Beth membuka gerbang rumahnya setelah disapa oleh Linda, yang lagi-lagi tampak ingin tahu urusannya.“Lho, sudah pulang, Beth? Bukannya Seth masih dinas luar ya?” tanya si ‘CCTV’ kompleks. Sebenarnya agak aneh orang seperti ini bertanya, sebab ini rumah Beth sendiri. Ia bebas pulang kapan saja. Apa urusannya dengan orang lain? Selama ini pun, Beth tidak pernah tertarik mencampuri urusan rumah tangga Mbak Linda.“Iya, Linda. Kasihan rumah kalau ditinggal terlalu lama, nanti berhantu bagaimana?” ujar Beth sambil terkekeh. Linda akhirnya menjauh. Memang melelahkan punya tetangga seperti itu, terlalu mencampuri urusan orang lain.Setelah mengunci gerbang, Beth melangkah menuju halaman depan, lalu berjalan menyusuri carport yang cukup luas untuk dua mobil. Ia kemudian masuk melalui pintu utama yang terbuat dari kayu jati. Rumah ini tergolong mewah, dengan arsitektur modern minimalis yang membuatnya terasa nyaman.Sejak menikah, Seth dan Beth sepakat untuk tidak menggunakan jasa asisten rum
Beth melangkah menyusuri trotoar menuju halte bus. Kali ini, ia harus menggunakan moda transportasi umum demi menghemat biaya. Tidak ada lagi anggaran untuk ojek daring. Beberapa karyawan juga menunggu bus bersamanya.Dari kejauhan, Cayden melajukan mobilnya perlahan mendekati halte. Haruskah ia menghentikan mobil dan mengajak Beth kembali ke penthouse? Mobil itu semakin mendekat. Ia harus segera memutuskan—melewati halte atau berhenti tepat di depan Beth.“Ah … persetan …”Cayden menghentikan mobilnya, keluar, dan berjalan lebar-lebar menuju Beth. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya.Beth yang sedang melamun, berdiri kaget. Dari tempatnya, ia melihat Cayden mendekat dengan wajah putus asa—tatapan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Setelah berhadapan, Cayden mulai berbicara.“Beth … bisakah kamu ikut denganku sebentar?” ucap Cayden dengan suara parau. Beth menoleh ke kanan dan kiri, khawatir ada yang mengenalinya.“Kamu ngapain? Pergi,” bisik Beth, tidak ingin
Cayden mengamati perempuan yang kini terlelap di dadanya. Senyum tak henti merekah di wajahnya. Sesak yang tadi sempat menghimpit dadanya telah menghilang tanpa bekas. Yang tersisa hanyalah debar halus di relung hati—menyakitkan, namun anehnya, ia menikmati rasa itu.Percayalah, sampai detik ini pun Cayden belum benar-benar memahami apa yang terjadi padanya. Jadi, kalau ada yang tahu, tolong beri tahu laki-laki yang kurang pengalaman ini.Semasa remaja, ia tidak pernah merasakan sesak yang bercampur debar seperti ini hanya karena memikirkan seseorang. Bukan karena tidak pernah menyukai perempuan—justru sebaliknya, ia pernah berkencan dengan banyak gadis. Namun tidak ada satu pun yang membuatnya sesak seperti saat ini.Ketika beranjak dewasa, Cayden yang tampan dan cerdas bahkan bisa berkencan dengan lebih dari satu perempuan dalam waktu bersamaan. Semuanya demi bersenang-senang. Terlebih ketika ia masih tinggal di Amerika, kebebasan terasa begitu luas.Tapi sekarang? Apa yang sudah Be
