Friska akhirnya bisa bangun pagi, dan mau ikut dengan mereka ke pasar.
Ramai sekali sepagi itu. Jalanan di luar pasar yang becek oleh hujan dini hari tadi, membuat pasar terlihat lebih semrawut dan lebih sulit buat dijalani. Lelah sekali jadinya. Setelah ke tukang daging, mereka pindah ke tukang sayur, lalu membeli bumbu dapur, dan rempah untuk membuat jamu. Bang Idris juga bersikeras untuk membeli sekarung beras isi dua puluh kilo, yang langsung dibawa oleh seorang kuli angkut, untuk dimasukkan ke mobilnya.
"Seperti mau pesta saja banyaknya belanja'an ini," kata Sondang ketika meihat keranjang belanja yang sudah memenuhi bagian belakang mobil.
"Sekalian buat persediaan beberapa hari," kata Idris.
Senang sekali akhirnya, ketika mereka bisa duduk di kursi 'Bakmi Ahin', bakmi babi terkenal di sini. Sudah ramai juga yang mengantri, sehingga mereka harus sabar menunggu sampai giliran mereka tiba.
Friska terlihat bersemangat bercakap-cakap dengan Idris. Dia bertanya ini itu tentang pekerjaan Idris, asalnya dari mana, kuliahnya dulu seperti apa. Sondang cuma mendengarkan saja, dan sesekali ikut menimpali. Dia tak berselera mengobrol panjang lebar sepagi ini, dan di tempat seriuh ini.
"Enak sekali bakminya," kata Idris setelah suapan pertama.
"Iya, ini bakmi terkenal di sini. Sudah ada sejak zaman Cindella," Kata Sondang. Idris dan Friska tertawa mendengar candanya.
"Dari tadi cuma menyahut, 'ah, oh'.. Begitu diberi makan, langsung ke luar suaranya," goda Friska.
"Itu biasalah. Kamu, kan, tadi sedang mewawancarai Bang Idris. Aku jadi pendengar saja.. Kalau aku ikutan, nanti Si Abang menyangka dia sedang dikeroyok."
"Ih, itu bukan wawancara. Kan, biar aku kenal, makanya banyak nanya. Beda dengan kamu, enggak peduli sama orang..," Friska menjawab sambil memonyongkan mulut kepada Sondang.
Idris tersenyum-senyum saja melihat mereka berdua saling mengganggu.
"Kalian seakrab ini. Pasti sudah berteman lama, ya?" kata Idris.
"Kami kawan sejak awal kuliah, Bang," kata Friska. "Aku anak kost di sini. Ketemu Sondang di mata kuliah Agama. Dia ramah sekali waktu itu, beda dengan sekarang, galak. Hahaha... Kami seangkatan, tapi beda jurusan. Akhirnya jadi akrab sampai sekarang."
"Minggu lalu kamu enggak ke gereja?" Tanya Idris.
Friska menunjukkan wajah tak faham atas pertanyaan Idris.
"Dia bergereja di GKI," Sondang menjelaskan. "Baru ingat saya, Abang bisa pergi dengan Friska hari Minggu ke gerejanya. Itu gereja yang terakhir kita lihat, minggu lalu."
"Oh, ayo, kalau Abang mau ikut ke gerejaku." Friska mengajak dengan gembira. Idris mengangguk saja.
Dalam perjalanan pulang, Sondang bertanya, daging yang dibeli tadi, mau dimasak apa.
"Masak apa saja, bisa.. Asal masakan rumahan, pasti enak." Kata Idris.
.**********.
Di meja makan, sapi lada hitam, dan babi kecap saling memadukan aroma, bersama dengan sayur capcai sepiring besar yang terlihat cantik sekali. Idris mendecak kagum.
"Bagus sekali warna sayurnya."
Tapi karena semua orang dewasa sudah makan bakmi yang tadi juga diminta Idris supaya dibungkuskan untuk orang rumah, maka yang segera bisa menikmatinya, hanya kedua keponakan Sondang yang dengan antusias mengaduk bumbu Babi kecap sebanyak-banyaknya, dengan nasi di piring mereka masing-masing.
"Nanti kita jadi ke sungai, Bou?" Tanya keponakannya yang satu.
"Hah, memang Bou ada janji kita mau ke sungai, ya?" Sondang berlagak lupa.
"Iya, kan Bou janji, libur hari Sabtu, mau mengajak kami mandi ke sungai." Protes mereka.
