Rahman melihat kamarnya masih terang. Dia tidak melihat Aisyah di kamarnya, hatinya langsung panik. Dia bergegas mencari Aisyah ke bawah. Menurut pengakuan Mbok Darsih, Aisyah tidur di kamar tamu.
Pintu kamar yang tidak dikunci membuat Rahman dengan mudah masuk. Aisyah mengucapkan salam selesai salat tahajudnya. Dia langsung kaget melihat Rahman yang duduk di kasur.
“Ngapain kamu ke sini?”
Rahman masih diam sambil memandang wajah Aisyah yang tanpa niqam melihatkan bentuk hidung mancung Aisyah dan bibir mungilnya, sehingga membuat Rahman menelan salivanya. Melihat kecantikan Aisyah siapa yang tidak akan tertarik. Paras perempuan-perempuan penghibur di club malam, kalah dengan kecantikan Aisyah yang tanpa polesan make up.
Aisyah menundukkan wajah, dia sadar mungkin Rahman muncul jiwa mesumnya. Dia ingat kelakuan Rahman saat di kantor waktu itu. Pasti, dia sedang membayangkan imajinasi liar terhadapnya.
“Tolong, keluar dari sini.” Pinta Aisyah lembut supaya Rahman tidak tersinggung.
“Ini rumahku, aku bebas mau melakukan apa saja.”
“Tapi kita bukan muhrim tidak baik berduaan di kamar.”
“Aku tidak masalah.”
Aisyah merasa kesal. Ternyata Rahman sangat kerasa kepala.
“Aku akan berteriak.”
“Silakan saja.”
Rahman seolah menantang Aisyah. Dia membentangkan tangannya dan tersenyum. Aisyah merasa terpojok, saat Rahman terus-terussan mendekatinya. Bahkan bunyi napas Rahman sangat terdengar jelas, pria ini seperti sedang meraih puncak. Aisyah lalu mendorong tubuh kekar Rahman dan berlari keluar.
“Mbok… Mbok… buka pintunya.”
Aisyah menggedor-nggedor pintu kamar Mbok Darsih. Rahman langsung menuju ke kamarnya. Mbok Darsih dan Pak Darto merasa kaget melihat ketakutan di wajah Aisyah.
“Ada apa Non?” tanya Mbok Darsih.
“Tuan kalian gila!”
“Tenang yah, Non.”
Mbok Darsih mengantar Aisyah kembali ke kamar tamu dan menemaninya tidur malam ini. Melihat Aisyah yang ketakutan seperti itu membuat Mbok Darsih tidak tega. Tuannya itu bisa melakukan apa saja yang dia mau, bahkan bercinta dengan seorang perempuan tanpa ikatan halal, tapi tidak dengan Aisyah yang tidak bersalah apa-apa.
Bagiamana dulu Rahman kerap membawa perempuan ke rumah dan melampiaskan segala amarahnya yang tidak bisa terkendali. Emosinya setiap hari bertambah liar dan tidak terkendali.
Dengan kuasa dan uang yang dimiliki membuat Rahman bebas memilih perempuan dan membawa pulang. Hanya setelah kedatangan Aisyah sepertinya sifat itu mulai tidak terlihat lagi.
Rahman melumat bibirnya sendiri. Hampir saja dia berhasil merasakan sensasi bibir Aisyah. Namun entah kenapa dia merasa bersalah. Melihat Aisyah yang berlari ketakutan tidak seperti perempuan-perempuan malam yang dijumpainya di club langsung memberikan tubuhnya walau secara percuma mereka tidak menolak. Dada yang datar kerap menjadi rebahan kepala perempuan-perempuan malam, setelah puas bersama.
Paginya Rahman menganggap tidak terjadi apa-apa. Kejadian tengah malam, baginya sudah dilupakan. Dia tidak melihat Aisyah membantu Mbok Darsih membantu menyiapkan sarapan. Mungkinkah Aisyah marah.
“Dimana dia, Mbok?” tanya Rahman.
“Non Aisyah masih tidur, Tuan. Semalam dia tidak bisa tidur dengan nyenyak.” Mbok Darsih menjelaskan.
Rahman berdiri dari duduknya lalu menyingkirkan kursinya. Mbok Darsih sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh Tuannya itu.
