"A-aku t-tidak bermaksud melakukan itu. Aku hanya ... membela diri karena Primrose—"
"Jangan berbohong!" potong Arley atas kalimat terbata-bata Alice.Alice tersentak. Tetapi ia tidak bisa membela diri karena nyalinya lebih dulu menciut mendengar nada bicara Arley yang sangat dingin.Arley mengalihkan tatapannya pada Prims yang masih berada dalam dekapannya. Raut wajah pria itu seketika melunak. Alih-alih marah, Arley tampak khawatir.Dia membantu Prims berdiri tegak seraya bertanya, "Kamu baik-baik saja?"Gadis dalam dekapannya itu mengangguk pelan.Prims menatap mata kelam Arley. Dibandingkan interaksi mereka sebelumnya, pagi ini Arley menunjukkan lebih banyak emosi.Pria itu lantas mengangguk dan meraih tangan Prims, mengajaknya pergi."Ayo pergi dari sini!""Tapi—""Akan aku bereskan nanti," potongnya tidak ingin dibantah.Prims berjalan keluar dari toko bakery dengan tangannya yang terasa dingin dalam genggaman Arley.Mereka meninggalkan Alice yang menahan tangis, menahan kebencian yang bermuara di dadanya saat dia menyadari bahwa pria itu tidak menyukainya.Di luar, setelah memutuskan untuk tidak membeli apa pun, Prims masuk ke dalam mobil, memandang Arley yang duduk di sebelah kirinya.Prims khawatir. Punggung pria itu baru saja dia umpankan untuk melindunginya, pasti rasanya sangat sakit. Tapi Arley tidak mengatakan apapun, seolah tidak terjadi apa-apa padanya."T-Tuan Arley, sebaiknya ... apa tidak ditunda saja pertemuan dengan orang tuamu?" tanya Prims membuka percakapan dengan ragu."Kenapa?""Punggungmu pasti sakit karena tadi menolongku.""Aku baik-baik saja."Prims menelan ludah, merasa tidak enak hati. "Terima kasih sudah menolongku. Maaf karena membuat kekacauan."Apa Arley marah padanya? Prims tahu betul apa yang terjadi di sana tadi sangat memalukan.Pria itu tidak menjawab, hanya mengangguk sekilas lalu meminta sopir untuk melanjutkan perjalanan menuju ke rumah orang tuanya.Tidak ada yang bicara setelah itu, meski di dalam benak Prims masih ada banyak pertanyaan kenapa Arley bersikap baik padanya.Apa dia memiliki motif tersembunyi?Lamunan Prims berakhir saat mobil memasuki sebuah halaman rumah yang sama besarnya dengan rumah Arley. Hal itu membuat Prims merasa bahwa kedatangannya ke sini tidak diinginkan."Ayo!" ucap Arley saat isyarat matanya bicara lebih banyak agar Prims berjalan di sampingnya.Dengan canggung, mereka memasuki rumah. Sepertinya mereka sudah ditunggu karena saat masuk ke ruang tamu, sudah ada seorang pria dan wanita paruh baya yang duduk di sana."Selamat pagi," sapa Arley lebih dulu, hal yang sama dilakukan oleh Prims."Pagi," sambut mereka bersamaan. "Selamat datang. Duduklah, Arley, dan ... Primrose?" Wanita paruh baya yang tampak anggun dan berkelas itu dengan ragu menyebut namanya."Iya, saya Primrose Harvey."Prims duduk di samping Arley, menunduk karena tahu dia sedang diobservasi oleh orang tua Arley. Dan dari sekilas penilaian saja, Prims tahu jika dirinya bukan tipe calon mantu yang mereka damba."Arley bilang akan membawa calon istrinya ke sini. Jadi itu benar kamu?" tanya ibunya dengan nada bicara yang tidak sedap didengar."Mama tanyalah padaku, jangan padanya. Aku yang mengajaknya menikah," jawab Arley lebih dulu.Prims memandangnya dengan cepat, tidak percaya dengan Arley yang seolah ingin melindunginya.Dari seberang meja, wanita itu tertawa lirih, menunggu teh yang diantar oleh para