Hasan mengedarkan pandangannya, hendak mencari keberadaan Dinda, tapi sayangnya meja yang ditempati Dinda dan Mita kosong. Keduanya, secara kebetulan sedang pergi ke belakang, mencari kamar kecil. Arya yang sempat khawatir, menarik napas sejenak. Beberapa menit kemudian, Mega akhirnya mengetahui keberadaan Dinda dan Mita di restoran itu. Ia yang meminta daftar menu, mendatangi meja resepsionis dan berpapasan dengan Dinda yang baru saja dari toilet yang terletak di belakang ruangan itu. "Kamu ada di sini juga?" tanya Mega penuh sindiran. "Lagi ada janjian sama tamu atau gimana?" Dinda yang semula hendak menyapa dengan menganggukkan kepalanya, mengurungkan niatnya begitu mendengar kalimat terakhir Mega. "Tamu? Siapa ya Bu?" Dinda berusaha menahan emosinya. "Dinda datang kemari karena diajak calon suaminya, Bu." Mita tidak tinggal diam. Jengkel juga dia mendengar tuduhan tidak mendasar Mega. "Oh, calon suami? Sudah punya calon suami rupanya? Calon suami atau pelanggan tetap?" Uc
Dinda duduk termenung di meja belajarnya. Laptop yang sudah menyala sejak satu jam yang lalu sama sekali belum disentuhnya. Jari jemari yang biasanya sudah menari lincah di atas keyboard, kini justru menjadi penyanggah kepalanya. Kilasan pertemuan dan perselisihannya dengan Mega kemarin kembali melintas di hadapannya. Dinda tidak habis pikir, mengapa mantan dosen pembimbingnya itu sangat membencinya. Atas dasar apa wanita yang sangat suka menyanggul rambutnya itu menaruh cemburu padanya? Dinda mengambil cermin kecil yang tergeletak di meja kecil di samping meja belajarnya. Ia mulai mengamati wajahnya sendiri. Dilihat dengan seksama, wajahnya memang putih meski ada satu-dua jerawat mungil yang menghiasi keningnya. Hidungnya memang sedikit lebih mancung dari kebanyakan orang, ini juga karena papanya yang memang memiliki gen mancung dari keluarga besarnya. Bibirnya tidak terlalu tipis pun tidak terlalu tebal standar dengan warna sedikit merah. Dinda menelungkupkan cermin itu ke atas m
"Mengapa lama sekali?" Arya menatap tajam Dinda yang baru saja datang ke ruangannya. "Hmm, Maaf, Pak. Tadi pagi badan saya agak meriang, tapi sekarang sudah lebih baik." "Kamu sudah sarapan?" "Sudah, Pak." "Banyak?" "Dua lapis roti tawar plus selai kacang dan keju, satu gelas coklat panas." "Berarti itu belum cukup untuk mengembalikan stamina kamu hari ini. Temani saya makan." Arya bangkit dari duduknya, dan tanpa banyak bicara ia langsung menarik tangan Dinda, memaksa gadis itu mengikuti kemauannya. "Eh, tapi, Pak .... Bagaimana kalau ...." Arya menghentikan langkahnya. Ia menatap wajah Dinda dengan begitu serius. Dinda menjadi salah tingkah sesaat, namun gadis itu tiba-tiba teringat sesuatu. Ia membuka tas lalu mengambil masker dan langsung memakainya. "Anak pintar." Arya tersenyum tipis, membuat Dinda langsung mengucap kalimat istighfar. 'Mengapa Tuhan menghukum gua dengan melihat pemandangan seindah ini?' "Ikuti saya dan jangan banyak protes." Dinda diam. Ia menyerah
Rudy sedang menata kembali beberapa lembar kertas yang baru saja di tanda-tangani oleh Arya. Ia seperti ingin menanyakan sesuatu. "Ehm, Pak Arya." Pria muda itu sudah tidak dapat menahan rasa penasarannya. "Ya?" "Itu tadi ... kok bisa bareng dengan Mbak Dinda?" "Oh, itu. Kebetulan berpapasan di depan kampus. Ini juga jadwal dia konsultasi dengan saya." "Oooh, begitu ternyata. Sekarang Pak Arya menjadi pembimbing Mbak Dinda. Syukurlah kalau begitu. Pak Arya harus membantu Mbak Dinda. Mendorong sepenuhnya agar Mbak Dinda bisa lulus secepatnya." "Secepatnya gimana Pak Rudy, orang jadwal sidang juga masih tetap, tiga bulan. Tidak berubah." "Ya maksud saya, di sidang besok, Mbak Dinda bisa lulus, nggak seperti kemarin, Pak Arya." Arya hanya tersenyum. "Tugas berat ini." Rudy tampaknya paham dengan maksud. "Tidak, Pak Arya. Jika Pak Arya melakukannya dengan penuh cinta dan kasih sayang, pasti hasilnya juga bagus." "Bercanda, Pak Rudy. Saya akan membantu sebisa saya, selebihnya
