Aisyah masih merasa bingung, kenapa Rahman bisa bersikap seperti itu. Dengan uang yang dimiliki, dia bisa mendapatkan perempuan dengan mudah. Mbok Darsih datang dengan wajah yang gelisah.
“Non,” ucap Mbok Darsih lirih namun terdengar jelas.
“Ada apa, Mbok? Apakah Tuan Rahman sudah turun?” tanya Aisyah, menghentikan zikirnya.
“Belum, Non.” Jawab Mbok Darsih, bertambah gelisah.
Aisyah teringat kalau Rahman mempunyai sakit magh, jika telat makan bisa berakibat buruk. Aisyah menawarkan dirinya untuk mengantarkan makan malam untuk Rahman.
“Yakin, Non?” tanya Mbok Darsih sedikit tidak yakin.
“Insya Allah, Mbok, tidak apa-apa.”
Akhirnya Mbok Darsih menyiapkan makan malam di atas nampan. Perlahan Aisyah menaiki anak tangga dan masuk ke kamar Rahman. Tangan Aisyah meraih saklar lampu. Melihat Rahman masih duduk dengan posisi terakhir kali dia melihatnya.
“Tuan, makan dulu.” Ucap Aisyah masih berdiri.
“Kenapa kamu masih di sini?” Rahman melihat Aisyah tanpa memakai niqam. Luka lebam di pipinya sangat biru sekali. Dia merasa kasihan juga.
“Izinkan aku berkerja di sini untuk membayar hutangku.” Kata Aisyah sedikit lebih mendekati Rahman.
“Kamu tidak punya hutang. Jangan mencari alasan. Bilang saja kalau kamu tidak punya tempat tinggal, dan ingin tinggal di sini gratis!” Rahman seolah mengejek Aisyah.
Meski terasa menohok ucapan Rahman, tapi Aisyah masih bertahan untuk mendengarkannya, karena memang benar ucapan Rahman.
“Aku punya hutang sepuluh juta yang Tuan bayarkan untuk kontrakan. Biarkan aku membayarnya dengan bekerja di sini sebagai pelayanmu.”
“Ha ha ha ha…”
Aisyah pun merasa lucu melihat tiba-tiba Rahman tertawa. Pria itu tampak sangat tampan jika tidak berselimut kemarahan.
“Menjadi pelayanku?”
“Iyah, Tuan.”
Rahman pun bangkit dan berjalan mendekati Aisyah yang masih berdiri memegang nampan, meski tangannya sudah terasa pegal memegangi nampan yang tidak ringan. Melihat pipi Aisyah yang masih lebam membiru membuat Rahman bertamabh semakin kasihan lagi melihatnya.
“Apa masih sakit?” tanyanya lirih.
“Hah?”
“Pipimu?” Rahman ingin menyentuh lukanya, tapi Aisyah memalingkan wajah.
“Oh, tidak apa-apa, Tuan.”
Rahman mengambil nampan dan meletakkan di meja samping tempat tidurnya.
“Suapi aku.”
“Apa?”
“Kamu bilang mau menjadi pelayanku.”
“Iya, Tuan.”
“Lalu tunggu apa lagi? Lakukan tugasmu.”
Aisyah tidak bisa menolak. Rahman sudah bersender di atas tempat tidur menunggu Aisyah memberikan layanan sesuai ucapannya tadi. Aisyah mengambil sendok dengan tangan yang gemetar. Rahman hanya melihatnya saja, mau bertahan berapa lama Aisyah akan melayaninya. Dengan pelan Aisyah mengangkat makanan yang sudah disendoknya.
“Sudah berdoa, Tuan?”
Rahman menampel sendok itu dan membuat berserakan di lantai. Rahman meremas pipi Aisyah dengan kasar. Matanya sangat mengerikan sekali. Aisyah mencoba tidak menangis walau menahan sakit. Rahman merasa sedang diceramahi oleh Aisyah.
Melihat Aisyah yang diam saja membuat Rahman melepaskan tangannya. Aisyah keluar dari kamar Rahman, barulah dia menangis dan berlari masuk ke kamar. Mbok Darsih menyusulnya.
