"Dinda nggak mau merid lagi, Pa." Dinda menatap Broto dengan mata berair. Bukan karena sedih, hendak menangis, tapi genangan air di kedua netranya akibat dirinya menahan sakit di kepalanya. Seperti ada palu yang menghantam berulang kali.Broto tertegun sejenak. "Kita bicarakan nanti saja, kalau kamu sudah sembuh. Sekarang beristirahatlah. Tidak usah memikirkan banyak hal yang tidak penting. Jika besok tidak lulus lagi, kamu tetap bisa bekerja di perusahaan Papa. Untuk apa Papa bekerja mati-matian membesarkan perusahaan, jika bukan untuk anak-anak papa."Dinda diam. Dani hendak mengajukan protes tapi langsung diurungkannya."Istirahatlah. Tidak usah memikirkan apa pun. Skripsi, sidang, pernikahan atau yang lain. Sembuhkan dirimu. Setelah ini, kita akan berlibur." Broto baru saja membuat keputusan itu. Melihat Dinda yang tidak pernah berlibur selama beberapa tahun ini dan betapa anak gadisnya itu terus menyibukkan dirinya dengan skripsi, membuat hatinya trenyuh. Mungkin saja sakitnya Di
"Sepertinya sulit, Mbok." Suara Arya terdengar putus asa."Sulit? Memang sesulit apa?" Mbok Umi tiba-tiba jadi kepo. Tidak rela jika ia harus melihat majikan mudanya patah hati di kisah cinta pertamanya."Sulit menyakinkan dia, jika Arya benar-benar serius dengan niat Arya."Mbok Umi memilih untuk menyimak dulu. "Dia seperti bingung dan tidak yakin dengan keputusannya sendiri. Masih meragukan niat baik Arya, mungkin itu lebih tepatnya.""Hmm, dia meminta pembuktian yang nyata.""Ya sudah. Mas Arya langsung datang saja ke rumahnya. Bertemu dengan orang tuanya dan katakan niat baik Mas Arya."Arya menggelengkan kepalanya. "Sudah ribuan kali Arya mengatakan itu, tapi dia tetap saja tidak percaya. Dia seperti menganggap semua itu hanya tipuan.""Mungkin cara merayu Mas Arya kurang maut." Goda Mbok Umi."Kurang maut gimana?" Ia tidak paham dengan maksud Mbok Umi."Ya yang begitu-itu, loh. Aduh, Mas Arya masa' tidak pernah nonton film dewasa?"Arya terbelalak mendengar ide Mbok Umi. "Mbok..
"Orang kampus ada yang nikah?" tanya Mita saat ia bertemu Dinda. Dinda sudah tampak lebih sehat dari tiga hari yang lalu. Rasa sakit kepalanya sudah hilang. Kembungnya pun sudah tidak lagi terasa. Dinda lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menonton film kartun kesukaannya. Semua itu ia lakukan atas perintah Broto, yang tidak ingin melihat putri kesayangannya mengalami stress akibat skripsi."Eh, bentar. Nggak ketemu tiga hari, lu agak gemukan deh, Din." Mita berjalan mengeliling Dinda. Kedua netra Mita terpaku pada bungkusan potato chips yang dipeluk Dinda."Lu mau?" Dinda tidak menjawab melainkan menyodorkan camilannya itu. Ia tahu jika sahabatnya itu sangat suka dengan potato chips."Nggak, buat lu aja.""Udah ayo, makan bareng gua," ajak Dinda setengah memaksa."Lu keliatannya udah lupa dengan gua, Din." Mita berbalik kembali menuju mobilnya. Gadis itu lantas mengeluarkan kresek hitam besar dari dalam mobilnya, dan membawanya ke hadapan Dinda."Jangan panggil gua Mita, kalau c
