Jam baru menunjukkan pukul 5 pagi saat Saga membuka sedikit matanya. Ia menepuk ranjang sebelah, eh kok kosong. Senja ke mana?
Matanya membuka sempurna, ia mencari sosok istrinya. Mata sayu Saga menangkap pemandangan yang indah. Seorang perempuan itu tengah bersujud sambil mengenakan mukena. Hati Saga bergetar hebat, ia si brengsek yang tak pernah ibadah bahkan lupa surat al fatehah. Mendapatkan istri solehah. Apa pantas?Saat Senja selesai menunaikan shalat subuh, Saga sudah duduk bersila di sampingnya. "Kok shalat gak ngajak ngajak? Gue kan pingin jadi imam!"
"Besok aku bangunin kamu, habis aku gak pernah lihat kamu shalat." Sindir Senja telak. Saga juga lupa kapan terakhir dia shalat wajib. Eh Jumat kemarin ia juga shalat berjamaah di masjid kampus.
"Balik tidur yuk, masih pagi juga." Jadi Saga enak, dia kan anak emas mamah Devi. Lah Senja cuma anak mantu, di sini statusnya cuma numpang idup. Gak boleh berbuat seenaknya.
Saga masih menemani Senja duduk di bangku pinggir jalan. Ia tak tega bila meninggalkannya dalam keadaan kalut seperti ini. Baru saja Saga menemaninya untuk mengambil motor tapi kabar tak sedap harus didengar oleh istrinya. Ibunya, Helen akan menikah dengan om-om mesum bernama Adam dua minggu lagi. "Mereka akan nikah sebentar lagi!! Aku gak suka apa aku mesti hancurin kebahagiaan mamah??" Gumamnya lirih tatapannya tertuju ke jalan kosong. Dalam benaknya pasti tak setuju tapi Senja hanya punya seorang ibu, ia ingin ibunya juga Bahagia. "Gimana ya stel, gue gak tahu tapi jujur lebih baik." Jawaban yang Benar meski kejujuran itu pahit harus kita ungkap. "Kamu, kalau mau kuliah,, kuliah aja. Aku gak apa-apa kok." Saga memang berat meninggalkan Senja di dalam keadaan kalut tapi mau gimana, ia juga punya urusan. "Gue tinggal, kalau ada apa-apa hubungin gue." Dia pamit pergi dan bergegas menaiki motor sportnya menuju bengkel. Karena ha
Bukan pandangan khawatir yang didapat Senja saat pulang atau sedikit keterkejutan mengingat keadaannya yang tak baik-baik saja tapi sebuah cibiran bahkan sindiran dari Devi, ibu mertuanya. Wanita itu bersedekap sambil Mengamati penampilan Senja dari ujung kaki sampai kepala."Dari mana kamu? Pulang kok bawa tongkat gini!! Kamu kenapa??" Tanyanya acuh tak acuh sambil mengikir kuku jarinya yang mulai memanjang. "Senja habis jatuh dari motor." Jawabnya tanpa berani menatap ibu mertuanya. "Hah?? Makanya Jangan sok-sokan mandiri naik motor kalau luka gini yang ngurus siapa?? Oh.... kamu mau bikin suami sama anak saya khawatir. Biar kamu dapet perhatian dari mereka. Lagian kamu kecelakaan naik motor siapa? Perasaan kamu tadi berangkat aja bareng Saga." "Saya ambil motor Di rumah mamah." Ucapnya lirih. Sebenarnya ia ingin Segera pergi dari pada mendengar ucapan mertuanya yang menusuk hati tapi merasa tak sopan kalau tib
“Mau pesan apa mas?” tanyanya pada seorang pelanggan laki-laki yang masih menutupi wajahnya dengan buku menu. “Senja?” Mata indah dan hitam Senja membesarkan pupil. Ia menatap penuh keterkejutan begitu melihat siapa laki-laki yang jadi pengunjung cafe, yang menempati meja 7. “Devano?” “Aku gak nyangka bisa ketemu kamu ,,, kamu kerja di sinj??” Devano mengamati mantan kekasihnya itu yang berpakaian putih hitam. Mirip pegawai yang baru di training.” Kebetulan banget aku langganan cafe ini!!” Kebetulan yang berubah jadi kesialan, umpat Senja dalam hati. “Mau pesan apa?” tanyanya ketus membuat senyum Devano yang mengembang lebar seketika sirna. Senja masih sama, bersikap tak ramah kepadanya. “Pesen, thai tea sama lava chocolate satu.” Gadis mantan kekasih Devano itu cepat cepat mencatat pesanannya. “Tunggu sebentar!!” "Nja, bisa kita Bicara dulu?” “Maaf, aku lagi kerja.” Begit
“Sialan, katanya kalian tawuran sama gengnya Troy. Mana??” Kawan-kawannya hanya terbahak sambil membetulkan mesin motor mereka. “Hehehe, kita Cuma ngibul. Lah loe aneh akhir -akhir ini, gak ngumpul-ngumpul lagi. Kenapa apa dikekepin sama bini loe Gak boleh pergi -pergi.” Ledek Angga penuh dengan nada sindiran. “Syetan loe semua!!” “Van, Jangan ngambek kayak anak-anak dong.” Tanpa mau mendengarkan alasan teman-teman gengnya, ia pilih menenangkan diri. Mengambil jarak dari mereka lalu mengeluarkan sebatang rokok lalu menghisapnya. “Hai,,, Van. Kok sendirian aja??” Sapa seorang pemuda sambil menepuk lengan Saga dengan keras. “Eh loe no,,, kirain siapa? Tumbenan lo kesini, tugas tugas kampus udah lo kelarin.” Devano yang mendengar pertanyaan dari Saga yang penuh nada sindiran dan cibiran hanya tersenyum sedikit. “Jangan mulai deh,bagi rokok loe sebata