Sondang tertawa melihat mereka begitu galak mengingatkannya.
"Iya, iya. Bou enggak lupa.. Makanlah yang banyak, biar enggak cepat lapar nanti waktu mandi-mandi di sungai."
"Memang ada sungai di sini?" Tanya Idris kepada mereka.
"Ada sungai kecil di sini. Dangkal juga. Paling cuma setinggi lutut kita. Tapi mereka suka sekali pergi ke sana," Ibu si kembar menjawab.
"O'om mau ikut?" kedua anak kecil itu bertanya pada Idris.
Idris tersenyum lebar mendengar pertanyaan mereka. "Memang boleh?"
Mereka mengangguk. Idris ikut mengangguk, membuat Bang Sihol menggeleng-geleng. "Ternyata sama saja si Idris ini dengan si Sondang. Masa kecil kurang puas, nampaknya.." katanya mengganggu Idris.
Idris tersenyum-senyum saja mendengar ucapan Bang Sihol. "Aku cuma memenuhi undangan, Bang. "
,**********.
Jadi ini rupanya yang disebut sungai oleh anak-anak kecil itu.
Lebarnya kurang lebih dua sampai tiga meter saja, dan dalamnya memang hanya selutut sampai sepaha orang dewasa.
Airnya jernih, dan di dalam air jernih itu, mungkin sudah satu jam lamanya, kedua anak kecil itu dengan riang dan tak kenal lelah, mencari kerang dan siput di antara pasir sungai. Sesekali mereka saling memerciki satu sama lain, lalu berteriak-teriak gembira. Sondang juga sibuk membantu mereka, mengumpulkan siput-siput yang didapat, ke dalam sebuah kantong plastik.
Idris dan Friska duduk berteduh saja di bawah pohon, yang banyak tumbuh di tepian sungai. Dedaunan yang rimbun membuat cahaya matahari tertahan, sehingga sekitar sungai terasa sejuk. Mereka berdua ‘menonton’ si Kembar dan Sondang, sambil berbincang macam-macam. Untunglah Sondang tadi teringat untuk membawa kopi di termos dan makanan kecil, sehingga sambil mengobrol, mereka jadi punya sesuatu untuk dikudap.
"Kalau sudah bosan, kalian bisa pulang lebih dulu, kok.." kata Sondang ketika dia sedang mengambil air minum.
"Akh, di rumah juga cuma duduk-duduk saja. Lebih baik di sini, bisa melihat sungai," Kata Friska. Idris mengangguk mengiyakan.
“Sini masuk ke air,” ajak Sondang kepada Friska. Dia sedang duduk di atas sebuah batu dengan kakinya menendang-nendang di air. Menunggu kedua keponakannya ‘menyetor’ siput yang mereka dapat.
“Enggak, ah. Nanti basah,” tolak Friska.
Sondang menggeleng-geleng. “Cah Ayu, kena air sungai ya, basah. Apa mau kena air keras aja, biar terbakar?” tanyanya dengan nada kemayu.
Friska tergelak, dengan gemas melempar Sondang dengan sebatang ranting kecil. Sondang tak mau kalah, dicedoknya air dengan jemarinya, lalu menyipratkannya kepada Friska. Friska menghindar sekenanya, sambil terus tertawa.
Si Kembar yang melihat ‘pertarungan’ mereka berdua, akhirnya ikut menyipratkan air ke arah Friska dan Idris, sambil berteriak-teriak, membuat mereka berdua melompat dengan tiba-tiba, untuk menghindari siraman air tersebut. Mereka semua akhirnya tertawa-tawa, ketika cipratan air tersebut berakhir.
Hampir jam dua belas siang, belum juga ada tanda-tanda kedua anak tersebut bosan bermain air. Lalu telepon genggam Idris berbunyi.
"Bang Sihol yang telepon. Katanya Diana dan Andi mau datang," Idris memberitahu kepada Sondang.
Sondang berkata "Terima kasih, Bang, " kepada Idris, dan kemudian beranjak dari air. Dilihatnya matahari yang sudah terlihat semakin terik.
"Kayaknya sudah cukup, deh, main airnya. Sudah makin panas sekarang," serunya kepada kedua keponakannya.
"Sebentar lagi, Bou."
"Lima menit, ya.."
"Sepuluh menitlah.. Eh, lima belas.." tawar mereka. Sondang menggeleng.
"Enggak, tujuh menitlah. Puaskan kalau mau mandi-mandi. Sudah cukuplah siputnya, sudah penuh juga kantongnya ini."
