Jam setengah enam pagi, sebuah pesan teks masuk ke telepon genggam Idris.
'Bang, kalau mau sarapan, di bawah sudah ada, ya,' dari Sondang ternyata. Cepat sekali dia, sepagi ini sudah selesai memasak makanan. Idris menjawab 'Terima kasih,' dan kemudian bergegas turun dari kamarnya di lantai 3, sambil membawa tas pakaian dan tas kerjanya. Dia akan berangkat pagi-pagi, agar bisa segera sampai di Site.
Ditemuinya Sondang yang sedang sarapan di bawah, masih memakai baju tidurnya, dan terlihat masih belum mandi juga. Di atas meja, sudah tersedia beberapa piring, dan semangkuk besar sup ayam yang mengepul. Idris sebenarnya belum pernah makan sepagi itu, tapi melihat Sondang sedang makan, dia jadi ingin ikut-ikutan.
"Kamu berangkat jam berapa?" Tanya Idris ketika mereka sudah sama-sama duduk menghadapi makanan masing-masing. Di samping piring mereka masing-masing, sekarang ada gelas-gelas berisi jus Wortel, yang baru saja dituangkan Sondang.
"Setengah tujuh, Bang. Kantor kami masuk jam tujuh. "
Idris melihat sekeliling. Hanya mereka berdua yang sudah bangun.
"Yang lainnya masih tidur. Nanti mereka bangun jam enam lewatlah. Bang Sihol kan, kantornya masuk jam Sembilan. Eda jam delapan. Jadi waktunya lebih longgar untuk tidur lebih lama," kata Sondang, seolah bisa membaca pikiran Idris.
"Mau bawa bekal buat makan siang?" Sondang menawarkan, sambil menunjuk kepada kotak bekalnya yang terletak di atas meja, dan sudah diisi dengan nasi dan ayam goreng yang sedang didinginkan.
Senyum Idris merekah, mendengar tawaran yang tak disangka-sangka dari Sondang.
“Dengan senang hati.." katanya senang. Ada makan pagi saja sudah membuatnya gembira, dan sekarang dia ditawari membawa bekal buat makan siang pula. Setidaknya, dia bisa menunda memakan masakan juru masak di Mess.
Sondang yang sudah selesai makan, kemudian mengambil kotak bekal dari rak piring. Mengisinya dengan nasi panas, dan menunjukkannya pada Idris. "Kurang atau cukup?" Idris meminta ditambahi sedikit lagi.
"Kamu setiap hari bawa bekal ke kantor?" Tanya Idris.
Sondang mengangguk. "Iya, Bang. Tapi kalau sedang bosan sama masakan sendiri, kadang ya, beli di luar."
Sondang mencuci piring yang dipakainya tadi, dan meninggalkannya untuk mandi.
"Jangan lupa mengunci pintu dari luar ya, Bang. Kotak makannya juga harap dibawa nanti waktu Abang pulang ke sini. Biar ada kotak bekal buat minggu depan."
Idris mengangguk, dan berkata "Iya, nanti saya kunci dari luar. Terima kasih ya, buat makan pagi dan makan siangnya."
.**********.
Nonton film di bioskop memang selalu menyenangkan.
Bersama Friska, kawan akrabnya, Sondang sudah duduk di deret tengah, dengan camilan di tangan.
Film belum dimulai, jadi mereka bercakap-cakap dahulu tentang hal-hal lain.
"Ferdi tahu kalau kamu mau kuliah lagi?" Tanya Sondang, ketika Friska bercerita, bahwa dia sedang mengikuti tes untuk S2 di universitas negeri di kota mereka.
"Enggak. Aku malas ngomong sama dia. Aku mau putus aja." Suaranya terdengar 'pahit', menunjukkan rasa marah yang tak disembunyikan.
"Lho, kok, putus, sih? Bukankah kalian sudah pernah berbicara, soal rencana menikah?" tanyanya heran.
“Tinggal mimpi, Ndang..” katanya gusar.
Belum sempat Friska menerangkan penyebab kemarahannya kepada Ferdi, film dimulai, dan akhirnya memutus percakapan mereka.
Sayangnya film itu ternyata tidak sebagus yang dia bayangkan. Dia membayangkan ending yang seharusnya bisa lebih menarik, jika dibuat berbeda dengan yang ditayangkan. Baginya, itu adalah sebuah 'Happy Ending' yang dipaksakan, sebab peristiwa yang dipilih untuk menjadi 'momentum' membalikkan situasi, baginya terlihat sebagai suatu peristiwa yang semestinya tak memberi dampak sepositif itu, sehingga bisa membalikkan keadaan. Tapi, entahlah.. Apa yang menurutnya terlalu mengada-ada, bisa saja memang mungkin terjadi. Lagipula, itu cuma film. .
