Rumah Sakit.“Pagi…” sapa Aruna ramah pada Brahmana. “Belum berangkat?”Namun pria itu hanya memberikan lirikan sekilas dan mengabaikan sapaan Aruna.‘Eh, kenapa dia?’ Aruna bertanya-tanya dalam hati.“Mau teh Rooibos? Saya buatkan kalau mau.” Aruna tetap menunjukkan sikap ramah dan santunnya. Ia butuh persetujuan Brahmana untuk menengok Erwin.Namun pria itu hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi-nya yang dulu dikenal
“Ah, teh Rooibos-nya belum diminum!” seru Aruna lalu menoleh ke samping.Ia kini berada dalam satu mobil dengan Brahmana --duduk berdampingan dengan Sang CEO-- menuju kantor pusat Dananjaya Group. Sementara Fathan berada di balik kemudi.Fathan tidak tahu, bahwa hari ini ia telah lolos dari ‘maut’.Brahmana yang semula memang memanggil Fathan pagi-pagi tadi, hendak menimpakan kekesalan pada sekretarisnya itu.Namun kejadian manis di ruang kerja tadi, meluluhkan segala kekesalan Brahmana sehingga ia melepas Fathan dari semua tanggung jawab itu.“Nanti saya minum sepulang kerja,” jawab Brahmana tenang.“Tapi itu pasti sudah tidak enak.”“Tidak apa. Saya akan tetap meminumnya.”Fathan melirik bos-nya itu melalui kaca spion tengah.“Sepertinya tadi juga melewatkan sarapan ya?” Aruna menoleh lagi ke arah Brahmana duduk.“Lain kali saya tidak
“Tidak. Belum ada konfirmasi dari Pak Syam, Tuan.” Fathan menjawab pertanyaan Brahmana setelah ia menyerahkan beberapa berkas untuk di tanda-tangani.Brahmana mengangkat kepala sesaat, lalu kembali fokus memeriksa berkas di atas mejanya, sebelum ia tanda tangani.“Jadwal?”“Jam sebelas siang ini Tuan ada video conference dengan direktur dan general manager. Jam satu Tuan meeting dengan presdir dari J&R di gedung Dune Intercontinental. Penandatanganan merger yang semula dijadwalkan sore ini, sesuai instruksi Tuan kemarin lusa, telah di atur ulang di minggu depan.” Fathan menyebutkan jadwal Brahmana hari ini dengan jelas.Brahmana mengangguk kecil.Ia meletakkan pena yang ia gunakan untuk menandatangani berkas-berkas, kembali ke wadah kristal berbentuk menara.“Jika sampai besok lusa pak Syam masih belum memberikan konfirmasi apapun, lakukan penyelidikan tersendiri. Tapi berhati-hatilah. Jangan sam
“Yah, sebentar ya. Ini teman Runa telepon,” ujar Aruna setelah melihat layar ponsel miliknya yang berdering. Erwin mengangguk lalu memperhatikan putri tersayangnya itu berdiri lalu berjalan sedikit menjauh agar tidak mengganggu sang ayah. “Yup Diya. Ada apa? Mau nagih kopi?” tembak Aruna langsung begitu ia menggeser layar untuk menerima panggilan. ‘Wah, tau aja nih!’ Ardiya lalu terdengar terkekeh ringan menanggapi salam pembuka dari Aruna. “Iyalah. Yang pertama aja udah kaya debt collector, nagih-nagih terus,” cela Aruna main-main. ‘Hehehe iya juga sih. Emang kamu ada waktu?’ “Hari ini kebetulan memang izin untuk absen kerja, sih.” ‘Nah kebetulan. Tapi ini serius, aku mau traktir kamu makan, Run.’ “Wah! Dalam rangka apa?” Kedua alis Aruna terangkat sedikit. ‘Dalam rangka berterima kasih, karena hadiah pilihan kamu itu, disukai mamaku!’ jawab Ardiya riang. “Oh, beneran?” ‘Serius.’ “Emm… tapi…” Aruna berpikir sejenak. Ia teringat aturan yang ditetapkan Brahmana. Apakah ia t
“Untuk apa kau membawaku ke tempat makan mahal begini, Diya?” Aruna segera melayangkan protesnya begitu mobil Ardiya berbelok masuk ke pelataran parkir restoran yang dianggap mahal olehnya itu. “Tenang saja, kan aku yang traktir,” sahut Ardiya tenang. “Diya, mending ke tempat biasa aja.” “Kenapa? Kau takut aku nanti minta gantian di traktir di tempat mahal?” kekeh Ardiya. Aruna hanya menghela napas lalu mengalah untuk mengikuti kemauan Ardiya. Kepalanya terangkat naik memperhatikan restoran yang menggunakan bangunan jaman Belanda dulu. “Tenang aja, disini varian menu-nya banyak kok. Western, Asian sama lokal kita, ada.” Ardiya mematikan mesin lalu menoleh pada Aruna yang terlihat asyik memperhatikan bangunan di depannya. “Hm.. aman kalo gitu.” “Ayo.” Ardiya lalu keluar dari mobil dan setengah berlari memutari mobil untuk membukakan pintu bagi Aruna. “Haduh, repot amat. Aku bisa buka sendiri,” ujar Aruna. “But, thanks anyway.” Ardiya tersenyum lebar. “Let’s go.” Sementara itu
Fathan mengetuk pintu ruang CEO. Tidak biasanya ia mendapati tidak adanya jawaban, sementara ia tahu pemilik ruangan itu berada di dalam. “Tuan?” sapa Fathan sambil membuka pintu ruang CEO. Ia berjalan mendekat dan cukup terheran melihat Brahmana yang terlihat terpekur. Arah matanya memang pada monitor PC di atas meja, namun sorotnya seperti tidak fokus. “Tuan.” Fathan memanggil lagi. Kali ini Brahmana memang menengok padanya dan seperti baru menyadari kehadiran Fathan di sana. “Kapan kamu masuk?” tanya Brahmana. “Dari satu menit lalu, Tuan.” “Kenapa kamu tidak mengetuk pintu?” Fathan hendak membela diri, namun urung melihat mood sang CEO yang tampaknya kurang baik hari ini. Lebih baik ia mencari selamat. “Maaf Tuan.” Brahmana mendengkus ringan lalu beralih kembali pada layar di samping kanannya. “Ada apa?” “Ada permintaan reschedule untuk pembahasan proyek baru dengan partner kita, Tuan.” Lalu Fathan menyerahkan satu map ke atas meja Brahmana. “Dan ini statistik yang Tuan