Sore hari, tepatnya pukul empat. Bram dan Inamah mendatangi rumahku. Mereka berpamitan. Katanya akan pergi ke suatu tempat. Mungkin liburan, atau honeymoon ke dua. Kusindir menantuku itu. Tepat di hadapan suaminya. "Honeymoon terus. Tapi nggak hamil-hamil. Buat apa?" ketusku. "Bu, sudahlah." Bram membela. "Sudah apanya? Kamu ini cari istri nggak bener. Buat apa coba hanimun hanimun segala! Bisanya ngabisin duit suami mulu!" cecarku. Inamah mengangkat wajah. Aku tahu ia terluka. Biarkan saja! Yang penting aku puas. Sebagai pelampiasan atas kekesalanku pada keluarganya. "Sudah, Dek. Jangan dihiraukan." Bram berdiri. Ia menatapku penuh kecewa. Sejak menikah ia terus saja membela Inamah. Sudah jarang sekali menemuiku. Jika bukan karena ada maunya. "Inamah pamit dulu, Bu." Aku melengos. Malas bicara dengannya. Ia dan Bram lantas berjalan menuju pintu. Meninggalkan rumahku. Tak lama mereka berlalu. Pintu rumah terdengar diketuk dari l
Pov Bram Kutemukan lagi duniaku. Rasa yang pernah hilang, terbenam hingga ke dasar hati. Kutemukan ia dalam penyesalan panjangku. Gadis yang ... entahalah. Aku tak cukup memiliki banyak kosakata untuk mendiskripsikan rasaku untuknya. InamahAwal melihat ia. Kutangkap parasnya dengan dua mataku. Dibalik selembar foto yang diberikan Bapak. Inamah, terbingkai indah di sana.Saat melihatnya, aku bahkan tak yakin jika ia akan mau denganku. Mengingat, aku bukanlah pria yang baik. Tapi, di sisi lain, ia adalah amanah yang Bapak berikan. Meski aku tak pernah tahu. Apakah Inamah mau menikah denganku. Aku ... hanya berusaha datang untuknya. Berusaha menjalankan amanah. Ya ....Hanya itu. Namun, sepertinya aku salah. Karena tanpa sengaja. Hati ini justru bergetar saat berjumpa. Menginginkannya lebih dari apa pun.Aku jatuh cinta. Pada sosoknya yang teduh lagi sederhana. *** "Setiap orang punya masa lalu yang kelam. Hanya tinggal
Satu tahun berselang. Ibu, masih saja tak menyukai keberadaan Inamah. Ditambah, pernikahan kami yang belum juga dikaruniai buah hati.Aku sempat merasa kecewa. Bukan pada Inamah. Tapi, pada diriku sendiri. Mungkinkah ini akibat dari dosa masa laluku? Hingga aku tak bisa memiliki keturunan?Berbagai cara sudah kami lakukan. Namun, Inamah tak juga ada tanda-tanda kehamilan. Hingga tiba di mana aku berencana mengajaknya untuk honeymoon yang ke dua. Inamah menyambut penuh suka cita. "Ke mana, Mas?" tanyanya lugu. Istriku memang gadis yang sangat polos. "Ke mana aja. Yang penting kita nikmati surga dunia bersama," bisikku lembut. Inamah tersenyum. Aku sangat senang sekali melihat garis lengkungan itu di bibirnya. Pintaku hanya satu. Agar ia sentiasa bahagia saat hidup bersamaku. Itu saja. Tak sampai hati jika harus membuatnya terluka.*** Seminggu pasca aku dan Inamah pulang dari hanimun ke dua. Ibu tiba-tiba saja menelvonku. Tak sepert
Melepaskan dekapan lantas bergerak ragu menuruni ranjang. Pikiran Bram sedang tidak fokus. Niat hati ingin menemui Lastri. Namun lidahnya justru berdalih ingin mengunjungi sang Ibu. Dusta pertama pun terucap. "Hati-hati, ya, Mas?" ujar Inamah sebelum punggung suaminya itu menghilang di balik daun pintu kamar. Bram menoleh. Ia yang tengah meraih knop pintu mendadak menghentikan langkah. Hati berkata ingin pergi, tapi seruan Inamah membuatnya harus berpikir lagi dua kali. Masih menoleh dengan hati yang berdegub takut-takut. Tidak. Aku tak boleh menyakitinya! Untuk apa menemui Lastri? Urusan anak itu, aku harus punya cukup bukti. Ya, aku tak boleh gegabah. "Mas!" Inamah kembali mrnyeru. Membuat pikiran Bram berpendar seketika. "Ah, iya. Nggak jadi, Dek." Bram berbalik arah. Kembali dikuncinya pintu kamar. Ia lalu bergerak menuju tempat peraduan bersama Inamah. "Kenapa, Mas?" tanya Inamah bingung."Nggak jadi, Dek. Sudah malam. Mungkin, ibu juga sudah tidur." Bram menatap dalam.
