Home / CEO / Diary Istri CEO / Tanpa Pilihan

Share

Tanpa Pilihan

Author: Anung DLizta
last update Last Updated: 2021-10-01 08:45:03

Mobil berhenti di depan rumah kontrakan. Aisyah melihat dari dalam mobil, pemilik kontrakan sedang mengetuk-ngetuk pintu. Aisyah bergegas keluar dari dalam mobil dan menghampirinya.

            “Assalamualaikum…” Aisyah mengucapkan salam. Bibirnya yang tersenyum walau tidak kelihatan, dia tetap tersenyum.

            “Waalikumsalam…”

            “Ustazah Aisyah, darimana saja?”

            “Maafkan saya, Bu.”

            Rahman dengan santai keluar dari mobil. Pemilik kontrakan sebenarnya merasa kesal karena sudah dua minggu Aisyah menunggak membayar uang kontrakan, ditambah lagi dia menghilang begitu saja.

            “Sudah ada uangnya belum ustazah?”

            Saat Aisyah sedang mengatur ucapannya supaya pemilik kontrakan bisa memberinya kelonggaran waktu lagi. Tiba-tiba Rahman mengambil uang dari dalam kantong jasnya.

            “Ini cukup?” ucap Rahman.

            Bu Wiwin sang pemilik kontrakan matanya langsung melotot melihat segepok uang lembaran merah semua. Aisyah juga baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. Ada sepuluh juta yang dikeluarkan oleh Rahman.

            “Cukup, Tuan.” Pemilik kontrakan langsung tersenyum sumringah.

            Uang itu langsung pindah tangan. Aisyah merasa pusing, bagaimana harus mengganti uang sebanyak itu. Honornya memberikan les privet pasti akan lama sekali untuk melunasinya.

            “Saya pamit dulu ustazah, assalamualikum…”

            “Waalaikumsalam…”

            Rahman masih berdiri menunggu Aisyah membuka pintu. Paling tidak dia membiarkan Rahman untuk masuk dan melihat-lihat isi rumah. Aisyah tidak setuju dan meminta Rahman untuk pulang, dia takut ada warga yang melihat dan menjadi fitnah.

            “Aku yang membayar kontrakan tadi, jadi aku bebas masuk.”

            Rahman mengambil kunci pintu yang dipegang oleh Aisyah. Kontrakan yang hanya ada satu kamar dan satu kamar mandi, serta dapur yang minimalis. Rahman menatap heran.

            “Tidak layak disebut rumah.” Ucap Rahman ketus sambil melihat dapur.

            Aisyah tidak peduli dengan omongan pria itu. Baginya dia sudah nyaman tinggal di sini, daripada di rumah seperti istana tapi penuh tekanan batin. Setelah puas melihat-lihat kontrakan Aisyah, Rahman pun pergi. Aisyah merasa lega bisa bebas dari pria itu.

            “Assalamualikum ustazah…” ucap Rahman sambil mendekatkan wajahnya ke arah Aisyah.

            “Hah?”

            Aisyah mendadak kaget dengan ucapan Rahman. Kenapa dia bisa berubah drastis seperti itu, apakah dia sedang mengejeknya. Tapi biar bagaimanapun, Aisyah harus menjawab salam sesama muslim.

            “Waalaikumsalam…” Aisyah merasa canggung mengucapkannya karena masih sangat kaget.

                                                              ***

            Kepulangan Aisyah sangat dirindukan oleh anak-anak yang belajar mengaji atau les privet. Sorenya, bu Indah mengantarkan putrinya, Sovia untuk les mengaji. Meski penampilan bu Indah belum tertutup tapi dia mempunyai kesadaran untuk memberikan ilmu agama untuk putrinya. Setiap hari ada sekitar lima atau tujuh anak yang latihan mengaji. Aisyah tidak memberikan tarif dalam memberikan ilmunya, namun kesadaran dari para orangtua yang juga melihat kondisi Aisyah sebagai pendatang dan belum bekerja tetap.

            Selesai mengaji, bu Indah menanyakan lamaran kerja Aisyah. Dari bu Indah-lah, Aisyah tahu ada lowongan pekerjaan di kantor Rahman, namun semua itu membawa ujian baginya. Ujian dan cobaan dari Tuhan untuknya di kota ini.

