Arya menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap layar. Ia langsung memutus panggilan itu dan memaki-maki dirinya dalam hati. Bisa-bisanya dia menghubungi wanita itu. "Bapak telpon siapa? Ponsel saya tidak berdering sama sekali? Apakah nomornya salah?" Dinda menatap terus ponsel yang dipinjamkan Arya padanya, yang masih diletakkan di meja."Salah tekan. Saya pikir nomor yang saya tekan adalah nomor kamu tapi ternyata salah." Dinda terkekeh. "Nomor sang ratu kah?""Ratu mana? Jangan ngaco." Arya begitu sewot. Baru kali ini, Dinda melihat wajah tidak suka Arya."Hati-hati, Pak. Ntar malah jadi bucin, loh.""Apa itu bucin?""Bucin = Budak Cinta doi." Dinda tergelak sendiri. Ia tahu nomor siapa yang tanpa sengaja ditekan Arya."Saya sudah jadi bucin seseorang.""Oh..." Bibir Dinda membentuk huruf O lalu menutupnya dengan telapak tangannya."Nggak pengen tahu siapa orangnya?""Nggak deh, Pak. Ntar saya malah patah arang begitu tahu siapa orangnya." Olala. Dinda kembali mengucapkan kata-
'Apa??!! Dia bilang bercanda? Hal sakral seperti ini dia bilang bercanda?' Arya memelototi Dinda yang kini bergerak cepat memasukkan semua barangnya ke dalam tas ransel."Kamu sadar tidak dengan rencana aneh kamu itu?""Saya kan tadi sudah meralat, Pak. Kalau saya cuma bercanda. Bapak sih terlalu serius. Jangan menanggapinya dengan serius.""Kamu salah! Kamu salah! Seharusnya, kamu tidak membicarakan topik seperti ini dengan orang dewasa." Arya bukan main geramnya. Baru kali ini dirinya diperdaya oleh seorang gadis. "Mama saya nggak masalah tuh, Pak. Beliau justru setuju." "Setuju?" Arya terkejut. Ia menyangsikan jawaban gadis itu."Eh..." Aduh. Malah tambah runyam. Dinda menatap Arya dengan cemas. Ia harus bisa secepatnya keluar dari sini. Semakin lama dirinya ada di ruangan ini, akan semakin berbahaya mulutnya. Dan ia tidak ingin itu terjadi. Ia harus segera melarikan diri. "Jangan pernah bermimpi kamu bisa pergi dari ruangan ini dengan mudah!" ancam Arya. Pria itu berjalan cepat
"Jadi gua harus kasih tahu alamat rumah gua ke doi, gitu?" Dinda menatap Mita ragu."Ya nggak apa-apa. Kan beliau tanya, ya kamu jawablah. Lagian, belum tentu juga doi nyamperin ke rumah lu. Apalagi, doi udah punya gebetan. Lu kasih alamat palsu juga doi nggak bakal ngerti, tapi masa iya lu tega, menjerumuskan beliau yang sudah begitu baik sama elu?"Dinda tertegun ketika Mita menyebut kebaikan Arya. Dia sontak memukul keningnya sendiri, hingga membuat Mita terkejut. "Kalem, Din. Kalem. Nggak apa-apa. Lu salahnya cuma sedikit. Nggak perlu menyakiti diri sendiri seperti ini." Mita segera menarik tangan Dinda menjauh dari wajah gadis itu."Bukan. Itu ponselnya ketinggalan." Dinda menutupi wajahnya dengan kedua tangan."Ketinggalan? Ponsel lu kan sedang diservis? Emang lu udah beli yang baru? Katanya nggak punya duit, malah udah beli yang baru aja." Dinda berdecak. "Bukan baru. Gua kan nggak punya duit, mana berani beli ponsel baru.""Terus ponsel siapa yang lu maksud barusan?""Dikasih
"Kemana anak ini? Mengapa belum pulang juga?" Sari menatap ponselnya. Berulang kali menghubungi Dinda tapi tetap tidak tersambung. Harus mencari anak itu kemana? Nomor ponsel teman-teman Dinda, tidak satu pun yang tersimpan di ponselnya. Mungkin ia harus meminta anak gadisnya itu memberikan satu nomor teman dekatnya, agar ia dapat menghubungi jika kondisi sedang darurat seperti ini. "Gimana, Ma? Dinda ada dimana?" Broto memapah Dani keluar dari kamarnya.Sari berjalan menyusul Broto dan membantu memapah putra sulungnya. "Tidak bisa dihubungi. Mama coba kirim pesan pun tidak dibaca-baca.""Ya sudah. Nanti saja kita coba hubungi lagi. Sekarang, kita harus cepat-cepat membawa Dani ke rumah sakit."Sari mengangguk. Ia memapah Dani sendirian, sedangkan Broto mengeluarkan mobil dari garasi. Suhu tubuh Dani tiba-tiba naik. Nyaris menyentuh angka 40 derajat. Jika saja Broto tidak cekatan menangkap Dani yang saat itu tengah berjalan keluar dari kamarnya, mungkin keadaan pria itu lebih parah.
