Netra Mega melebar selebar-lebarnya. Pemandangan di depannya sangat menusuk jantung dan hatinya sekaligus. Entah apa yang dirasakan wanita itu. Geram, marah, jengkel, sebal, cemburu, kesal. Semua itu bergabung menjadi satu. Ia berdiri mematung melihat semuanya, menjadi saksi bisu cinta Arya kepada Dinda. Setelah Arya berbisik, Dinda tidak juga memahami ancaman sang dosen. Kepalanya memutar ke kiri, mencari keberadaan Mita, tapi sayang, gerakan itu justru membuatnya merasakan sensasi aneh yang baru pertama kali ini, ia dan Arya rasakan. Bedanya, Dinda tidak siap sedangkan Arya sudah siap sepenuhnya. Pria itu memang sudah merencanakan ini sejak Dinda dan Mita meninggalkannya sendiri bersama Mega. Yang semula hanya terjadi karena sapuan tak sengaja Dinda namun ditunggu Arya, kini berubah menjadi gerakan intens Arya. Sapuan ringan menjadi kecupan ringan. Kecupan ringan menjadi kecupan mendalam, sangat lama dan sedikit menuntut. Jangan tanyakan bagaimana perasaan Dinda kala itu. Gadis
Mita tiba lebih dulu di rumah Dinda. Ia memarkirkan mobil Arya di tempat biasanya ia memarkir mobilnya bila ia main ke rumah Dinda. Dani yang sedang duduk santai di sofa tamu langsung berdiri dari tempatnya. Suara mesin yang asing di telinganya, membuatnya keluar dari rumah."Mobil baru?" Dani menghampiri Mita, yang baru saja turun dari mobil.Mita menggelengkan kepalanya. "Bukanlah. Duit darimana beli mobil mehong begini.""Trus punya siapa? Calon kamu?""Calon apaan?""Ya calon suami-lah. Masa calon istri.""Calon suami gua mah bukan. Calon suami Dinda, baru betul.""Calon Dinda? Kamu udah ketemu dengan calon Dinda?" Dani terheran-heran. 'Apakah calon suami Dinda seorang mahasiswa yang juga belum lulus kuliah?'Mita mengangguk. Gadis itu duduk di kursi teras seraya melirik ke arah Dani. "Bang. Bagi minuman dong. Haus nih.""Kamu haus? Tuh di kolam airnya banyak. Ambil aja di sana. Gratis. Banyak vitamin lagi." Dani paling sebal dipanggil dengan panggilan bang. Ia merasa menjadi tu
Arya benar-benar menunggu kedatangan Broto dan Sari. Ia memilih untuk menunggu di ruang tamu, sedangkan Dinda masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian. Keberadaan Arya akhirnya memancing Dani untuk keluar dari kamarnya. Setelah ia melihat adegan Dinda dan Arya yang berdiri begitu dekat, Dani merasa perlu untuk menginterogasi Arya lebih lanjut. Seingatnya, ia pernah bertemu dengan pria yang sedang berbicara begitu dekat dengan adik semata wayangnya itu. Dani melihat Arya saat ia menuruni anak tangga satu per satu. Pria tampan itu sedang sibuk dengan ponselnya. "Kita pernah bertemu sebelumnya?" Dani memilih untuk bersikap hati-hati. Takut salah menegur orang. Arya tersenyum lebar. Ia langsung berdiri. Meski dilihat dari usia, jelas Dani lebih muda darinya. Arya memilih untuk tetap menjaga sikapnya. Setidaknya ia dapat memberi contoh untuk selalu menjaga sikap dan sopan santun kepada siapa pun, tanpa melihat batasan usia. "Apa kabar?" Arya menyambut uluran tangan Dani, mesk