            “Belum rezeki, Bu.” Jawab Aisyah.

            “Yang sabar ya, ustazah…”

            “Terima kasih, Bu.”

            “Saya pamit dulu. Ini rezeki sedikit untuk ustazah.”

            Aisyah tidak menolak karena memang dia juga membutuhkan uang untuk bertahan hidup di ibukota. Setelah mengajari Sovia, lalu datang Amirah, Mira, dan Meggy. Semua anak-anak itu berasal dari RT lain. Warga mendapatkan informasi dari mulut ke mulut. Namun Aisyah tidak mempermasalahkan karena semua atas permintaan orangtua.

            Aisyah bersender di kursi. Meski bukan sofa yang empuk tapi bisa menyenderkan lelahnya. Pintu masih dibiarkan terbuka karena baru beberapa menit, Meggy dijemput ibunya.

            Rahman melihat Aisyah yang tampak lelah, tersentuh juga hatinya. Dari informasi yang didapat dari Pak Darto, akhirnya Rahman menjadi tahu keseharian Aisyah. Pantas saja orang memanggilnya ustazah. Selain itu Rahman juga berhasil mendapatkan informasi tentang Aisyah lainnya, termasuk dari mana dia berasal.

            Rahman meletakkan makanan di meja. Merasa ada suara, Aisyah membuka matanya. Dia menuju ke dapur.

            “Kamu? Kapan datang?” tanya Aisyah terkejut.

            “Aku tidak tega membangunkanmu. Aku bawakan makan buatmu.” Ucap Rahman dengan lembut.

            “Tidak usah repot-repot aku bisa masak sendiri.” Kata Aisyah karena merasa tidak enak jika hutangnya bertambah.

            Rahman membuka lemari dapur. Tidak ada bahan makanan apa pun, bahkan makanan instan pun tidak ada. Rahman mendekati Aisyah dan berkata.

            “Pantas saja kamu betah nahan lapar.” Ledeknya.

            Aisyah tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya diam dan berharap pria itu segera pergi dari rumah kontrakannya.

            “Baiklah, kalau kamu tidak ingin aku berlama-lama di sini. Aku pergi.”

            “Terima kasih untuk kebaikkanmu, Tuan.”

            Rahman merasa tersanjung mendengar ucapan seperti itu. Hatinya merasa semakin tersentuh dengan ketulusan Aisyah. Selama di istananya, Rahman memperlakukan Aisyah dengan kasar tapi dia tidak menunjukkan dendam sama sekali. Aisyah membuka kotak makan yang dibawakan oleh Rahman. Bibirnya mengucapkan syukur, malam ini dia bisa makan enak.

                                                              ***

            Rahman menuangkan minuman memabukkan lagi ke dalam gelasnya. Bersama perempuan penghibur bergelanyutan dan mencumbuinya. Mood Rahman sedang baik malam ini, hingga dia sangat royal memberikan tips. Namun pada saat perempuan itu ingin membuka sabuk Rahman, tangannya langsung menahannya. Rahman langsung teringat dengan wajah Aisyah. Bahkan dia berhalusinasi melihat sosok Aisyah berdiri di depannya.

            “Kamu… minggir…”

            Rahman menyingkirkan kupu-kupu malam itu.

            “Sayang, kamu kenapa?”

            “Pergi…” Rahman menyuruh kupu-kupu malam itu pergi. Meski malam ini tidak melampiaskan hasratnya tapi sudah mendapatkan tips banyak membuat perempuan itu cukup puas.

            Pak Darto seperti biasanya memapah Rahman yang mabuk berat.

            “Howeekkkk…”

            Rahman memuntahkan isi perutnya sampai bajunya kotor dan sangat menjijikkan. Pak Darto berusaha menahan baunya dan membantu Tuannya itu masuk ke dalam mobil. Malam yang pekat, jalanan berwarna warni oleh pancaran lampu gedung-gedung pencakar langit.

            Mbok Darsih membuka pintu dan membantu suaminya membawa Rahman ke kamar. Mbok Darsih menyiapkan air dan handuk untuk suaminya membersihkan Tuannya itu.