Teringat Ani akan kisah Lastri tadi sore. Membayangkan berada di posisi Lastri, perempuan tua itu sesak sendiri. "Kamu pengecut," tandasnya. "Bukan salah Bram. Ia juga terlalu gampangan." "Gampangan? Ah ... Entahlah. Kalau sudah seperti itu, jangan hanya menyalahkan satu pihak. Bagaimana pun. Kamu sudah merusak kehormatannya." "Bu ...," kalimat Bram tertahan di tenggorokan. Dilihatnya wajah Ani berubah tak suka. Ibunya itu sudah pasti terbawa cerita Lastri. "Kalau Hasan benar anakmu, bagaimana?" tanya Ani menantang. "Entahlah. Bram bingung.""Ceraikan Inamah!" Degh!Bram terbelalak. Sampai hati sang Ibu menyuruhnya melakukan perbuatan keji itu. Menceraikan Istrinya. "Ibu sudah sangat keterlaluan! Inamah tidak ada sangkut pautnya dengan hal ini. Dia istri sah, Bram. Sampai kapan pun, aku tak akan menceraikannya." Bram bersungguh-sungguh. Kesal ia mendengar titah Ibunya. Perceraian adalah hal yang paling ia takuti. Baginya, han
Ranting-ranting yang patah. Juga dedaunan yang berserak tersapu angin. Menjadi saksi bisu di mana sebuah jalinan lama baru saja dimulai kembali. Bergerak turun dari dalam mobil. Bram, Lastri dan Hasan. Mereka bertiga baru saja pulang mengambil hasil tes DNA di Rumah Sakit. Setelah menunggu beberapa waktu. Ya, sudah terbaca dari awal. Walau tanpa tes sekalipun. Jelas terlihat garis wajah Hasan yang begitu mirip dengan Bram. Namun, demi memuaskan hati serta meyakinkan diri. Tes pun dilakukan. Dan, benar saja. Bocah tiga tahun yang belum jelas bicaranya itu memang benar anak Bram. Sama sekali tak terbantahkan. Bukan sekadar kebingungan yang melanda. Tapi, begitu banyak aksara yang tak mampu Bram ucapkan. Nanar ia memandangi Hasan. Wajah lugunya, membuat hati Bram seketika meleleh. "Dia ... putraku." Terasa kelu lidah Bram mengeja dua kata itu. Ia sungguh tak menyangka. Benih yang ia tanam. Telah tumbuh sedemikian rupa. Menjadi seorang manusia. Hingga tiga tahun usianya.*** Sor
Bram menoleh cepat, ia membuang pandang. Debaran di hatinya tiba-tiba hadir. Pun dengan gelenjar rindu yang melesak tak tahu diri.Bram mencoba menepisnya.Hati manusia sering terbolak-balik bukan? "Maksud hak di sini apa?" tanya Ani tak mengerti."Agar ia bisa lebih dekat dengan Mas Bram. Tanpa harus membuat Inamah tahu jati diri Hasan siapa sebenarnya. Juga ... agar Ibu, mau menerima bahwa Hasan adalah cucu Ibu." Hening menjeda. Hanya sebentar sebab satu suara kembali membuka mulutnya."Maksudnya bagaimana?" Kali ini Bram menyahut. Ia masih belum memahami. Dalam benaknya ia menebak-nebak. Barangkali Lastri ingin agar Hasan tinggal bersamanya. Begitu? "Seperti kata Ibu kemarin. Ingat? Terkait kontrakan? Lastri akan tinggal di samping rumah Mas Bram." Kalimat yang diucapkan Lastri barusan benar-benar tak terduga. "Jangan khawatir, Lastri tak akan mengun