Beth sudah memesan steak untuk keluarga suaminya. Ia menghabiskan banyak uang, dan berharap Seth mau menggantinya. Tadi ia juga mengabari Seth soal kedatangan keluarganya, tetapi lagi-lagi hanya dibaca, tidak dibalas. Apa sebenarnya yang sedang terjadi?Ia buru-buru membuka pintu gerbang saat mobil Kak Claire tiba. Seperti biasa, Beth membantu ibu mertuanya turun dan berjalan ke dalam. Setelah semuanya berada di ruang tamu, Beth menyiapkan minuman dan camilan."Rumahnya kok berdebu begini sih, Beth? Suami dinas ya tetap rumah harus bersih. Kalau begini namanya jorok," kata Erica, sang ibu mertua. Perkataannya seperti biasa, tajam dan menusuk. Ia memang senang menyakiti hati Beth."Maaf, Bu. Kemarin saya menginap di rumah Ibu. Sudah lama tidak menginap. Nanti saya bersihkan," jawab Beth pelan sambil menunduk. Ia tak sanggup menatap wajah ketiga wanita itu. Tatapan mereka menusuk."Walau ke rumah besan, tetap harus sempatkan bersih-bersih. Pagi-pagi atau sepulang kerja. Kasihan suami pu
Beth masih duduk di lantai dapur. Kilasan masa lalu terus berputar di kepalanya. Penderitaan yang ia alami saat mulai beranjak remaja, ketika kedua orang tuanya baru saja bercerai. Para tetangga menjauhi dirinya dan sang ibu. Keluarga besar terus-menerus menggurui. Pandangan buruk terhadap seorang janda yang membesarkan anak gadisnya. Kisah cinta pertamanya yang kandas karena perbedaan status sosial. Hingga ia mengira Seth adalah penyelamat—akhir dari segala penderitaan itu.Namun ia keliru. Ternyata semuanya belum berakhir, bahkan mungkin bertambah parah. Membayangkan saja apa yang akan dikatakan tetangga dan keluarga besar mengenai perceraiannya sudah membuatnya tersiksa. Ia harus menjalaninya lagi, sama seperti dulu. Bedanya, kali ini dialah sang janda.Ponsel Beth bergetar—Cayden menelepon. Melihat nama itu membuat dadanya semakin sesak. Cayden tidak bersalah. Kasihan sekali dirinya. Setelah ini, gosip tentang mereka pasti akan tersebar. Beth memutuskan untuk mengangkat telepon i
Pada hari Senin, di kantor Cayden. “James, saya minta tolong untuk melakukan penyelidikan pribadi. Bukan untuk perusahaan, tetapi untuk saya sendiri,” perintah Cayden kepada James. “Baik, sir. Apa atau siapa yang perlu saya selidiki? Saya siap membantu,” jawab James, sambil membungkuk sedikit, membawa beberapa berkas yang telah ditandatangani Cayden. “Selidiki Seth Heron. Saya ingin tahu aset-aset yang dimilikinya. Semua hal tentang dia—mulai dari masalah di kantor hingga kehidupan pribadinya. Jangan lewatkan satu pun. Jika perlu, telusuri media sosialnya, juga rekaman telepon dan pesan di ponselnya.” Cayden menyilangkan tangan di dada, menatap lurus ke arah James. “Manajer keuangan kita?” tanya James dengan suara pelan. Cayden mengangguk. James pun segera mendekat dan berbisik di telinga Cayden. “Apakah ini karena wanita yang saya lihat di penthouse, sir?” bisik James, lalu kembali berdiri, meski belum sepenuhnya tegak. Cayden mengangkat alis. James pura-pura terkejut, seolah
Benar saja, ketiga perempuan itu masih ada di ruang tamu, tetapi Seth sudah tidak terlihat.“Sebenarnya anakku itu baik, lho. Masih mengizinkan kamu tinggal di rumah sebesar ini. Sekarang kamu mau tinggal di mana?” sindir calon mantan ibu mertuanya.“Lho, ibu ini gimana? ‘Kan masih ada rumah ibunya, walaupun reot dan katanya sudah digadaikan, tetap masih bisa ditiduri,” timpal Amy, disambut tawa dari dirinya sendiri dan Erica.“Saya pamit, Bu, Kak Amy. Maaf jika saya punya salah. Permisi,” ucap Beth. Keinginan untuk pergi dari rumah itu jauh lebih besar daripada membalas ucapan mereka.Tidak ada jawaban, hanya tawa cekikikan dan bisik-bisik yang mengiringinya. Di luar, hujan gerimis turun, sesuai dengan suasana hatinya. Ia lupa belum memesan taksi online.Saat hendak membuka aplikasi ojek online, Cayden meneleponnya. Sudut bibir Beth terangkat—untuk pertama kali hari ini.“Halo…”“Halo… kamu di mana, Beth?”Suara berat dan serak itu—ya ampun.“Aku sudah mau pergi dari rumah Seth,” jaw