Meski terlihat kecewa, kedua anak kecil itu menurut. Mereka segera berenang-renang ke sana kemari. Berkejaran di air sambil tertawa-tawa. Friska membantu Idris merapikan tikar dan perbekalan mereka.
"Sudah tujuh menit.. Ayo..."
Sebentar kemudian, mereka sudah ke luar dari air. Berjalan dengan baju basah menuju rumah yang memang cukup dekat jaraknya dari rumah mereka. Sambil berjalanpun, mereka saling mengganggu satu sama lain. Sondang juga terlihat basah celana pendeknya, namun tertutup oleh kaos panjangnya yang hanya basah sedikit.
"Nanti kita rebus siputnya, ya, Bou." Kata si Kembar satu, sambil menyenggol kantong plastik di tangan Sondang.
"Memang kamu berani makan siput?" Tanya Friska. Kedua kembar mengangguk.
"Berani, enak kok. Memang Tante enggak berani?"
"Belum pernah, sih. Nanti Tante ikut nyobalah."
Sampai di rumah, Diana dan Andi belum kelihatan. Sondang bergegas mandi, dan mendapati Friska sedang merebus siput bersama kedua keponakannya.
"Pakai garam dan jahe, dan sereh, kan, Bou?" kata mereka.
"Iya. Eh, hebat kamu ya.. Bisa ingat, direbusnya pakai apa saja.." Puji Sondang kepada keponakannya.
"Iyalah, kan, kata Bou, biar harum."
"Pakai bumbu saoskah?" Tanya Friska.
"Iya, pakai saos tiram saja, dicampur dengan kecap. Iris-iris saja bawang merah mentah sedikit. Mereka mau, kok, asalkan bawangnya dicacah halus," sahut Sondang.
"Ini anak kecil, berguru ke Si Sondang, semua dimakan. Padahal Papa-Mama mereka saja enggak ada yang mau makan siput sungai," Bang Sihol menggeleng-geleng melihat kelakuan kedua anaknya yang bersemangat menunggu siput matang.
Idris tertawa. "Tapi bagus juga, Bang. Lebih mudah buat 'survive' di masa sulit."
"Iyalah.. Kita lihat di situ aja positifnya ya.. Herannya, mereka ini merasa Sondang ini patut sekali ditiru caranya. Entah ilmu apa yang dipakainya. Asal dia yang mengerjakan, mereka pasti langsung percaya bahwa itu pasti benar." Sambung Abangnya.
Sondang tertawa malu mendengar ucapan Abangnya.
"Ah, enggak pakai ilmu apa-apa. Mungkin mereka merasa berteman aja denganku, Bang. Kan, di antara kita, cuma aku yang masih sanggup kejar-kejaran dan lompat-lompatan dengan mereka. Abang, Eda, apalagi Mama, semua sudah terlalu tua.." tukasnya sambil tertawa.
Iparnya tertawa dan kemudian menyanggah,"Bukan kami terlalu tua. Kamu yang belum bisa meinggalkan masa anak-anakmu.."
"Hmm.. kalian rugi, kalau merasa kesenangan masa anak-anak itu, semuanya harus ditinggalkan. Makanya kalian enggak bisa mandi di sungai bersama mereka, atau mandi hujan di halaman rumah.." sangkal Sondang.
Friska terperangah mendengar ucapan Sondang.
"Memang kamu masih mau mandi hujan?"
Sondang mengangguk.
"Haduh, kau tahulah, Friska. Cuma badannya itu yang tua, tapi hatinya masih seperti anak-anak saja." Keluh Mamanya, bergabung dalam pembicaraan.
"Wah, kenapa sih, aku dianggap masih anak-anak, hanya karena aku suka mandi hujan? Itu, kan, cuma caraku untuk bersenang-senang," protes Sondang.
"Coba kau lihatlah orang dewasa di sekelilingmu. Siapa di sini yang masih mandi hujan? Di kampung kita ini, cuma kamu yang mencari alasan pergi ke warung, waktu hujan deras, hanya supaya bisa mandi hujan."
Perbincangan mereka terhenti ketika terdengar bunyi gerbang dibuka. Diana dan Andi sudah datang.
"Kami belum terlambat buat makan siang, kan?" kata Diana ceria.
"Belum," kata Mama dengan wajah berseri, sambil menoleh ke meja makan.