"Aku nginap di rumahmu, ya?" kata Friska saat mereka ke luar bioskop. Sondang mengangguk.
"Kita ke kostmu dulu, mengambil pakaianmu?" Tanya Sondang. Friska mengangguk. Jam delapan malam sekarang. Mereka memutuskan makan di rumah Sondang saja, supaya tidak terlalu malam untuk pulang, karena masih harus singgah ke rumah Friska.
"Boleh menginap sampai hari Minggu?" Tanya Friska lagi. Sondang mencibir, "Biasanya juga enggak pernah nanya, mau menginap berapa hari..."
Friska tertawa geli, sambil membenarkan ucapan Sondang. "Mencoba berbasa-basi.."
Jam setengah sembilan malam, mereka sampai di rumah Sondang.
"Kok, ada dua mobil di sini? Abangmu beli mobil lagi, ya?" kata Friska melihat mobil yang terparkir di dekat motor mereka.
Sondang melihat mobil yang dimaksud. Dia ingat, ini hari Jumat.
"Itu mobil Bang Idris, teman Abangku waktu kuliah dulu. Lagi ada proyek membangun pabrik di kabupaten. Dia tinggal di mess di proyek, tapi kalau sedang nggak sibuk, hari Jumat malam sampai Minggu, kadang dia menginap di sini."
Friska terlihat bersemangat. "Masih lajang?" tanyanya.
"Iya, tapi sudah tua.. Kan, teman Abangku. Hmm... Ingat Ferdi, lho..." Kata Sondang sambil mencubit Friska.
Yang dicubit mengaduh. "Kan, aku sudah bilang, aku mau putus saja. Tapi, siapa tahu bisa langsung ketemu dengan lelaki lain, kan bagus juga. Biar Ferdi tahu, aku sebenarnya bukan enggak bisa dapat yang lebih bagus daripada dia."
"Lagipula, kalau sudah seumur Abangmu, pasti orangnya juga lebih tenanglah. Sudah mapan juga mungkin,” sambungnya lagi dengan semangat.
Sondang menggeleng-gelengkan kepala melihat Friska. "Ya ampun, nih perempuan.. Baru kemarin jatuh cinta sama Ferdi, sekarang malah sudah ngiler melihat orang lain. Nampaknya cinta menggebu-gebu tahun lalu itu, sudah tinggal kenangan saja, ya?"
Friska terkekeh mendengar komentar Sondang.
Mama dan yang lainnya baru saja selesai makan malam, waktu mereka memasuki rumah. Mereka terlihat baru saja duduk di ruang tengah, dan baru mulai menyalakan TV. Bang Sihol dan Idris duduk berdua di kursi sudut, dan sedang bersiap membuka papan catur. Si Kembar menyapa gembira, saat melihat Sondang datang, dan kemudian kembali sibuk dengan mainan congklak mereka.
"Hai, Friska. Lama enggak muncul. Apa kabarmu?" Tanya ipar Sondang, yang sedang mengaduk kopi untuk diminum setelah makan malam.
"Lagi patah hati dia, Da," Sondang menyambar menyahuti Iparnya, dan kemudian berkelit menghindari Friska yang berusaha mencubitnya.
"Ah, jangan mau patah hati lama-lama, Fris. Pria bukan cuma satu," kata Iparnya.
"Ya, aku setuju, Kak. Sondang yang enggak setuju, kayaknya.." sergahnya sambil mencibir ke arah Sondang, yang sedang menyiapkan piring untuk makan malam mereka berdua.
"Itu kar'na si Sondang belum pernah punya pacar. Masih idealis dia," sambung Iparnya lagi.
Sondang menghela nafas. Apa iya, keluarganya seterbuka ini, sampai-sampai dia belum pernah berpacaran juga perlu diketahui semua orang?
"Hmm, makan, makan... Jangan jadi membahas saya, ya.." katanya.
Friska tertawa, "Kan, kamu sendiri yang memulai menggangguku tadi. Senjata makan tuan.."
Nasi, terong balado pedas dan ikan asin, enak sekali terasa di mulut Sondang. Dia ingin menambah makan sebenarnya, kalau tidak ingat pada berat badannya yang mati-matian dia pertahankan untuk tidak naik.