Pintu kamar tamu diraihnya. Perlahan Rahman membuka handel pintu. Benar saja, Aisyah masih tertidur dengan pulas. Wajahnya kelihatan sangat lelah. Perlahan Rahman masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Mbok Darsih tidak bisa berbuat apa-apa.
Pipi Aisyah yang mulus tidak ada bekas jerawat satu pun disentuhnya. Rahman mengelus pipi Aisyah menggunakan jari telunjuknya. Saat jempol tangan kanannya hampir menyentuh bibir Aisyah dia terkejut melihat Aisyah membuka mata. Aisyah pun merasa kaget melihat Rahman sudah di kamarnya. Kedatangannya sangat tidak dinantikan. Meski mata masih terasa berat Aisyah mencoba bangun dan menghindari pria yang dianggapnya aneh.
“Jam segini belum bangun. Kamu pikir ini hotel?” ucap Rahman dengan mata yang tajam.
“Apa maumu?” seru Aisyah.
“Cepat bersihkan dirimu dan temani aku sarapan.” Bentak Rahman.
“Baik.” Jawab Aisyah pelan.
Aisyah merasa sangat senang sekali. Itu tandanya dia bisa pulang. Di meja makan, Aisyah bisa menunjukkan kegembiraannya. Menemani Rahman makan dan segera bebas dari istana yang tidak diharapkan ini.
“Setelah ini kamu akan mengantarkanku pulang, kan?” tanya Aisyah.
Rahman meletakkan sendok makannya dan mengelap bibirnya. Raut wajahnya berubah seketika. Aisyah menanggap ada yang tidak beres dan mulai khawatir.
“Atau jika kamu sibuk aku bisa pulang sendiri.” Aisyah mencoba menego.
“Berhenti mengoceh!”
Rahman menggebrak meja sehingga membuat Aisyah merasa kaget sekaligus takut. Pria ini berubah seperti serigala yang siap menerkamnya. Padahal tadi dia kelihatan dalam mood yang baik diajak bicara meskipun tatapannya bengis.
“Aku hanya ingin pulang dan membayar kontrakan. Aku khawatir pemilik kontrakan akan berburuk sangka terhadapku dan melaporkanku ke polisi. Aku mohon, Tuan…” kali ini suara Aisyah terbata-bata, jantungya berdetak sangat kuat.
“Jika kamu ingin aku di sini, aku akan kembali lagi. Kalau kamu tidak percaya, Pak Darto bisa mengantarkanku…” Aisyah masih bersuara dengan nada yang gemetar.
Rahman berpikir dengan menatap tajam mata Aisyah. Benar juga apa yang dikatakan oleh Aisyah. Rahman menyetujui permintaan Aisyah, namun dengan syarat, dia yang akan mengantarkannya.
Aisyah mengambil tasnya di kamar Rahman. Dia membuka isi dompetnya. Uang lembaran merah hanya tinggal dua, itu tidak cukup untuk membayar uang kontrakan. Aisyah hanya bisa duduk dan tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Pulang ke kontrakan juga percuma, memilih menunggu pemilik kontrakan untuk melaporkan ke polisi mungkin itu jalan terbaik.
“Kenapa lama sekali?” Rahman masuk ke kamar, dibuat bingung oleh Aisyah.
Aisyah berpaling dan membiarkan pria itu untuk murka lagi. Aisyah sudah pasrah. Dalam ketakutan Aisyah berusaha untuk menutupinya. Jika saja dia membagi ilmunya mengajar mengaji atau les secara privet mungkin uangnya akan cukup.
“Aku tidak punya waktu lama untuk menunggumu.”
“Biarkan saja pemilik kontrakan mencariku.”
Rahman merasa ada yang tidak beres. Barusan tadi, Aisyah memohon untuk pulang ke kontrakan tapi dengan sekejap berubah pikiran. Dia pikir bisa mempermainkan Rahman.
“Jangan mempermainkan kesabaranku…” Rahman menggenggam erat pergelangan tangan Aisyah. Rasa sakit tidak dihiraukan, Aisyah hanya bisa merintih pelan.
Rahman baru sadar melihat uang yang dipegang oleh Aisyah. Karena itulah, Aisyah mengundurkan niatnya untuk pulang.
“Berapa harga kontrakannya?” Rahman melepaskan tangan Aisyah.
“Lima ratus…” Aisyah tidak kuasa menahan tangisnya. Dia pun menangis tanpa merasa malu lagi.