Hari ini hari bahagia untuk mamah Senja, Helen dan Adam akan melaksanakan ijab kabul. Helen yang memakai kebaya putih sedang didandani. Senyum bahagia tak lepas dari bibirnya, baru kali ini Senja melihat mamahnya begitu senang, sesekali ia menyalami tamu yang datang mengucapkan selamat. "Kamu senang dengan pernikahan mamah kamu?" tanya Saga yang menemani Senja menyambut tamu. "Ada alasan aku harus gak bahagia?" tanyanya balik dengan sedikit sewot. Hari ini Senja begitu cantik dengan make up natural dan kebaya berwarna biru laut. "Ituh orang yang sebentar lagi jadi ayah kamu udah datang." Mereka melihat rombongan Adam masuk ke halaman rumah Senja. "Kamu tenang aja selama ada aku, dia gak akan berani macam-macam atau deketin kamu." "Kamu apaan sih!! Aku panggil mamah dulu udah selesai dandan apa belum?" Senja bergegas pergi memanggilkan Helen dan Saga dengan muka di tekuk masam meny
Senja yang berada di belakang terkejut mendengar suara orang-orang ribut. Ia bergegas ke depan untuk melihat keadaan sang ibu. Tapi ia lebih terbelalak lagi saat menyaksikan Helen di hina oleh seorang perempuan yang lengannya ditahan Adam. "Ada apa ini?" tanyanya bingung lalu ia melihat mamahnya yang menangis terisak-isak, "Apa yang anda perbuat kepada mamah saya." "Mamah kamu yang salah, dia udah rebut Adam dari saya. Saya masih istrinya, istri sah nya." Kini Senja tahu Adam memang lelaki paling brengsek. Bisa-bisanya ia menikah dengan mamah Senja tapi masih berstatus sebagai suami orang, "Dasar pelakor,, Jangan pura-pura sok sedih kamu.. sok nangis!! Padahal kamu perempuan culas perebut suami orang." "Cukup... cukup... cukup.. silakan anda bawa pergi laki-laki bajingan ini!! Dan Jangan pernah menginjakkan kaki di rumah saya lagi!! Ingat mamah saya nggak tahu kalau Adam masih punya istri karena si biadab ini menga
"Mamah, aku Atroya mah! Anak mamah." Helen terpaku sejenak ia sadar akan sesuatu. Atroya, nama yang diberikan Prasetya pada anak pertama mereka. Helen tertegun sejenak, yang ada di hadapannya ini adalah Atroya. Putra yang amat ia rindukan. Anak yang menjadi bunga di mimpi Helen. Ingin rasanya mendekap tubuh jangkung anaknya itu tapi teringat janjinya pada seseorang. Helen bergerak mundur, melempar sapunya ke sembarang arah lalu berlari masuk rumah. "Mamah... mamah... mamah!!" Troy berteriak sambil mengejar ibunya. Ia tak tahu apa kesalahannya sehingga Helen menghindar. Apa Troy dianggap orang asing yang berbahaya? Brakk Helen menutup pintu rumah rapat-rapat. Ia ketakutan, ancaman seorang kakek Troy bukan main-main. Harusnya Helen berterima kasih karena Troy sudah di besarkan dengan segala kemewahan dan tak kekurangan sesuatu apa pun. Helen tak ingin muluk-muluk, ia sudah sangat berterima kasih karena putra sulungny
Troy menegak alkoholnya lagi. Ia tak habis pikir, kenapa orang yang dikenalnya sebagai ibu yang sudah melahirkannya enggan menemui Troy. Ia bingung apa kesalahannya. Mana ada ibu yang tak menyayangi anaknya? Mana ada ibu yang tak peduli pada putranya. Troy lelah, harapannya memiliki keluarganya lagi tiba-tiba harus menguap ke udara. Ia putus asa. Mungkin memang benar, takdirnya adalah menjadi boneka sang kakek dan harus berjodoh dengan perempuan menyebalkan seperti Vivian. "Tuan, minum lagi? Minum tak baik untuk kesehatan." ujar Ismail yang melihat tuannya tengah memegang botol minuman. "Kenapa dia lari? Kenapa dia harus menghindariku? Apa salahku? Aku hanya ingin memeluknya, memanggilnya mamah. Merasakan bagaimana punya ibu, setidaknya aku tak merasa sendiri." "Ibu anda punya alasan untuk melakukan itu." Jawab kepala pelayannya singkat, Troy malah terkekeh ngeri. Alasan apa yang dapat membenarkan perlakuan ibunya. Ibunya malah