Dinda terpaksa menunggu kedatangan Seno. Seno mengaku sedang membeli rokok di warung depan kampus saat ditelpon Dinda. Setengah jam berlalu, tapi batang hidung Seno belum juga tampak. Dinda mulai uring-uringan. Ia sendirian di kampus. Mita sudah pulang lebih dulu karena harus mengantarkan mamanya berobat.
Dinda kembali mencoba menghubungi Seno, setelah tujuh kali panggilannya ditolak. Kali ini, nada sambung terdengar cukup lama.
“Halo.” Akhirnya terdengar suara di ujung sana, akan tetapi suara yang terdengar bukanlah suara Seno.
“Ha-lo?” Dinda menjadi ragu-ragu. Ia kembali melihat nomor yang ia hubungi. Namanya tidak berubah. Tetaplah Seno sahabatnya, tapi mengapa suaranya lain? Apakah telah terjadi sesuatu pada sahabatnya? Apakah Seno telah mengalami kecelakaan dan sekarang yang menjawab telponnya adalah orang yang sedang berusaha menolong Seno?
“Iya, halo.” Suara itu benar-benar terdengar asing di telinga Dinda. “Apakah Seno baik-baik saja? Apakah ini orang lain? Atau …” Dinda tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Otaknya heng seketika.
“Sedang mencari siapa?” Arya sengaja bersikap seolah tidak tahu maksud pertanyaan Dinda. Mendengar suara Dinda yang begitu lembut di telpon, membuatnya ingin berlama-lama mendengar suara gadis itu.
“Anu- Itu- Kamu siapa?” Dinda akhirnya tidak dapat menahan kesabarannya. “Apa teman saya baik-baik saja? Tolong kirim lokasi biar saya segera meluncur ke sana.” Perasaan Dinda sangat kacau. Apa yang akan ia katakan pada orang tua Seno jika sampai bocah itu mengalami kecelakaan.
“Teman? Apakah kamu pemilik motor V***a putih?”
Dinda menganggukkan kepalanya dengan cepat, lupa jika mereka tidak saling berhadapan.
“Bukan?” suara di ujung meminta penegasan.
“I-I-Iya. Itu motor saya. Katakan ada dimana? Teman saya – Apakah dia terluka parah?”
Ingin rasanya Arya tertawa keras, tapi ia berusaha dengan keras untuk menahannya.
“Temanmu sedang bersembunyi. Dia takut denganmu, karena sudah menjadi teman yang tidak amanah.”
“Mak-Maksudnya?”Dinda menjadi semakin bingung.
“Kamu tahu? Ia menawarkan motor ini kepada saya dengan harga yang sangat murah.” Arya semakin menjadi-jadi. Ia enggan berhenti menggoda Dinda.
“APAAAA!!!!” Teriak Dinda begitu keras, membuat Arya segera menjatuhkan ponselnya. Telinganya menjadi pekak seketika.
‘Sialan! Gadis ini suaranya menggelegar sekali’, gumam Arya langsung cepat-cepat memungut kembali ponselnya.
Panggilan itu terhenti. Dinda menatap kesal layar ponselnya yang kini berwarna hitam. Ia kembali mencoba menghubungi Seno, tapi panggilan dari nomor asing lebih dulu masuk ke ponselnya.
“Dinda?” suara di sana menyapa telinga Dinda yang masih emosi mendengar penjelasan orang asing yang berbicara di ponsel Seno.
“IYA. ADA APA?!” Suara Dinda kini terdengar begitu galak. “Kamu siapa?”
“Saya akan mengantarkan motormu. Tetap di tempat kamu berada sekarang. Jangan pindah sejengkal pun.”
“Tapi –“
Telpon itu telah mati. Dinda berdecak kesal. Ia menyebut nama Seno berulang kali dengan penuh amarah. “Apa yang sebenarnya telah terjadi dengan motor gua?”
Dinda mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk. Sebuah cahaya berwarna terang menyoroti wajahnya, membuatnya harus sedikit menyipitkan netranya agar dapat mengenali si pengendara.
Sekian menit berikutnya, motor itu sudah berhenti tepat di hadapannya. Dinda ternganga begitu melihat sosok yang tengah turun dari motornya.
‘Bukannya itu dosen baru yang pernah gua ajak ….’ Dinda tidak meneruskan kalimatnya.