pelayan selesai disajikan sebelum kembali bicara."Mama dengar ... dia digosipkan sebagai perawan tua yang aneh, Arley. Dan dia diusir oleh keluarganya. Kenapa kamu tidak memilih perempuan lain yang jauh lebih muda dan cantik sebagai menantu keluarga Miller dan malah memilih anak yang dibuang dan tidak diinginkan?"Prims meremas jari-jari tangannya yang terasa kebas di atas pangkuannya. Air mata sedang coba dia tahan.Rasanya sangat sakit sekali, label perawan tua yang aneh bahkan telah terdengar hingga ke keluarga Miller.“Bukankah ia punya adik? Siapa namanya … Alice Harvey? Mama dengar, Alice sangat cantik dan berbakat. Dia juga lebih muda. Kenapa kamu tidak memilihnya saja?”Deg!Jantung Prims rasanya seolah mencelos mendengar ucapan wanita itu. Bagaimana bisa beliau tahu tentang Alice?Prims tahu adiknya itu memang lumayan dikenal di lingkungan mereka, tapi Prims tidak pernah menyangka orang terpandang seperti keluarga Miller juga mengenalnya.Lamunan Prims langsung buyar saat merasakan tangannya diraih dan digenggam oleh Arley."Kalian tidak bisa mengatur dengan siapa aku menikah," katanya tanpa menoleh pada Prims yang menatapnya terkejut."Kamu tidak akan memikirkan ulang? Mama bisa mencarikanmu istri yang—""Kalian janji akan mengabulkan apa pun yang aku mau asalkan aku pulang ke rumah dan mau mewarisi Kings Group, 'kan? Apa janji itu akan kalian ingkari setelah aku membawa calon istriku?"Kedua orang tua itu bergerak tidak nyaman. Sama halnya dengan Prims, genggaman tangan Arley terlalu kuat. Dia mencoba menarik tangannya tapi sepertinya pria itu tak peduli."Aku datang untuk meminta restu kalian. Datanglah besok di pernikahan kami."Prims tidak mendengar apa pun dari mereka selain hela napas yang berat, tidak setuju dengan keputusan anak semata wayang mereka, tapi tidak kuasa untuk membantah.“Kami pamit,” kata Arley seraya menarik tangan Prims.Arley baru melepas tangan mereka saat sudah sampai di mobil.Wajah murung Prims pasti bisa dilihat oleh Arley karena pria itu tiba-tiba berujar, "Jangan khawatir, mereka tidak akan menyakitimu."“Tapi mereka sepertinya tidak menyukaiku—”“Tidak usah dipikirkan,” sela Arley. “Pernikahan kita tetap akan dilaksanakan, apapun yang terjadi.”***Seperti kata Arley, pernikahan itu benar-benar terlaksana.Ritual janji suci itu berjalan dengan singkat, tanpa ada satu orang pun keluarga Prims yang datang. Semakin membenarkan bahwa dia hanyalah anak yang terbuang dan tidak diinginkan.Tapi meski demikian, baik Prims maupun Arley sudah terikat saat mereka mengatakan "Saya bersedia" dari janji pernikahan yang mereka jawab.Yang artinya, apa pun yang terjadi di depan sana, Prims tidak akan bisa lari dari Arley, sebab 'apa yang dipersatukan Tuhan tidak boleh dipisahkan oleh manusia.'Setelah itu, mereka kembali ke rumah dengan status yang kini berganti menjadi sepasang suami istri.“Apakah aku harus menjalankan kewajiban seorang istri untuk melayani suami?” gumam Prims gusar saat mereka menaiki tangga menuju lantai dua, di mana kamar utama berada.Seakan mengamini isi pikirannya, Arley tiba-tiba mengatakan, "Tidurlah di kamarku."“Hah?!” Prims tersentak kaget, langsung mengambil langkah mundur. Jantungnya berdetak tidak karuan.“Ada apa?” tanya Arley bingung.