Mita berjalan mendekati Dinda, yang saat itu sedang bertingkah aneh menurutnya. "Lu kenapa, Din? Kayak orang kesambet tau nggak, sih? Mana merah lagi wajah lu." Mita terus menatap curiga Dinda. Ingin rasanya ia merampas ponsel yang digenggam Dinda, demi mengetahui siapa yang sedang berbicara dengan Dinda. Namun, hati kecilnya melarang. Bagaimanapun, itu adalah urusan pribadi Dinda. Pantang dirinya untuk ikut campur, meski diminta Dinda sekalipun. "Ng-nggak. Ng-ngak ada apa-apa." Dinda menutupi lubang tempat ia bersuara, yang seharusnya tempat suara pemanggil didengar. Mita mengangkat kedua alisnya lalu duduk di sofa panjang tepat di depan tivi yang sedang memutar film kartun Casper. Sesekali telinga Mita berusaha mencuri dengar percakapan Dinda dengan sang penelpon tapi selalu gagal. "Baiklah. Besok saya akan datang ke kampus." *Bagus. Saya tunggu di ruangan saya. Dinda berjalan menuju ke sofa tempat Mita yang sedang berkonsentrasi dengan tontonannya. "Udah selesai? Lama amat
"Dinda sakit?" Arya mengulang pertanyaannya karena Mita justru terkejut dengan jawabannya sendiri. "Eng -itu. Hmm, tidak seperti yang Bapak pikirkan. Dinda baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Mita berusaha menganulir jawabannya. Ia harus bisa meralat semuanya, agar bisa selamat dari amukan Dinda. "Dinda sakit tidak seperti yang saya pikirkan? Jelaskan pada saya maksud kalimat kamu itu!" Tatapan Arya sangat tajam, menembus langsung ke jantung Mita. Gadis itu sampai tidak berani bergerak sedikitpun. Mita tidak juga berbicara. Dirinya justru memilih untuk diam seribu bahasa, takut jika akan salah ucap lagi. Takut jika mulutnya semakin lancang, mengatakan hal lainnya. "Saya masih setia menunggu penjelasan kamu, dan tidak akan pergi sebelum kamu menjelaskan semua." Mita benar-benar mati kutu. Ia melirik ke lantai atas, tempat kamar Dinda berada, dan berharap Dinda masih sibuk memilih pakaian yang ingin ia kenakan. "Kamu sudah sehat?" Arya menatap ke arah Dinda ya
Mita bangun kesiangan hari ini. Ia terpaksa melewatkan sarapan pagi karena harus segera mengambil berkas pendaftaran S2. Gadis itu memang berencana untuk mengambil S2 setelah wisuda nanti. Mita cukup kencang melajukan mobilnya, hingga lupa jika ia sudah berjanji pada Dinda untuk menjemput sahabatnya itu. Saat melintas di depan gedung rektorat, ia tidak melihat seorang pun yang tengah mengantri di loket administrasi. Berarti pelayanan belum dibuka, mungkin beberapa menit ke depan. Waktu yang masih cukup panjang itu dimanfaatkan Mita untuk mengisi perutnya yang pagi itu tumben begitu cerewet. Kakinya melangkah keluar dari mobil saat panggilan terdengar dari ponselnya. "Astaga! Iya!!! Gua lupaaa! Sorry, Beb! Gua kelupaan. Bener-bener kelupaan. Gimana dong?" Mita merasa bersalah. "Oke. Gua tunggu aja lu di kantin kampus. Oh, nggak? Oke, kalau gitu gua ke kantin dulu. Kita ketemu di pintu masuk aja ya..." Perut yang keroncongan membuat Mita mengabaikan beberapa salam dari mereka yang
Arya menatap tajam pergelangan tangannya yang dicekal dengan sangat erat oleh Mega. "Tolong jauhkan tangan itu dari pergelangan tangan saya!" Kali ini, suara Arya berbeda dari sebelumnya. Sangat berbeda malah, dan itu membuat nyali Mega menciut seketika. "Saya ada perlu, dan itu tidak ada sangkut pautnya dengan siapapun." Arya memutar badannya, dan melihat ke tempat Dinda dan Mita berdiri. Namun sayang, kedua gadis itu sudah tidak lagi berada di tempatnya. "Sial!!" umpat Arya dengan sangat kesal. Ia, dengan langkah lebar hingga nyaris terlihat seperti hendak berlari. menuju area parkir mobil. Hati kecilnya menuntun untuk segera naik ke mobil. Arya turun dari tangga dengan terburu-buru. Dalam benaknya, Dinda sedang merajuk, dan sengaja menjauh atau menghindari dirinya. Kedua sudutnya menangkap gerakan mobil yang tergesa meninggalkan parkiran. Ketika Arya sadar siapa yang berada di dalam mobil sedan itu, ia terlambat. Mobil itu melaju dengan cepat. Di saat dirinya sedang berpikir un