“Terima kasih atas pinjamannya.” Arya memberikan kunci motor kepada Dinda yang masih duduk tercengang menatap ke arahnya.
“Bagai-mana bisa … Mengapa bisa?” tanya Dinda tak habis pikir.
“Saya tadi terlambat datang rapat di rektorat. Begitu melihat motor ini, saya langsung meminjam tanpa bertanya dulu siapa pemiliknya. Terima kasih ya… Bensinnya sudah diisi full.”
Arya meninggalkan Dinda yang masih duduk terdiam, menatap punggungnya yang mulai menjauh dari tempat Dinda berada. Arya berjalan sambil bersiul riang. Mimpi apa dia semalam hingga bisa berbicara dengan gadis yang akhir-akhir ini memenuhi kepalanya.
-0-
Dinda berguling ke sana kemari di atas kasurnya. Ia masih tidak percaya jika dirinya hari ini berbicara empat mata dengan pria tampan yang tempo hari ia ajak menikah.
“Emak-Emak!!! Semoga tuh dosen nggak ingat kalau gua yang kemarin teriak-teriak ngajakin dia nikah.” Dinda menutupi wajahnya dengan bantal. “Aaaargh! Kenapa sih ini mulut sembarangan aja kalau ngomong? Kalau udah begini, siapa coba yang susah? Kan gua juga jadinya yang menanggung malu.”
Dinda menjauhkan bantal yang sebelumnya ia letakkan di wajah. Ia kini menatap langit-langit kamarnya. Wajah sang dosen tiba-tiba tergambar jelas di sana. Tiba-tiba wajahnya terasa panas. Ia mendadak merasa malu.
Bukankah Mita kemarin mengatakan jika dosen tampan itu masuk dalam tim penguji yang mengujinya tempo hari? Mengapa dirinya bisa tidak menyadarinya? Orang setampan itu luput dari penglihatannya? Apa yang sedang dia pikirkan waktu itu? Bukankah itu berarti dosen tampan itu juga mengajukan pertanyaan padanya?
‘Oh, Tuhan. Malu gua. Satu-satunya yang nggak lulus sidang, dan dosen tampan itu pasti menyaksikan semua prosesnya.’ gumam Dinda pada dirinya sendiri. ‘Tidak!!!’. Lagi-lagi, Dinda menenggelamkan wajahnya di bantalnya.
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan di pintu kamar mengejutkan Dinda. Ia segera bangun dan buru-buru membuka pintu kamar.
“Ada apa, Ma?”
“Astaga, Nak! Ada apa dengan rambut kamu? Mengapa mengembang kaku begitu?” Sari terkejut melihat penampilan putrinya.
“Nggak kenapa-kenapa, Ma. Ada apa, Ma? Perlu bantuan Dinda?” Dinda segera merapikan rambut ala kadarnya.
“Mama mau pergi ke salon. Ada undangan nikahan nanti malam. Kamu bisa kan nganterin mama ke salon?”
“Nggak bisa dandan sendiri ya, Ma?”
“Mama lagi pengen pake sanggul, jadi harus ke salon. Ntar make up pake sendiri.”
“Oh, cuma nyanggulin rambut. Oke deh, tapi Dinda mandi bentar ya, Ma. Gerah banget soalnya.”
-0-
Sedan putih perlahan memasuki area parkir salon langganan keluarga Broto. Sari keluar lebih dulu sedangkan Dinda memarkir mobil. Di luar perkiraan, salon itu ternyata cukup ramai. Untungnya, Sari sudah membuat janji jadi masih ada waktu cukup untuk berdandan di rumah.
Saat Dinda menjejakkan kakinya di lantai marmer berwarna putih, ia seperti menangkap bayangan seseorang, yang membuat detak jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Kepalanya berulang kali menggeleng, menolak kenyataan.
Sayangnya, kenyataan adalah sesuatu yang tidak dapat Dinda pungkiri. Ia melihat sang mama sedang berbincang dengan seorang wanita cantik, seumuran Sari, dengan seorang pria muda di samping mereka. Pria itu tersenyum lepas, sambil menggaruk kepalanya.
Sari mencari-cari putri semata wayangnya. Ketika sosok yang ia cari sedang terpaku melihat ke arahnya, Sari langsung melambaikan tangannya.