Beth keluar dari kamar mandi dengan wajah murung. Ia baru saja mendapati kenyataan bahwa usahanya untuk hamil sejak satu bulan lalu belum membuahkan hasil. Ia kedatangan tamu bulanan. Rasa frustrasi dan marah memenuhi pikirannya. Dokter mengatakan bahwa dirinya sehat dan subur, siap untuk dibuahi. Lalu, apa yang menjadi penghambatnya sekarang? Dengan nekat, ia telah memilih jalan yang keliru—dan ternyata semua itu sia-sia. Mengapa tiba-tiba ia merasa dirinya begitu kotor?Ditambah kenyataan bahwa sebentar lagi ia mungkin akan menyandang status janda. Sama seperti ibunya. Sudah bisa dipastikan keluarga besarnya akan memojokkannya. Seorang istri yang tidak mampu mempertahankan pernikahannya pasti dianggap tidak berguna. Itu yang kerap ia dengar saat berkumpul bersama mereka. Apakah dalam hidup mereka tidak pernah ada masalah? Seberapa menarik hidupnya sampai selalu menjadi bahan gunjingan setiap kali mereka berkumpul?Di dapur, Cayden sedang menikmati secangkir kopi yang disiapkan Bet
“Siapa? Apa gadis yang akan dijodohkan dengan Cayden? Dia memang tampan dan mempesona, tidak heran jika para perempuan langsung menyukainya,” gumam Beth sambil membereskan gelas-gelas tersebut. Ada rasa nyeri di dadanya saat melakukan itu, padahal belum tentu benar apa yang ia pikirkan.Sudah hampir pukul enam, namun Cayden belum juga bangun. Ini tidak seperti biasanya. Cayden adalah laki-laki yang terbiasa bangun pagi.Jangan-jangan di dalam kamar ada gadis yang akan dijodohkan dengannya? pikir Beth. Pikiran itu membuatnya cemas. Bagaimana jika benar? Bagaimana ia harus bersikap? Haruskah ia pulang saja?Tidak boleh seperti itu, Beth. Kamu hanya pekerja yang digaji, lakukan saja tugasmu, batinnya. Ia pun beranjak masuk ke kamar Cayden. Sedikit lega saat melihat laki-laki itu hanya tidur sendirian. Tidak terdengar suara dari kamar mandi, artinya memang tidak ada orang lain di sana.Dengan hati-hati, Beth mendekat ke sisi ranjang. Kali ini ia berdiri agak jauh dari jangkauan Cayden, un
Beberapa hari sebelumnya, Beth melakukan penyelidikan dan menanyai Cayden perihal suaminya, Seth. Cayden, yang sebenarnya enggan mengungkap perselingkuhan Seth, merasa dilema karena Beth terus-menerus mempercayai propaganda Seth mengenai penyebab perceraian mereka, yang ternyata hanyalah rekayasa belaka. Akibatnya, Cayden pun akhirnya bersedia mengungkapkan kebenaran yang ia ketahui.Beth pun mengetahui kenyataan pahit: selama lima tahun pernikahan, Seth menyembunyikan perselingkuhannya dengan sangat rapi. Bahkan, terlalu rapi hingga membutuhkan bantuan jasa profesional untuk membongkarnya.Awalnya, Beth masih bisa tegar saat membaca pesan-pesan antara Seth dan Conny akhir-akhir ini. Ia juga masih kuat saat mengetahui bahwa rencana gugatan cerainya justru lebih dulu sampai ke telinga Conny. Namun, ketika terungkap bahwa Seth ternyata mandul, Beth menangis sejadi-jadinya. Selama lima tahun, Seth membiarkannya dirundung dan dituduh mandul oleh ibu dan kedua kakaknya. Dan—yang paling ia
