Calon mertua-rekan bisnis. Calon mertua-rekan bisnis. Calon mertua-rekan bisnis. Dinda mengucap secara bergantian, menghitung jarinya, mencari tahu dengan tebakannya sendiri.Pemberitahuan dadakan dari Sari, sungguh membuat batin Dinda penasaran. Ia menjadi gelisah sendiri. Bagaimana jika itu benar-benar tamu yang bakal menjadi mertuanya? Jika memang itu calon mertuanya, seharusnya mamanya menyuruh dirinya untuk hadir dalam jamuan makan malam itu, tapi mengapa ini tidak?Apakah mereka baru akan membahas itu? Kesediaan sang tamu untuk menjodohkan anaknya dengan dirinya? Sebentar-sebentar, Dinda sepertinya harus kembali menanyakan sesuatu pada Sari. Dinda segera turun dari kamarnya, mencari Sari yang saat itu berada di dapur. "Ma.""Loh? Kok belum mandi?""Malas. Ntar aja. Dinda mau tanya sesuatu. Kalau tamu papa besok adalah calon mertua Dinda, berarti papa tahu soal itu?""Soal itu soal apa?""Ya itu, Ma. Yang Dinda minta mama carikan calon suami buat Dinda, kemarin itu." Wajah Dind
"Bapak sedang sibuk?" tanya Dinda begitu wajah Arya muncul di ponselnya. Tapi tunggu dulu. Siapa yang ada di samping pembimbingnya itu? Wanita itu tengah tersenyum manis dan manja tepat di samping sang dosen dengan lengan menempel satu dengan yang lain. "Bapak tampaknya sedang sibuk Lain waktu saja, saya telpon lagi." *Eh, tunggu-tunggu dulu. Jangan kamu tutup. Saya tidak sedang sibuk. Saya justru sangat longgar. Tidak mengerjakan apa-apa. "Tapi, Bapak sedang bersama ... " Dinda tidak melanjutkan kalimatnya, *Nanti saya hubungi begitu sampai di hotel. Arya menutup panggilan itu dan memasukkan ponselnya ke saku jaket bagian atas. "Maaf, Bu Mega. Apakah duduknya bisa bergeser ke kanan? Ini terlalu dekat. Tidak baik karena kita bukan muhrim dan kita juga bukan pasangan." Mega dibuat salah tingkah mendengar teguran Arya. Ia segera menjauhkan diriya dari Arya. Tapi bukan Mega namanya jika ia akan mundur hanya karena teguran kecil seperti itu. Ia akan memikirkan cara lain agar dirin
Mega berulang kali mengetuk pintu kamar Arya, tapi tidak ada jawaban. Jadwal sarapan hari kedua seminar setelah semalam mereka menghadiri seminar hingga larut malam, Mega berencana untuk mengajak Arya untuk sarapan bersama.Saat ia hendak memutar badannya, meninggalkan kamar itu, tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Sosok Arya yang sudah rapi berdiri dengan wajah begitu segar dan berseri. "Ada apa, Bu Mega?" Mega terpana. Baru kali ini, ia melihat Arya yang baru selesai berdandan. Wangi segar parfum berbahan dasar air, mengusik indera penciumannya. "Anu-Itu. Apa ya? Maksud saya, hmm mau ngajak Pak Arya sarapan. Kebetulan saya belum sarapan." Mega salah tingkah. Ia tidak dapat fokus pada tujuannya. Terlalu terpesona dengan penampilan tampan Arya. "Saya sudah sarapan tadi. Bu Mega silakan sarapan. Sebentar lagi seminar terakhir akan dimulai.""Hah? Su-Sudah sarapan? Kapan?" Mega kecewa. Gagal semua mimpi yang semalam ia bangun."Setengah jam yang lalu. Tadi subuh saya jogging dulu lalu
Anggun tertegun. "Pa. Kita kan lagi bahas perjodohan anak kita, kenapa bahasa Papa begitu? Emang jodohin anak kudu ada konsepnya gitu?"Dermawan terkekeh melihat wajah bingung istrinya. "Maksud papa, kita diam-diaman aja dulu. Jangan beritahu mereka kalau kita sedang bergerilya mencarikan mereka calon istri.""Mereka? Papa mau cari mantu dua sekaligus?" "Maunya begitu, tapi keliatannya satu dulu aja ya. Nanti kalau ternyata berhasil, baru kita cari lagi untuk yang kedua kalinya.""Haduh, Papa ini. Cari calon mantu kok seperti cari pakaian aja.""Ya kan kalau itu baik kita teruskan metode perjodohan tapi kalau tidak baik ya biar saja mereka mencari sendiri calon istri mereka."Anggun mendesah. "Kalau cari sendiri, bisa-bisa mama jadi nenek-nenek baru bisa dapat cucu.""Ya, sudah. Sekarang doanya Mama dibanyakin dan dikencengin. Doa in anak-anak kita cepet dapet jodohnya, cepet pula dapat anaknya. Jadi, Mama nggak perlu jadi nenek dulu baru dapat momong cucu.""Dah. Papa berangkat dulu.