“Dinda…”
Pria yang tadi tersenyum lepas langsung terkejut mendengar nama itu. Netranya mengikuti ke arah mana wanita cantik itu melambaikan tangannya.
‘Bukankah itu …”
Kedua orang muda itu sontak menatap satu sama lain.
Dinda terkejut melihat siapa yang tengah bercengkerama dengan mamanya. Ia langsung berpikir untuk meninggalkan tempat itu, kembali ke mobilnya. Tapi sayang, sang mama memanggil namanya, membuat Dinda bingung sesaat. Untungnya, seseorang datang menyelamatkan dirnya. Mita tiba-tiba menubruk dirinya seraya berteriak heboh, membuat Sari mengurungkan niat untuk memanggil putri semata wayangnya untuk kedua kali. "Dindaaaa!!!!" Mita menubruk Dinda seraya mengguncang tubuh Dinda. 'Lu mau dandan di sini juga? Datang ke nikahan itu juga?' Dinda yang masih terkejut dengan pria muda yang tadi sempat bertukar pandang dengannya, menjadi bingung dengan pertanyaan Mita. "Dandan? Nikahan? Gua gak paham sama yang lu omongin, Mit. Sweer!!" Dinda mengangkat dua jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk huruf 'V'. Dinda lega karena dirinya tidak perlu menghampiri sang mama, dan ikut dalam pembicaraan basa-basi yang ia tidak paham sama sekali. "Loh? Kalau bukan itu, terus ngapain lu di sini?" "Ne
Hari ini, Dinda membawa mobil SUV milik Dani. Ia terburu-buru, sampai akhirnya salah mengambil kunci kontak mobil. Mita mengirim pesan jika ada perubahan jadwal mata kuliah dan dosen pembimbing untuk semester ini. Dinda menjadi penasaran. Apakah dosen pembimbingnya juga akan diganti? Ia melangkah dengan terburu-buru hingga hampir jatuh tersungkur oleh anak tangga di depan gedung utama kampusnya. "Pagi, Mbak Dinda," sapa ramah satpam kampus Fakultas Ekonomi. "Belum sarapan ya, Mbak?" Dinda hanya menyengir kuda. "Pagi, Pak. Belum, Pak. Bapak mau ntraktir saya? Boleh." Satpam yang bernama Fredi hanya tersenyum lebar. "Mencari siapa, Mbak?" "Jadwal. Katanya ada pergantian dosen pembimbing ya, Pak?" "Oh, itu. Keliatannya begitu. Dari tadi sudah banyak yang ke sana." Fredi menunjuk ke arah depan area ruang dosen. Dinda langsung mengikuti arah yang ditunjukkan Fredi. "Oke. Saya ke sana dulu ya, Pak." Dinda berusaha menyeruak kerumunan di depannya, sedang kedua netranya berusaha memba
Mita yang sejak tadi menunggu Dinda keluar dari ruangan dosen, langsung menghampiri Dinda. Wajah Dinda yang masih bersemu merah, menimbulkan pertanyaan dalam diri Mita. "Lu kenapa? Kok merah jambu begitu wajahnya?" Mita terus saja menatap wajah Dinda. "Nggak. Nggak ada apa-apa." "Bohong, ah. Jujurlah. Doi ngajakin makan siang bareng?" "Nggaklah." "Terus?" "Nggak ngajakin apa-apa. Cuma disuruh balik lagi besok, nyerahin skripsi buat dipelajari, biar bisa bantuin pas sidang." Mendengar itu, Mita berteriak heboh. "Ini pertanda bagus nih, Din. Moga aja kalian berjodoh. Buat mantan pembimbing lu yang dulu, mati kutu." Dinda menepuk keningnya. "Gawat ini. Kalau dia tahu dosen pembimbing gua Pak Arya, bisa-bisa dia bakal bikin masalah lagi sama gua." "Tenang. Lu kan sekarang udah punya bodyguard." "Bodyguard pala lu!" "Serius. Percaya sama gua, doi pasti jatuh cinta sama elu." "Tau dari mana?" "Feeling gua kuat soal ini. Percaya, deh." "Mau minta berapa mangkok bakso nih?" M