Kedua kening Sari bertaut. Suara seorang pria? Mengapa bisa? Apakah telah terjadi sesuatu pada Dinda?"Halo?" Arya kembali menyapa. Yang ia dengar hanyalah suasana ramai yang ia tidak tahu latar belakang tempat asal suara. Diantaranya suara roda yang di dorong dengan cepat, ada juga suara tangisan anak-anak juga dewasa.*Ya. Halo. Maaf saya berbicara dengan siapa?" Sari mengubah suaranya menjadi tidak ramah. Siapa pria yang sudah berani mengangkat telponnya, di ponsel Dinda?"Maaf, Bu. Saya ..." Arya hendak menjelaskan duduk perkara sebenarnya, namun ia harus menundanya sebentar. Menghadapi ibu-ibu memang harus hati-hati. Ekstra hati-hati.*Tolong berikan kepada putri saya. Saya ingin bicara dengannya. Sangat penting!Seumur-umur dirinya hidup, baru kali ini Arya diperlakukan seperti ini. Apa sulitnya memberinya beberapa menit untuk menjelaskan semuanya? Apakah wanita itu sangat sibuk hingga tidak bersedia mendengarkan penjelasan darinya?Arya sama sekali tidak diberi waktu oleh Sari u
Keterangan yang diberikan pemuda tampan di depannya sedikit membingungkan Sari. Biasanya, Dinda akan menceritakan setiap orang baru yang ia temui di kampus. Lebih lagi, jika orang itu memiliki penampilan yang sangat tidak biasa dari orang lain. Dan pria muda di depannya memiliki penampilan yang cukup mencolok, dan Sari yakin, jika pria ini adalah tipe-tipe yang sesuai dengan selera Dinda. Anehnya, mengapa Dinda tidak pernah menyinggung pria ini di depannya? Apakah sengaja dirahasiakan darinya?"Mengapa Dinda tidak pernah cerita tentang kamu?"Arya tidak menyangka akan mendengar pertanyaan seperti itu. Apakah itu artinya Dinda sangat terbuka dengan keluarganya? Termasuk siapa saja orang yang dekat dengannya di kampus? Atau siapa saja yang menarik perhatiannya akan ia ceritakan kepada orang tuanya? Dan dirinya tidak menarik sama sekali bagi Dinda hingga ia tidak diceritakan kepada orang tuanya?Arya tersenyum kecut. "Saya tidak menonjol seperti yang lain, Bu. Lebih banyak diam daripada
"Kenapa dia bisa kenal kamu, sedang kamu tidak? Katanya dia ada di bimbingan yang sama dengan kamu, dan dia menganggap kamu sebagai seniornya."Senior? Dinda benar-benar tidak tahu siapa yang dimaksud oleh Sari."Dinda nggak paham deh, Ma. Siapa sih? " Dinda mulai penasaran. Perasaan, ketampanan teman-temannya di kampus berada di level standar semua. Tidak ada yang di atas rata-rata."Bener nggak ada yang ganteng di kampus kamu?" Sari mengulang pertanyaannya. Ia meragukan jawaban putrinya sendiri. Tidak mungkin'kan pria muda tadi berbohong padanya?Dengan yakin Dinda menggeleng. "Kalau ada yang ganteng, tampan dan rupawan, pasti udah Dinda deketin, Ma. Kenyataannya emang nggak ada kok."Sari masih belum menceritakan secara komplit tentang pertemuannya dengan Arya. Ia ingin melihat reaksi Dinda lebih dulu. Termasuk ponselnya yang sedang diservis. Mengapa putrinya itu tidak mengatakan yang sebenarnya?"Buruan selesaikan makannya. Papa keburu ngantuk nanti.""Kita bawa sopir aja, Ma. Nan