“Ti-tidak apa-apa,” kata Prims dengan wajah merah padam.Mereka lalu memasuki ruangan yang jauh lebih besar daripada kamar di mana Prims tingal di malam sebelumnya.Prims menunduk saat Arley berhenti dan berbalik menghadapnya. Prims ketakutan, pikiran tentang rumor betapa buruknya sifat Arley Miller kembali menghantui.‘Bagaimana jika malam ini dia benar-benar memintaku melayaninya dengan paksa? Bukan tidak mungkin setelah itu ia akan melenyapkan nyawaku!’ Prims bergidik ngeri. ‘Ya Tuhan, aku harus bagaimana?!’Namun, semua skenario dalam benaknya pupus saat Arley berjalan menjauh darinya.“Tidurlah, Primrose. Aku akan tidur di kamar yang lain,” kata pria itu, lalu berjalan melewatinya begitu saja.“Hah??”Prims mematung dengan bibir terbuka. Wajahnya terlihat bingung sekaligus terkejut.“T-tapi bukannya …”Setelah menyadari apa yang terjadi, Prims tertawa canggung. “Haha! Apa yang sudah kupikirkan?” gumam Prims pada keheningan, merasa bodoh karena sudah memikirkan yang tidak-tidak.“Sebaiknya aku tidur saja!” ujar gadis itu, sebuah usaha agar pikirannya tidak melantur ke mana-mana.Tepat tengah malam, Prims terbangun karena mimpi buruk. Napasnya tersengal dengan keringat yang membasahi kening. Tenggorokannya terasa gatal dan kering, sehingga ia memutuskan untuk mengambil air minum ke dapur.Langkah kakinya terhenti di ujung tangga dekat ruang tamu saat melihat Arley di sana.“Tuan Ar—” Prims hampir menyapanya saat sadar ada orang lain yang berdiri bersama pria itu.Setahu Prims, ia adalah Kepala Pelayan di rumah ini.Mereka tampak membicarakan sesuatu yang serius, terlihat dari raut wajah masing-masing.Tak ingin mengganggu, Prims memutuskan untuk membiarkan mereka dan kembali pada tujuan utamanya.Namun, saat kakinya baru berjalan satu langkah menuju dapur, suara sang pelayan membuatnya berhenti seketika."Maaf jika saya bersikap lancang, Tuan, tapi apakah tidak masalah merahasiakan hal ini dari Nona Muda?"Rahasia?Rahasia apa yang mereka bicarakan?Prims berdiam diri di tempatnya, berpikir akan mencuri dengar karena pembicaraan itu membuatnya penasaran. Namun, keberadaannya diketahui oleh sang pelayan."No-Nona?" Wanita paruh baya itu tampak terkejut dan tidak mengantisipasi keberadaan Prims di sana.Arley memutar kepala padanya, irisnya yang kelam menerpa Prims dan membuat gadis itu langsung menunduk, merasa tidak enak hati karena tertangkap basah."S-selamat malam," sapa Prims lebih dulu. Prims mencuri pandang pada wanita berpakaian serba hitam itu yang perlahan undur diri dan memberikan ruang pada mereka."Malam," jawab Arley singkat, hampir terlihat enggan.Dalam hati Prims bertanya, 'Haruskah aku berpura-pura tidak mendengar yang barusan?’Kebimbangan merundungnya sesaat, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk bersuara. “Aku mau mengambil minum,” jelasnya, merasa sangat canggung dengan keheningan di antara mereka.“Ambil dan kembalilah tidur.”“Baik.”Pria itu pergi begitu saja, me
Gawat!Dia pasti dianggap sedang sengaja memancing Arley agar mereka melakukan adegan dewasa nan panas berpeluh.Apalagi Prims malah seperti sengaja datang ke kamarnya.Prims tahu dia harus pergi, tapi hati dan tubuhnya tidak sinkron sehingga yang terjadi malah seperti dia menikmati posisi ambigu yang terjadi di antara mereka.Debar jantungnya tak terkendali, Prims takut Arley bisa mendengarnya.Tatapan mata pria di atasnya ini seperti sedang menyihirnya untuk tinggal, memengaruhinya untuk menganggukkan kepala atas tanya yang baru saja dia berikan. Tapi ... 'TIDAK!' jerit Prims dalam hati saat dia mengumpulkan akal sehat dan mendorong dada bidang Arley sekuat tenaga sehingga pria di atasnya ini pergi.Arley berpindah ke ranjang di sisi kanan Prims, dengan kancing kemeja yang terbuka hingga ke perutnya, mengekspos sebagian tubuhnya yang seksi dan atletis. Dan sebelum pria itu kembali membicarakan soal 'mengambil sesuatu yang paling berharga' miliknya, Prims segera mengenyahkan diriny