Mita mulai menjalankan mobilnya, kembali menuju fakultasnya, menemani Dinda menyerahkan skripsi kepada Arya. "Bawa berapa skripsi, Din?""Satu. Emang harus bawa berapa?""Biasanya pembimbing gua minta dua, tapi mungkin Pak Arya beda.""Semoga beliau tidak rewel seperti sebelumnya."Mobil itu akhirnya berhenti di halaman depan kampus Fakultas Ekonomi. Mita ikut turun tapi tidak ikut Dinda masuk ke ruangan dosen. Ia ada perlu di bagian administrasi.Tok.Tok. Tok.Dinda melirik arloji di tangan kanannya sembari berdiri tepat di depan pintu ruangan Arya, menunggu jawaban dari dalam. Angka di arlojinya menunjuk ke angka tujuh. Terlambat lima menit dari yang seharusnya. Ceklek.Pintu perlahan terbuka, menampakkan wajah putih Arya tanpa senyum. Rasa bersalah tiba-tiba datang menyergap Dinda. Mungkin saja dosen di depannya ini sangat disipiln dalam waktu sehingga telat satu menit saja akan menjadi masalah yang berkepanjangan."Silakan duduk." Arya tidak menatap ke arah Dinda sedikit pun.Su
Dinda terkesiap mendengar perkataan Arya barusan. 'Apa maksudnya spesial dan istimewa? Memang gua martabak telor?'Arya tersenyum lebar tersenyum lebar namun dengan cepat kembali memasang wajah dingin. "Jangan GR dulu. Istimewa, karena kamu adalah mahasiswa yang sudah berjasa membantu teman-teman kamu belajar menghadapi sidang skripsi. Spesial, karena kamu dengan kecerdasan dan kepandaian yang kamu miliki, justru menjadi satu-satunya mahasiswa yang tidak lulus, dalam dua sidang skripsi berturut-turut."Dinda benar-benar tertohok dengan pernyataan Arya., dosen pembimbing baru, yang ternyata mulutnya sama kejamnya dengan mantan dosen pembimbingnya."So,..." Arya yang sedari tadi terus menatap wajah Dinda, kini mengalihkan pandangannya ke skripsi Dinda. Ia lantas mengambil skripsi yang tebalnya sekitar dua ratus halaman itu, lalu mulai membuka satu per satu halamannya.Dinda yang semula menaruh harapan besar pada dosen pembimbing barunya, kini harus menelan bulat-bulat semua harapannya..
Dinda dengan langkah tergesa memasuki komplek ruangan dosen. Beberapa mahasiswa yang menyapa dirinya hanya dibalas dengan lambaian tangan, tidak seperti biasanya. Ia datang tepat di jam tujuh. Nyaris terlambat.Saat hendak mengetuk pintu, pintu itu terbuka dari dalam. Arya hanya menatapnya sekilas, dan itu membuatnya berkesimpulan jika sang dosen sangat menghargai waktu."Sangat tepat waktu, tapi itu bukan poin plus untuk kamu. Seharusnya kamu datang tiga puluh menit lebih awal." Arya berjalan meninggalkan ruangannya. Tanpa disuruh, Dinda mengikuti sang dosen dari belakang, berusaha tidak tertinggal terlalu jauh. Tidak ada percakapan di antara mereka, hingga mereka tiba di gedung B lantai tiga ruangan satu."Duduk di bagian belakang paling sudut. Simak dan perhatikan apa yang akan saya sampaikan pagi ini, karena ini menyangkut pemilihan metode penelitian dalam penyusunan skripsi. Mungkin saja itu bisa membantumu mengingat seperti apa outline atau proposal pengajuan judul skripsimu ya
"Mulai besok, gunakan masker saat berkonsultasi dengan saya." "Masker, Pak?" Arya mengangguk. "Kamu bisa melepasnya saat sudah tidak bersama saya lagi, maksud saya, jika sudah selesai berkonsultasi, kamu bisa melepasnya." "Ooh...." Dinda masih belum mengerti alasan dirinya disuruh mengenakan masker saat berkonsultasi, tapi melihat wajah Arya yang tampaknya tidak sedang dalam mood yang baik, maka ia memilih untuk menyetujui permintaan itu. Suara ketukan terdengar, dan tanpa seijin Arya, pintu itu dibuka dari luar. Wajah oval milik Mega Sandrina muncul dari balik daun pintu. Wanita itu terkejut melihat Dinda sudah duduk di depan meja Arya. Ia lebih terkejut lagi melihat ada dua kotak coklat yang masih terbuka, dan terlihat isinya. Niat hatinya ingin mengajak pria idamannya itu sarapan pagi bersama, tapi keberadaan dua kotak coklat itu mengurungkan niatnya. "Rupanya, Pak Arya sudah sarapan pagi. Padahal, saya ingin mentraktir Pak Arya lontong sayur pagi ini." Suara Mega dibuat sese