Netra Mega melebar selebar-lebarnya. Pemandangan di depannya sangat menusuk jantung dan hatinya sekaligus. Entah apa yang dirasakan wanita itu. Geram, marah, jengkel, sebal, cemburu, kesal. Semua itu bergabung menjadi satu. Ia berdiri mematung melihat semuanya, menjadi saksi bisu cinta Arya kepada Dinda. Setelah Arya berbisik, Dinda tidak juga memahami ancaman sang dosen. Kepalanya memutar ke kiri, mencari keberadaan Mita, tapi sayang, gerakan itu justru membuatnya merasakan sensasi aneh yang baru pertama kali ini, ia dan Arya rasakan. Bedanya, Dinda tidak siap sedangkan Arya sudah siap sepenuhnya. Pria itu memang sudah merencanakan ini sejak Dinda dan Mita meninggalkannya sendiri bersama Mega. Yang semula hanya terjadi karena sapuan tak sengaja Dinda namun ditunggu Arya, kini berubah menjadi gerakan intens Arya. Sapuan ringan menjadi kecupan ringan. Kecupan ringan menjadi kecupan mendalam, sangat lama dan sedikit menuntut. Jangan tanyakan bagaimana perasaan Dinda kala itu. Gadis
Arya mengusap lembut kepala Dinda. "Bagaimana ya mengatakannya?" Arya bersikap seolah dirinya berada dalam kebingungan yang sangat. Sayangnya, itu tidak berlangsung lama. Wajah panik Dinda membuatnya urung meneruskan drama dadakannya."Bukan soal siapa atau orang, melainkan mengapa perekrutan itu dilakukan ketika saya masih berada di luar negeri."Arya mengajak Dinda untuk duduk di sofa yang memang sengaja diletakkan di samping pintu balkon kamarnya."Siapa?" Dinda menjadi penasaran."Siapa lagi kalau bukan mereka yang ada di kampus."Dinda mencebikkan bibirnya. "Kalau nggak niat cerita ya udah nggak usah cerita. Saya kan jadi sebel." Dinda melepaskan pelukan Arya."Yaaa, kenapa marah?" Arya tidak mengerti dengan perubahan ekspresi di wajah Dinda yang begitu drastis. "Nggak marah, cuma kesel. Sebel." "Merasa kesel dan sebel pasti ada alasan di belakangnya. Apa itu tidak sesuai dengan tebakan kamu?"Dengan polosnya, Dinda mengangguk. "Saya kira dia yang malas saya sebutkan namany
Rasa was-was yang dirasakan Mita menular ke Dinda. Secara tidak sadar, perhatian Dinda kini beralih pada sosok pria tinggi yang sepertinya sengaja menutupi wajahnya dengan topi berwarna hitam. Pria itu mulai menyadari jika kehadirannya sudah diketahui Dinda. Ia memutar tubuhnya secepat mungkin, berpura-pura sibuk memilih jam yang dipajang di toko yang berada tepat di belakangnya."Buruan cabut aja deh, Din. Gua takut kenapa-kenapa." Mita mendorong kereta belanja dengan sekuat tenaga. Dalam pikirannya, mereka harus segera meninggalkan supermarket ini. Tidak ada Fahri atau Arya di samping mereka, membuat Mita bersikap sangat waspada, terlebih lagi mereka membawa dua bocah, yang sejak kedatangan mereka, sudah menarik banyak perhatian terutama Brilian.Dinda mengangguk setuju. Mereka bergegas menuju meja kasir yang kosong, untuk kemudian meninggalkan supermarket itu. Bulir keringat bermunculan di kening Mita. Ia sungguh gugup. Takut jika kejadian buruk akan menimpa mereka. Ia membawa mo