“Coba saja kalau kamu tidak membawaku ke sini, uangku bisa genap untuk membayar kontrakan.” Aisyah bersuara lantang. Tidak peduli Rahman akan mengamuk atau tidak, setidaknya hati sedikit lega.
Rahman memegang pergelangan tangan Aisyah, namun kali ini tidak dengan kekerasan. Aisyah mengikuti langkah Rahman yang sangat cepat sampai dia menginjak gamisnya dan hampir terjatuh. Rahman langsung memegang tubuh Aisyah yang terasa ringan. Rahman menangkap wajahnya di dalam bola mata Aisyah, begitu pula dengan Aisyah.
“Hati-hati bisa tidak?” Rahman membantu Aisyah berdiri dengan benar.
“Kamu yang jalannya hati-hati.” Aisyah tidak mau disalahkan.
Tidak bisa menyembunyikan senyumnya, Rahman berusaha untuk memalingkan wajah. Aisyah merasa heran melihat Rahman tiba-tiba senyum sendiri. Benar-benar di luar dugaannya. Rahman berkacak pinggang dan melihat Aisyah. Anak tangga yang tinggal lima langkah kaki, Rahman meminta Aisyah untuk turun terlebih dahulu namun Aisyah menolak.
“Laki-laki di depan, tidak baik jika perempuan berjalan di depan pria.” Jelas Aisyah.
“Kenapa?”
“Karena bisa menimbulkan fitnah. Kita bukan muhrim.”
Anehnya Rahman pun menurut ucapan Aisyah. Dia berjalan di depan. Aisyah merasa lebih lega jika pria emosian itu bisa mengontrol kemarahan dalam hatinya. Rahman sampai di mobil dan berbalik.
“Kamu di depan atau di belakang?”
“Belakang.” Jawab Aisyah lantang.
Rahman membukakan pintu belakang mobil. Pak Darto yang sedang duduk pun terkejut melihat itu langsung bergegas membukakan pintu untuk tuannya. Rahman duduk di kursi depan.
“Langsung ke kantor, Tuan?”
“Antarkan dia dulu.”
“Alamatnya, Tuan.”
“Tanya saja kepadanya.”
“Non, alamatnya dimana?”
“Jalan Kenanga nomor tiga enam.”
Pak Darto langsung melajukan mobilnya lebih kencang. Jalanan yang mulai macet pasti akan membuat perjalanan terhambat. Aisyah memasang niqamnya karena tadi tidak sempat memakainya. Rahman melihatnya dari kaca spion. Aisyah merasa sedikit lebih lega. Dalam perjalanan hatinya terus berzikir, akhirnya bisa diantarkan pulang oleh CEO temperamental itu. Walau nanti dia harus kembali lagi.
***
Mobil berhenti di depan rumah kontrakan. Aisyah melihat dari dalam mobil, pemilik kontrakan sedang mengetuk-ngetuk pintu. Aisyah bergegas keluar dari dalam mobil dan menghampirinya. “Assalamualaikum…” Aisyah mengucapkan salam. Bibirnya yang tersenyum walau tidak kelihatan, dia tetap tersenyum. “Waalikumsalam…” “Ustazah Aisyah, darimana saja?” “Maafkan saya, Bu.” Rahman dengan santai keluar dari mobil. Pemilik kontrakan sebenarnya merasa kesal karena sudah dua minggu Aisyah menunggak membayar uang kontrakan, ditambah lagi dia menghilang begitu saja.  