Arya langsung terbatuk mendengar penuturan jujur Mega. Apa yang harus ia lakukan untuk membuat wanita di depannya ini berhenti melakukan hal konyol untuk menarik perhatiannya?"Untuk apa Bu Mega membuat video tentang saya? Ibu mau menulis autobiografi tentang saya?" tanya Arya keheranan.Mega tersipu malu. Ia hendak mengucapkan sesuatu tapi terhenti karena kalimat Arya berikutnya sangat menyakitkan hatinya."Bu Mega tidak perlu repot-repot membuat video saya. Untuk apa? Tidak ada gunanya, atau itu sekedar untuk kenang-kenangan?"Mega langsung protes. "Bukan. Bukan itu niat saya. Saya ingin mengabadikan ..."Arya tersenyum lebar. "Kalau memang untuk kenang-kenangan nggak apa-apa sih, Bu. Karena kalau tujuan ibu untuk hal lain, saya takut ibu akan kecewa."Wajah Mega menjadi aneh. Ada penasaran, ketegangan di sana. "Kecewa bagaimana? Maksud Pak Arya apa ya?"Arya tertawa kecil. "Maaf, Bu. Saya harus segera ke ruangan saya. Ada banyak mahasiswa yang sudah menunggu saya." Arya pamit undur
Arya menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap layar. Ia langsung memutus panggilan itu dan memaki-maki dirinya dalam hati. Bisa-bisanya dia menghubungi wanita itu. "Bapak telpon siapa? Ponsel saya tidak berdering sama sekali? Apakah nomornya salah?" Dinda menatap terus ponsel yang dipinjamkan Arya padanya, yang masih diletakkan di meja."Salah tekan. Saya pikir nomor yang saya tekan adalah nomor kamu tapi ternyata salah." Dinda terkekeh. "Nomor sang ratu kah?""Ratu mana? Jangan ngaco." Arya begitu sewot. Baru kali ini, Dinda melihat wajah tidak suka Arya."Hati-hati, Pak. Ntar malah jadi bucin, loh.""Apa itu bucin?""Bucin = Budak Cinta doi." Dinda tergelak sendiri. Ia tahu nomor siapa yang tanpa sengaja ditekan Arya."Saya sudah jadi bucin seseorang.""Oh..." Bibir Dinda membentuk huruf O lalu menutupnya dengan telapak tangannya."Nggak pengen tahu siapa orangnya?""Nggak deh, Pak. Ntar saya malah patah arang begitu tahu siapa orangnya." Olala. Dinda kembali mengucapkan kata-
'Apa??!! Dia bilang bercanda? Hal sakral seperti ini dia bilang bercanda?' Arya memelototi Dinda yang kini bergerak cepat memasukkan semua barangnya ke dalam tas ransel."Kamu sadar tidak dengan rencana aneh kamu itu?""Saya kan tadi sudah meralat, Pak. Kalau saya cuma bercanda. Bapak sih terlalu serius. Jangan menanggapinya dengan serius.""Kamu salah! Kamu salah! Seharusnya, kamu tidak membicarakan topik seperti ini dengan orang dewasa." Arya bukan main geramnya. Baru kali ini dirinya diperdaya oleh seorang gadis. "Mama saya nggak masalah tuh, Pak. Beliau justru setuju." "Setuju?" Arya terkejut. Ia menyangsikan jawaban gadis itu."Eh..." Aduh. Malah tambah runyam. Dinda menatap Arya dengan cemas. Ia harus bisa secepatnya keluar dari sini. Semakin lama dirinya ada di ruangan ini, akan semakin berbahaya mulutnya. Dan ia tidak ingin itu terjadi. Ia harus segera melarikan diri. "Jangan pernah bermimpi kamu bisa pergi dari ruangan ini dengan mudah!" ancam Arya. Pria itu berjalan cepat