            Pak Darto membuka baju Rahman yang kotor oleh muntahannya sendiri. Melepaskan sepatu dan kaos kakinya, tidak bisa dibayangkan, jika Pak Darto yang sangat setia itu semakin menua dan tidak bisa berbakti lagi.

            “Aisyah…”

            Rahman mengingau. Membuat Pak Darto menghentikan tangannya membersihkan wajah Rahman. Rahman memegang tangan Pak Darto lalu menciuminya. Pak Darti merasa geli juga melihat tingkah konyol Rahman yang masih mengingau menyebut nama Aisyah.

                                                                        ***

            Sebelum turun ke bawah, Rahman mendapatkan telepon dari Ibunya. Meski Ibunya telah tahu hubungan Rahman dengan Cindy gagal ke pelaminan, tapi Ibunya tetap ingin Rahman segera menikah karena jika tidak, setelah lulus kuliah Adiknya akan dilamar oleh kekasihnya. Ibunya tidak ingin jika Rahman dilangkahi. Jika Adiknya memiliki anak, maka posisi Rahman bisa tergeser sebagai ahli waris utama.

            Percuma saja jika menikah. Rahman gagal menikah dengan Cindy juga karena dirinya dinyatakan tidak subur. Kemungkinan kecil untuk memiliki anak. Oleh karena itu orangtua Cindy membatalkan pernikahan.

            Rahman membanting handphonenya hingga terdengar suara yang sangat keras. Mbok Darsih mengelus dada.

            “Tuan, kenapa?”

            “Jemput Aisyah hari ini juga, Mbok.”

            “Baik, Tuan.”

            Mbok Darsih bergegas menyampaikan permintaan Rahman kepada suaminya. Pak Darto yang sedang mengelap mobil pun merasa bingung. Jika Tuannya menginginkan sesuatu pasti harus segera dilaksanakan.

            Rahman duduk di kursi makan. Tubuhnya diam tidak banyak bergerak sama sekali. Bahkan Mbok Darsih tidak berani mendekatinya walau hanya untuk menuangkan segelas air putih, dia memilih menunggu suaminya datang membawa Aisyah.

            “Non, saya mohon. Temui Tuan Rahman sebentar saja.” Bujuk Pak Darto.

            “Saya ada janji dengan wali murid, Pak, tidak bisa sekarang.” Aisyah memberikan alasan yang masuk akal.

            Rahman berdiri mendengar suara mobil masuk ke halaman rumahnya yang sangat luas. Dia sudah menduga pasti Aisyah tidak mau ikut. Belum juga Pak Darto keluar dari mobil, Rahman sudah membuka pintu mobil belakang dan langsung meminta Pak Darto kembali ke kontrakan Aisyah.

            Aisyah mengunci pintu melihat mobil Rahman kembali. Dia berdoa semoga terhindar dari pria kasar itu. Rahman yang sudah merasa membayar kontrakan itu, pun tanpa sepengetahuan Aisyah, dia sudah memiliki kunci pintu juga. Tanpa sepengetahuan Aisyah, pemilik kontrakan telah memberikan kunci kepada Rahman.

            Aisyah sembunyi di balik pintu kamar dan sudah siap-siap tidak mendengar ketukan pintu. Pikirannya keliru. Rahman sudah membuka pintu kamar. Aisyah menutup mulutnya dan ketakutan. Rahman menutup pintu, saat Aisyah hendak kabur, Rahman langsung meraih tanganya dengan kasar, hingga Aisyah merasa kesakitan.

            “Lepaskan…”

            Rahman menarik tangan Aisyah dan melemparkannya ke tempat tidur.

            “Kamu gila, yah…” bentak Aisyah.

            “Beraninya kamu menolak untuk dijemput!” Rahman mencengkram tangan Aisyah.

            “Aku tidak bisa, aku ada janji dengan wali murid.” Aisyah membela diri.

            Tiba-tiba banyak orang yang berkerumun. Pak Darto melihat dari samping mobil dengan tatapan yang santai. Pak RT memanggil Aisyah untuk keluar. Melihat kerumunan warga Aisyah pun merasa panik. Takut akan fitnah dan prasangka buruk yang akan membuatnya diusir.

            “Ustazah, siapa laki-laki itu? Apakah muhrimnya?” tanya Pak RT.