Aisyah masih merasa bingung, kenapa Rahman bisa bersikap seperti itu. Dengan uang yang dimiliki, dia bisa mendapatkan perempuan dengan mudah. Mbok Darsih datang dengan wajah yang gelisah. “Non,” ucap Mbok Darsih lirih namun terdengar jelas. “Ada apa, Mbok? Apakah Tuan Rahman sudah turun?” tanya Aisyah, menghentikan zikirnya. “Belum, Non.” Jawab Mbok Darsih, bertambah gelisah. Aisyah teringat kalau Rahman mempunyai sakit magh, jika telat makan bisa berakibat buruk. Aisyah menawarkan dirinya untuk mengantarkan makan malam untuk Rahman. “Yakin, Non?” tanya Mbok Darsih sedikit
Aisyah masih merasakan nyeri di bibirnya yang memang sedikit lecet terkena gigi-gigi Rahman yang lancip. Dia merasa berdosa sekali. Aisyah melaksanakan salat tobat dan meminta ampunan dari Tuhan. Walau apa Aisyah alami bukan karena keinginannya. Justri dengan meminta dihalalkan oleh Rahman, dia anggap sebagai penebusan dosa. Meski bangun tengah malam atau sedingin Subuh, bagi Aisyah sudah sangat terbiasa. Kehidupan di penjara suci sudah mengajarkan banyak keprihatinan tentang hidup. Justri dia merasa aman tinggal di pondok pesantren. Pintu kamar terbuka, Aisyah masih khusyuk berzikir dengan mata terpejam. Rahman duduk di atas kasur dan melihat Aisyah yang sangat tenang. Sudah setengah jam Rahman menunggu Aisyah, namun Aisyah masih khusyuk berzikir. Tanpa sadar, Rah
Tatapan Aisyah kosong memandang ke luar jendela. Pikiran Aisyah semakin tidak karuan. Terlalu berlama-lama di rumah Rahman, seakan menambah daftar dosa dalam hidupnya. Meski semua ini bukanlah keinginannya. Sebuah tangan meraih gagang pintu. Mata Aisyah melihat gagang pintu itu turun ke bawah akibat ada yang membuka dari luar. Antara Rahman atau Mbok Darsih yang muncul di benak pikiran Aisyah. Saat pintu terbuka, hati Aisyah merasa lega. Mbok Darsih yang muncul dari balik pintu. Mbok Darsih meminta Aisyah untuk membantu di dapur. Kejadian semalam ternyata diketahui oleh Mbok Darsih. “Non Aisyah mau membantu saya di dapur?” tanya Mbok Darsih diiringi senyuman.
Pesawat mendarat dengan mulus di bandara international Changi. Perbedaan waktu satu jam antara Singapura dan Indonesia. Rahman lolos dari pengecekan imigrasi. Dia bergegas menuju ke arah pengambilan koper. Sementara Antonio Lim sudah menunggu Rahman. Anton, begitulah orang-orang memanggil namanya supaya lebih gampang. Anton merupakan teman kuliah Rahman dulu di Singapura. Mereka tetap menjalin hubungan baik, meskipun jarak telah memisahkan. Selain menjalin hubungan bisnis, mereka juga menjalin persahabatan yang baik. Rahman melambaikan tangan melihat Anton sudah melambaikan tangan juga. Mereka saling berjabat tangan dan berpelukan. “Welcome, Bro. How are you?” ucap Anton. “I
Hidangan makan malam sudah tersaji di meja makan. Ibu Reta memang memiliki hobby memasak. Sehingga setiap makan malam, selalu terhidang makanan yang lezat. Rahman dan Ayahnya masih sedikit canggung. Keduanya memang pernah terlibat perbedaan pendapat yang sempat membuat hubungan keduanya sedikit renggang. Namun seiring waktu Ayah Rahman dapat menerima setiap keputusan yang Rahman ambil. Perbedaan pendapat setelah gagalnya pernikahan Rahman dengan Cindy, menciptakan celah yang kurang baik. Untung saja semua itu tidak berlarut terlalu lama. “Take this.” Ayah Rahman mengambilkan sepotong shell yang diracik dengan taburan cabai merah dan peresan jeruk nipis. Rasanya sangat enak bagi yang menyukainya. “Thank Dad.”&n
Pagi-pagi sekali Niken sudah datang ke rumah Rahman. Sudah tiga hari ini Aisyah seperti sedang dimata-matai. Untung saja kedatangan Niken tidak membuat Aisyah merasa terganggu, hanya saja merasa tidak enak diperhatikan. Niken hanya melaksanakan tugas yang disuruh oleh Rahman untuk memenuhi kebutuhan Aisyah. Hari ini Niken akan mengajak Aisyah pergi ke sebuah mall untuk membeli baju, karena setelah kepulangan Rahman akan ada pertemuan penting. Aisyah harus terlihat lebih menarik memakai baju, bukan gamis lusuh yang dipakai setiap hari. Pakaian baru atau lama bagi Aisyah tidak begitu penting, kehidupan di penjara suci telah mengajarinya banyak hal tentang keprihatinan hidup. Asalkan hati bahagia itu sudah cukup untuk merasa bahwa hidup ini benar-benar memiliki makna.