“Non…”
Aisyah menghapus air matanya. Mungkin dia telah keliru membuat pilihan. Menjadi pelayan Rahman saja bunuh diri secara pelan-pelan. Mbok Darsih memangku kepala Aisyah dan menceritakan bagaimana dulu Rahman sebelum berubah menjadi sosok yang sekarang.
“Dulu, Tuan sangat baik sebelum gagal menikah.”
“Benarkah Mbok? Tapi kalau karena gagal menikah, tidak seharusnya dia berubah jahat seperti itu. Tuhan sudah menentukkan rezeki, umur dan jodoh sebelum umat-Nya lahir kedua.”
“Tuan tidak pernah cerita, kenapa dia gagal menikah.” Ucap Mbok Darsih.
Tiba-tiba Aisyah teringat saat Rahman bertemu dengan seorang wanita di parkiran. Mungkin karena wanita itu telah melukai hati Rahman dan dia tidak bisa ikhlas menerima ujian dari Tuhan.
“Siapa pacar Rahman, Mbok?” tanya Aisyah.
“Namanya Cindy kalau tidak salah.” Ucap Mbok Darsih sambil mengingat.
Aisyah memasrahkan dirinya jika harus menjadi pelayan untuk Rahman. Tidak peduli hukuman apa pun yang akan diterimanya. Sudah takdirnya berada di sini.
***
Paginya Aisyah menyiram tanaman sementara Mbok Darsih menyiapkan sarapan. Rahman melihat Aisyah yang tidak melayani dirinya langsung meraih selang air dan menyiramkan ke mukanya.
Aisyah menjerit kesakitan terkena luka di pipinya. Mbok Darsih mencoba menghentikannya tapi tidak dihiraukan oleh Rahman. Aisyah pun diam dan membiarkan Rahman melampiaskan kepuasannya.
“Kamu tahu apa kesalahanmu?”
Aisyah mengangguk, dia pun meminta maaf dan segera menuju ke meja makan. Menyiapkan sarapan untuk Rahman dengan bajunya yang basah. Perlakuan Rahman yang sungguh keterlaluan tidak ada yang bisa menghentikannya.
Rahman melemparkan serbet makan. Selera makan katanya hilang melihat Aisyah yang tidak rapi. Lagi-lagi Mbok Darsih meminta Aisyah untuk berpikir ulang tentang niatnya melayani Tuan Rahman.
Di depan terlihat keramaian, Pak Darto memelankan laju mobilnya. Ternyata ada kecelakaan motor. Rahman hanya melihat sekilas darah yang keluar dari kepala pembonceng. Tak lama terdengar mobil ambulan.
Niken mengetuk pintu dan langsung memberikan berkas-berkas untuk Rahman tanda tangani. Namun sebelumnya Niken sudah mengingatkan Rahman untuk membaca lebih teliti.
“Pak, tolong baca lebih teliti.”
“Kenapa, bukankah jika jatuh ke tangan Robi, kamu pasti senang.”
“Robi memang pacar saya, tapi Bapak adalah boss saya. Saya tidak ingin Bapak ceroboh dalam menandatangani dokumen.”
“Ceroboh?”
“Apa Bapak tahu, siapa yang akan menikahi Adik Pak Rahman?”
Benar juga apa yang dikatakan oleh Niken. Selama ini, dia tidak tahu siapa kekasih Adiknya di Singapura. Niken berusaha untuk mengingatkan Rahman, akan orang-orang yang ingin menyingkirkan posisinya.
Niken lalu melihatkan foto calon Adik iparnya itu yang tak lain dan tidak bukan adalah Adik Cindy. Itu artinya, orangtua Cindy sengaja membatalkan pernikahannya karena ingin mengambil Shelin, Adiknya. Adik Cindy, juga melanjutkan kuliahnya di Singapura.
Tanpa diminta, Niken telah melacak keberadaan Dimas, Adik Cindy. Setahun lagi, dia lulus kuliah dan akan melanjutkan perusahaan orangtuanya di ibukota. Sementara Cindy sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di Bali. Jadi selama ini orangtua Rahman sudah tahu, kalau Adiknya menjalin hubungan dengan Dimas. Tentu saja, orangtuanya sangat setuju, semua hanya alasan bisnis yang harus saling menguntungkan.