            “Saya bisa jelaskan Pak RT.” Ucap Aisyah.

            “Silakan dijelaskan, ustazah…”

            Aisyah pun bingung bagaimana harus memulai darimana untuk menjelaskan. Terpaksa Pak RT meminta Aisyah untuk sementara meninggalkan kontrakan dan kembali lagi jika masalahnya sudah selesai, takut akan menimbulkan fitnah dan menambah dosa.

            Tanpa pilihan, Aisyah harus meninggalkan kontrakan dan dia bingung entah akan pergi ke mana. Gara-gara Aisyah tidak mau dijemput oleh Pak Darto, dia harus menanggung cobaan dari Tuhan.

            Aisyah berjalan beralaskan sandal jepit. Ibukota ini ternyata ngeri. Sebelum memutuskan merantau ke sini, dia tidak mendengarkan nasihat pengurus pondok. Antara mengabdi di pondok dan keluar dari penjara suci, ternyata lebih baik di penjara suci meski tidak bisa melihat dunia luar.

            Pak Darto menepikan mobil. Rahman keluar dari mobil dan menarik tangan Aisyah untuk masuk ke dalam mobil. Sekuat tenaga Aisyah menolak dan menjerit meminta tolong namun tidak ada yang peduli.

            “Diam!” Rahman memasangkan sabuk pengaman.

            Aisyah menolak, tangannya memukul-mukul dada Rahman namun tidak mempan. Hingga Aisyah menampar pipi Rahman sangat keras. Pak Darto langsung melajukan mobil tidak ingin melihat ada kekerasan lebih parah lagi.

            Aisyah menggigit bibirnya untuk menghilangkan rasa ketakutannya. Sementara Rahman memegang pipinya yang cukup sakit telah ditampar oleh Aisyah. Ternyata perempuan ini punya nyali untuk berbuat demikian. Baru seumur hidup, ada yang berani menampar Rahman itupun di depan Pak Darto, Rahman merasa sangat marah di dalam hati.

            Sampai di rumah, Rahman langsung menarik Aisyah masuk ke kamarnya. Kali ini kemarahan Rahman benar-benar tidak bisa dibendung lagi. Aisyah berusaha untuk kabur, dengan cepat Rahman menahannya. Pintu kamar dia kunci dan melemparkan kuncinya ke bawah tempat tidur.

            “Ambillah…”

            Aisyah masih menangis dan ketakutan. Bahkan dia tidak punya nyali untuk mengambil kunci di bawah tempat tidur.

            “Sebenarnya apa yang kamu mau, Tuan?”

            Rahman meraih dagu Aisyah dan melepaskan niqamnya. Bibir Aisyah  membentuk moncong, Rahman meremas pipinya dan memaksa merasakan bibir Aisyah yang ketakutan. Dengan kekuatan yang dimiliki Aisyah memberontak dan menggigit bibir Rahman sampai dia melepaskannya.

            “Aghhh…” Rahman memegangi bibirnya.

            Aisyah merangkak ke bawah tempat tidur dan berusaha mengambil kunci. Rahman menarik kaki Aisyah. Dengan perlawanan Aisyah masih mencoba menjaga kesuciannya. Aisyah merasa ada yang tidak beres, tidak sepatutnya Rahman memperlakukan dirinya seperti itu.

            “Tidak… tidak…”

            Aisyah memeluk tubuh Rahman yang six pack. Aisyah menangis dan tetap memeluk tubuh Rahman berharap pria itu sadar.

            “Jangan perlakukan aku seperti ini. Jika kamu menginginkanku, aku ikhlas jika kamu halalkan aku dulu…” Aisyah masih sesenggukkan memeluk Rahman.

            Ucapan Aisyah menampar Rahman sekali lagi. Perempuan yang tidak mengenal pribadinya bisa mengucapkan kata-kata seperti itu. Rahman perlahan melepaskan pelukan Aisyah dan meminta maaf.

            “Maafkan aku. Kamu boleh pergi.”

            Kini Aisyah yang merasa bingung. Kenapa pria itu sangat cepat sekali berubah pikiran. Aisyah tidak mau mengulur waktu, dia merangkak ke bawah tempat tidur dan mencari kunci.