Suasana tegang melingkupi ruangan Arya. Yusna mengusap keringat yang mulai memenuhi keningnya, sedangkan Burhan menatap nanar pemuda tampan di hadapannya, yang memiliki aura tak kalah menyeramkan dengan pemilik yayasan."Bagaimana?" Arya masih setia menunggu penjelasan kedua pria paruh baya di depannya. Batin Burhan masih terjadi pergulatan batin. Ia tidak ingin mengaku salah karena dalam kacamatanya, mengaku salah berarti salah. Ia tidak sudi mengakui kesalahannya di depan pemuda belum matang di depannya."Saya mengadakan perekrutan ini bukan tanpa pertimbangan, Pak Arya. Semua berdasarkan permintaan masing-masing fakultas. Ada banyak dosen yang sebentar lagi akan memasuki masa pensiun. Jika kita tidak cepat mencari calon pengganti mereka, saya khawatir ini berpengaruh pada jumlah serapan mahasiswa baru tahun depan."Yusna mengangguk setuju. Apa yang dikatakan Burhan tidak jauh berbeda dengan pemikirannya. Mereka harus mempersiapkan calon pengganti lebih awal beberapa bulan sebelum
Rudy mengikuti Arya dari belakang. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang rektor muda. Tentang kabar Dinda dan putra mereka, termasuk kehidupan yang keluarga kecil itu jalani selama pendidikan di Inggris. Namun, aura Arya mencegahnya untuk bertanya apapun. Bibirnya seperti dikunci paksa.Keduanya kembali ke ruangan rektor. Sekretaris memberi beberapa dokumen kepada Rudy, untuk selanjutnya disampaikan kepada Arya.Rudy berhenti sejenak untuk mengecek dokumen apa saja yang diterimanya, sebelum diserahkan kepada Arya. "Yusna dan Burhan." Arya menggumam dan gumamannya berhasil mengalihkan perhatian Rudy."Ada yang harus saya lakukan, Pak Arya?" Rudy mendekat dan meletakkan dokumen yang sudah ia periksa."Apa yang mereka lakukan selama aku berada di luar negeri?" Tatapan lurus Arya membuat Rudy sontak mendekat."Saya sudah berusaha menjelaskan beberapa hal kepada beliau berdua, Pak, Akan tetapi, mereka justru menilai saya sebagai perusuh dan tidak mengerti kebutuhan kampus saat i
Dinda baru saja selesai membantu Anggun menyiapkan sarapan pagi bersama Mita, saat dilihatnya Arya sudah berpakaian rapi dengan tas kerjanya. 'Bukannya ke kampus besok? Kenapa berubah? Pagi banget lagi?' Netra Dinda mengikuti kemana pun Arya bergerak. "Pergi kemana? Ke kantor?" Akhirnya Dinda tidak tahan juga untuk bertanya. Wajah Arya yang sangat serius cukup mengganggunya."Ke kampus dulu." Arya mendekat ke arah Dinda, lalu mengecup kening istrinya. "Ada sesuatu yang harus diselesaikan.""Mendadak sekali."Arya mengangguk. "Nanti malam saja ceritanya," bisiknya di telinga Dinda sembari memberi kecupan lembut di sana."Penting banget?" Dinda sepertinya tidak rela jika suaminya itu kembali ke rutinitasnya sebagai dosen."Sangat penting."Dinda mulai menerka-nerka urusan apa yang dimaksud suaminya. Jangan-jangan sosok yang disebut Mita kemarin?"Jangan pergi sebelum sarapan. Hari ini sangat spesial karena dimasak oleh tiga wanita cantik di rumah ini. Kalau kamu tolak, bakal rugi dan k
Mega? Kembali? Wanita itu berada di tempat yang sama dengan mantan dosen pembimibingnya untuk kedua kali? Dinda mengerjapkan kedua netranya. Ia hanya menatap Mita kosong."Tsk. Bener kan tebakan gua. Lu bakal kaget.""Ngapain dia balik lagi ke kampus? Apa belum dipecat?" Dinda mendadak merasa kesal. Mungkinkah Arya sudah membohonginya? Mita tertawa kecil melihat kening Dinda berkerut-kerut. "Pak Arya nggak akan pernah bohong sama elu. Beliau tipikal setia sampai akhirat."Dinda tersipu malu. "Gua sebenernya nggak pa-pa juga kalau dia balik lagi ke kampus.""Serius?" Mita sontak memutar badannya. "Asal doi bukan jadi dosen aja. Balik ke kampus kan tidak selamanya dia balik jadi dosen lagi. Kali aja pas ketemu sama elu, dia numpang lewat atau nganterin temen atau sodaranya yang mau daftar di sana jadi maba.""Bisa jadi juga. Gua begini karena gua masih kesel aja sama dia. Kenapa orang seperti dia malah awet di muka bumi ini, sih?""Hush! Nggak boleh ngomong begitu. Kali aja Tuhan mau