Keesokan harinya. Tepat hari Minggu pagi. Saat Bram sedang libur tak bekerja. Mentari di luar memang cerah, namun, mendung di hati Lastri belum juga ada kesudahannya. Ya, bukan mudah ia menata diri. Menemui kembali kisah masa lalu. Yang rupa-rupanya, tengah menikmati kehidupan baru. Lastri ....Benar-benar merasa tercampakkan. Terbuang.Juga dalam pesakitan. Ia ingin merebut kembali. Semuanya. Secara bertahap. Tanpa ada yang mengetahui.Harapannya hanya satu.Lebah penghisap madunya, turut merasakan pahit sama sepertinya. *** Di sudut ruangan. Sebuah televisi menyala. Menampilkan acara di dalamnya. Tampak pula gambar-gambar bergerak juga suara yang berbunyi. Namun, manusia di depannya justeru tak acuh. Menatap dengan pikiran kosong. Tahu bagaimana rasanya gelisah? Makan tak selera. Tidur tak nyenyak. Diliputi
Waktu bergulir kian cepat. Jejak-jejak masa lalu tinggallah serpihan yang tak perlu diingat. Aku bahagia dengan kehidupanku. Menikmati peran menjadi seorang istri, ibu dan juga menantu.Lima belas tahun lebih berselang. Usiaku sudah melewati kepala empat bahkan hampir lima. Hidupku begitu bahagia. Tinggal di bawah atap yang dinaungi dengan iman dan taqwa. Masih di kediaman Abah Yai. Hati dan jiwaku seakan tertahan. Enggan untuk pergi dari sini. Bude Ningsih tutup usia dua tahun yang lalu. Beliau tak mengalami sakit. Tepat saat sedang salat Magrib berjamaah. Tiba-tiba saja sudah tak sadarkan diri. Ketika dibawa ke rumah sakit. Ternyata beliau sudah tak ada.Mas Fatih menepati janjinya. Hatiku sakit, saat tahu bahwa kedai warung milikku bukan mengalami kebakaran secara sendirinya. Melainkan ada dalang di balik itu. Suami Mbak Daya, namanya Mas Hilal, entah dendam apa yang ia miliki. Entah motif apa yang membuat ia tega membakar kedaiku. Pada
Mas Fatih menuntunku berjalan dengan hati-hati. Perhatian dan perlakuannya selalu membuatku nyaman. Kami sudah tiba di tempat praktik dokter kandungan. Seperti rencana awal, hendak melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anak kami. "Duduk di sini dulu ya, Dek," ucapnya.Aku mengangguk. Mas Fatih berjalan menuju tempat pendaftaran. Sambil menunggu, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ada pula pasangan suami istri yang mengantri sama sepertiku. Seorang perempuan berkerudung lebar tersenyum ramah. Kulihat perutnya sedikit membuncit, mungkin tengah hamil. "Mau periksa ya, Mbak?" tanya perempuan yang sedari tadi kuperhatikan. Ia duduk tepat di sebelahku. "Iya, Mbak. Mbak periksa juga, ya?" tanyaku balik.Perempuan itu mengangguk. "Sudah berapa bulan?" Aku bertanya lagi. Sebuah senyum kecut kulihat. Perempuan itu menggeleng. Seperti ada kepedihan yang tersirat di wajahnya. Ya Allah,
"Rumah ini milik bersama, Nduk. Jangan merasa sungkan. Ummi sama Abah hanya ingin yang terbaik buat kamu dan calon cucu kami." Aku terharu mendengar ucapan Ummi. Tak ada yang kurang. Semua begitu menghargai dan menyayangiku. Namun, hati ini masih berat jika harus tinggal seterusnya di sini. "Terima kasih banyak Ummi.""Sama-sama, Nduk. Sudah sekarang istirahat saja, ya. Ummi mau nemenin Abah dulu.""Nggih, Ummi."Mertuaku itu berlalu meninggalkan kamar. Tinggal aku di sini bersama Kia dan Bude Ningsih. *** Mencoba bicara dari hati ke hati. Aku paham sekali bagaimana watak Bude Ningsih. Beliau orangnya nggak enakan. Lebih sering merendahkan diri. "Bude," panggilku."Iya, Nduk?""Semisal kita benar jadi tinggal di sini bagaimana?" "Horeee! Asiiiik! Tinggal di sini seterusnya, Mi?" Pertanyaan kulempar pada Bude Ni