            Aisyah meraih kunci pintu kamar dan membukanya. Dia menoleh, melihat Rahman yang duduk terdiam merasa tidak tega. Mbok Darsih dan Pak Darto melihat Aisyah menuruni anak tangga.

            “Kamu tidak apa-apa, Non?” Mbok Darsih melihat lebam di pipi Aisyah.

            “Aku tidak apa-apa, Mbok.”

            “Biar Mbok obati dulu lukamu.” Mbok Darsih mengajak Aisyah ke ruang tamu dan mengambilkan obat untuk mengobati luka lebam.

            Meski terasa sakit, Aisyah masih bersyukur bisa selamat dari serangan Rahman. Pria itu benar-benar hilang akal.

                                                                 ***

Related chapters

  • Diary Istri CEO   Keikhlasan

    Aisyah masih merasa bingung, kenapa Rahman bisa bersikap seperti itu. Dengan uang yang dimiliki, dia bisa mendapatkan perempuan dengan mudah. Mbok Darsih datang dengan wajah yang gelisah. “Non,” ucap Mbok Darsih lirih namun terdengar jelas. “Ada apa, Mbok? Apakah Tuan Rahman sudah turun?” tanya Aisyah, menghentikan zikirnya. “Belum, Non.” Jawab Mbok Darsih, bertambah gelisah. Aisyah teringat kalau Rahman mempunyai sakit magh, jika telat makan bisa berakibat buruk. Aisyah menawarkan dirinya untuk mengantarkan makan malam untuk Rahman. “Yakin, Non?” tanya Mbok Darsih sedikit

    Last Updated : 2021-10-02
  • Diary Istri CEO   Sentuhan Pertama yang Menyakitkan

    Aisyah masih merasakan nyeri di bibirnya yang memang sedikit lecet terkena gigi-gigi Rahman yang lancip. Dia merasa berdosa sekali. Aisyah melaksanakan salat tobat dan meminta ampunan dari Tuhan. Walau apa Aisyah alami bukan karena keinginannya. Justri dengan meminta dihalalkan oleh Rahman, dia anggap sebagai penebusan dosa. Meski bangun tengah malam atau sedingin Subuh, bagi Aisyah sudah sangat terbiasa. Kehidupan di penjara suci sudah mengajarkan banyak keprihatinan tentang hidup. Justri dia merasa aman tinggal di pondok pesantren. Pintu kamar terbuka, Aisyah masih khusyuk berzikir dengan mata terpejam. Rahman duduk di atas kasur dan melihat Aisyah yang sangat tenang. Sudah setengah jam Rahman menunggu Aisyah, namun Aisyah masih khusyuk berzikir. Tanpa sadar, Rah

    Last Updated : 2021-10-03
  • Diary Istri CEO   Cinta itu Berbunga-Bunga

    Tatapan Aisyah kosong memandang ke luar jendela. Pikiran Aisyah semakin tidak karuan. Terlalu berlama-lama di rumah Rahman, seakan menambah daftar dosa dalam hidupnya. Meski semua ini bukanlah keinginannya. Sebuah tangan meraih gagang pintu. Mata Aisyah melihat gagang pintu itu turun ke bawah akibat ada yang membuka dari luar. Antara Rahman atau Mbok Darsih yang muncul di benak pikiran Aisyah. Saat pintu terbuka, hati Aisyah merasa lega. Mbok Darsih yang muncul dari balik pintu. Mbok Darsih meminta Aisyah untuk membantu di dapur. Kejadian semalam ternyata diketahui oleh Mbok Darsih. “Non Aisyah mau membantu saya di dapur?” tanya Mbok Darsih diiringi senyuman.