"Ayolah kita makan sekarang," ajak Mama, setelah selesai berkenalan dengan Andi. Mama melihat sejenak pada Sondang, seolah berkata, "Jangan lewatkan kesempatan ini." Sondang pura-pura tak memahami maksud Mama, dan berusaha untuk berada di jarak terjauh dengan Andi.
Karena meja makan terlalu kecil untuk mereka semua, sebagian akhirnya makan di ruang tengah, di depan TV. Sondang yang makan di ruang tengah bersama Friska dan si Kembar, merasa lega, karena dia tak duduk semeja dengan Andi. Bukan Andi yang dia risaukan, karena lelaki itu terlihat tenang dan biasa saja, tapi Mamanya.
"Sepertinya tadi aku mencium aroma sangsang, tapi kenapa yang kita makan ini ternyata Babi kecap dan sapi hitam? Apa penciumanku salah?" kata Bang Sihol. Mereka tertawa.
"Memang ada sangsang, Bang, tapi belum matang. Itu buat besok. Dimasak sekarang, supaya besok enggak terburu-buru," jawab Sondang dengan geli.
"Oh, begitulah rupanya. Tapi enak juga babi kecap dan sapi hitam ini. Masakanmu, Ndang?" Tanya Abangnya. Sondang menggeleng.
"Iya, enak lho masak kecapnya. Bumbunya pas sekali.." Diana menambahi.
"Enak ya? Friska yang masak. Selamat, Fris.. Kamu lulus. Biasanya Diana ini cerewet sekali mengomentari makanan. Sekarang, tanpa kritik, hanya pujian.." kata Sondang. Friska tersipu mendengarnya.
"Wah, boleh minta resepnyakah?" tanya Diana kepada Friska, membuat dia semakin malu. Friska kemudian mengangguk saja, terlalu malu untuk bicara.
"Pandai juga kamu memasak, Fris." Puji Ipar Sondang, membuat Friska semakin melambung.
"Boleh diundang lagi minggu depan, ya, Da?" kata Sondang.
Iparnya menyahut sambil tersenyum, "Boleh..."
.**********.
Usai makan, mereka duduk-duduk di gazebo di halaman depan rumah. Rumah keluarga Sondang memang berhalaman luas. Terletak di pinggir kampung, dan merupakan rumah paling ujung. Bapak mereka membeli tanah di situ, beberapa tahun menjelang pensiun. Waktu itu harga tanahnya masih murah, sehingga bisa dibeli cukup luas. Namun belum sempat dibangun, Bapak sudah meninggal, dan akhirnya Abangnya yang kemudian memutuskan untuk bekerja dan tinggal bersama mereka, membangun rumah tersebut sedikit demi sedikit. Pertama-tama hanya satu lantai. Ketika proyek yang dikerjakan Abang berhasil, dan membuatnya memiliki uang lebih, Abangnya menambahi membangun lantai dua, yang terdiri dari dua kamar tidur, dan satu kamar mandi. Dan suatu hari, ketika Abangnya merasa ingin punya ruang kerja sendiri di rumahnya, dia memutuskan membangun sebuah kamar di lantai tiga, yang sebelumnya hanya menjadi tempat menjemur pakaian dan tangki penampung air. Ketika Sondang bertanya, mengapa me
Seminggu berjalan dengan sangat cepat rasanya. Sondang merasa begitu tertekan sepanjang minggu. Dia telah salah membuat sebuah laporan, dan baru mengetahuinya, setelah hampir setahun berlalu. Pimpinannya marah besar, dan menyuruh dia untuk bekerja lembur, supaya pekerjaan itu selesai dalam waktu 3 hari. Itu sebabnya, begitu Kamis tiba, dia merasa seperti akan masuk ke dalam neraka. Dia sangat lelah, setelah bekerja sampai jam delapan malam selama dua hari berturut-turut. ‘Aku pasrah’, pikirnya. Hidungnya mampet karena flu yang berat, dan itu sangat melemahkan semangatnya. Satu sisi dirinya ingin menyerah, tapi sisi lain memaksanya untuk terus berjuang. Jam Sembilan malam, akhirnya laporan tersebut selesai juga. Abang menjemputnya ke kantor, karena sudah terlalu malam baginya, untuk pulang sendiri. Sepanjang perjalanan, dia menggigil dan merasa seolah mereka tak sampai juga ke rumah. Ke