Dinda membeli dua bungkus es krim coklat dengan taburan kacang almond di atasnya. Ia mulai menggigit sedikit demi sedikit es krimnya, sambil memikirkan semua ucapan Arya. Semakin direnungkan, semakin banyak ia menemukan kebenaran dalam kata-kata sang dosen pembimbing. Sudah waktunya ia mengenyahkan nama Mega Sandrina dari pikirannya. Toh sekarang dia sudah bukan pembimbingnya lagi. Saatnya ia kembali memusatkan perhatiannya pada skripsinya. Ia akan mengikuti semua saran Arya. Jikalau mantan pembimbingnya itu mencari gara-gara lagi, ia akan memilih untuk diam. Dari jauh ia sempat melihat sosok dosen pembimbingnya melangkah keluar dari ruang dosen. Pria tampan itu seperti sedang mencari seseorang, sayangnya, Dinda harus melihat sosok yang sangat ia benci datang menghampiri pria tampan itu. Mereka terlibat percakapan sesaat, tapi raut wajah Arya terlihat tidak senang. Ia mengangkat kedua tangannya, seperti sedang menolak sesuatu atau permintaan dari mantan pembimbingnya. Pria itu lanta
Mita berguling-guling di atas kasur Dinda. Ia yang baru saja mendengar cerita Dinda, merasa malu sendiri. Wajahnya ia tutupi dengan bantal. Perlakuan Arya terhadap Dinda selaku dosen pembimbing, benar-benar tidak biasa. Tidak seharusnya seorang dosen pembimbing bersikap seperti seseorang yang sedang jatuh cinta. Mita langsung bangun, menegakkan punggungnya. Mungkinkah jika sang dosen sudah menyimpan perasaan khusus pada sahabatnya itu? Mita menatap Dinda dengan sangat serius. "Din!" serunya. "Hmm?" "Lu nggak ngerasa aneh gitu dengan sikap dosbing lu itu?" Dinda diam sambil berpikir. Sebenarnya, sejak awal pertemuan mereka, ia sudah merasa sangat aneh dengan sifat pembimbing barunya itu, tapi ia berusaha mengenyahkan perasaannya itu dan berusaha bersikap biasa saja. Tapi sekarang, sikap sang pembimbing makin ke sini makin aneh. Apa itu cuma perasaannya saja? Ia takut jika ia salah menterjemahkan sikap pria itu. "Sedikit." "Cuma sedikit?" Mita mendelik tidak percaya. "Nurut gua,
"Berangkat sekarang, Pa?" tanya Anggun pada Dermawan yang baru saja selesai mandi. Mereka memang merencanakan untuk bertemu dengan Broto di suatu tempat. Tidak di rumah salah satu dari mereka. "Tidak menunggu Arya dulu?" Anggun menggeleng. "Barusan telpon Mama, kalau dia tidak langsung ke rumah, tapi mampir ke rumah temannya sebentar. Ada hal penting yang harus diselesaikan." "Oh. " Dermawan kini merapikan rambutnya, menyemprotkan sedikit parfum ke pakaiannya."Ayo, kita berangkat. Jangan pulang malam-malam. Besok Papa ada rapat direksi." Anggun mengambil tas yang sudah ia siapkan sebelumnya. Ia berjalan mendahului Dermawan untuk memberitahu asisten rumah tangga-nya agar memanaskan makan malam jika Arya sudah tiba di rumah. -0- "Loh, Pak Arya!" seru Rudy terkejut menemukan Arya sudah berdiri di depan pintu pagar rumahnya. Ia sendiri sedang menggendong putranya yang masih berusia empat bulan. Rudy segera membuka pintu pagar rumahnya. "Maaf, Pak Rudy. Saya mengganggu sebentar."
Dinda melihat Arya dengan wajah penuh tanda tanya. Pertanyaan aneh yang ia dengar, yang sama sekali tidak berkaitan dengan skripsinya. Dalam konteks apa pertanyaan itu diajukan? Mereka tidak sedang membicarakan pernikahan. Ops!! Kedua netra Dinda membola. Mana mungkin mereka mendiskusikan pernikahan, lawong hubungan antara mereka adalah hubungan dosen pembimbing dan mahasiswa yang dibimbing? "Permisi, Pak. Itu maksudnya apa? Perjuangan? Bersama? Sendiri? Saya kok tidak paham sama sekali." Otak Dinda tidak bisa berpikir. Ia mencari topik yang memiliki hubungan dengan pertanyaan itu, tapi tidak kunjung ia temukan. "Apa kamu tidak mendengar percakapan saya tadi dengan Bu Mega?" Dinda menunduk. "Mendengar sedikit, tapi saya tidak paham apa yang dibicarakan." Arya tidak melanjutkan pertanyaannya. Moodnya tiba-tiba menjadi buruk. "Jika saja ada peraturan baru, yang mengatakan jika pembimbing tidak diperbolehkan menjadi bagian dari tim penguji, apakah kamu siap?" Dinda mengangkat ke