"Jadi gua harus kasih tahu alamat rumah gua ke doi, gitu?" Dinda menatap Mita ragu."Ya nggak apa-apa. Kan beliau tanya, ya kamu jawablah. Lagian, belum tentu juga doi nyamperin ke rumah lu. Apalagi, doi udah punya gebetan. Lu kasih alamat palsu juga doi nggak bakal ngerti, tapi masa iya lu tega, menjerumuskan beliau yang sudah begitu baik sama elu?"Dinda tertegun ketika Mita menyebut kebaikan Arya. Dia sontak memukul keningnya sendiri, hingga membuat Mita terkejut. "Kalem, Din. Kalem. Nggak apa-apa. Lu salahnya cuma sedikit. Nggak perlu menyakiti diri sendiri seperti ini." Mita segera menarik tangan Dinda menjauh dari wajah gadis itu."Bukan. Itu ponselnya ketinggalan." Dinda menutupi wajahnya dengan kedua tangan."Ketinggalan? Ponsel lu kan sedang diservis? Emang lu udah beli yang baru? Katanya nggak punya duit, malah udah beli yang baru aja." Dinda berdecak. "Bukan baru. Gua kan nggak punya duit, mana berani beli ponsel baru.""Terus ponsel siapa yang lu maksud barusan?""Dikasih
Suasana kediaman Dermawan begitu ramai. Bagaimana tidak, hari itu diadakan acara syukuran sekaligus akiqah kelahiran dua cucunya. Seluruh tetangga di komplek mereka undang, tanpa kecuali. Bahkan tukang martabak, es doger dan tukang sate yang sering mangkal di dekat rumah mereka juga ikut hadir.Malam itu menjadi malam bahagia semua orang. Broto dan Sari pun hadir, termasuk orang tua Mita, Candra dan Susan. Kedua bayi mungil itu tidur pulas di boks masing-masing. Mereka sama sekali tidak terganggu. Pun saat keduanya diajak keliling setelah acara potong rambut. Kedua bayi itu hanya bergerak sedikit lalu kembali tidur. Dermawan mengadakan acara itu secara besar-besaran sebagai ungkapan rasa syukurnya karena Tuhan memberikan dua cucu sekaligus kepadanya dan Anggun, dan memiliki dua menantu yang sama-sama pintar dan cantik. Acara berlangsung meriah dan khidmat selama hampir dua jam. Menjelang sore, tamu mulai berkurang hingga tersisa keluarga besar beserta besan-besan Dermawan."Khusus
"M-Mas....!" seru Mita lebih keras karena Fahri masih tertegun dengan suara tangisan bayi yang baru saja ia dengar."Eh? Gimana? Sakit?" Ia langsung mendekatkan dirinya.Mita memejamkan kedua netranya. Ia kembali mengatur napasnya. Gelombang rasa sakit yang datang bertubi-tubi, tidak memberikan waktu sedikit pun untuk Mita beristirahat.Bulir keringat berdatangan memenuhi dahinya. Ia mulai merasa rasa mulas yang sangat hebat. "Nggak kuat. Sakit." Rintihan Mita membuat Fahri panik. "Kita operasi saja kalau begitu.""Hush! Nggak mau! Sakit.""Lah. Katanya tadi sakit. Nggak kuat. Ya udah kalau begitu operasi saja.""Nggak mau."Anggun yang tadi sudah berada di luar bilik Mita, kembali masuk. "Kenapa?" "Sakit, Ma." Wajah Mita sudah tidak seperti sebelumnya. Ia terlihat berusaha kuat untuk menahan rasa sakitnya akibat kontraksinya yang meningkat.Fahri panik dan menekan tombol berulang kali. Seorang perawat datang. "Bagaimana, Pak?""Sakit, Sus. Istri saya merasa sakit lagi.""Oh. Saya pe
"Bayinya sehat. Semoga bayinya sehat dan kuat ya, Bu Dinda." Ucapan yang samar terdengar, mengejutkan Mita. "Hah?! Itu Dinda yang dimaksud istri Pak Arya, bukan? Dinda sudah lahiran? Beneran udah lahiran?" Kedua netra Mita membola sempurna. Rasa bahagia tiba-tiba datang menyelimuti dirinya. Namun, dirinya tidak seratus persen yakin. "Terus Pak Arya kemana? Masa iya nggak nemenin Dinda lahiran?"Fahri tertegun. Masa iya, adik iparnya sudah melahirkan? Cepat sekali. Ia baru saja bertemu