sai kebaktian, Idris entah bagaimana ceritanya, sudah mengobrol akrab sekali nampaknya dengan Amelia, membuat para pemuda lainnya, sungkan untuk ikut bergabung.Sondang bersama Justin, berlatih musik bersama, sementara yang lainnya bercanda-canda sambil menunggui mereka. Kalau sedang bermain musik, ternyata Sondang tak terlihat sakit. Wajahnya terlihat begitu bersemangat.Begitu latihan musik tersebut selesai, Sondang dan Justin bergabung dengan kelompok Andi, Friska dan Diana yang duduk-duduk mengobrol, bersama beberapa pemuda lainnya. Idris dan Amelia masih terlihat asyik berbincang berdua saja di kursi yang tak jauh dari mereka.“Eiyy, kita pergi kan, ke pestanya si Irene?” tanya Diana kepada semua pemuda yang duduk di situ.Irene, anak dari salah satu orang Batak di kota mereka, yang menjadi warga gereja GPIB. Dia menikah hari ini, dan resepsinya diadakan sejak jam 11 siang. Sebagai sesama orang Batak, meski tidak satu ge
Sudah sebulan, Idris tidak datang di Sabtu Minggu. Kata Bang Sihol, Idris sedang ke kantor pusat perusahaan mereka di Jakarta. Andi dan Amelia sibuk mencari-cari dia di gereja. Setiap minggu mereka bertanya kepada Sondang, apakah Bang Idris belum datang? Sondang merasa terganggu, tapi juga merasa kasihan pada Amelia, yang terlihat jelas menyukai Idris. Selama Idris tidak datang, Amelia terlihat kurang bersemangat, dan kadang-kadang seperti orang berkhayal saja. Tak tega melihat Amelia seperti itu, akhirnya Sondang memberikan nomor telepon Idris kepadanya, walaupun setelah itu dia menyesal, karena memberikan nomor tersebut, sebelum meminta izin kepada orangnya. Karena itu, buru-buru dikirimnya pesan ke Idris. 'Bang, maaf ya. Tadi tanpa izin Abang, saya bagi nomor telepon Abang ke Amelia.' Sore, baru ada jawaban. 'Iya, Ndang. Enggak apa-apa.' Sudah, cuma itu saja jawabannya. Entah dia kesal atau tidak, Son
Tiga minggu setelah Idris sembuh dari sakit, dan kembali ke proyek, akhirnya dia kembali datang ke rumah Sondang di suatu Sabtu malam, dan ikut ke gereja di hari Minggu.Amelia terlihat sangat gembira menyambutnya, dan segera duduk di samping Idris. Andi yang duduk di sebelah Idris, melihat semuanya dengan tersenyum-senyum, di sela-sela percakapannya dengan Friska.Diana yang merasa bahwa jemaat seharusnya hening saat menanti kebaktian dimulai, menatap dengan kesal pada Amelia yang sibuk mengobrol dengan Idris, dan membuat Diana yang duduk di belakang mereka merasa terganggu oleh percakapan mereka. Hanya Sondang yang duduk di samping Friska, yang tak peduli dengan tingkah Amelia. Dia sedang sibuk sendiri dengan pikirannya, yang akhir-akhir ini sedang 'diusik' oleh kehadiran suatu sosok, yang setiap kali teringat, membuat hatinya terasa terasa 'penuh' bunga.Sudah beberapa minggu ini, dia menyadari ada yang tak 'teratur' di denyut jantungnya, se
Ketika Sondang turun ke lantai 1 rumah mereka, untuk berangkat ke pesta ulang tahun Mama Amelia, Justin malah terlihat ada di ruang tamu, tanpa dia tahu kapan datangnya. Dia sedang berbincang bersama Mama, dan Abang. Di samping Justin, Sondang melihat juga Mama Justin. Situasi itu membuat kaki Sondang melemah. Apa lagi sekarang?Sondang tak faham, mengapa Justin tetap saja datang ke sini, meski Sondang sudah menolak tawarannya? Dia memang menyukai Justin, tapi saat ini dia sedang galau, dan dia tak ingin Justin memaksanya untuk menuruti kemauannya sendiri."Halo, Ndang,' Justin menyapanya dengan gembira. Matanya bercahaya gemerlap ditimpa sinar lampu. Dia terlihat tampan mengenakan kemeja kuning polos, membuat kulitnya yang putih terlihat semakin besih. Penampilannya membuat Sondang tak kuasa menolak pesonanya, dan mendadak kehilangan rasa kesalnya."Tadi Mama mengajak aku menjemput Nantulang ke sini. Ternyata mereka sudah janjian untu