Arya melepas penatnya sejenak setelah keluar dari mobilnya. Angin sepoi-sepoi yang datang, membuat dirinya mengantuk. Melirik jam di tangan kanannya, Arya bergegas bangkit dari duduknya. Ia memutuskan untuk merebahkan sejenak dirinya di atas kasur. Beragam emosi dari Dinda yang ia lihat seharian ini, membuatnya berpikir untuk mempercepat niatnya. Ia tahu jika gadis itu menyimpan rasa yang sama dengannya, tapi mungkin karena Dinda tipikal gadis yang tidak bisa menunjukkan perasaannya secara bebas seperti Mega, membuat Dinda bersikap seolah ia tidak memiliki perasaan apapun padanya. 'Mengapa sulit sekali membuatnya mengatakan kata itu? Atau ia terlalu malu untuk menunjukkan semua? Apa perlu diajarkan dan dibimbing dulu?' "Kusut banget wajahnya. Ada masalah apa?" Tiba-tiba Fahri masuk ke kamar Arya. Pria yang baru saja tiba dari luar kota itu, ikut berbaring di atas kasur Arya. Keduanya melihat ke langit-langit kamar yang sama. Arya tidak menjawab. Ia tidak tahu harus dimulai darima
"Meminta Dinda?" Broto mengetukkan telunjuknya di ujung sofa yang ia duduki. " Mama mana?" Dinda sedikit terkejut mendengar pertanyaan Broto. Ia masih terpaku pada perkataan Arya barusan."Eh-Anu, Pa. Itu-Mama sedang keluar sebentar." "Hmmm." Menghadapi Broto yang seperti ini, membuat nyali Arya sempat menciut. Ia baru merasakan wibawa seorang bapak ketika putrinya dilamar seseorang. "Kita tunggu Mama Dinda dulu, meski sebenarnya yang paling berhak memberi jawaban di sini adalah Dinda sendiri." Kepala Dinda semakin menunduk. Rasa panas dan malu mulai merayapi wajahnya. Ia tidak tahu harus menjawab apa jika diminta menjawab permintaan Arya atas dirinya. "Apakah kamu sudah tahu semua sikap buruk Dinda?" Arya terus terang menggeleng. "Hanya tahu beberapa saja, Om. Karena saya belum begitu lama mengenal Dinda." Broto menatap heran Arya." Baru mengenal sebentar tapi sudah berani datang kemari untuk melamar? Apa yang membuatmu melakukan ini semua? Kalau bahasa orang tua, kamu termasu
Dinda masih berdiri mematung di balkon kamarnya. Semilir angin malam membelai lembut rambutnya yang tadi sore baru saja ia cuci dengan shampo beraroma mawar. Berulang kali ia menghela napas. Hatinya kini galau tapi bukan lagi karena masalah sidang skripsi, melainkan karena pinangan Arya tadi. Pikirannya melanglang buana. Ia tahu jika nanti dirinya tidak akan dapat menikmati hidup enak setelah menikah jika ia mengikuti Arya ke luar negeri. Itu akan sangat berat baginya. Terlebih lagi, selama ini Dinda belum pernah sehari pun jauh dari Sari. Dinda dan keluarganya lebih sering berjalan-jalan, menghabiskan waktu bersama. Kalau pun Broto ingin berlibur, ia pasti mengajak keluarga kecilnya, dan itu sudah menjadi kebiasaan keluarga Broto yang akhirnya menular pada putra-putrinya. Dinda merasa tidak nyaman jika ia harus pergi tanpa keluarganya, terlebih lagi tanpa Sari dan Broto. Ia akan merasa sangat kehilangan. Alasan lain adalah, bahwa ia belum benar-benar mengenal Arya. Ia takut. Ba
"Honeymoon?" ucap Dinda setengah berbisik. "Kenapa bisa honeymoon?" "Bukankah saya sudah mengatakannya kemarin? Besok mama dan papa datang ke rumah kamu. Setelah lamaran resmi besok, minggu depan kita nikah. "Eh, begitu?" "Begitu. Dan hari ini kamu harus menemani saya ujian S-2." Dinda lupa, jika dirinya belum tahu alasan Arya mengajaknya pergi hari ini. Ia pikir mereka akan berkonsultasi di hari-hari terakhir sebelum sidang skripsi digelar. Ia tidak tahu jika hari ini, pria idamannya akan bertarung memperebutkan satu tiket beasiswa S2 ke luar negeri. Belum hilang rasa kaget Dinda, Arya kembali mengatakan hal yang membuat jantungnya jempalitan. "Saya ingin kamu menjadi saksi perjuangan saya dan menjadi yang pertama tahu hasil ujian itu." Dinda melayang saat itu juga, mendengar ucapan Arya. Ia merasa tersanjung. Kalimat Arya terdengar begitu manis di telinganya. Ia lantas terkekeh sendiri. "Jangan becanda deh, Pak Arya. Mentang-mentang saya lugu begini, ngegombal terus bicara