Keesokan paginya, Beth tiba di penthouse pukul setengah lima. Cukup pagi untuk langsung menuju dapur dan memeriksa isi kulkas. Ia lupa bahwa seharusnya sore kemarin ia pergi berbelanja. Namun untungnya, bahan makanan masih cukup lengkap. Cayden tinggal seorang diri, jadi dengan siapa ia menghabiskan semua bahan makanan itu? pikirnya.Setengah jam kemudian, makanan telah siap. Sudah pukul enam pagi, biasanya Cayden sudah bangun. Aneh. Beth tidak berani melanggar batas lagi—takut terbawa perasaan. Maka ia memilih menunggu di ruang tamu sambil menikmati secangkir kopi.Ia menunggu hingga lima belas menit berlalu. Jika seperti ini terus, Cayden bisa saja kesiangan. Apakah membangunkan Cayden juga termasuk dalam tanggung jawabnya? Seharusnya begitu. Maka Beth memberanikan diri masuk ke kamar Cayden untuk membangunkannya.“Cayden... sudah lewat jam enam. Kamu harus bangun,” kata Beth, berdiri di sisi ranjang pria itu. Cayden yang mendengar suaranya langsung mengulurkan tangan, meraih tubuh
Seth dan Cayden kini berada di ruang kerja CEO, hanya berdua. Mereka duduk di sofa, saling berhadapan. Cayden duduk dengan kaki disilangkan dan lengan bersandar di sandaran sofa. Ia tampak santai, namun pada saat yang sama, menyiratkan sikap angkuh.Sementara itu, Seth duduk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut. Meskipun tidak dapat dikatakan santai, posisi duduknya tidak menunjukkan sikap menantang, namun juga tidak terkesan takut. Ia hanya berusaha bersikap sopan di hadapan atasannya.“Maaf jika saya terdengar lancang, tapi saya perlu menanyakan langsung untuk mendapatkan kebenaran sebelum mengambil keputusan,” ucap Seth membuka pembicaraan. Ia menatap Cayden, tanpa tekanan atau rasa gentar. Entah karena ia menyadari siapa lawan bicaranya, atau karena ia telah menyusun strategi dengan cermat.“Apakah Anda mengenal istri saya, Beth?” tanyanya kemudian. Cayden tidak mengubah posisi duduknya, malah tampak semakin santai.“Ya, saya mengenal Beth dengan baik,” jawab Cayden tenang. Jaw
Ibu: Beth, bulan ini uang angsuran rumah ingin bapak terima lebih cepat. Bisa? Beth: Baik, Bu. Akan langsung aku kirimkan ke orang itu. Ibu: Tadi bapak datang ke sini marah-marah pada ibu. Ia ingin langsung bicara denganmu, tapi ibu tahan. Beth: Kenapa bapak selalu seperti itu, ya, Bu? Aku tidak habis pikir. Ibu: Kalau begitu, jangan dari angsuran. Tolong kirimkan sedikit uang saja untuk bapak, sekadar uang jajan. Beth: Ya, Bu. Beth menghela napas panjang setelah mengakhiri percakapan dengan ibunya. Gajinya baru akan cair besok, namun setelah dihitung-hitung, semuanya nyaris habis tanpa sisa. Apakah Seth masih mengiriminya uang? Memikirkannya saja membuat kepalanya langsung pening. Tiba-tiba senyum merekah di wajah Beth saat melihat pesan dari Cayden. Laki-laki itu sudah menunggunya di tempat biasa mereka bertemu. Begitu mudah suasana hati Beth membaik kalau berkaitan dengan Cayden. Langkah Beth terhenti saat melihat James, sekretaris pribadi Cayden, sedang berdiri di sisi mob
"Aku sudah mendapatkan tempat kos di dekat kantorku. Mulai hari ini aku akan menempatinya sekalian langsung ke kantor. Nanti aku berangkat lebih dulu, ya?" ucap Beth sambil menyuap nasi goreng yang tadi ia buat untuk sarapan mereka. Cayden mengangguk sambil terus memperhatikan makanannya. Sejak tadi malam, tidak banyak interaksi terjadi di antara mereka. Karena merasa canggung, Beth bersikeras tidur di sofa di dalam kamar. Cayden membiarkannya, tidak berusaha mencegah. Namun, hatinya terasa perih mengetahui hal itu. Hubungan mereka hanya sebatas kepentingan Beth untuk mempertahankan suaminya—hal yang sebenarnya sudah Cayden sadari sejak awal pertemuan mereka. Entah mengapa, akhir-akhir ini rasanya jauh lebih menyakitkan. "Aku antar," ujar Cayden. Setidaknya itu hal kecil yang bisa ia lakukan untuk Beth sekarang. Bentuk perlindungan yang bahkan ia sendiri tidak benar-benar mengerti alasannya. Kebimbangan masih melandanya. "Tidak usah, aku bisa naik taksi," jawab Beth dengan senyum