Ketika Idris tiba di depan rumah Sondang di Sabtu malam itu, dia melihat sebuah mobil terparkir di dekat pohon Kemuning. Dia tahu mobil siapa itu! Dibukanya gerbang dengan lambat, menunggu gejolak hatinya mereda. Di ruang tamu, dilihatnya Justin sedang duduk sendirian. “Hai, Bang. Baru datang?” tanya Justin ramah ketika melihat Idris. Idris mengangguk, dan tersenyum membalas sapaan Justin. Diambilnya tempat duduk di kursi di depan Justin. “Sudah bertemu Sondang?” Justin mengangguk. “Iya, Bang. Ini baru mengantar dia. Tadi kami pergi ke pantai.” Idris merasa disayat hatinya. Berdua sajakah mereka pergi? “Sondang lagi di dapur. Membuat teh,” Justin menjelaskan, sebelum Idris bertanya. Idris bimbang, akan langsung saja pergi ke kamarnya, atau meneruskan mengobrol dengan Justin. Namun akhirnya, naluri lelakinya yang menang. Dia bertahan duduk di situ, di depan 'saingan'nya. Sambil menunggu Sondang, mereka berdua berbincang tentang klub Bola favorit mereka, dan hobi yang mereka k
Idris merasa lelah karena perasaan cintanya yang tak jua berbalas. Dia telah memaksakan diri untuk pulang ke rumah Sondang di Sabtu malam ini, demi memupus kerinduannya melihat Sondang dan mendengar tawa lepasnya. Namun begitu tiba, kenyataan yang didapatinya malah menghempaskan dia ke dalam realita, bahwa Sondang tidak mencintainya, dan dia telah memilih Justin. Memang sejak awal dia sudah tahu, kecil sekali peluangnya untuk memenangkan hati Sondang. Namun dia tetap bersikeras mencoba, karena terlalu menyedihkan jika dia harus melepaskan Sondang tanpa berbuat apa-apa. Dan setelah mencobanya, barulah dia tahu, sesakit ini ternyata. Melihat perempuan yang dia rindukan malah pergi berdua saja dengan lelaki lain, bagaimana dia tak merasa cemburu? Apa yang dilihatnya malam ini, telah membuatnya sampai pada titik, tak ingin mencoba lagi. Dia lelah, dan ingin kembali kepada kewarasan yang pernah dimilikinya, sebelum dia tenggelam lebih dalam. “Ndang, sudah
“Hai, Ndang.. Selamat pagi,” sapa Idris ketika akhirnya langkahnya tiba di makam Sondang. Diletakkannya bunga mawar dan krisan putih, di dekat tulisan nama Sondang. Dirabanya nama tersebut dengan hati-hati, seolah dia sedang menyentuh rambut Sondang, seperti dulu. Dia tahu, Sondang tak ada di situ. Hanya tubuhnya yang tertinggal, perlahan-lahan sedang kembali menjadi tanah. Namun, hatinya begitu rindu untuk menyapa Sondang, dan untuk mengobrol dengan dia. “Pabriknya sudah selesai. Jadi aku akan pulang ke Jakarta besok,” katanya lagi, sambil menggigit bibirnya, menahan jatuhnya air mata. Tak ada jawaban apa-apa. Hanya ada teriakan anak-anak kecil yang bermain layang-layang, di sekitar pemakaman. "Harusnya kau ikut pulang bersamaku, kan?" Pada akhirnya Idris menangis. Rencananya untuk membawa Sondang, tinggal di rumah yang telah dipersiapkan Idris, kandas sudah. Sondang memilih berumah di seberang langit, tempat di mana Idris tak bisa mendatanginya. Idris menutup matanya. Dia sud
Usai acara penghiburan yang memang memancing kesedihan, Idris, Friska, Andi, dan keluarga Sondang duduk di ruang tengah. Friska sekarang tinggal di rumah itu, atas permintaan Mama. Menempati kamar Sondang dulu. Meski semua sangat rindu pada Sondang, namun sepanjang mereka mengobrol, tak seorangpun yang menyebut-nyebut nama Sondang, atau membicarakan kenangan tentang dia. Semua saling menjaga, sebab semua masih terluka hatinya. Masih perlu sangat banyak waktu, untuk membuat mereka sembuh. Namun, ketika Idris sudah naik ke kamarnya, bersama Andi yang ikut menginap, tiba-tiba Friska datang menemui mereka. Dia membawa sebuah tas, dan meletakkannya di atas meja di depan tempat tidur Idris. Di atas meja itu, juga ada foto Sondang dengan topi kelincinya. “Bang, aku bukan mau membuat Abang teringat-ingat Sondang. Aku hanya mau menyampaikan titipan Sondang untuk Abang.” Idris menenangkan hatinya sebentar, lalu membuka tas tersebut. Di bagian paling atas, ditemukannya selembar kertas