Dalam hidup, kita tidak pernah bisa membuat semua orang menjadi suka. Sedikit banyak, akan ada saja orang-orang yang membenci. Entah itu sebuah penyakit hati berupa iri dengki, atau Allah memang tengah menguji kesabaran hambanya. *** Pagi telah kembali tiba. Di sebuah klinik dokter spesialis kandungan. Inamah dan Fatih menunggu dengan harap-harap cemas hasil pemeriksaan. Beruntung karena klinik yang Fatih kunjungi buka selama 24 jam. Inamah langsung cepat ditangani. Tanpa menunggu-nunggu lagi. Satu hal yang lagi-lagi patut disyukuri. Karena kecekatan Inamah selama ini. Fatih tak perlu dipusingkan dengan noda pakaian yang membekas darah di belakang gamis Inamah. Karena Inamah selalu menyimpan stok ganti di bangku belakang. "Jadi, bagaimana, Dok?" tanya Fatih dengan raut cemas. Begitupun dengan Inamah, ia tengah berbaring di atas brankar pasien. Pasca menjalani pemeriksaan usg. "Sudah saya cek. Usia kehamilan memasuki tujuh
Malam beranjak semakin matang. Udara yang dingin, perlahan menerobos masuk lewat celah lubang angin. Sesekali dengung bunyi binatang malam masih terdengar. Meski bersahutan dengan riuh dedaunan yang tergesek angin. Kamar yang sedang ditempati Kia berada di sisi sebelah kiri. Di mana, halaman sampingnya ditumbuhi dua pohon mangga yang berdaun lebat. Jika Kia dan Bude Ningsih sudah terlelap dalam tidurnya, serta terbuai dalam mimpi mereka masing-masing. Hal tersebut tidak berlaku untuk Inamah. Pertanyaan Kia yang terus terngiang di telinga, membuat Inamah sedikit banyak kepikiran. Bram, masa lalunya yang bahkan kini keberadaannya sudah tak ada lagi di dunia, justru menghantui isi kepala. Inamah bangun dari posisi berbaring. Ia duduk lalu sedikit memundurkan posisinya, berganti menyender ke dinding. Ia sedang berpikir, bagaimana mencari cara agar bisa menjelaskan pada putrinya kelak. Sebuah penghianatan, haruskah ia ulas pada gadis yang bahkan usianya saja
Semilir angin malam yang sejuk membelai lembut wajah Inamah. Ia duduk di teras rumah. Seorang diri dengan kepala yang bersandar di dinding. Sesekali dilihatnya gawai, memastikan bahwa jam sembilan malam belumlah datang. Ia menunggu, kabar dari suami bahwa Kia masih hidup membuatnya teramat bahagia. Hingga ia lupa diri. Menyiapkan aneka makanan kesukaan sang putri sejak sore tadi. "Nunggunya di dalam saja, Nduk." Inamah menoleh. Di dekat pintu, dilihatnya Bu Nyai mendekat. Setibanya di samping Inamah. Bu Nyai menyentuh pelan pundak kanannya. "Di sini dingin," ujar Bu Nyai lagi. Kedua matanya menatap hangat. Tahu bahwa menantunya itu sedang tak sabar, tapi mengingat kondisinya yang sedang hamil muda juga pingsan berulang kali sejak pagi. Membuat Bu Nyai lebih khawatir akan kesehatan Inamah. "Nggih, Ummi."Merasa tak enak. Inamah lantas menurut. Ia bangkit dari duduk. Mengikuti ajakan Bu Nyai, yang kini menggirin