Dinda teringat saat ia mulai menjawab pertanyaan yang diajukan para penguji. Mulai dari pertanyaaan Hasan yang sangat teoritis, yang dijawab Dinda dengan lancar. Dilanjutkan Mega Sandrina yang menanyakan beberapa pengertian mendasar tentang metodologi penelitian, dan yang terakhir, dosen tampan yang baru dilihat Dinda hari itu. Sebenarnya, Dinda sedikit terkejut, melihat salah satu pengujinya adalah dosen tampan yang menghebohkan kampusnya terlebih lagi jurusan manajemen. Akan tetapi, saat itu kepalanya sudah penuh dengan skripsinya. Ia hanya merasakan kikuk sesaat ketika sang dosen menatapnya tajam dan dalam, saat memberikan pertanyaan. Pertanyaan yang diberikan Arya saat itu lebih ke isi pokok skripsinya. Ia sampai harus mengeluarkan kertas untuk menjawab pertanyaan hitung-hitungan sang dosen. Selama itu, Arya memang terus menatap Dinda. Ia tidak mengalihkan tatapannya sedikit pun dari Dinda, baik wajah maupun tangan Dinda yang sibuk menghitung di kertas buram yang ternyata sudah
"Selamat! Sebentar lagi, Pak Arya akan menjadi Ayah." Tangan putih sang dokter mengangsur ke depan, menyalami Arya yang masih bingung, mencerna kalimat barusan. Senyum tulus tidak lupa diberikan oleh Rizky.Dinda yang semula ternganga langsung tertawa kecil. "Dokter bercanda pasti. Masa iya saya hamil?"Ia tidak dapat menerima mentah-mentah kabar baik itu. Pernikahannya dengan Arya belum ada satu bulan masa iya dia langsung hamil. Berbeda dengan Arya. Rasa hangat mulai merayap ke dalam hatinya. Ayah? Benar ia akan segera menjadi ayah? "Saya tidak bermimpi?" Arya menyangsikan namun besar harapannya itu kabar nyata.Rizky mengangguk. Dokter muda itu memberi isyarat agar sang perawat memberikan test pack yang tadi digunakan untuk mengetes kandungan hormon hCG pada urine Dinda."Dua garis merah ini menunjukkan jika Ibu Dinda positif hamil. Usia kandungannya masih sangat dini. Sekitar satu minggu. Jadi, pesan saya jangan bekerja terlalu berat. Hindari mengangkat beban yang berat. Serahka
"Dokter Obgyn.""Hah?! Ngapain ke sana? Saya kan hanya sedikit demam. Nggak lebih," tolak Dinda mentah-mentah. Ia merasa aneh mendengar jawaban Arya."Kata Fahri, yang ada di dekat sini hanya dokter itu. Kalau harus cari dokter umum, kejauhan. Dokter obgyn juga bisa memberi resep demam biasa. Intinya, kita periksa saja keadaan kamu. Pasti beliau akan merekomendasikan obat terbaik sesuai yang kamu rasakan. Jika ternyata kamu hanya demam biasa karena kelelahan, biasanya dapat vitamin aja."Dinda hendak membantah lagi, namun keributan dari kamar Mita membuatnya terdiam. Arya mencolek lengan Dinda, meminta sang istri untuk segera mengambilkan dirinya sarapan."Kamu harus makan banyak pagi ini. Siapa tahu nanti antri.""Kan bisa beli cemilan.""Kita nggak tahu makanan-makanan di sini halal atau nggak untuk kita."Kembali mendesah, Dinda mengakhiri percakapan itu dengan mengisi piringnya dengan begitu banyak nasi. Ia mengambil mangkuk dan mulai mengisi mangkuk kecil berwarna coklat. Arya t