“Dris, bangunlah,” sebuah suara samar-samar terdengar memanggil namanya. Dibukanya mata, dan terlihat Bang Sihol di sisinya. Friska dan Andi juga ada di situ.Ternyata Idris sakit. Andi mencarinya ke kamar, setelah Idris tak kunjung menjawab teleponnya. Dan di situ, dilihatnya Idris berbaring dengan tubuh menggigil kedinginan, sambil mendekap erat songket hijau - jingga, di dadanya. Dia demam tinggi, mungkin karena terlalu lelah batin dan raganya. Menunggui Sondang setiap hari di rumah sakit, membuat tubuhnya akhirnya kalah. Dan kekalahan itu semakin telak, ketika semua jerih lelahnya, tak mampu membuat dia menang bertarung melawan maut, yang dengan tega telah merenggut Sondang darinya.Andi dan Bang Sihol membantunya mengganti pakaiannya, seperti yang dulu juga pernah dikerjakan Sondang, saat Idris sedang sakit. Mereka juga membantunya pergi ke toilet, sebab kakinya terlalu goyah untuk bisa berjalan sendiri. Lalu setelah semuanya selesai, Andi menyelimutinya dengan selimut tebal b
Hari sangat cerah, ketika Sondang akhirnya ‘pergi’. Hari itu hari Sabtu, hanya beberapa hari setelah Sondang menerima Perjamuan Kudusnya. Di taman rumah sakit, burung-burung ramai bernyanyi, di pohon-pohon yang tumbuh besar dan rindang. Anak-anak kecil terlihat riuh berlari-larian, tanpa pernah tahu, ketika mereka sedang tertawa menikmati kehidupan, Sondang sedang melintasi lembah mautnya. Saat itu, semua yang mengasihinya, menjeritkan namanya dengan sisa air mata yang masih ada. Mama sudah terduduk lemah di kursi, setelah lelah meratap sambil memeluk anak bungsunya yang mendahuluinya pulang. Dia tak mengerti, mengapa bukan dirinya yang sudah tua ini saja, yang dipanggil pulang. Mengapa Sondang yang masih muda, yang sedang akan memulai kebahagiaanya dengan Idris, harus dihentikan langkahnya dengan tiba-tiba seperti ini. Dia telah berulang kali berkata dalam doanya: “Angkatlah penyakitnya, pindahkan kepadaku.” Tapi ternyata, kehendaknya, tidak sama dengan kehendak Pemilik Kehidup
Siapa yang tak akan marah, dan sakit hati, jika rencana yang sudah disusun rapi, hancur dalam sekejap mata? Sondang merasa sakit hati pada Penciptanya. Dia merasa dilupakan, tak dipedulikan. “Aku tak dapat beriman padaMu,” bisik Sondang dalam kemarahannya. Namun ketika dia sangat putus asa, dia tetap kembali menaikkan doa. “Aku bukan seseorang yang istimewa, bukan orang yang berguna untuk orang lain. Tapi setidaknya, aku berusaha membuat diriku, tak menjadi beban bagi orang lain. Bolehkah aku hidup lebih lama lagi, dan menikmati kebahagiaan bersama Idris?” Marah dan sedihnya, akhirnya menjadi bagian yang berganti-ganti mengisi perasaannya. Dia bahkan telah kehilangan kemampuannya untuk tersenyum. Ketika Mama datang, dan duduk di sampingnya, sambil menyanyikan dengan lembut, lagu-lagu dari ‘Buku Ende’, dia justru merasa semakin terpuruk di dalam sakit hati yang mendalam terhadap semuanya. Dilihatnya kerut-kerut wajah Mama, tanda dari tahun-tahun yang banyak dan berat, yang suda