"Tidak mau!" jawab Prims kemudian berlari pergi dari sana. Sebelum godaan dunia yang nakal membujuknya untuk menyambut uluran tangan Arley, Prims keluar dari kamar mandi. Dia putuskan untuk mandi di tempat lain saja. Sembari berjalan, dia bicara dengan dirinya sendiri, "Aku pikir dia tidak punya sifat jahil seperti itu. Tapi apa yang barusan itu? Bergabung untuk mandi dengannya?" Membayangkannya saja membuat tubuhnya menggigil. Maka begitulah, pada akhirnya dia berjumpa lagi dengan Arley untuk makan malam. Mengingat kecerobohannya yang fatal, Prims memutuskan untuk menahan diri dengan tidak mengajak Arley bicara. Tapi, 'bencana' baru saja dimulai. Saat Prims masuk ke dalam kamar, Arley berjalan mengikutinya. “Kenapa Tuan Arley mengikutiku?” tanyanya ketakutan. “Aku akan tidur di sini mulai sekarang,” jawabannya datar. “Kenapa?” “Ada yang bergosip kalau kamu aku campakkan saat tahu kita pisah kamar.” Jantung Prims berdebar tak karuan rasanya. Dia memandang Arley yang berjal
Prims terhening untuk mencerna kalimat Katie. ‘Sebegitu tidak sukanya kah beliau padaku?’ gumamnya dalam hati.Sejak awal, Prims tahu ibu mertuanya memang tidak menyukainya. Wanita itu lebih suka jika Alice yang bersanding dengan Arley.Namun, tetap saja, rasanya menyakitkan. Prims menahan diri agar tidak menjatuhkan tirai air mata. Apalagi di depan Arley yang menurutnya sudah terlalu banyak melihatnya tersudut.Gadis itu meremas kedua tangan yang ada di atas pangkuannya. Menunduk, pandangannya ia jatuhkan pada gaun blue ice yang sedang dia kenakan. 'Bukankah percuma aku bersolek sebelum bersua dengan banyak orang malam ini jika pada akhirnya yang diinginkan ada di samping Arley adalah Alice?' tanyanya pada diri sendiri. 'Tapi,' pikir Prims lagi, 'Kenapa aku harus berkecil hati? Aku yang menikah secara sah dan memiliki status sebagai istri, dan Arley yang memilihku. Tidak benar kalau aku membiarkan ibunya ikut campur kehidupan pernikahan kami.'Prims mengerling pada Katie yang masih
Prims menyeringai melihat reaksi adik tirinya yang tampak shock. Meski Alice tak menjawab, tapi dari sorot matanya, Prims tahu jika gadis itu sedang mengumpat dengan kata-kata kasar. Hanya saja, itu tak bisa dia lakukan sebab dia harus tetap terlihat anggun dan lembut di depan banyak orang.Kebencian yang keluar dari sorot matanya tak bisa berbohong. Kediamannya sedang berteriak, 'Primrose sialan! Beraninya kau bicara begitu!?'Prims kembali duduk ke tempat yang dia tinggalkan, melewati Alice. Membiarkannya tersiksa karena di sini dia tak bisa menunjukkan perangai aslinya.Prims menunggu hingga Arley mendekat dan hampir duduk di sebelahnya, tetapi Prims tidak memperbolehkannya melakukan hal itu."Jangan duduk dulu," cegahnya, membuat salah satu alis tegas pria itu terangkat."Kenapa?" tanya Arley bingung."Tolong ajaklah Alice berdansa. Dia pasti malu sekali karena kejadian yang tadi."Arley mendesah tak suka, kedua bola matanya berputar dengan malas. "Kenapa aku harus melakukannya?"