"Bagaimana kalau nanti saya ketagihan?" Dinda berteriak sekeras-kerasnya di atas bantal tidurnya. Kegilaan apa yang sudah merasuki otaknya hingga menggerakkan bibirnya, mengucap kata yang membuatnya harus merasakan kecupan Arya untuk kesekian kalinya hari itu. Setelah mendengar pengakuan Dinda yang tidak direncanakan gadis itu, Arya kembali menghadiahi Dinda sebuah ciuman yang tidak ringan. Ciuman yang lebih berat dari sebelumnya, karena dilakukan Arya dengan sepenuh hati. Pria itu mencurahkan semua perasaannya saat itu, dan berhasil membuat Dinda hanyut meski sesaat. Jika bukan karena telpon dari Mita, mungkin saja mereka masih bertukar saliva selama lima menit lamanya. "See. Baru begini saja kamu sudah ketagihan. Belum yang lainnya." Arya begitu percaya diri menjauhkan wajahnya dari Dinda. Wajah Arya begitu bahagia. Setidaknya, keraguan yang sempat membayanginya sirna sudah. Ia sudah mendapat jawaban Dinda, dan baginya, itu sangat berharga. Dinda mati kutu. Kejujuran yang tida
"Lu aman, Mit?" Keraguan Dinda kembali muncul. Ia khawatir."Amanlah. Kan udah gua bilang tadi? Don't worry. I am ok." Meski Mita memasang ekspresi sangat serius, DInda tetap saja dengan kecurigaannya."Ada apa, sih? Memangnya ada apa dengan Mita? Something happened?"Dinda tidak menjawab pertanyaan Fahri, melainkan kembali mengangkat kedua bahunya. "Nanti tanya Mita sendiri aja, deh. Entar saya salah.""Tsk Nggak ada apa-apa kok. Kita cuma mau bahas rencana bisnis kuliner. Itu aja. Aman karena Dinda kuatir jangan-jangan saya lupa dengan apa yang akan kami bahas nanti.""Bagus kalau begitu. Lebih cepat, lebih baik. Pekerjaan dan niat baik jangan ditunda-tunda, karena bisa saja itu menjadi penghambat kita untuk maju. Kalau bisa sekarang, mengapa tidak?" Arya akhirnya ikut bersuara. "Apakah ada perubahan rencana?" Fahri menarik piring berisi selat buah dari hadapan Mita dan mulai menikmati suapan demi suapan.Dinda berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya."Gimana kas
Meja makan sudah penuh dengan masakan hasil kerja keras kakak beradik Fahri dan Arya. Sebelumnya, kehadran Mita dan Dinda tidak disambut baik. Keduanya diusir dari area dapur.Fahri dan Arya justru menyuruh Mita dan Dinda membersihkan diri. Mereka diijinkan turun jika meja makan sudah tertata sempurna lengkap dengan makanan di atasnya.Dinda berdecak kagum. Masakan yang terhidang di meja makan berhasil menarik perhatiannya dan ia menjadi tidak sabar untuk menjadi juri dadakan."Boleh dicicipii nggak?" Mita menatap penuh harap Fahri yang sedang melipat apron. Keadaan dapur pun sudah bersih seperti sedia kala. Tidak ada piring kotor atau sampah sisa yang tergeletak di dapur. Semua rapi dan bersih."Nikmat mana lagi yang kami dustakan ya Tuhan, punya suami keren begini..." ucap Dinda sambil mengitari meja makan.Mita manggut-manggut tanda setuju. "Tampan. Cerdas. Cekatan. Pintar masak. Baik hati dan tidak sombong. Paket lengkap beneran. Sama sekali nggak ada diskon yang patur berlaku d