    Last Updated : 2021-10-21
  • Diary Istri CEO   Meeting Pertama

    Pesawat mendarat dengan mulus di bandara international Changi. Perbedaan waktu satu jam antara Singapura dan Indonesia. Rahman lolos dari pengecekan imigrasi. Dia bergegas menuju ke arah pengambilan koper. Sementara Antonio Lim sudah menunggu Rahman. Anton, begitulah orang-orang memanggil namanya supaya lebih gampang. Anton merupakan teman kuliah Rahman dulu di Singapura. Mereka tetap menjalin hubungan baik, meskipun jarak telah memisahkan. Selain menjalin hubungan bisnis, mereka juga menjalin persahabatan yang baik. Rahman melambaikan tangan melihat Anton sudah melambaikan tangan juga. Mereka saling berjabat tangan dan berpelukan. “Welcome, Bro. How are you?” ucap Anton. “I

    Last Updated : 2021-10-24
  • Diary Istri CEO   Hari Kedua

    Hidangan makan malam sudah tersaji di meja makan. Ibu Reta memang memiliki hobby memasak. Sehingga setiap makan malam, selalu terhidang makanan yang lezat. Rahman dan Ayahnya masih sedikit canggung. Keduanya memang pernah terlibat perbedaan pendapat yang sempat membuat hubungan keduanya sedikit renggang. Namun seiring waktu Ayah Rahman dapat menerima setiap keputusan yang Rahman ambil. Perbedaan pendapat setelah gagalnya pernikahan Rahman dengan Cindy, menciptakan celah yang kurang baik. Untung saja semua itu tidak berlarut terlalu lama. “Take this.” Ayah Rahman mengambilkan sepotong shell yang diracik dengan taburan cabai merah dan peresan jeruk nipis. Rasanya sangat enak bagi yang menyukainya. “Thank Dad.”&n

    Last Updated : 2021-10-25
  • Diary Istri CEO   Mengenal Karakter

    Pagi-pagi sekali Niken sudah datang ke rumah Rahman. Sudah tiga hari ini Aisyah seperti sedang dimata-matai. Untung saja kedatangan Niken tidak membuat Aisyah merasa terganggu, hanya saja merasa tidak enak diperhatikan. Niken hanya melaksanakan tugas yang disuruh oleh Rahman untuk memenuhi kebutuhan Aisyah. Hari ini Niken akan mengajak Aisyah pergi ke sebuah mall untuk membeli baju, karena setelah kepulangan Rahman akan ada pertemuan penting. Aisyah harus terlihat lebih menarik memakai baju, bukan gamis lusuh yang dipakai setiap hari. Pakaian baru atau lama bagi Aisyah tidak begitu penting, kehidupan di penjara suci telah mengajarinya banyak hal tentang keprihatinan hidup. Asalkan hati bahagia itu sudah cukup untuk merasa bahwa hidup ini benar-benar memiliki makna.

    Last Updated : 2021-10-26
  • Diary Istri CEO   Gamis untuk Aisyah

    Setelan jas warna hitam menempel di badan Rahman dengan pas. Seperti tidak ada celah. Tubuh kekarnya kelihatan bertambah gagah. Shelin menggoda Rahman dengan sindiran ringan. “Are you happy going to see your girlfriend?” Rahman hanya senyum saja. Candaan Shelin tidak mempan bagi Rahman. Sementara Ibu dan Ayahnya tampak tersenyum melihat dua anaknya itu masih seperti anak kecil saja. Tiba-tiba Ayah Rahman memanggil Rahman ke ruang tamu. Ada obrolan yang ingin disampaikan untuk Rahman. Berita tentang Robi yang mengincar anak cabang resort baru sudah sampai ke telinga Ayah Rahman. Saham yang dimiliki Robi semakin hari semakin melonjak sangat cepat. Jika Rahman masih bersikap santai terharap rivalnya bisa-bisa Rahman akan kehilangan peluang untuk menjadi pe

    Last Updated : 2021-10-27
  • Diary Istri CEO   Merasakan Sensasi

    Pesawat S-airline mendarat dengan mulus di bandara Soekarno Hatta. Rahman menjinjing tasnya menuju ke penjemputan. Pak Darto sudah stand bye di sana. Rahman langsung mengintruksikan Pak Darto untuk langsung ke kantor. Ada urusan penting yang harus dibicarakan langsung dengan Niken. Pak Darto pun mengiyakan. Siapa yang tidak tahu kalau jalanan di ibukota pasti macet. Rahman sesekali memandang jam tangannya. Pak Darto melirik dari kaca. Rahman mengeluarkan handphonenya dan menelepon rumah. Lama tidak ada yang mengangkat. “Apa Mbok Darsih tidak di rumah?” “Di rumah Tuan.” Jawab Pak Darto. Sebelum berangkat menjemput Rahman tadi, Mbok Darsih sedang membersihkan kamar tuan