Meski sudah berlatih untuk tidak menangis, air mata Sondang tetap saja tumpah, ketika Idris datang di hari Sabtu sore. Usai mengusap air matanya, tatapannya menyusuri wajah lelah Idris, dan menemukan kemurungan di sana, yang tak mampu disembunyikan oleh senyuman. Begitu Idris datang, Mama yang sejak tadi pagi menjaga Sondang, memutuskan untuk pulang dulu. Friska juga menunda kedatangannya, memberi waktu bagi mereka berdua untuk saling berbicara. Tapi Sondang tak punya kata-kata untuk dibicarakan. Kesedihan mengatupkan mulutnya, membuat kata-kata hanya diam dalam pikiran. “Bagaimana keadaanmu, Ndang?” tanya Idris lembut, sambil mengelus jemari Sondang. Sondang menggigit bibirnya, berjuang agar air matanya tak lagi jatuh. Tanpa Sondang harus menjawabpun, Idris pasti sudah dapat menebak keadaannya sekarang. Mata dan kulitnya yang semula hanya pucat, sekarang mulai terlihat menguning. Tidak terlalu kuning, tapi pasti tak akan luput dari mata Idris yang selalu teliti. Dia juga pasti
Ketika sedang bersalam-salaman usai kebaktian minggu, Pendeta bertanya pada Sondang, tentang kesehatannya. Di ujung perbincangan mereka, Sang Pendeta kemudian berkata, “Tadi saya sudah mengobrol dengan ‘temanmu’. Konseling pranikah kalian, kita tunda sampai kamu sehat dulu, ya.” Sondang bengong sejenak, baru kemudian memahami maksud Pendeta. “Oh, iya.. Seharusnya dimulai hari ini ya, Amang? Jangan Amang, jangan ditunda.. Biar saja hari ini dimulai..” Pendeta memandangnya tak yakin. “Nanti saja, Ndang. Kalau kamu sudah sembuh.” Sondang menggeleng, “Sekarang saja ya, Amang. Mumpung Bang Idris ada juga,” bantahnya dengan suara memohon. Pendeta akhirnya setuju. Dari tempatnya berdiri, Sondang mencari Idris, dan melihatnya sedang mengobrol bersama Andi dan yang lainnya. Sondang menghampirinya dan berkata, “Bang, ke sini sebentar, ya..” Di depan Pendeta yang masih menunggu mereka, Sondang berkata, “Ayo, Bang.. Kita konseling sekarang.” “Tadi kami sudah sepakat menundanya, sampai kam
Kadang-kadang, zaman ketika informasi begitu mudah didapat ini, justru membawa kecemasan baru.Seperti hari ini. Begitu dokter memutuskan untuk melakukan biopsi, beberapa saat kemudian, Idris sudah memperoleh informasi mengenai kemungkinan penyakit Sondang.Itulah penyebabnya, meskipun sepanjang perjalanan menuju Site tadi, dia sudah menangis, air matanya tetap belum lelah turun, ketika dia sudah berada di kamarnya di tengah malam itu.Ditekuknya kaki, bersujud di tepi pembaringan. Dia sangat ketakutan, dan merasa membutuhkan kekuatan melalui doa.Tadi, sekitar jam 9 malam, dia sudah menelepon Friska, yang kembali menunggui Sondang di sana.“Dia sudah tidur, Bang,” kata Friska memberitahu.“Jangan biarkan dia sering-sering memegang teleponnya ya, Fris,” kata Idris meminta tolong. Dia takut kalau seperti dirinya, Sondang juga tergoda untuk mencari tahu mengenai penyakitnya. Dia tak ingin Sondang merasa takut dan akhirnya malah putus asa.“Iya, Bang. Dia menurut, kok. Tadi kan, Abang j
Di IGD, Sondang diperiksa oleh dokter jaga yang memeriksanya beberapa hari lalu. “Apa infeksinya lambungnya makin parah, Dok?” tanya Friska saat dokter memeriksa perut Sondang. Sejak masih di rumah, selain lemas dan mual, Sondang mengeluh perutnya sakit. Dokter perempuan muda tersebut tidak langsung menjawab. Dia masih memeriksa beberapa bagian di perut Sondang dengan tangannya, menekannya di beberapa tempat. Dia juga memeriksa mata, kaki dan tangan Sondang. Entah apa yang dicarinya, Friska dan Idris sama-sama tak tahu. “Iya, lambungnya masih belum sembuh. Tapi saya ingin memastikan , apakah ada kemungkinan penyakit lain. Kita akan melakukan tes fungsi hati,” dokter akhirnya menjawab setelah selesai memeriksa fisik Sondang. “Tes fungsi hati? Apakah dia terkena hepatitis, Dokter?” Idris bertanya dengan cepat. Seorang teman kerjanya pernah bercerita tentang pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi hati, saat sang teman terkena hepatitis. “Saya belum bisa memastikan, Pak. Nanti aka