"Tunggu di sini?" Dinda mengulang perkataan Arya.*Iya. Tunggu di sana."Pak Arya mau datang kemari? Jangan deh, Pak. Sudah malam. Mending Pak Arya istirahat saja di rumah. Lagian saya nanti tidak sendiri. Ada mama juga nanti."*Ssst. Udah. Jangan banyak protes. Arya mematikan sambungan telponnya. Ia tidak mau mendengar penolakan Dinda. Arya sebenarnya sudah bersiap mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur, namun pesan singkat Dinda mengurungkan niatnya. Tiba-tiba saja, terlintas ide untuk menyusul Dinda ke rumah sakit. Mumpung ada kesempatan untuk mendekati gadis itu. Mungkin saja, kesempatan itu tidak akan datang untuk kedua kali.Arya meraih jaket kulit yang tergantung di balik pintu kamarnya. Ia bergegas keluar kamar dan menuruni anak tangga dengan sedikit terburu-buru.Saat itu, kebetulan Anggun baru saja keluar dari kamarnya, hendak mengisi termos air di dapur."Mau kemana? Sudah malam begini?" Anggun tampak keberatan."Ada teman Arya yang masuk rumah sakit, Ma.""Oh. Baru saja
Rasa was-was yang dirasakan Mita menular ke Dinda. Secara tidak sadar, perhatian Dinda kini beralih pada sosok pria tinggi yang sepertinya sengaja menutupi wajahnya dengan topi berwarna hitam. Pria itu mulai menyadari jika kehadirannya sudah diketahui Dinda. Ia memutar tubuhnya secepat mungkin, berpura-pura sibuk memilih jam yang dipajang di toko yang berada tepat di belakangnya."Buruan cabut aja deh, Din. Gua takut kenapa-kenapa." Mita mendorong kereta belanja dengan sekuat tenaga. Dalam pikirannya, mereka harus segera meninggalkan supermarket ini. Tidak ada Fahri atau Arya di samping mereka, membuat Mita bersikap sangat waspada, terlebih lagi mereka membawa dua bocah, yang sejak kedatangan mereka, sudah menarik banyak perhatian terutama Brilian.Dinda mengangguk setuju. Mereka bergegas menuju meja kasir yang kosong, untuk kemudian meninggalkan supermarket itu. Bulir keringat bermunculan di kening Mita. Ia sungguh gugup. Takut jika kejadian buruk akan menimpa mereka. Ia membawa mo
Suasana tegang melingkupi ruangan Arya. Yusna mengusap keringat yang mulai memenuhi keningnya, sedangkan Burhan menatap nanar pemuda tampan di hadapannya, yang memiliki aura tak kalah menyeramkan dengan pemilik yayasan."Bagaimana?" Arya masih setia menunggu penjelasan kedua pria paruh baya di depannya. Batin Burhan masih terjadi pergulatan batin. Ia tidak ingin mengaku salah karena dalam kacamatanya, mengaku salah berarti salah. Ia tidak sudi mengakui kesalahannya di depan pemuda belum matang di depannya."Saya mengadakan perekrutan ini bukan tanpa pertimbangan, Pak Arya. Semua berdasarkan permintaan masing-masing fakultas. Ada banyak dosen yang sebentar lagi akan memasuki masa pensiun. Jika kita tidak cepat mencari calon pengganti mereka, saya khawatir ini berpengaruh pada jumlah serapan mahasiswa baru tahun depan."Yusna mengangguk setuju. Apa yang dikatakan Burhan tidak jauh berbeda dengan pemikirannya. Mereka harus mempersiapkan calon pengganti lebih awal beberapa bulan sebelum
Rudy mengikuti Arya dari belakang. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sang rektor muda. Tentang kabar Dinda dan putra mereka, termasuk kehidupan yang keluarga kecil itu jalani selama pendidikan di Inggris. Namun, aura Arya mencegahnya untuk bertanya apapun. Bibirnya seperti dikunci paksa.Keduanya kembali ke ruangan rektor. Sekretaris memberi beberapa dokumen kepada Rudy, untuk selanjutnya disampaikan kepada Arya.Rudy berhenti sejenak untuk mengecek dokumen apa saja yang diterimanya, sebelum diserahkan kepada Arya. "Yusna dan Burhan." Arya menggumam dan gumamannya berhasil mengalihkan perhatian Rudy."Ada yang harus saya lakukan, Pak Arya?" Rudy mendekat dan meletakkan dokumen yang sudah ia periksa."Apa yang mereka lakukan selama aku berada di luar negeri?" Tatapan lurus Arya membuat Rudy sontak mendekat."Saya sudah berusaha menjelaskan beberapa hal kepada beliau berdua, Pak, Akan tetapi, mereka justru menilai saya sebagai perusuh dan tidak mengerti kebutuhan kampus saat i
Dinda baru saja selesai membantu Anggun menyiapkan sarapan pagi bersama Mita, saat dilihatnya Arya sudah berpakaian rapi dengan tas kerjanya. 'Bukannya ke kampus besok? Kenapa berubah? Pagi banget lagi?' Netra Dinda mengikuti kemana pun Arya bergerak. "Pergi kemana? Ke kantor?" Akhirnya Dinda tidak tahan juga untuk bertanya. Wajah Arya yang sangat serius cukup mengganggunya."Ke kampus dulu." Arya mendekat ke arah Dinda, lalu mengecup kening istrinya. "Ada sesuatu yang harus diselesaikan.""Mendadak sekali."Arya mengangguk. "Nanti malam saja ceritanya," bisiknya di telinga Dinda sembari memberi kecupan lembut di sana."Penting banget?" Dinda sepertinya tidak rela jika suaminya itu kembali ke rutinitasnya sebagai dosen."Sangat penting."Dinda mulai menerka-nerka urusan apa yang dimaksud suaminya. Jangan-jangan sosok yang disebut Mita kemarin?"Jangan pergi sebelum sarapan. Hari ini sangat spesial karena dimasak oleh tiga wanita cantik di rumah ini. Kalau kamu tolak, bakal rugi dan k
Mega? Kembali? Wanita itu berada di tempat yang sama dengan mantan dosen pembimibingnya untuk kedua kali? Dinda mengerjapkan kedua netranya. Ia hanya menatap Mita kosong."Tsk. Bener kan tebakan gua. Lu bakal kaget.""Ngapain dia balik lagi ke kampus? Apa belum dipecat?" Dinda mendadak merasa kesal. Mungkinkah Arya sudah membohonginya? Mita tertawa kecil melihat kening Dinda berkerut-kerut. "Pak Arya nggak akan pernah bohong sama elu. Beliau tipikal setia sampai akhirat."Dinda tersipu malu. "Gua sebenernya nggak pa-pa juga kalau dia balik lagi ke kampus.""Serius?" Mita sontak memutar badannya. "Asal doi bukan jadi dosen aja. Balik ke kampus kan tidak selamanya dia balik jadi dosen lagi. Kali aja pas ketemu sama elu, dia numpang lewat atau nganterin temen atau sodaranya yang mau daftar di sana jadi maba.""Bisa jadi juga. Gua begini karena gua masih kesel aja sama dia. Kenapa orang seperti dia malah awet di muka bumi ini, sih?""Hush! Nggak boleh ngomong begitu. Kali aja Tuhan mau
"Mama!!"Teriakan Brilian membuat Dinda langsung memutar tubuhnya dan dengan gerakan super cepat kaki-kakinya yang panjang dan jenjang sudah mengantarkannya ke depan pintu teras. Ia melihat Brilian menangis dalam gendongan Arya.Dinda mendekat ke arah dua pria penting dalam hidupnya. Dinda menyentuh lembut pundak suaminya. Tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun, Arya menceritakan sebab musabah Brilian menangis histeris. "Saking besarnya dia melompati ini hingga jatuh terjerembab di situ." Arya menunjuk ke dinding pemisah antara teras rumah dan pekarangan rumah setinggi enam puluh senti, dan lokasi tempat Brilian jatuh."Mana anak tampan Mama?" Dinda mencoba melihat wajah putranya. Brilian, demi mendengar suara lembut sang mama, langsung mengangkat wajahnya. Ia berusaha keras menahan tangisannya yanga berujung pada cegukan.Dinda tersenyum geli. "Nggak apa-apa kalau masih ingin menangis. Tuh, lihat. Om Fahri sudah berhasil menangkap tikusnya."Dari kejauhan tampak Fahri memegang ta