Setelah kesadarannya terkumpul, Prims segera melepaskan diri dari pria itu.Jika tak salah ingat, dia adalah teman semasa sekolahnya dulu. Tapi itu sudah sangat lama dan Prims hampir tak mengenalinya karena waktu seperti mengubahnya menjadi pria yang rupawan."Kamu baik-baik saja, Prims?" tanya pria yang ada di depannya ini sebelum Prims sempat menjawab sapaannya yang sebelumnya."I-iya," jawabnya tegang.Prims mungkin baik-baik saja. Tapi tidak dengan seorang staf pembawa baki yang tak sengaja bersentuhan dengannya.Karena baki yang dia bawa jatuh, gelas-gelas yang semula tertata di atasnya berserakan ke lantai, menimbulkan kekacauan di sudut ruangan.Perhatian semua orang beralih padanya, pandangan mereka penuh penghakiman dan kebencian atas kecerobohan yang dia perbuat.Di tengah lantai dansa, Arley juga mendengar suara berisik yang lantang itu. Ia langsung melepaskan tangannya dari Alice dan memastikan siapa gerangan yang be
Mendengar nada bicara Prims meninggi, apalagi dengan kata 'menyakiti' yang dia ucapkan dengan sedikit putus asa, membuat Arley akhirnya tersadar dengan apa yang telah ia lakukan. Arley langsung melepaskan tangan gadis itu dari cengkeramannya.Prims menarik tangannya ke depan dada dan menatap Arley tajam. Ia mengusap pergelangan tangannya yang terasa sakit dan perih.“Kenapa tiba-tiba menyeretku?” tanya Prims, menatap Arley yang tampak sedang mengatur napas. "Apa yang kamu lakukan dengan pria itu, Primrose?" Arley balik bertanya. Nada suara dan tatapannya sama-sama dingin.Prims tidak suka dengan cara Arley bertanya, seolah-olah Prims telah melakukan sebuah kejahatan dan saat ini tengah dihakimi. “Tidak ada,” sahut Prims kemudian. “Aku hanya mengobrol dengannya.” Prims berusaha agar tak terlihat emosional meski sebenarnya masih kesal karena Arley menyeretnya seperti tadi.“Mengobrol?” Arley mendenguskan tawa sinis. Ia bersedekap dan menatap Prims dengan tatapan yang sulit diartikan.
“B-bukannya aku t-tidak mau di sampingmu, hanya saja ….” Prims menjeda kalimatnya, melepaskan diri dari Arley, mengambil jarak lebih lebar. Ia menyilangkan tangannya di depan bagian tubuh atasnya, secara tak langsung ingin mengatakan pada Arley bahwa sebaiknya mereka tidak terlampau dekat sebab gaun yang dikenakan oleh Prims itu kotor.Arley memperhatikannya, dengan tanpa kata melepas jas yang dia kenakan dan menyerahkannya pada Prims, “Pakai itu untuk menutupi gaunmu,” ucapnya lembut.Menunggu Prims melakukan yang dia minta lebih dulu kemudian mengatakan kalimat untuk terakhir kalinya sebagai penutup malam ini, “Ayo pulang.”Prims tak ingin menimbulkan keributan baru dan memilih untuk mengikutinya saja. Sebab mau menjawab atau menolak pun bibirnya gagap serta sukar membentuk kalimat.Mereka tidak saling bicara sepanjang perjalanan hingga mobil tiba di rumah.Prims berjalan di belakang Arley yang membiarkannya mengekor langkahnya di belakang. Disambut oleh Jodie, Kepala Pelayan di ru
|| 29 Mei, tahun 2XXX Tahun berganti, tetapi aku merasa langkah kakiku berhenti pada masa di mana aku bisa melihatmu mengatakan bahwa kau akan ada di sisiku, dalam keadaan suka maupun duka, dalam sedih ataupun sengsara. Hari yang menjadi sebuah titik awal, bahwa aku akan mendapatkan hidupku yang baru, dan itu bersama denganmu. Arley Miller, untuk semua yang telah kau lakukan, terima kasih. Tidak ada kata yang lebih baik daripada itu untuk aku sampaikan padamu. Kedatanganmu adalah sebuah hadiah, untukku yang berpikir bahwa aku tidak akan lagi menemukan kata ‘bahagia’ dalam perjalananku menghabiskan sisa usia. Dalam hidupku yang hampir dipenuhi dengan jalan sendu, aku mendapatkanmu. Seorang pria yang menganggapku ada. Kamu yang merengkuhku saat dunia lepas dari genggamanku. Pria yang bersumpah dengan apapun yang dimilikinya untuk membuatku percaya bahwa masih ada dunia yang baik yang tidak menganggapku hanya sebagai bayangan dan kesia-siaan. Pada akhirnya, waktu menggerakkan ak