"Bad day?" Arya menghela napasnya. "Apa mungkin saya memang tidak seharusnya menjadi rektor, ya? Menjadi pebisnis mungkin lebih cocok."Dinda tidak paham dengan kalimat Arya. "Hmm. Kalau kalimatnya dibuat sederhana gimana? Saya nggak paham."Arya menatap Dinda. Ia sadar jika Dinda sedang tidak baik-baik saja sehingga ia memutuskan untuk tidak meneruskan kalimatnya. "Lapar. Ayo, kita makan.""Belum masak tapi.""Iya. Kali ini, biar saya yang jadi tukang masaknya. Kamu cukup duduk menemani saya."Arya menarik tangan Dinda. Keduanya berjalan ke dapur. Suara Brilian dan Fahriza sama sekali tidak terdengar. "Kemana anak-anak? Kok sepi sekali.""Sedang ikut mama jalan-jalan. Nggak tahu jalan-jalan kemana."Arya tidak mengganti pakaiannya lebih dulu melainkan langsung mengeluarkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memasak. Melihat suaminya yang langsung sibuk dengan perkakas dapur, membuat Dinda tidak tega. "Sudah-Sudah. Biar saya saja yang masak. Mas mandi dulu aja. Kecut!" Dinda mendoro
"Gimana kalau kita jodohin dengan Bu Mega?"Wajah Dinda langsung berubah kaku dan dingin. Sama sekali tidak enak dipandang dan membuat suasana di ruang keluarga kediaman Broto menjadi tegang."Lu kalau becanda jangan kelewatan ya, Mit! Denger nama dia aja gua emosi, gimana lagi dengan keluarga gua?"Mita menggigit bibir bawahnya. Mulutnya sangat lancang mengutarakan ide gila yang tiba-tiba saja melintas di otaknya, hanya karena geram dengan ancaman Dani."Sorry, Din. Gua nggak ada maksud buat -" Mita menjadi salah tingkah."Lu udah kenal gua lama'kan? Harusnya udah sangat tahu dong, kalau gua masih nyimpen dendam ma dia dan sakit hati gua ke itu orang belum kelar?"Mita mengangguk berulang. Penyesalan selalu datang terlambat. Padahal, jujur dia tidak ada niat untuk membuat Dinda naik pitam lagi karena teringat sosok musuh bebuyutannya."Kalaupun dijodohin sama dia, gua percaya Dani pasti menolak mentah-mentah. Orang yang pernah bikin adiknya hampir gila, dia jadikan istri? Dia pasti me
"Saya ingin berkonsultasi. Apakah Pak Arya ada waktu?" tanya Mega penuh harap.Arya tertegun sejenak. Ia masih belum menangkap maksud kedatangan wanita di depannya saat ini. Konsultasi apa yang dimaksud olehnya? Apakah dia mengambil program lanjutan? Atau konsultasi bimbingan yang artinya jika dia sudah lebih dulu mengambil program lanjutan? Jika memang sudah mengambil program lanjutan mengapa Rudy tidak memberitahunya?"Maaf. Saya tidak paham dengan maksud Bu Mega." Arya masih menganggap wanita itu sebagai rekan sesama pendidik, meski ia tidak lupa jika wanita di depannya ini adalah musuh bebuyutan sang istri. Arya secara diam-diam mengeluarkan ponsel yang baru saja ia masukkan ke dalam saku celana panjangnya. "Maaf, sebentar. Ada pesan yang masuk." Arya membuka ponselnya segera.Mega setia menanti. Ia tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Arya kembali ke mejanya dan membiarkan Mega tetap berdiri di depan pintu ruangannya. Sama sekali tidak memberi ijin agar wanita itu masuk ke rua
"Pak Arya."Suara itu kembali terdengar hingga Dinda meletakkan minumannya di meja. Suara itu mengingatkannya pada seseorang. Mita tidak kalah terkejut. Wajahnya tampak tegang dan sedikit panik. Pertanyaan besar muncul di benaknya. "Beneran itu doi?" tanya Mita pada Dinda yang bergeming dengan dahi berkerut. Arya berdeham sebelum membuka pintu ruangannya. Sosok Mega Sandrina berdiri kaku di depan pintu begitu mengetahui jika ada orang lain di ruangan itu."Maaf! Rupanya sedang ada tamu. Mungkin lain waktu saja saya datang lagi." Mega langsung putar haluan. Melihat Dinda yang menatap dirinya dengan begitu tajam, ditambah lagi Mita yang disertai wajah garangnya, Mega memilih langkah aman. Lebih baik ia menghindar daripada terlibat masalah dengan istri pemilik kampus. Arya tidak berkata apapun. Ia menatap kepergian Mega tanpa ekspresi, lalu menutup kembali pintu ruangannya. "Anggap saja itu intermezo. Iklan memang seringnya datang tanpa diundang.""Beneran'kan yang gua bilang kemarin,