    Last Updated : 2021-10-28

Latest chapter

  • Diary Istri CEO   Diary Istri CEO

    Pov Aisyah Dear Diary, Senyum ini menjadi saksi. Bahwa hati ini telah sepenuhnya merima dan menjalankan takdir yang Tuhan berikan. Bersanding denganmu di pelaminan, kuanggap sebagai baktiku sebagai seorang istri yang patuh terhadap wasiat terakhirmu. Bukan karena hasrat dunia yang sepi akan kesendirian setelah kepergianmu. Rahman Wijanto. Laki-laki yang hadir dalam napas langkah kaki ini. Di kota asing yang baru pertama kali kujajaki untuk mencari pencarian yang kini telah kusudahi karena pencarian panjang bagaikan langkah buntu yang tidak kutemukan titik pasti, meski aku belum menyerah hanya memilih pasrah. Penjara suc

  • Diary Istri CEO   Lembaran Terakhir

    Pov Aisyah Wajah itu perlahan mulai menghiasi hari-hariku. Semakin hari dunia ini seolah menuntunku untuk menemukan senyuman yang mulai memudar oleh kebimbangan. Saat ini, di sampingku masih setia sosok Bayu yang sigap membantu tanpa pamrih. Betapa khawatirnya hatiku saat mendengar dia ingin pergi. Bukan karena cinta itu tumbuh dalam hatiku, melainkan aku belum siap untuk memapah dunia ini sendirian. Menjaga anak-anak dan perusahaan. Ayah mertua sudah terbaring lemah dan tidak berdaya untuk mengurus semua perusahaan. Di tangan Bayu-lah kami menyerahkan semua kepercayaan. Sedangkan ibu Reta, ibu mertua yang selalu memberikanku keyakinan, akan pernikahan kedua membuat diri ini siap untuk membuka lembaran baru. Meski tidak mudah bagiku untuk membuka pint

  • Diary Istri CEO   Memilih Jalan

    Sebulan, dua bulan, tiga bulan, angina sore masih memberikan nuansa kebimbangan di dalam hati Aisyah. Perut semakin membesar dan masih menyimpan kewajiban serta tanggung jawab yang dia simpan seorang diri. Alhamdulilah, Bilal dan Kuwat tumbuh menjadi anak yang tidak merepotkan. Dua jagoan itu dapat merasakan kebimbangan yang sedang Aisyah rasakan. “Mommy…” Bilal mendekati Aisyah yang tadi tampak menyimpan kesedihan. Sudah satu jam lebih, pena di jemarinya tidak bergerak sama sekali. “Iya, sayang…” “Kapan Adik lahir, Mommy?” “Inysa Allah sebentar lagi sayang. Oh yah

  • Diary Istri CEO   Wajah 1

    Perut Aisyah sudah tidak lagi menahan lapar. Dalam hati yang masih merintih dalam diam menyaksikan Rahman terbaring lemah. Andai saja dia bisa berbuat sesuatu yang menyembuhkan sakitnya pasti sudah diberikan. Kini hanya doa dan memohon mujizat Tuhan. Apa pun yang terjadi semua itu karena campur tangan-Nya. Bayu berdiri dan berpaling meningglkan Aisyah yang masih menunggu Rahman dengan melantunkan dzikir-dzikir penenang hati. Sudah tugasnya untuk menjemput anak-anak pulang sekolah. Rahman seperti melihat kabut-kabut putih yang sangat lebat. Dia melihat pandangan yang tidak bisa ditembus oleh mata. Betapa pekatnya kabut putih yang menghalangi arah mata pandangan Rahman. Masih berdiri, Rahman menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keberadaan posisi dirinya. Tid