Lebih cepat. Ingin segera sampai. Berpacu bersama sang waktu. Diselingi sudut-sudut hati yang menjerit. Doa tak lupa sentiasa terselip. Sebentar saja, tak ingin sampai kedatangannya terlambat dan berakhir dengan sia-sia. Fatih menghela napas berat berkali-kali. Pikirannya bercabang menjadi dua. Di satu sisi, ada Inamah yang terpaksa ia tinggalkan dalam keadaan pingsan. Di sisi lain, ada Kia dan juga Bude Ningsih. Yang saat ini, entah bagaimana keadaan dua orang itu. Pasca kecelakaan bus yang ditumpangi saat rekreasi."Hallo, saya minta tolong segera kirimkan alamat rumah sakitnya."Fatih menghubungi salah seorang guru Kia. Percuma jika menunggu respon, ia ingin segera tahu kabar putrinya itu secara langsung. Meski bukan anak kandungnya, Fatih begitu tulus menyayangi seperti anak sendiri. "Di rumah sakit umum Bakti Husada Batu Malang, Pak. Saya kirimkan alamat lokasinya di pesan, ya.""Iya. Saya tunggu dengan seg
Hatiku resah. Ada yang tak nyaman di dalam sini. Bagaimana bisa aku tergerak untuk mengizinkan seseorang menempati 'rumah kami'. Karena meski jarang ditempati, tapi jika sudah menyangkut tentang hak milik. Rasanya aku tak bisa. Sudah masuk ranah privasi. "Dek." Panggilan Mas Fatih kembali membuyarkan lamunanku. Seulas senyum tersungging di bibir. Ia mendekat lalu mengusap puncak kepala. Matanya melebar, lalu jemari tangannya mencolek hidungku gemas. "Mas bercanda, Sayang. Khalid sudah punya rumah sendiri kok. Tak mungkin juga Mas membagi tempat tinggal kita dengan yang lain," ujarnya. "Hem? Apa?" Aku membelalak. "Beneran, Dek. Khalid sudah punya tempat tinggal sendiri. Mas hanya menggoda Adek saja." "Ihh! Mas Fafih!"Aku menepuk lengannya dengan tangan kanan. Bukannya mengelak, ia malah mendekat. "Sebelah sini aja," ujarnya sambil menunjuk pipi kanan. "Masa iya di pipi?""Kalau di pipi
"Yang ini bagus nggak, Mas?" Kutunjukkan gawaiku pada Mas Fatih. Ia menoleh sekilas lalu menggeleng pelan. Kami sedang tiduran di atas ranjang dengan selimut tebal yang membungkus hingga sebatas perut. Kebetulan ini hari minggu. Mas Fatih sedang libur. Sementara Kia, sejak jumat pagi ia bersama Bude Ningsih. Ada acara rekreasi dari sekolahnya. Berhubung aku sedang hamil muda, jadi Bude yang menemani.Kusandarkan kepala di lengan kiri suamiku itu. Kedua mataku terbelalak setelah menggeser layar gawai. Di dalam layar tampak pakaian bayi berwarna putih polos dengan bulat-bulat kecil berwarna biru sebagai motifnya. Pasti kali ini Mas Fatih setuju. Mengingat, motifnya yang sedikit, tak sebanyak yang pertama tadi.Kuakui, saat ini aku berada dalam fase demam belanja online. Entah apa sebabnya. Mungkin, efek kehamilan yang kedua ini.Berbeda dengan kehamilanku yang dulu waktu mengandung Kia. Kali ini, entah kenapa aku lebih senang be