Jika Dimas menikah dengan Shelin dan mereka punya anak, maka jalinan perusahaan kedua keluarga tidak akan terputus. Posisi Rahman benar-benar terancam jika tidak bisa memiliki keturunan. Dia bisa dibuang bagaikan sampah tak berguna.
Sejak pulang dari kantor, Aisyah tidak melihat Rahman yang tempramental. Dia mendiamkan diri di dalam kamar. Aiysah mengetuk pintu dan membawakan buah anggur. Pura-pura Aisyah sambil melirik apa yang sedang Rahman kerjakan.
“Astaghfirulllahalaziim…”
Aisyah merasa risih melihat Rahman sedang berselancar di situs prostitusi online. Perempuan hampir bertelanjang sepenuh badan dengan wajah yang diblur serta ada total harga sewa yang harus dibayarkan untuk servisenya. Aisyah merasa kesal dan langsung memencet tombol off.
“Hei, kamu apa-apaan!” bentak Rahman.
“Tuan itu yang apa-apaan. Situs seperti itu dilihat.” Seru Aisyah tidak merasa takut sama sekali.
Rahman menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ingin rasanya meremas pipi Aisyah, namun dia tidak tega, masih ada luka lebam yang belum sembuh. Rahman mengoceh panjang lebar hingga di satu titik dia berkata tanpa sadar.
“Apa pedulimu. Biarkan aku hancur. Percuma aku hidup jika tidak bisa memiliki keturunan…”
Aisyah menyentuh pundak Rahman yang sudah tampak tenang.
“Kenapa Tuan bicara seperti itu. Anak itu rezeki dari Tuhan.”
“Aku mandul, Aisyah…”
“Tapi Tuan belum menikah, darimana Tuan tahu kalau mandul?”
“Sebelum menikah dengan Cindy, orangtuanya meminta kami untuk test kesuburan dan hasilnya aku yang mengalami gangguan sperma tidak subur.”
Aisyah melihat Rahman yang begitu terpuruk. Perubahan sikapnya selama ini mungkin saja karena hal itu. Rahman bercerita seperti dengan tembok, tanpa memikirkan malu. Bahkan orangtua Cindy tetap menginginkan keluarganya tetap ada jalinan dengan keluarga Rahman. Menikahkan Sheila, Adiknya dengan Dimas.
“Nikahi aku, Tuan.” Ucap Aisyah.
Rahman kaget mendengar ucapan Aisyah. Sudah Panjang lebar sebab gagalnya dia menikah tapi Aisyah justru berucap tidak masuk akal.
“Aku mandul, Aisyah…”
“Aku tidak percaya, Tuan mandul. Kita buat kesepakataan, jika selama enam bulan aku tidak hamil, maka Tuan bisa menceraikanku. Tapi jika aku bisa hamil, Tuan akan berubah dan bersikap baik seperti yang Mbok Darsih katakan.”
“Dalam waktu enam bulan kamu yakin bisa hamil denganku?” Rahman tampak ragu.
“Iyah, tapi dengan syarat. Tuan harus mengikuti ikhtiar bersamaku. Selama ikhtiar Tuan tidak boleh minum minuman keras, merokok, pulang malam, dan pergi ke club malam.”
Rahman merasa tertantang dengan ucapan Aisyah. Jika dilihat-lihat, Aisyah juga tidak kalah cantik dengan Cindy. Bahkan daya tarik Aisyah terlihat dari bentuk matanya yang bisa menghipnotis hatinya. Rahman menggigit bibirnya sambil membayangkan bibir mungil Aisyah.
“Bagaimana setuju?”
Rahman mencengkram lengan Aisyah, tatapannya berubah seketika.
“Kamu pikir siapa, bisa menentukan pilihan untukku. Jika aku mau, sudah kugagahi tubuhmu ini.”
Rahman melepaskan tangannya dan meminta Aisyah untuk keluar dari kamarnya. Rahman termenung, saran dari Aisyah tidak ada salahnya untuk dicoba, apalagi Aisyah lulusan pondok yang cukup terkenal di Jawa, pasti amalam dia selama di pondok bisa membantunya untuk ikhtiar.
Aisyah merasa malu atas sikapnya tadi. Seperti perempuan yang tidak punya harga diri menawarkan diri sendiri untuk dinikahi. Merasa kesal, Aisyah melempar bantal dan tanpa sengaja terkena wajah Rahman yang baru membuka pintu.