  • Diary Istri CEO   Wajah

    Sudah satu jam tidak menemukan kata-kata mutiara. Aisyah tampak lelah dengan isi di dalam otaknya. Namun dia berusaha agar tidak membuat stress mengingat ada calon anak yang akan keluar ke dunia. Melihat betapa kehidupan ini tidaklah seindah harapan maupun senyaman dalam perut. Aisyah mengelus perutnya secara perlahan. Seakan menjajak calon bayinya berdialog antara hati ke hati. Langit sudah merona, buku diary di atas meja segera dia simpan dan membawanya kembali ke dalam laci. Anak-anak juga terlihat mengulet dengan perlahan matanya mencoba untuk bergerak. Namun muncul kepanikan saat melihat tubuh kekar Rahman seakan tidak merespon. Dia tampak tenang. Bahkan wajahnya kelihatan lebih pudar. Aisyah mencoba untuk tenang dan meminta anak-anak segera mandi. “Kali

  • Diary Istri CEO   The Show

    Dari deretan bangku baris ketiga Rahman dan Aisyah duduk untuk menyaksikan persembahan pentas anak-anak. Bayu yang duduk di sebelah Rahman sesekali melirik melihat Rahman yang wajahnya sudah kelihatan pucat. Rahman juga merasakan jika tubuhnya sudah tidak sekuat dahulu. Demi jagoan tercinta, dia paksakan untuk menjadi kuat. Tidak ingin terlihat lemah di depan anak-anak. Bagaikan menghitung hari yang pasti akan datang waktunya. Aisyah menggenggam tangan Rahman sambil tersenyum. Di dalam relung hatinya juga merasakan kekhawatiran. Suara MC sedikit melegakan hati Rahman, itu tandanya pertunjukan segera dimulai. Acara tampak sangat megah dengan hiasan panggung yang artistic. Semua wali murid yang hadir juga kelihatan dari kalangan atas. Rahman menutup mulutnya supaya tidak terlihat menguap.&n

  • Diary Istri CEO   Menghilangkan Cemburu

    Akhirnya Bayu sampai di depan sekolah Bilal dan Kuwat. Di tempat tunggu sudah ramai para asisten rumah tangga dan sebagian ibu dari anak-anak yang menunggu. Bagi Bayu jika ikut menunggu dengan mereka rasanya malu. Hingga dia memilih menunggu di dalam mobil dengan membuka kaca jendela. Sambil membaca majalah dapat menghilangkan pikiran yang membayangkan apa saja yang dilakukan majikannya di kamar tadi. Hal itu sangat membuat hati kecil Bayu merasakan cemburu namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Tidak mungkin mengatakan kejujuran. Lima menit berlalu, Bayu mengarahkan pandangannya melihat ke gerbang sekolah. Satu persatu anak-anak keluar, mereka disambut oleh yang menjemput. Bayu pun bergegas turun dari mobil dan menuju ke depan gerbang. “Om Bayu…”

  • Diary Istri CEO   Ruang

    Di ruangan meeting sudah berkumpul dengan posisi genap. Ini adalah pertama kali Aisyah memimpin rapat. Dari Rahman, Aisyah belajar agar bisa seperti posisi suaminya walau itu tidak mudah. “Lalu anak cabang yang ada di Bali bagaimana proses untuk ke depannya Nyonya Aisyah? Resort itu harus dikelola ulang supaya lebih baik. Selama ini banyak laporan yang ternyata disalah gunakan oleh anak buah Robi.” “Soal resort di Bali, bukankah sudah menjadi tugas Anda Pak Johan untuk memantau? Lalu bagaimana bisa anak buah Robi bisa melakukan tindakan tersebut? Dimana tugas Anda?” “Oh, jadi Anda menyalahkan saya?” “Tidak!”

  • Diary Istri CEO   Meminta

    Jus yang dibuatkan oleh Aisyah telah habis. Tidak menyisakan sedikitpun di gelas. Rahman memang paling bisa menghargai Aisyah. Terkadang apa yang dibuat oleh istrinya untuk dimakan, walau tidak selalunya enak dan manis. Namun ada rasa getir yang membuat lidah merasa ngilu, Rahman tetap menghabiskannya. “Sayang…” Aisyah menghentikan langkah saat Rahman memanggilnya. Ada perasaan khawatir menjadi satu. Bola mata saling beradu menjadi satu ciptakan rasa kelu melanda kalbu. Antara gamam dan kaku lidah membuat mulut sukar mengeluarkan kata-kata. “Istirahatlah Mas…” Aisyah mendekati Rahman dan mengecup bibirnya. Meski Rahman sempat ingin menolak namun Aisyah me

DMCA.com Protection Status