Fahriza masih tertegun di jok belakang. Ia masih tetap menatap ke arah bocah laki-laki yang ditunjukkan mamanya. "Sayang... Kamu tidak ikut turun?" Panggilan Mita membuyarkan lamunan Fahriza. Bocah kecil itu keluar dengan terburu-buru, lalu lari menghambur mencari sang nenek"Nenek!"panggil Fahriza heboh. Ia tidak mempedulikan beberapa tamu yang tengah duduk berbincang dengan Dermawan. Fahriza tiba-tiba berhenti di tengah ruang tamu. Netranya menabrak sosok asing yang tidak pernah ia temui sebelumnya.'Mengapa Papa ada dua?' gumam Fahriza keheranan. Perhatian Fahriza terpusat pada sosok yang sedang menuruni tangga. Pria tinggi, putih dan sangat tampan. Sekilas memang mirip papanya, tapi jika dilihat lebih dalam, pria dewasa itu lebih tampan dari papanya. Mita yang berjalan di belakang Fahriza menatap penuh heran melihat tingkah putrinya. "Ada apa, Za? Ada hantu? Mana? Biar Mama pukul pakai tas Mama ini." Mita megusap lembut pucuk kepala Fahriza."Mama!""Ya, Sayang.""Mengapa Papa
Jawaban jujur Fahriza membuat Anggun tidak dapat menahan tawanya. Namun, demi menjaga wibawa Mita di hadapan putrinya sendiri, Anggun berusaha keras untuk meredam tawanya.A: "Oh. Mama ngomel. Mama ngomelin apa kalau Nenek boleh tahu?"F: "Ehm. Apa ya?"Fahriza ingin menjawab tapi melihat ekspresi Mita yang mengerikan, bocah kecil itu memutar badannya hingga Mita tidak dapat melihat wajahnya.A: "Halo?" F: "Iya, Nenek. Fahriza masih di sini. Nenek tunggu dulu. Fahriza sedang memikirkan jawaban yang benar."Jawaban Fahriza mengundang tawa Anggun. Bocah kecil itu begitu pintar, mencari alasan. Tampaknya, kepandaian Mita dalam bersilat lidah menurun kepada Fahriza.A: "Baiklah. Nenek akan sabar menanti jawaban kamu, tapi jangan lama-lama karena Nenek masih harus membungkus kado untuk tamu spesial yang akan datang menjenguk Nenek."Netra Fahriza yang bulat menjadi semakin bulat saat gadis kecil itu mendengar kata 'kado' dan 'tamu spesial, yang baru saja diucapkan Anggun.F: "Kado? Tamu sp
"Mama! Kakak mau itu." Teriak Brilian ketika kaki kecilnya baru saja turun dari gendongan Arya. "Mainan lagi? Bukannya kemarin Papa baru saja beliin Kakak mobil balap?" Dinda menggandeng tangan kecil putra pertamanya itu, mengikuti sang suami yang berjalan ke tempat pengambilan bagasi sebelum meninggalkan bandara."Tapi, Kakak beyum punya yang kayak itu..." ujar Brilian dengan bahasanya yang masih cadel. "Gimana kalau kita pulang ke rumah dulu? Papa takutnya Om Fahri sudah menyiapkan hadiah untuk Kakak." "Om Fayi peyit. Suka bohong."Dinda terkekeh. Ia teringat dengan janji Fahri yang hendak mengunjungi dirinya dan Arya. Namun, sampai dua tahun mereka tinggal di Inggris, Fahri tidak juga menepati janjinya, membuat Mita terus saja merengek agar dirinya segera pulang ke Indonesia."Nggak. Om Fahri pasti sudah beli sesuatu untuk Kakak. Hanya saja, Om Fahri masih repot, jadi belum bisa kirim hadiahnya." Alhasil, sepanjang jalan Dinda dan Arya mendengar omelan penuh kekesalan Brilian.