Setelan jas warna hitam menempel di badan Rahman dengan pas. Seperti tidak ada celah. Tubuh kekarnya kelihatan bertambah gagah. Shelin menggoda Rahman dengan sindiran ringan. “Are you happy going to see your girlfriend?” Rahman hanya senyum saja. Candaan Shelin tidak mempan bagi Rahman. Sementara Ibu dan Ayahnya tampak tersenyum melihat dua anaknya itu masih seperti anak kecil saja. Tiba-tiba Ayah Rahman memanggil Rahman ke ruang tamu. Ada obrolan yang ingin disampaikan untuk Rahman. Berita tentang Robi yang mengincar anak cabang resort baru sudah sampai ke telinga Ayah Rahman. Saham yang dimiliki Robi semakin hari semakin melonjak sangat cepat. Jika Rahman masih bersikap santai terharap rivalnya bisa-bisa Rahman akan kehilangan peluang untuk menjadi pe
Pov Aisyah Dear Diary, Senyum ini menjadi saksi. Bahwa hati ini telah sepenuhnya merima dan menjalankan takdir yang Tuhan berikan. Bersanding denganmu di pelaminan, kuanggap sebagai baktiku sebagai seorang istri yang patuh terhadap wasiat terakhirmu. Bukan karena hasrat dunia yang sepi akan kesendirian setelah kepergianmu. Rahman Wijanto. Laki-laki yang hadir dalam napas langkah kaki ini. Di kota asing yang baru pertama kali kujajaki untuk mencari pencarian yang kini telah kusudahi karena pencarian panjang bagaikan langkah buntu yang tidak kutemukan titik pasti, meski aku belum menyerah hanya memilih pasrah. Penjara suc
Pov Aisyah Wajah itu perlahan mulai menghiasi hari-hariku. Semakin hari dunia ini seolah menuntunku untuk menemukan senyuman yang mulai memudar oleh kebimbangan. Saat ini, di sampingku masih setia sosok Bayu yang sigap membantu tanpa pamrih. Betapa khawatirnya hatiku saat mendengar dia ingin pergi. Bukan karena cinta itu tumbuh dalam hatiku, melainkan aku belum siap untuk memapah dunia ini sendirian. Menjaga anak-anak dan perusahaan. Ayah mertua sudah terbaring lemah dan tidak berdaya untuk mengurus semua perusahaan. Di tangan Bayu-lah kami menyerahkan semua kepercayaan. Sedangkan ibu Reta, ibu mertua yang selalu memberikanku keyakinan, akan pernikahan kedua membuat diri ini siap untuk membuka lembaran baru. Meski tidak mudah bagiku untuk membuka pint
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, angina sore masih memberikan nuansa kebimbangan di dalam hati Aisyah. Perut semakin membesar dan masih menyimpan kewajiban serta tanggung jawab yang dia simpan seorang diri. Alhamdulilah, Bilal dan Kuwat tumbuh menjadi anak yang tidak merepotkan. Dua jagoan itu dapat merasakan kebimbangan yang sedang Aisyah rasakan. “Mommy…” Bilal mendekati Aisyah yang tadi tampak menyimpan kesedihan. Sudah satu jam lebih, pena di jemarinya tidak bergerak sama sekali. “Iya, sayang…” “Kapan Adik lahir, Mommy?” “Inysa Allah sebentar lagi sayang. Oh yah
Perut Aisyah sudah tidak lagi menahan lapar. Dalam hati yang masih merintih dalam diam menyaksikan Rahman terbaring lemah. Andai saja dia bisa berbuat sesuatu yang menyembuhkan sakitnya pasti sudah diberikan. Kini hanya doa dan memohon mujizat Tuhan. Apa pun yang terjadi semua itu karena campur tangan-Nya. Bayu berdiri dan berpaling meningglkan Aisyah yang masih menunggu Rahman dengan melantunkan dzikir-dzikir penenang hati. Sudah tugasnya untuk menjemput anak-anak pulang sekolah. Rahman seperti melihat kabut-kabut putih yang sangat lebat. Dia melihat pandangan yang tidak bisa ditembus oleh mata. Betapa pekatnya kabut putih yang menghalangi arah mata pandangan Rahman. Masih berdiri, Rahman menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keberadaan posisi dirinya. Tid