dengan Arya, dan tidak mengatakan apapun, kecuali ia harus segera menemani Mita."Dinda yang lain mungkin. Tadi masih aman-aman aja kok. Dia duduk di dalam nggak ikut keluar. Cuma da-da-da doang.'"Benarkah?" Mita tidak mau percaya begitu saja. Tiba-tiba satu tonjolan muncul di perutnya. Seakan mengerti kode yang diberikan dari dalam perutnya, Mita mengangkat alis kanannya. "Kalian ... ?""Apa? Kami tidak menyembunyikan sesuatu." Ia merasa pertanyaan itu diajukan padanya. Arya tadi mengantarkan tas ini
Mita masih menunggu kedatangan dokter kandungannya. Kali ini, ia merasa perutnya mengejang sesaat. Ada mulas yang tiba-tiba datang. Mita mendesis. Sakit apa ini? Perut bagian belakangnya terasa tegang. Kandungannya terasa turun sedikit, membuat Mita takut. Rasanya seperti akan jatuh.Mita mencari sosok Fahri, tapi tak kunjung ia temukan. "Kemana, sih? Istri sedang seperti ini kok malah pelesiran kemana-mana.""Dokter Susan sedang dalam perjalanan kemari." Perawat yang usianya nyaris separuh baya itu kembali masuk dan mengganti alas tidur Mita yang sudah basah dengan yang baru. "Kenapa sekarang terasa mulas ya, Sus?""Mulas?"Mita hanya mengangguk. Perutnya terasa begitu melilit, mulas seperti ingin buang air besar. Pertama hanya terasa mulas sebentar, kemudian rasa itu hilang. Namun, tidak berapa lama, rasa yang sama datang kembali, membuat Mita tidak lagi meringis, tapi sekaligus mendesis."Sudah sejak tadi atau baru saja?""Baru aja nih, Sus, dan sekarang aduh..." Mita memejamkan k
"Jangan lupa bawakan tas hijau.""Tas?" Arya belum paham kemana arah perintah kakaknya."Tsk. Cari saja tas warna hijau di samping meja rias."Dengan masih memegang ponsel, Arya bergegas ke kamar Fahri. Ia mencari tas hijau yang dimaksud dan berhasil menemukannya."Ada?" Fahri berjalan hillir mudik di depan resepsionis. Ia sedang mengurus kamar untuk Mita. "Done. Harus diantar sekarang?" Pria ini masih belum menyadari kepanikan yang dialami sang kakak."Satu abad lagi, bolehlah.""Ya udah kalau begitu ...""Jelas sekaranglah! Berangkat segera! Dinda tidak perlu ikut. Jangan cerita apapun!""Bagaimana bisa, orang sejak tadi dia menguping," sahut Arya melirik Dinda yang mengikutinya kemana pun dirinya melangkah."Pokoknya, suruh dia diam di rumah saja. Takutnya istrimu ikut panik.""Dia sudah panik." Arya mengusir Dinda secara halus namun, Dinda bergeming. Sorot matanya memaksa Arya untuk menceritakan apa yang sedang dibicarakan."Terserahlah. Sekarang segeralah meluncur kemari. Mama su
Dinda berjalan mengitari kamarnya. Rasa sakit mulai sering dirasakan. Untuk mengurangi rasa sakit, ia memilih untuk berjalan-jalan. Melihat pemandangan kebun belakang kediaman mertuanya, Dinda tiba-tiba ingin melihat kolam ikan di sudut taman. Ia berjalan keluar kamar lalu mengarahkan kakinya ke ruang keluarga yang langsung terhubung dengan kebun belakang."Kamu mau kemana?" Arya tiba-tiba mencegat Dinda."Mau kesana," tunjuk Dinda ke sudut taman. "Nggak kesakitan lagi?" Akhirnya, Arya memutuskan untuk menemani istrinya. Ia menggandeng tangan kiri Dinda, karena tangan Dinda sibuk mengusap perut besarnya. "Masih. Lebih sering malah. Apa mungkin malam nanti lahirannya?" "Kamu takut?""Sedikit. Gimana kalau nanti nggak kuat ngeden?" Hal yang sangat dikhawatirkan selama ini. Ia tidak mau menjalani operasi caesar. Ia sebelas dua belas dengan Mita. Sama-sama takut dioperasi."Bisa. Pasti bisa. Dedek bayinya diajakin ngomong terus.""Udah. Sudah sejak umur 3 bulan, tapi keliatannya posisi
