'Apa??!! Dia bilang bercanda? Hal sakral seperti ini dia bilang bercanda?' Arya memelototi Dinda yang kini bergerak cepat memasukkan semua barangnya ke dalam tas ransel. "Kamu sadar tidak dengan rencana aneh kamu itu?" "Saya kan tadi sudah meralat, Pak. Kalau saya cuma bercanda. Bapak sih terlalu serius. Jangan menanggapinya dengan serius." "Kamu salah! Kamu salah! Seharusnya, kamu tidak membicarakan topik seperti ini dengan orang dewasa." Arya bukan main geramnya. Baru kali ini dirinya diperdaya oleh seorang gadis. "Mama saya nggak masalah tuh, Pak. Beliau justru setuju." "Setuju?" Arya terkejut. Ia menyangsikan jawaban gadis itu. "Eh..." Aduh. Malah tambah runyam. Dinda menatap Arya dengan cemas. Ia harus bisa secepatnya keluar dari sini. Semakin lama dirinya ada di ruangan ini, akan semakin berbahaya mulutnya. Dan ia tidak ingin itu terjadi. Ia harus segera melarikan diri. "Jangan pernah bermimpi kamu bisa pergi dari ruangan ini dengan mudah!" ancam Arya. Pria itu berjalan
"Jadi gua harus kasih tahu alamat rumah gua ke doi, gitu?" Dinda menatap Mita ragu. "Ya nggak apa-apa. Kan beliau tanya, ya kamu jawablah. Lagian, belum tentu juga doi nyamperin ke rumah lu. Apalagi, doi udah punya gebetan. Lu kasih alamat palsu juga doi nggak bakal ngerti, tapi masa iya lu tega, menjerumuskan beliau yang sudah begitu baik sama elu?" Dinda tertegun ketika Mita menyebut kebaikan Arya. Dia sontak memukul keningnya sendiri, hingga membuat Mita terkejut. "Kalem, Din. Kalem. Nggak apa-apa. Lu salahnya cuma sedikit. Nggak perlu menyakiti diri sendiri seperti ini." Mita segera menarik tangan Dinda menjauh dari wajah gadis itu. "Bukan. Itu ponselnya ketinggalan." Dinda menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ketinggalan? Ponsel lu kan sedang diservis? Emang lu udah beli yang baru? Katanya nggak punya duit, malah udah beli yang baru aja." Dinda berdecak. "Bukan baru. Gua kan nggak punya duit, mana berani beli ponsel baru." "Terus ponsel siapa yang lu maksud barusan?" "
"Kemana anak ini? Mengapa belum pulang juga?" Sari menatap ponselnya. Berulang kali menghubungi Dinda tapi tetap tidak tersambung. Harus mencari anak itu kemana? Nomor ponsel teman-teman Dinda, tidak satu pun yang tersimpan di ponselnya. Mungkin ia harus meminta anak gadisnya itu memberikan satu nomor teman dekatnya, agar ia dapat menghubungi jika kondisi sedang darurat seperti ini. "Gimana, Ma? Dinda ada dimana?" Broto memapah Dani keluar dari kamarnya. Sari berjalan menyusul Broto dan membantu memapah putra sulungnya. "Tidak bisa dihubungi. Mama coba kirim pesan pun tidak dibaca-baca." "Ya sudah. Nanti saja kita coba hubungi lagi. Sekarang, kita harus cepat-cepat membawa Dani ke rumah sakit." Sari mengangguk. Ia memapah Dani sendirian, sedangkan Broto mengeluarkan mobil dari garasi. Suhu tubuh Dani tiba-tiba naik. Nyaris menyentuh angka 40 derajat. Jika saja Broto tidak cekatan menangkap Dani yang saat itu tengah berjalan keluar dari kamarnya, mungkin keadaan pria itu lebih p
Kedua kening Sari bertaut. Suara seorang priia? Mengapa bisa? Apakah telah terjadi sesuatu pada Dinda? "Halo?" Arya kembali menyapa. Yang ia dengar hanyalah suasana ramai yang ia tidak tahu latar belakang tempat asal suara. Diantaranya suara roda yang di dorong dengan cepat, ada juga suara tangisan anak-anak juga dewasa. *Ya. Halo. Maaf saya berbicara dengan siapa?" Sari mengubah suaranya menjadi tidak ramah. Siapa pria yang sudah berani mengangkat telponnya, di ponsel Dinda. "Maaf, Bu. Saya ..." Arya hendak menjelaskan duduk perkara sebenarnya, namun ia harus menundanya sebentar. Menghadapi ibu-ibu memang harus hati-hati. Ekstra hati-hati. "Tolong berikan kepada putri saya. Saya ingin bicara dengannya. Sangat penting! Seumur-umur dirinya hidup, baru kali ini Arya diperlakukan seperti ini. Apa sulitnya memberinya beberapa menit untuk menjelaskan semuanya? Apakah wanita itu sangat sibuk hingga tidak bersedia mendengarkan penjelasan darinya? Arya sama sekali tidak diberi waktu ole