“Ouhhh…” Aisyah langsung panik. Rahman pasti akan menghukumnya.
Rahman mengunci pintu dan meletakkan bantal di sebelah Aisyah. Merasa terancam, Aisyah langsung turun dan berdiri menepi di pojokan.
“Ke sini…”
Aisyah masih diam. Dia mengelengkan kepala. Rahman merasa kesal lalu melemparkan bantal ke arah Aisyah.
“Ke sini!” bentak Rahman. Mau tidak mau, Aisyah mendekati Rahman.
Rahman membuka obat oles. Aisyah masih diam tidak menoleh. Perlahan, tangan Rahman mengolesi pipi Aisyah yang masih lebam. Merasa tidak nyaman, Aisyah menggeserkan posisi duduknya. Rahman menahan pundak Aisyah.
“Sakit?”
Aisyah menggeleng tapi dia juga takut jika disakiti lagi oleh Rahman, dia pun mengangguk. Berharap Rahman tidak menyakitinya lagi. Setelah selesai mengolesi pipi Aisyah, Rahman mencengkram dagu Aisyah. Jempolnya menyentuh bibir Aisyah.
“Emmm, bau…”
Ternyata jempol Rahman tadi terkena obat oles. Aisyah tidak mau berdebat dengan pria itu dan memilih diam, yang penting dia masih bisa melindungi dirinya. Bibir Rahman semakin dekat dengan bibir mungilnya.
“Halalkan aku dulu…”
Rahman langsung melepaskan tangannya. Aisyah merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Jantungnya berdetak lebih kencang. Baru kali ini, Aisyah berada sangat dekat dengan seorang pria. Selama di penjara suci dia selalu menjaga pandangan dan pergaulannya. Rahman pergi dari kamar Aisyah tanpa mengeluarkan sepatah kata apa pun. Aisyah merasa selamat dari srigala mengerikan itu.
Di dalam kamar Rahman termenung. Wajah Aisyah sangat mengganggu pikirannya. Kenapa dia ingin merasa dekat dengan Aisyah. Padahal jelas-jelas, Aisyah pasti sangat jijik untuk mencintainya yang sangat kotor.
Rahman berpikir panjang sepanjang malam. Jika Aisyah ikhlas meminta untuk dihalalkan, dia bisa mempunyai kesempatan untuk ikhtiar seperti kata-kata Aisyah. Lagipula, bermain-main dengan kupu-kupu malam sudah sangat puas bagi Rahman.
***
Aisyah masih merasakan nyeri di bibirnya yang memang sedikit lecet terkena gigi-gigi Rahman yang lancip. Dia merasa berdosa sekali. Aisyah melaksanakan salat tobat dan meminta ampunan dari Tuhan. Walau apa Aisyah alami bukan karena keinginannya. Justri dengan meminta dihalalkan oleh Rahman, dia anggap sebagai penebusan dosa. Meski bangun tengah malam atau sedingin Subuh, bagi Aisyah sudah sangat terbiasa. Kehidupan di penjara suci sudah mengajarkan banyak keprihatinan tentang hidup. Justri dia merasa aman tinggal di pondok pesantren. Pintu kamar terbuka, Aisyah masih khusyuk berzikir dengan mata terpejam. Rahman duduk di atas kasur dan melihat Aisyah yang sangat tenang. Sudah setengah jam Rahman menunggu Aisyah, namun Aisyah masih khusyuk berzikir. Tanpa sadar, Rah
Tatapan Aisyah kosong memandang ke luar jendela. Pikiran Aisyah semakin tidak karuan. Terlalu berlama-lama di rumah Rahman, seakan menambah daftar dosa dalam hidupnya. Meski semua ini bukanlah keinginannya. Sebuah tangan meraih gagang pintu. Mata Aisyah melihat gagang pintu itu turun ke bawah akibat ada yang membuka dari luar. Antara Rahman atau Mbok Darsih yang muncul di benak pikiran Aisyah. Saat pintu terbuka, hati Aisyah merasa lega. Mbok Darsih yang muncul dari balik pintu. Mbok Darsih meminta Aisyah untuk membantu di dapur. Kejadian semalam ternyata diketahui oleh Mbok Darsih. “Non Aisyah mau membantu saya di dapur?” tanya Mbok Darsih diiringi senyuman.