*** Ada undangan dari Jayden dan juga Lucia. Sebuah undangan makan malam yang digelar di rumahnya secara sederhana. Tidak akan menolak, mengingat mereka adalah sahabat baik, Arley dan Prims datang. Tetapi sebelum sampai di sana, mereka lebih dulu ingin membawakan hadiah. Prims bilang itu adalah buket bunga yang besar atau jika bisa bunga hidup yang bisa diletakkan di dalam rumah dan tidak perlu memrlukan banyak perawatan. Kaktus misalnya. Arley menyarankan kue yang manis, karena Jayden itu tipe gigi manis, ia bilang. Yah ... sebelas dua belas dengan Prims lah kira-kira ... gemar makanan yang manis. Mereka keluar dari Acacia Florist, toko bunga yang mereka lewati selama perjalanan. Bunga yang mereka bicarakan itu telah ada di tangan mereka sekarang. Dengan hati yang gembira Prims dan Arley menuju tempat selanjutnya, di toko kue sembari menggendong si kembar yang tadinya duduk anteng di baby car seat di bagian belakang mobil. Memasuki toko kue, Rhys dan Rose terlihat sangat sena
*** Seperti janji yang pernah ia katakan selepas Prims meninggalkan ruang kunjung tahanan beberapa saat yang lalu saat ia menjenguk ayahnya, Prims bilang ia akan datang ke tempat ini untuk mengabarkan perihal keadilan yang pada akhirnya telah ia terima. Sebuah pemakaman. Lokasi di mana Jasmine Harrick disemayamkan. Nisan salibnya menyambut kedatangan Prims yang menyaunkan kakinya lengkap dengan kedua tangannya yang mendekap buket bunga berukuran besar. Ia sendirian, ia sudah meminta izin pada Arley yang mengiyakannya untuk pergi di hari Minggu pagi ini. Saat anak-anaknya masih tertidur, Prims bergegas dengan diantar oleh Will. Ia tersenyum saat menjumpai foto Jasmine yang juga sama tersenyumnya. “Apa kabar, Mama?” ucapnya sembari meletakkan buket bunga itu di dekat fotonya. “Aku datang sendirian hari ini, Mama.” Prims duduk bersimpuh di sampingnya, mengusap nisan Jasmine yang bersih dan terawat karena memang selain ini di area yang bersih dan bagus, Arley meminta orangnya un
*** Langkah kaki Prims terdengar berirama mengetuk, ia berjalan keluar dari mobil yang dikemudikan oleh Will, sopir milik Arley untuk tiba di tempat ini. Sebuah tempat yang barangkali Prims sama sekali tidak ingin menginjakkan kakinya meski hanya sebentar, pun tidak ingin ia datangi karena luka menganga masih terasa perih. Menyayat, menusuknya. Tak ada terbesit pikiran untuknya datang ke sini, sama sekali. Tetapi sepertinya takdir selalu memiliki rencana lain sehingga mau tak mau ia harus menguatkan diri untuk menghadapinya. Sebuah pesan dari kepolisian Seattle mengatakan bahwa ayahnya Prims, Aston Harvey sedang sakit dan ingin bertemu dengan anak perempuannya. Prims berpikir kenapa ayahnya itu tidak meminta Alice yang mendatangi atau menjenguknya? Kenapa malah dirinya yang sudah bertahun-tahun lamanya ini ia sia-siakan? Dalam kebencian yang masih kental itu, Prims menolak untuk datang. Namun, Arley mengatakan padanya dengan lembut, 'Datanglah, Sayangku ... siapa tahu sekarang
*** “Cepat turun ya panasnya, sayangku ....” Prims mengusap rambut hitam Rose setelah mengatakan demikian. Malam terasa dingin di luar tetapi di dalam sini sedikit chaos sebab si kembar sedang demam. Mereka baru saja imunisasi tadi siang di klinik khusus anak dan malam ini terasa efeknya. Rhys demam, begitu juga dengan Rose. Meski mereka tidak rewel, tetapi mereka tidak mau tidur di box bayi milik mereka sendiri melainkan minta digendong oleh ibunya. Prims yang menggendong Rose pertama. Mungkin sudah lebih dari satu jam dan setiap kali ia ajak duduk atau ingin ia baringkan, anak gadisnya itu akan menangis. Ia memandang Arley, tetapi tidak tega membangunkannya sebab tadi ia juga pulang bekerja cukup larut. Tetapi, Arley adalah Arley yang rasanya selalu bisa mengerti dan merasakan apa yang terjadi pada Prims. Sebab tak lama kemudian ia bangun. Saat Prims memeriksa anak lelakinya dengan meletakkan telapak tanganya di kening Rhys yang ternyata juga sama demamnya. “Anak-anak tidak
Prims hampir