Sudah satu jam tidak menemukan kata-kata mutiara. Aisyah tampak lelah dengan isi di dalam otaknya. Namun dia berusaha agar tidak membuat stress mengingat ada calon anak yang akan keluar ke dunia. Melihat betapa kehidupan ini tidaklah seindah harapan maupun senyaman dalam perut. Aisyah mengelus perutnya secara perlahan. Seakan menjajak calon bayinya berdialog antara hati ke hati. Langit sudah merona, buku diary di atas meja segera dia simpan dan membawanya kembali ke dalam laci. Anak-anak juga terlihat mengulet dengan perlahan matanya mencoba untuk bergerak. Namun muncul kepanikan saat melihat tubuh kekar Rahman seakan tidak merespon. Dia tampak tenang. Bahkan wajahnya kelihatan lebih pudar. Aisyah mencoba untuk tenang dan meminta anak-anak segera mandi. “Kali
Dari deretan bangku baris ketiga Rahman dan Aisyah duduk untuk menyaksikan persembahan pentas anak-anak. Bayu yang duduk di sebelah Rahman sesekali melirik melihat Rahman yang wajahnya sudah kelihatan pucat. Rahman juga merasakan jika tubuhnya sudah tidak sekuat dahulu. Demi jagoan tercinta, dia paksakan untuk menjadi kuat. Tidak ingin terlihat lemah di depan anak-anak. Bagaikan menghitung hari yang pasti akan datang waktunya. Aisyah menggenggam tangan Rahman sambil tersenyum. Di dalam relung hatinya juga merasakan kekhawatiran. Suara MC sedikit melegakan hati Rahman, itu tandanya pertunjukan segera dimulai. Acara tampak sangat megah dengan hiasan panggung yang artistic. Semua wali murid yang hadir juga kelihatan dari kalangan atas. Rahman menutup mulutnya supaya tidak terlihat menguap.&n
Akhirnya Bayu sampai di depan sekolah Bilal dan Kuwat. Di tempat tunggu sudah ramai para asisten rumah tangga dan sebagian ibu dari anak-anak yang menunggu. Bagi Bayu jika ikut menunggu dengan mereka rasanya malu. Hingga dia memilih menunggu di dalam mobil dengan membuka kaca jendela. Sambil membaca majalah dapat menghilangkan pikiran yang membayangkan apa saja yang dilakukan majikannya di kamar tadi. Hal itu sangat membuat hati kecil Bayu merasakan cemburu namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Tidak mungkin mengatakan kejujuran. Lima menit berlalu, Bayu mengarahkan pandangannya melihat ke gerbang sekolah. Satu persatu anak-anak keluar, mereka disambut oleh yang menjemput. Bayu pun bergegas turun dari mobil dan menuju ke depan gerbang. “Om Bayu…”
Di ruangan meeting sudah berkumpul dengan posisi genap. Ini adalah pertama kali Aisyah memimpin rapat. Dari Rahman, Aisyah belajar agar bisa seperti posisi suaminya walau itu tidak mudah. “Lalu anak cabang yang ada di Bali bagaimana proses untuk ke depannya Nyonya Aisyah? Resort itu harus dikelola ulang supaya lebih baik. Selama ini banyak laporan yang ternyata disalah gunakan oleh anak buah Robi.” “Soal resort di Bali, bukankah sudah menjadi tugas Anda Pak Johan untuk memantau? Lalu bagaimana bisa anak buah Robi bisa melakukan tindakan tersebut? Dimana tugas Anda?” “Oh, jadi Anda menyalahkan saya?” “Tidak!”
Jus yang dibuatkan oleh Aisyah telah habis. Tidak menyisakan sedikitpun di gelas. Rahman memang paling bisa menghargai Aisyah. Terkadang apa yang dibuat oleh istrinya untuk dimakan, walau tidak selalunya enak dan manis. Namun ada rasa getir yang membuat lidah merasa ngilu, Rahman tetap menghabiskannya. “Sayang…” Aisyah menghentikan langkah saat Rahman memanggilnya. Ada perasaan khawatir menjadi satu. Bola mata saling beradu menjadi satu ciptakan rasa kelu melanda kalbu. Antara gamam dan kaku lidah membuat mulut sukar mengeluarkan kata-kata. “Istirahatlah Mas…” Aisyah mendekati Rahman dan mengecup bibirnya. Meski Rahman sempat ingin menolak namun Aisyah me