Pesawat mendarat dengan mulus di bandara international Changi. Perbedaan waktu satu jam antara Singapura dan Indonesia. Rahman lolos dari pengecekan imigrasi. Dia bergegas menuju ke arah pengambilan koper. Sementara Antonio Lim sudah menunggu Rahman. Anton, begitulah orang-orang memanggil namanya supaya lebih gampang. Anton merupakan teman kuliah Rahman dulu di Singapura. Mereka tetap menjalin hubungan baik, meskipun jarak telah memisahkan. Selain menjalin hubungan bisnis, mereka juga menjalin persahabatan yang baik. Rahman melambaikan tangan melihat Anton sudah melambaikan tangan juga. Mereka saling berjabat tangan dan berpelukan. “Welcome, Bro. How are you?” ucap Anton. “I
Hidangan makan malam sudah tersaji di meja makan. Ibu Reta memang memiliki hobby memasak. Sehingga setiap makan malam, selalu terhidang makanan yang lezat. Rahman dan Ayahnya masih sedikit canggung. Keduanya memang pernah terlibat perbedaan pendapat yang sempat membuat hubungan keduanya sedikit renggang. Namun seiring waktu Ayah Rahman dapat menerima setiap keputusan yang Rahman ambil. Perbedaan pendapat setelah gagalnya pernikahan Rahman dengan Cindy, menciptakan celah yang kurang baik. Untung saja semua itu tidak berlarut terlalu lama. “Take this.” Ayah Rahman mengambilkan sepotong shell yang diracik dengan taburan cabai merah dan peresan jeruk nipis. Rasanya sangat enak bagi yang menyukainya. “Thank Dad.”&n
Pagi-pagi sekali Niken sudah datang ke rumah Rahman. Sudah tiga hari ini Aisyah seperti sedang dimata-matai. Untung saja kedatangan Niken tidak membuat Aisyah merasa terganggu, hanya saja merasa tidak enak diperhatikan. Niken hanya melaksanakan tugas yang disuruh oleh Rahman untuk memenuhi kebutuhan Aisyah. Hari ini Niken akan mengajak Aisyah pergi ke sebuah mall untuk membeli baju, karena setelah kepulangan Rahman akan ada pertemuan penting. Aisyah harus terlihat lebih menarik memakai baju, bukan gamis lusuh yang dipakai setiap hari. Pakaian baru atau lama bagi Aisyah tidak begitu penting, kehidupan di penjara suci telah mengajarinya banyak hal tentang keprihatinan hidup. Asalkan hati bahagia itu sudah cukup untuk merasa bahwa hidup ini benar-benar memiliki makna.
Setelan jas warna hitam menempel di badan Rahman dengan pas. Seperti tidak ada celah. Tubuh kekarnya kelihatan bertambah gagah. Shelin menggoda Rahman dengan sindiran ringan. “Are you happy going to see your girlfriend?” Rahman hanya senyum saja. Candaan Shelin tidak mempan bagi Rahman. Sementara Ibu dan Ayahnya tampak tersenyum melihat dua anaknya itu masih seperti anak kecil saja. Tiba-tiba Ayah Rahman memanggil Rahman ke ruang tamu. Ada obrolan yang ingin disampaikan untuk Rahman. Berita tentang Robi yang mengincar anak cabang resort baru sudah sampai ke telinga Ayah Rahman. Saham yang dimiliki Robi semakin hari semakin melonjak sangat cepat. Jika Rahman masih bersikap santai terharap rivalnya bisa-bisa Rahman akan kehilangan peluang untuk menjadi pe
Pesawat S-airline mendarat dengan mulus di bandara Soekarno Hatta. Rahman menjinjing tasnya menuju ke penjemputan. Pak Darto sudah stand bye di sana. Rahman langsung mengintruksikan Pak Darto untuk langsung ke kantor. Ada urusan penting yang harus dibicarakan langsung dengan Niken. Pak Darto pun mengiyakan. Siapa yang tidak tahu kalau jalanan di ibukota pasti macet. Rahman sesekali memandang jam tangannya. Pak Darto melirik dari kaca. Rahman mengeluarkan handphonenya dan menelepon rumah. Lama tidak ada yang mengangkat. “Apa Mbok Darsih tidak di rumah?” “Di rumah Tuan.” Jawab Pak Darto. Sebelum berangkat menjemput Rahman tadi, Mbok Darsih sedang membersihkan kamar tuan