saja menggoda Arley lebih banyak sebelum ia menyadari ia telah kehilangan keseimbangan sebab Arley merengkuh pinggangnya dan membuatnya jatuh dengan nyaman di bawahnya. "Aku tidak menginginkanmu?" ulang Arley dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Ibu jarinya yang besar mengusap lembut bibir Prims sebelum berbisik di depannnya dengan, "Mana mungkin, Nona?" Arley menunduk, memberi kecupan pada bibir Prims sebelum kedua tangan kecil istrinya itu menahannya agar ia tidak melakukan apapun. "Tapi aku tidak mau," ucap Prims, memalingkan sedikit wajahnya. Satu kalimat yang membuat Arley mengangkat kedua alisnya penuh dengan rasa heran. "Kamu tidak mau?" Prims mengangguk, mengarahkan tangannya ke depan, jemarinya menyusuri garis dagunya yang tegas dan disukai oleh Prims. "Aku tidak mau kalau kamu melakukannya dengan masih marah," lanjutnya. "Kenapa aku marah?" "Soal Jeno Lee, aku tahu kamu sangat kesal barusan. Mata Tuan Arley Miller ini mengatakannya le
.... Setelah Jayden dan Lucia pulang, Prims kembali ke dalam kamar terlebih dahulu. Tak sesuai yang ia duga bahwa si kembar akan terbangun, ternyata Rhys dan Rose malah terlelap. Sama-sama miring di dalam box bayi milik mereka dengan lucunya. Ia meninggalkan Arley selama setengah jam lamanya hingga tak sadar prianya itu telah berada di dalam kamar dan melihatnya dari dekat box bayi si kembar. Prims tidak menoleh padanya sama sekali. Matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala dengan senyum yang tak bisa ia tahan. Kedua pipinya memerah, sama seperti jika Prims sedang malu karena digoda oleh Arley dengan mengatakan ia cantik atau saat Arley menyebut jika ia mencintainya. Seperti itulah keadaan wajahnya sekarang itu. Dan tentu saja itu menimbulkan tanya. ‘Apa yang dia lihat sampai dia tersenyum seperti itu?’ gumamnya dalam hati lalu melangkah mendekat ke arah ranjang seraya mengancingkan atasan piyama tidur yang ia kenakan. Bahkan sampai Arley naik ke atas ran
“Aku benar, ‘kan?” desak Jayden masih tak ingin diam. Arley nyaris saja menjawabnya tetapi hal itu ia urungkan karena mereka mendengar dari belakang, suara Lucia yang bertanya, “Apa yang kalian bicarakan? Ayo masuk dan kita makan!” Mereka berhenti bertengkar dan memasuki rumah. Di ruang makan, Arley tidak menjumpai Prims yang tadi ia lihat sibuk bersama dengan Lucia. “Di mana Primrose, Lucia?” tanya Arley, mengedarkan pandangannya. Urung duduk karena Prims belum tampak. Sama halnya dengan Jayden dan Lucia yang juga urung menarik kursi mereka. “Nona Primrose sedang ke kamar sebentar, Pak Arley. Mau melihat si kembar katanya,” jawab Lucia yang lalu diiyakan oleh Arley. Baru selesai mereka bicarakan, Prims muncul dengan sedikit bergegas. “Kenapa?” tanya Arley begitu melihatnya. “Ah, aku pikir kalian sudah mulai dan aku terlambat makanya aku cepat-cepat ke sini,” jawabnya. “Belum, Sayang. Rhys dan Rose masih tidur?” Prims mengangguk membenarkannya. “Iya, Arley. Masih tidur.” “A
.... “Sayang-sayangnya Mama ....” Prims tidak bisa menahan diri saat melihat si kembar yang digendong oleh opa dan omanya sore ini. Prims sedang berada di halaman depan, melihat bunga bersama dengan Lucia yang datang ke rumahnya, memetiknya beberapa karena Lucia mengatakan ia suka dengan Sweet Juliet yang ada di halaman depan. Sementara Arley dan Jayden sedang bermain bulu tangkis sebelum mereka sama-sama melempar raket mereka saat melihat mobil milik Tom memasuki halaman rumah. Prims dan Lucia mendekat pada si kembar yang telah berpindah tangan pada Arleys serta Jayden. Prims rasa ... Jayden itu sangat suka dengan anak-anak. Dan belakangan ini ... ia tampak lebih gembira daripada hari biasanya. Sangat jauh dari bagaimana Prims melihatnya dulu saat mereka pertama kali bertemu. Alisnya yang tegas dan bibirnya yang lurus sebelas dua belas dengan Arley itu kini selalu tampak menunjukkan senyuman. Ia terlihat seperti sepasang adik dan kakak saat berdiri berdampingan dengan Arley.