Arya masih terpaku mendengar perintah Sari. Tidak yakin dengan pemahamannya sendiri, ia berusaha mencari penegasan dari mertuanya itu.A : "Ma? Maksudnya Arya cukup cari tahu sendiri atau membawa Dinda ke ..."S : "Cek sendiri dulu saja."Arya berpikir mungkin ia harus memberitahu soal ini pada Dinda.A : "Baik, Ma.Pembicaraan singkat yang membawa keraguan dan sedikit rasa bahagia dalam diri Arya. Bagaimana cara menyuruh Dinda melakukan perintah ibu mertua? Apakah tidak sebaiknya ia menceritakan soal ini kepada Dinda?Arya mengacak rambutnya. Masalah sepele seperti ini justru membuat kepalanya pusing tujuh keliling. Ditatapnya wajah Dinda yang masih begitu damai, terlelap dalam mimpi indahnya. Mungkinkah Dinda memimpikan apa yang sedang menjadi dugaan ibu mertuanya?Merasa sedikit tertekan, Arya memilih untuk mengguyur tubuhnya dengan air hangat, berharap itu dapat mengurai ketegangan di dalam kepalanya.Dinda meregangkan otot punggungnya. Kedua netranya mulai terbuka seiring dengan
"Kalian bicara apa?" Fahri dan Arya menatap istri masing-masing. Meminta penjelasan lebih lanjut soal 'anak' yang baru saja mereka singgung. "Itu-tadi kan kita sedang bicara soal prinsip hidup. Nah, ternyata Dinda pengen punya banyak anak biar nggak kesepian, Pak Arya," terang Mita sedikit terbata."Ya bukan cuma saya saja, kok. Mita juga pengen punya banyak anak. Dia bilang jangan sampai anaknya mengalami masa kegelapan dan kesepian seperti dirinya."Fahri langsung berdeham, sedang Arya tiba-tiba sibuk meregangkan jari-jari tangannya. Alam pikiran kedua pria itu membentuk bayangan yang berbeda. Yang jelas keduanya memiliki pertanyaan yang sama, apakah itu pertanda jika pasangan mereka akan memanfaatkan kebersamaan mereka saat ini, sebagai waktu yang sangat tepat untuk mewujudkan keluarga kecil mereka?"Kenapa malah pada diam?" Mita keheranan melihat tingkah suami dan saudara iparnya, yang justru diam, tidak bereaksi berlebih seperti bayangannya."Lapar mungkin, Mit. Kita makan dulu
"Dinda ngidam, Pak." Wajah serius Mita justru membuat Arya ragu. Pria itu menatap lekat ke arah Mita dalam diam. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Mita berjalan mundur. "Apa? Pak Arya tidak percaya?" Diamnya Arya yang begitu lama, membuat Mita kecewa. Ia memilih pergi menjauh dari pasangan itu."Eh, Mit. Mau kemana?" Dinda menjadi panik. Keinginannya belum dijawab Mita. "Kenapa sih, Mas? Tinggal di-iya-in aja gitu apa susahnya?" gerutu Dinda bangkit menyusul Mita, yang pergi tanpa pamit.Arya menghela napas frustasi. Betapa susahnya menghadapi makhluk Tuhan yang satu ini. Salah mengambil sikap saja, sudah jadi masalah, dan itu sangat tidak mudah untuk menyelesaikannya."Mit!" seru Dinda memanggil Mita yang kini berada di dalam kamarnya. Ia mengetuk sekali lalu membuka pintunya. "Maafin suami gua, ya?! Dia emang gitu. Rada susah nyambung kalau soal beginian."Mita memutar tubuhnya. Ia mengabaikan celotehan Dinda soal sikap Arya barusan. "Lu ngerasain ada yang aneh kagak sama
Siang itu, Fahri dan Mita, berangkat lebih dulu ke London. Mereka mencari kontrakan rumah atau apartemen, sedangkan Arya menyusul dua hari kemudian.Dinda tidak seperti biasanya. Ia banyak menghabiskan waktunya bersama Sari, seakan ia dan mama tersayangnya itu, tidak akan berjumpa lagi."Kamu itu udah gede. Nggak malu apa sama suami kamu?" Sari mengaduk adonan roti yang sebentar lagi akan ia pindahkan ke loyang."Ngapain malu, Ma. Orang Dinda emang begini. Kan Dinda nggak pernah pergi jauh dari mama sama papa. Wajarlah kalau Dinda begini." Arya menimbrung dari ruang tengah, membela istri kesayangannya.Dinda diam seribu bahasa. Ia tiba-tiba teringat sesuatu. "Gimana kalau tiba-tiba Dinda kangen cilok, bakso bakar sama sate tahu? Masa ia pake aplikasi?""Yaa bikin sendirilah. Daripada beli, mending kamu bikin sendiri. Selama bahannya bisa didapat, lebih baik kamu masak sendiri. Nanti Mama siapkan beberapa bumbu dasar dari siini. Lebih hemat, dan tentunya lebih sehat."Dinda menghela nap