Dengan sangat terpaksa, Dinda harus menyetujui usul Arya yang disertai dengan sedikit ancaman jika ia akan melapor kepada Sari soal ini. Nama Sari sangat keramat bagi Dinda, khususnya saat-saat seperti ini. Ia tidak mau proses persalinannya nanti menjadi tidak lancar, karena membuat suami dan mamanya menaruh kesal padanya. Ia ingin semuanya kelak berjalan lancar dan damai.Fahri menyanggah kepala Mita yang kini tertidur pulas di sampingnya. "Begini kok masih mau lanjut belanja."Arya terkekeh. "Biasalah. Tidak mengukur kemampuan. Maunya jalan terus padahal kaki-kaki sudah bengkak semua.""Bukan begitu, Mas. Maksud kita itu, biar sekalian jalan. Jadi besok-besok nggak usah belanja lagi," jelas Dinda yang masih terjaga. Ia memegang perutnya sambil sedikit meringis. Seketika ia ingat dengan pesan dari instruktur senam hamilnya, untuk menarik napas ketika kontraksi mulai dirasakan."Ada apa?" Arya rupanya menangkap gerakan Dinda. Ia melihat dengan tatapan khawatir."Nggak apa-apa. Seperti
Tujuh bulan berlalu. Kehamilan Dinda semakin besar. Berbagai macam petuah mempersiapkan kelahiran bayi mulai pagi hingga malam datang, terus saja didengungkan Anggun kepada Arya. Ia terus mewanti-wanti agar putra keduanya itu mulai mengatur jadwal yang mendukungnya menjadi suami siaga."Duh, Mama. Setiap hari itu saja yang dibicarakan. Arya sampai membuat buku sendiri untuk mencatat semua nasihat Mama." Arya segera mengeluarkan sebuah buku catatan berukuran tanggung dari tas kerjanya, lalu menyodorkan buku ke hadapan Anggun.Anggun tersenyum senang. "Anak pintar!""Tapi, kenapa cuma Arya saja yang dapat kuliah beginian?""Nah! Kamu protes?" Salah satu alis Anggun meninggi. "Yang kelahirannya sudah dekat kan kamu, kalau kakakmu masih enam minggu lagi. .""Yaa, Mama. Dulu waktu Dinda hamil muda, Mama juga begini. Segala macam diributin. Yang inilah-yang itulah," sungut Arya sebal. Tiba-tiba ia merasa telah diperlakukan tidak adil oleh Anggun. Ia tidak pernah melihat Fahri mengalami hal
"Selamat! Sebentar lagi, Pak Arya akan menjadi Ayah." Tangan putih sang dokter mengangsur ke depan, menyalami Arya yang masih bingung, mencerna kalimat barusan. Senyum tulus tidak lupa diberikan oleh Rizky.Dinda yang semula ternganga langsung tertawa kecil. "Dokter bercanda pasti. Masa iya saya hamil?"Ia tidak dapat menerima mentah-mentah kabar baik itu. Pernikahannya dengan Arya belum ada satu bulan masa iya dia langsung hamil. Berbeda dengan Arya. Rasa hangat mulai merayap ke dalam hatinya. Ayah? Benar ia akan segera menjadi ayah? "Saya tidak bermimpi?" Arya menyangsikan namun besar harapannya itu kabar nyata.Rizky mengangguk. Dokter muda itu memberi isyarat agar sang perawat memberikan test pack yang tadi digunakan untuk mengetes kandungan hormon hCG pada urine Dinda."Dua garis merah ini menunjukkan jika Ibu Dinda positif hamil. Usia kandungannya masih sangat dini. Sekitar satu minggu. Jadi, pesan saya jangan bekerja terlalu berat. Hindari mengangkat beban yang berat. Serahka