Makan siang tersaji dengan komplit. Rahman duduk sambil memandang piring kosong di depannya. “Aisyah…” “Iya, Tuan.” “Temani aku makan.” “Baik Tuan, tapi saya tidak makan.” “Kenapa?” “Sunah, puasa Kamis.” Rahman menganggukkan kepalanya, l
Pov Aisyah Dear Diary, Senyum ini menjadi saksi. Bahwa hati ini telah sepenuhnya merima dan menjalankan takdir yang Tuhan berikan. Bersanding denganmu di pelaminan, kuanggap sebagai baktiku sebagai seorang istri yang patuh terhadap wasiat terakhirmu. Bukan karena hasrat dunia yang sepi akan kesendirian setelah kepergianmu. Rahman Wijanto. Laki-laki yang hadir dalam napas langkah kaki ini. Di kota asing yang baru pertama kali kujajaki untuk mencari pencarian yang kini telah kusudahi karena pencarian panjang bagaikan langkah buntu yang tidak kutemukan titik pasti, meski aku belum menyerah hanya memilih pasrah. Penjara suc
Pov Aisyah Wajah itu perlahan mulai menghiasi hari-hariku. Semakin hari dunia ini seolah menuntunku untuk menemukan senyuman yang mulai memudar oleh kebimbangan. Saat ini, di sampingku masih setia sosok Bayu yang sigap membantu tanpa pamrih. Betapa khawatirnya hatiku saat mendengar dia ingin pergi. Bukan karena cinta itu tumbuh dalam hatiku, melainkan aku belum siap untuk memapah dunia ini sendirian. Menjaga anak-anak dan perusahaan. Ayah mertua sudah terbaring lemah dan tidak berdaya untuk mengurus semua perusahaan. Di tangan Bayu-lah kami menyerahkan semua kepercayaan. Sedangkan ibu Reta, ibu mertua yang selalu memberikanku keyakinan, akan pernikahan kedua membuat diri ini siap untuk membuka lembaran baru. Meski tidak mudah bagiku untuk membuka pint
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, angina sore masih memberikan nuansa kebimbangan di dalam hati Aisyah. Perut semakin membesar dan masih menyimpan kewajiban serta tanggung jawab yang dia simpan seorang diri. Alhamdulilah, Bilal dan Kuwat tumbuh menjadi anak yang tidak merepotkan. Dua jagoan itu dapat merasakan kebimbangan yang sedang Aisyah rasakan. “Mommy…” Bilal mendekati Aisyah yang tadi tampak menyimpan kesedihan. Sudah satu jam lebih, pena di jemarinya tidak bergerak sama sekali. “Iya, sayang…” “Kapan Adik lahir, Mommy?” “Inysa Allah sebentar lagi sayang. Oh yah
Perut Aisyah sudah tidak lagi menahan lapar. Dalam hati yang masih merintih dalam diam menyaksikan Rahman terbaring lemah. Andai saja dia bisa berbuat sesuatu yang menyembuhkan sakitnya pasti sudah diberikan. Kini hanya doa dan memohon mujizat Tuhan. Apa pun yang terjadi semua itu karena campur tangan-Nya. Bayu berdiri dan berpaling meningglkan Aisyah yang masih menunggu Rahman dengan melantunkan dzikir-dzikir penenang hati. Sudah tugasnya untuk menjemput anak-anak pulang sekolah. Rahman seperti melihat kabut-kabut putih yang sangat lebat. Dia melihat pandangan yang tidak bisa ditembus oleh mata. Betapa pekatnya kabut putih yang menghalangi arah mata pandangan Rahman. Masih berdiri, Rahman menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keberadaan posisi dirinya. Tid