Sementara itu di Amberforth MineralsCayden melangkah menuju lift khusus, diikuti oleh James. Ia memiliki janji temu dengan seorang klien asal Jepang di sebuah hotel yang terletak tidak jauh dari kantornya. Di lorong, mereka berpapasan dengan Seth. Seth sedikit membungkuk saat bertemu Cayden dan langsung menyapanya dengan keramahan yang berlebihan.“Selamat siang, Mr. Amberforth, James. Ada acara, sir?” katanya sambil mengulas senyum lebar. Cayden hanya menjawab dengan gumaman singkat, “Hmm…” lalu terus berjalan. James melirik bosnya, kemudian bergantian menatap Seth dan memberinya senyum yang tampak dipaksakan.Saat pintu lift tertutup, James memperhatikan Cayden yang kembali menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. Tiba-tiba ponselnya berdering—George, ayahnya, menelepon.“Halo, Pa…”“Cayden, kamu sedang sibuk? Ada waktu dalam dua hari ke depan?”“Saya harus tanya dulu ke sekretaris, Pa. Saya belum tahu jadwal saya. Ada apa, Pa?”“Ya sudah, Papa telepon langsung sekretaris
Beth keluar dari kamar mandi dengan wajah murung. Ia baru saja mendapati kenyataan bahwa usahanya untuk hamil sejak satu bulan lalu belum membuahkan hasil. Ia kedatangan tamu bulanan. Rasa frustrasi dan marah memenuhi pikirannya. Dokter mengatakan bahwa dirinya sehat dan subur, siap untuk dibuahi. Lalu, apa yang menjadi penghambatnya sekarang? Dengan nekat, ia telah memilih jalan yang keliru—dan ternyata semua itu sia-sia. Mengapa tiba-tiba ia merasa dirinya begitu kotor?Ditambah kenyataan bahwa sebentar lagi ia mungkin akan menyandang status janda. Sama seperti ibunya. Sudah bisa dipastikan keluarga besarnya akan memojokkannya. Seorang istri yang tidak mampu mempertahankan pernikahannya pasti dianggap tidak berguna. Itu yang kerap ia dengar saat berkumpul bersama mereka. Apakah dalam hidup mereka tidak pernah ada masalah? Seberapa menarik hidupnya sampai selalu menjadi bahan gunjingan setiap kali mereka berkumpul?Di dapur, Cayden sedang menikmati secangkir kopi yang disiapkan Bet
Benar saja, ketiga perempuan itu masih ada di ruang tamu, tetapi Seth sudah tidak terlihat.“Sebenarnya anakku itu baik, lho. Masih mengizinkan kamu tinggal di rumah sebesar ini. Sekarang kamu mau tinggal di mana?” sindir calon mantan ibu mertuanya.“Lho, ibu ini gimana? ‘Kan masih ada rumah ibunya, walaupun reot dan katanya sudah digadaikan, tetap masih bisa ditiduri,” timpal Amy, disambut tawa dari dirinya sendiri dan Erica.“Saya pamit, Bu, Kak Amy. Maaf jika saya punya salah. Permisi,” ucap Beth. Keinginan untuk pergi dari rumah itu jauh lebih besar daripada membalas ucapan mereka.Tidak ada jawaban, hanya tawa cekikikan dan bisik-bisik yang mengiringinya. Di luar, hujan gerimis turun, sesuai dengan suasana hatinya. Ia lupa belum memesan taksi online.Saat hendak membuka aplikasi ojek online, Cayden meneleponnya. Sudut bibir Beth terangkat—untuk pertama kali hari ini.“Halo…”“Halo… kamu di mana, Beth?”Suara berat dan serak itu—ya ampun.“Aku sudah mau pergi dari rumah Seth,” jaw