"Mama!!"Teriakan Brilian membuat Dinda langsung memutar tubuhnya dan dengan gerakan super cepat kaki-kakinya yang panjang dan jenjang sudah mengantarkannya ke depan pintu teras. Ia melihat Brilian menangis dalam gendongan Arya.Dinda mendekat ke arah dua pria penting dalam hidupnya. Dinda menyentuh lembut pundak suaminya. Tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun, Arya menceritakan sebab musabah Brilian menangis histeris. "Saking besarnya dia melompati ini hingga jatuh terjerembab di situ." Arya menunjuk ke dinding pemisah antara teras rumah dan pekarangan rumah setinggi enam puluh senti, dan lokasi tempat Brilian jatuh."Mana anak tampan Mama?" Dinda mencoba melihat wajah putranya. Brilian, demi mendengar suara lembut sang mama, langsung mengangkat wajahnya. Ia berusaha keras menahan tangisannya yanga berujung pada cegukan.Dinda tersenyum geli. "Nggak apa-apa kalau masih ingin menangis. Tuh, lihat. Om Fahri sudah berhasil menangkap tikusnya."Dari kejauhan tampak Fahri memegang ta
Fahriza masih tertegun di jok belakang. Ia masih tetap menatap ke arah bocah laki-laki yang ditunjukkan mamanya. "Sayang... Kamu tidak ikut turun?" Panggilan Mita membuyarkan lamunan Fahriza. Bocah kecil itu keluar dengan terburu-buru, lalu lari menghambur mencari sang nenek"Nenek!"panggil Fahriza heboh. Ia tidak mempedulikan beberapa tamu yang tengah duduk berbincang dengan Dermawan. Fahriza tiba-tiba berhenti di tengah ruang tamu. Netranya menabrak sosok asing yang tidak pernah ia temui sebelumnya.'Mengapa Papa ada dua?' gumam Fahriza keheranan. Perhatian Fahriza terpusat pada sosok yang sedang menuruni tangga. Pria tinggi, putih dan sangat tampan. Sekilas memang mirip papanya, tapi jika dilihat lebih dalam, pria dewasa itu lebih tampan dari papanya. Mita yang berjalan di belakang Fahriza menatap penuh heran melihat tingkah putrinya. "Ada apa, Za? Ada hantu? Mana? Biar Mama pukul pakai tas Mama ini." Mita megusap lembut pucuk kepala Fahriza."Mama!""Ya, Sayang.""Mengapa Papa
Jawaban jujur Fahriza membuat Anggun tidak dapat menahan tawanya. Namun, demi menjaga wibawa Mita di hadapan putrinya sendiri, Anggun berusaha keras untuk meredam tawanya.A: "Oh. Mama ngomel. Mama ngomelin apa kalau Nenek boleh tahu?"F: "Ehm. Apa ya?"Fahriza ingin menjawab tapi melihat ekspresi Mita yang mengerikan, bocah kecil itu memutar badannya hingga Mita tidak dapat melihat wajahnya.A: "Halo?" F: "Iya, Nenek. Fahriza masih di sini. Nenek tunggu dulu. Fahriza sedang memikirkan jawaban yang benar."Jawaban Fahriza mengundang tawa Anggun. Bocah kecil itu begitu pintar, mencari alasan. Tampaknya, kepandaian Mita dalam bersilat lidah menurun kepada Fahriza.A: "Baiklah. Nenek akan sabar menanti jawaban kamu, tapi jangan lama-lama karena Nenek masih harus membungkus kado untuk tamu spesial yang akan datang menjenguk Nenek."Netra Fahriza yang bulat menjadi semakin bulat saat gadis kecil itu mendengar kata 'kado' dan 'tamu spesial, yang baru saja diucapkan Anggun.F: "Kado? Tamu sp