Sudah satu jam tidak menemukan kata-kata mutiara. Aisyah tampak lelah dengan isi di dalam otaknya. Namun dia berusaha agar tidak membuat stress mengingat ada calon anak yang akan keluar ke dunia. Melihat betapa kehidupan ini tidaklah seindah harapan maupun senyaman dalam perut. Aisyah mengelus perutnya secara perlahan. Seakan menjajak calon bayinya berdialog antara hati ke hati. Langit sudah merona, buku diary di atas meja segera dia simpan dan membawanya kembali ke dalam laci. Anak-anak juga terlihat mengulet dengan perlahan matanya mencoba untuk bergerak. Namun muncul kepanikan saat melihat tubuh kekar Rahman seakan tidak merespon. Dia tampak tenang. Bahkan wajahnya kelihatan lebih pudar. Aisyah mencoba untuk tenang dan meminta anak-anak segera mandi. “Kali
Dari deretan bangku baris ketiga Rahman dan Aisyah duduk untuk menyaksikan persembahan pentas anak-anak. Bayu yang duduk di sebelah Rahman sesekali melirik melihat Rahman yang wajahnya sudah kelihatan pucat. Rahman juga merasakan jika tubuhnya sudah tidak sekuat dahulu. Demi jagoan tercinta, dia paksakan untuk menjadi kuat. Tidak ingin terlihat lemah di depan anak-anak. Bagaikan menghitung hari yang pasti akan datang waktunya. Aisyah menggenggam tangan Rahman sambil tersenyum. Di dalam relung hatinya juga merasakan kekhawatiran. Suara MC sedikit melegakan hati Rahman, itu tandanya pertunjukan segera dimulai. Acara tampak sangat megah dengan hiasan panggung yang artistic. Semua wali murid yang hadir juga kelihatan dari kalangan atas. Rahman menutup mulutnya supaya tidak terlihat menguap.&n
Akhirnya Bayu sampai di depan sekolah Bilal dan Kuwat. Di tempat tunggu sudah ramai para asisten rumah tangga dan sebagian ibu dari anak-anak yang menunggu. Bagi Bayu jika ikut menunggu dengan mereka rasanya malu. Hingga dia memilih menunggu di dalam mobil dengan membuka kaca jendela. Sambil membaca majalah dapat menghilangkan pikiran yang membayangkan apa saja yang dilakukan majikannya di kamar tadi. Hal itu sangat membuat hati kecil Bayu merasakan cemburu namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Tidak mungkin mengatakan kejujuran. Lima menit berlalu, Bayu mengarahkan pandangannya melihat ke gerbang sekolah. Satu persatu anak-anak keluar, mereka disambut oleh yang menjemput. Bayu pun bergegas turun dari mobil dan menuju ke depan gerbang. “Om Bayu…”
Di ruangan meeting sudah berkumpul dengan posisi genap. Ini adalah pertama kali Aisyah memimpin rapat. Dari Rahman, Aisyah belajar agar bisa seperti posisi suaminya walau itu tidak mudah. “Lalu anak cabang yang ada di Bali bagaimana proses untuk ke depannya Nyonya Aisyah? Resort itu harus dikelola ulang supaya lebih baik. Selama ini banyak laporan yang ternyata disalah gunakan oleh anak buah Robi.” “Soal resort di Bali, bukankah sudah menjadi tugas Anda Pak Johan untuk memantau? Lalu bagaimana bisa anak buah Robi bisa melakukan tindakan tersebut? Dimana tugas Anda?” “Oh, jadi Anda menyalahkan saya?” “Tidak!”
Jus yang dibuatkan oleh Aisyah telah habis. Tidak menyisakan sedikitpun di gelas. Rahman memang paling bisa menghargai Aisyah. Terkadang apa yang dibuat oleh istrinya untuk dimakan, walau tidak selalunya enak dan manis. Namun ada rasa getir yang membuat lidah merasa ngilu, Rahman tetap menghabiskannya. “Sayang…” Aisyah menghentikan langkah saat Rahman memanggilnya. Ada perasaan khawatir menjadi satu. Bola mata saling beradu menjadi satu ciptakan rasa kelu melanda kalbu. Antara gamam dan kaku lidah membuat mulut sukar mengeluarkan kata-kata. “Istirahatlah Mas…” Aisyah mendekati Rahman dan mengecup bibirnya. Meski Rahman sempat ingin menolak namun Aisyah me