"Mega Sandrina," gumam Arya pelan. "Apa yang dia lakukan di sini?"Arya terus mengamati gerakan Mega yang masih asyik berbicara dengan sekumpulan mahasiswa. Tidak lama kemudian, Mega berbalik kembali masuk ke mobil putihnya. Mobil itu berjalan pelan keluar dari area koperasi mahasiswa, lalu melesat ke arah fakultas ekonomiKening Arya kembali mengernyit. "Kenapa ke fakultas ekonomi? Jangan-jangan dugaan Dinda benar?"Sosok pria yang pernah dengan Arya sewaktu mereka di Inggris, ternyata tidak mengarah ke Arya. Pria itu masuk ke koperasi mahasiswa lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas untuk digandakan. Arya kembali menjalankan mobilnya. Pikirannya dipenuhi dengan nama Mega. Apa yang perempuan itu lakukan di kampus ini? Pertanyaan ini terus hilir mudik di kepala Arya, membuat dirinya tidak sabar untuk menghubungi Rudy."Ya. Selamat Siang, Pak Arya.""Ada Mega Sandrina di kampus. Apakah ada tujuan dirinya kembali kemari?"Rudy terkejut. "Bu Mega? Mega Sandrina maksud Pak Arya?""Betu
Arya mengusap lembut kepala Dinda. "Bagaimana ya mengatakannya?" Arya bersikap seolah dirinya berada dalam kebingungan yang sangat. Sayangnya, itu tidak berlangsung lama. Wajah panik Dinda membuatnya urung meneruskan drama dadakannya."Bukan soal siapa atau orang, melainkan mengapa perekrutan itu dilakukan ketika saya masih berada di luar negeri."Arya mengajak Dinda untuk duduk di sofa yang memang sengaja diletakkan di samping pintu balkon kamarnya."Siapa?" Dinda menjadi penasaran."Siapa lagi kalau bukan mereka yang ada di kampus."Dinda mencebikkan bibirnya. "Kalau nggak niat cerita ya udah nggak usah cerita. Saya kan jadi sebel." Dinda melepaskan pelukan Arya."Yaaa, kenapa marah?" Arya tidak mengerti dengan perubahan ekspresi di wajah Dinda yang begitu drastis. "Nggak marah, cuma kesel. Sebel." "Merasa kesel dan sebel pasti ada alasan di belakangnya. Apa itu tidak sesuai dengan tebakan kamu?"Dengan polosnya, Dinda mengangguk. "Saya kira dia yang malas saya sebutkan namany
Rasa was-was yang dirasakan Mita menular ke Dinda. Secara tidak sadar, perhatian Dinda kini beralih pada sosok pria tinggi yang sepertinya sengaja menutupi wajahnya dengan topi berwarna hitam. Pria itu mulai menyadari jika kehadirannya sudah diketahui Dinda. Ia memutar tubuhnya secepat mungkin, berpura-pura sibuk memilih jam yang dipajang di toko yang berada tepat di belakangnya."Buruan cabut aja deh, Din. Gua takut kenapa-kenapa." Mita mendorong kereta belanja dengan sekuat tenaga. Dalam pikirannya, mereka harus segera meninggalkan supermarket ini. Tidak ada Fahri atau Arya di samping mereka, membuat Mita bersikap sangat waspada, terlebih lagi mereka membawa dua bocah, yang sejak kedatangan mereka, sudah menarik banyak perhatian terutama Brilian.Dinda mengangguk setuju. Mereka bergegas menuju meja kasir yang kosong, untuk kemudian meninggalkan supermarket itu. Bulir keringat bermunculan di kening Mita. Ia sungguh gugup. Takut jika kejadian buruk akan menimpa mereka. Ia membawa mo