Keterangan yang diberikan pemuda tampan di depannya sedikit membingungkan Sari. Biasanya, Dinda akan menceritakan setiap orang baru yang ia temui di kampus. Lebih lagi, jika orang itu memiliki penampilan yang sangat tidak biasa dari orang lain. Dan pria muda di depannya memiliki penampilan yang cukup mencolok, dan Sari yakin, jika pria ini adalah tipe-tipe yang sesuai dengan selera Dinda. Anehnya, mengapa Dinda tidak pernah menyinggung pria ini di depannya? Apakah sengaja dirahasiakan darinya? "Mengapa DInda tidak pernah cerita tentang kamu?" Arya tidak menyangka akan mendengar pertanyaan seperti itu. Apakah itu artinya DInda sangat terbuka dengan keluarganya? Termasuk siapa saja orang yang dekat dengannya di kampus? Atau siapa saja yang menarik perhatiannya akan ia ceritakan kepada orang tuanya? Dan dirinya tidak menarik sama sekali bagi Dinda hingga ia tidak diceritakan kepada orang tuanya? Arya tersenyum kecut. "Saya tidak menonjol seperti yang lain, Bu. Lebih banyak diam daripa
"Kenapa dia bisa kenal kamu, sedang kamu tidak? Katanya dia ada di bimbingan yang sama dengan kamu, dan dia menganggap kamu sebagai seniornya." Senior? Dinda benar-benar tidak tahu siapa yang dimaksud oleh Sari. "Dinda nggak paham deh, Ma. Siapa sih? " Dinda mulai penasaran. Perasaannya, ketampanan teman-temannya di kampus berada di level standar semua. Tidak ada yang di atas rata-rata. "Bener nggak ada yang ganteng di kampus kamu?" Sari mengulang pertanyaannya. Ia meragukan jawaban putrinya sendiri. Tidak mungkin'kan pria muda tadi berbohong padanya? Dengan yakin Dinda menggeleng. "Kalau ada yang ganteng, tampan dan rupawan, pasti udah Dinda deketin, Ma. Kenyataannya emang nggak ada kok." Sari masih belum menceritakan secara komplit tentang pertemuannya dengan Arya. Ia ingin melihat reaksi Dinda lebih dulu. Termasuk ponselnya yang sedang diservis. Mengapa putrinya itu tidak mengatakan yang sebenarnya? "Buruan selesaikan makannya. Papa keburu ngantuk nanti." "Kita bawa sopir a
"Tunggu di sini?" Dinda mengulang perkataan Arya. *Iya. Tunggu di sana. "Pak Arya mau datang kemari? Jangan deh, Pak. Sudah malam. Mending Pak Arya istirahat saja di rumah. Lagian saya nanti tidak sendiri. Ada mama juga nanti." *Ssst. Udah. Jangan banyak protes. Arya mematikan sambungan telponnya. Ia tidak mau mendengar penolakan Dinda. Arya sebenarnya sudah bersiap mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur, namun pesan singkat Dinda mengurungkan niatnya. Tiba-tiba saja, terlintas ide untuk menyusul Dinda ke rumah sakit. Mumpung ada kesempatan untuk mendekati gadis itu. Mungkin saja, kesempatan itu tidak akan datang untuk kedua kali. Arya meraih jaket kulit yang tergantung di balik pintu kamarnya. Ia bergegas keluar kamar dan menuruni anak tangga dengan sedikit terburu-buru. Saat itu, kebetulan Anggun baru saja keluar dari kamarnya, hendak mengisi termos air di dapur. "Mau kemana? Sudah malam begini?" Anggun tampak keberatan. "Ada teman Arya yang masuk rumah sakit, Ma." "Oh.
"Berikan alamat rumah sekarang." Dinda tidak berkutik. Apakah ia harus mengabulkan permintaan pria di depannya? Memberikan alamat rumahnya atau ia gunakan saja ide Mita? Memberikan alamat palsu? Toh, Arya juga tidak mungkin akan benar-benar datang ke rumahnya. "Jangan pernah memberikan keterangan yang tidak jujur. Bisa-bisa kamu kualat di belakang," ancam Arya. Dinda berjingkat. Apakah rencananya tertulis jelas di keningnya? "Baiklah. Saya akan memberikan alamat saya tapi tidak sekarang. Nanti saja kalau saya sudah di rumah lagi. Saya akan berbagi lokasi dengan Pak Arya." "Lokasi rumah. Bukan lokasi tempat kamu hang out." "Iya-Iya, Pak. Bapak bisa memegang kata-kata saya." Dinda akhirnya menyerah. Arya melihat ke arah jam dinding yang terletak tepat di atas tempat tidur Dani. Jarum pendek sudah berada tepat di angka dua belas. Dinda yang sejak pembicaraan terakhir fokus pada layar ponselnya, membuat Arya curiga. Apa yang menarik perhatian gadis itu? "Ini. Seharusnya jangan b