"Pak Arya harus percaya saya!" tegas Mita sekali lagi."Kamu itu bicara apa? Dinda tidak sedang sakit. Paling dia sedang kena sindrom pre-menstruasi." Arya kembali ke meja makan setelah sempat diajak menjauh oleh Mita. Mita mendengus kesal. Ia sangat tahu jika penyebab Dinda galau bukan karena gejala awal akan datang bulan. "Kamu ngapain di sini? Bukannya menyiapkan sarapan untuk suami, malah komat-kamit sendiri." Fahri menepuk punggung Mita yang masih fokus pada Dinda."Aduh, Mas! Kaget tahu, nggak?!""Salah sendiri kenapa melamun. Udah sarapan? Kalau belum, ayo kita makan bareng. Laper banget." Fahri langsung menarik tangan Mita, membawa istrinya itu ke meja yang sama dengan Dinda dan Arya.Mita yang masih trauma dengan sikap ketus dan galak Dinda, memilih untuk duduk berjarak dengan sahabatnya itu. Ia takut akan mendengar kata-kata kasar dari Dinda untuk ke sekian kalinya.Dinda ternyata mengawasi gerak-gerik Mita. Ia sendiri tidak tahu, mengapa pagi ini sangat ingin memarahi Mit
"Jangan lupa kodratmu sebagai wanita."Aduh. Kepala Mita langsung berputar. Haruskah ia mendapat ceramah kehidupan tengah malam begini? Ia sedang tidak ingin berdebat masalah kehidupan. Ia hanya mencari sedikit waktu untuk memikirkan rencana pendidikannya, tidak yang lain."Mas. Sudah malam. Tolong jangan kasih materi yang berat-berat. Otak saya dan Dinda beda kapasitas. Kalau Dinda bisa mengimbangi tapi saya nggak. Lagian dah capek banget, deh." Mita beranjak pergi meninggalkan balkon, meninggalkan Fahri yang kini mematung mendengar ucapan Mita.Ia melihat Mita masuk ke kamar mandi. Apakah ia sudah kelewatan? Dilihatnya jam dinding. Pantas saja. Jarum jam sudah berada di tengah-tengah angka sebelas dan dua belas. Fahri mengambil ponselnya lalu berbaring di ranjang, sembari menanti istrinya yang belum juga keluar dari kamar mandi. Ia sibuk membaca ulang pesan dari Chandra. Beberapa hari yang lalu, Chandra memang sempat menyuruhnya untuk mengurus satu bisnis Chandra yang terbengkalai
"Lusa saya harus ke London." Perkataan Fahri membuat Mita dan Dinda terperangah, tapi tidak dengan Arya. Ia sudah biasa dengan jadwal Fahri yang begitu acak Sehari ke kota Jogja, besok ke Makasar, lusanya sudah harus terbang ke luar negeri."Resiko jadi pengusaha memang begitu. Jadi, kamu harus bisa beradaptasi dengan cepat.""Tapi kenapa mendadak begini?" Mita belum bisa menerima.Di saat ia mulai beradaptasi dengan kehadiran Fahri di kehidupannya, pada akhirnya mereka harus berpisah seperti ini?Fahri mendesah. "Ini permintaan Papa Candra." Tampak ia tidak punya cukup alasan untuk menolak permintaan itu.Dinda langsung mengangguk seolah paham, mengapa Fahri tidak dapat menolak permintaan itu. "Papa yang minta??" Nada Mita meninggi. Mita tidak habis pikir. Bukannya menyuruh mereka lebih banyak menghabiskan waktu berdua, tapi malah menyuruh berpisah meski hanya untuk sementara? Mita tidak bisa menerima berita ini."Gua harus bicara dengan papa! Ini tidak bisa dibiarkan!" ucapnya deng