"Tadi belum berkenalan dengan teman si Abang, kan?" kata Ipar Sondang kepada Friska, begitu mereka selesai makan dan mandi, dan ikut bergabung ke ruang tengah.
Friska tersipu malu. "Terlalu lapar tadi, sampai lupa."
Idris melihat ke arah Friska, dan meninggalkan permainan caturnya sejenak, untuk berjabatan tangan dengannya. Friska menjabat tangan Idris, sambil 'menilai' cepat sosok Idris: cukup tinggi, dan berkulit agak putih, dengan lesung pipi hanya sebelah. Rambutnya tersisir rapi ke samping.
"Lumayan juga dia," kata Friska saat mereka berdua sudah akan tidur di kamar. Jam sepuluh malam sudah.
"Siapa?" Tanya Sondang sambil melihat ke telponnya. Bersiap untuk mematikan, ketika terbacanya sebuah pesan dari Bang Idris.
'Besok maukah menemani saya, berbelanja ke pasar?'
What?? Mengapa pula Bang Idris berniat berbelanja ke pasar.
'Kangen makanan rumahan. Mau minta tolong kamu memasakkan juga, sih, kalau sempat. Kalau memang enggak bisa, buat disimpan di kulkas juga enggak apa-apa.’
Sondang berpikir sejenak. Kasihan juga, mungkin Bang Idris bosan dengan makanan di Messnya..
'Oke, Bang. Berangkat jam 6 pagi, bisa?'
'Siap.'
"Kamu enggak mendengarkan aku bercerita, ya?" sungut Friska.
“Tadi lagi membalas pesan dari Bang Idris. Dia pengen makan daging, mungkin masakan di mess-nya kurang enak. Dia ngajak ke pasar besok pagi. Kamu mau ikut?"
"Subuh ya? Masih ngantuklah.. Kan, kamu tahu, aku susah bangun pagi."
"Jam enam, kok. Ayolah, sekalian kita makan Bakmi Ahin. Lagipula, kan, katamu kau mencari pengganti Ferdi."
“Maksudmu, siapa tahu Bang Idris cocok?” tanya Friska sambil tersenyum.
“Bukan Bang Idris. Maksudku, mainan boneka plastik. Di pasar ada banyak dijual. Sepuluh ribu tiga..” kata Sondang, membuat Friska tertawa.
“Pokoknya besok harus ikut!” Sondang menegaskan.
Friska berpikir sejenak. "Lihat besoklah. Kalau aku bisa bangun, ya, aku ikut. Tapi kalau masih ngorok juga, ya, langsung tinggal saja."
"Nanti kubuat aja garam ke mulutmu, pasti kamu bangun," kata Sondang.
"Ih, jahat.. Lagipula, kan bagus juga kalau kamu berdua saja dengan Bang Idris. Kan, kalian sama-sama lajang. Siapa tahu cocok," kata Friska.
"Dasar perempuan kesepian. Semua-semuanya dihubungkan dengan cari suami," ejek Sondang.
"Aku enggak munafiklah. Kan, kita memang di usia yang pas untuk bicara soal pernikahan, Jeng. Kamu saja yang kayak batu, enggak tahu mesti lelaki yang seperti apa, yang bisa membuat hatimu tergerak."
Sondang terdiam, mencari kata untuk menjawab Friska.
"Nanti juga ada, kalau sudah waktunya," jawab Sondang akhirnya.
"Siapa tahu kamu cocok dengan Bang Idris, Ndang," sahut Friska sambil merapikan baju tidurnya. Sondang menggeleng cepat.
"Janganlah.. Dia, kan, teman Abangku. Sudah terlalu tua untuk kita.. Dia juga bukan orang Batak, lho..Bukannya aku rasis. Buktinya aku berteman akrab denganmu, kan? Aku cuma enggak mau capek dan repot memikirkan tetek bengek perbedaan budayanya..."
"Tapi, kalau dia bisa akrab dengan Abangmu, pasti dia orang baik, Ndang. Daripada kamu capek-capek kenalan dengan lelaki yang belum ketahuan sifat aslinya, lebih baik dengan orang seperti Bang Idris, Ndang."
Sondang menggeleng-geleng lagi. "Sudah, ah. Nggak usah membahas itu lagi. Aku mau tidur," katanya sambil membaringkan tubuhnya.
Friska ikut berbaring di sisi Sondang. Sesaat kemudian, dia membenahi bantalnya, sambil mencoba merebut selimut dari Sondang, namun gagal. Mereka tertawa cekikikan ketika perebutan tersebut selesai.
"Kalau kamu merasa Bang Idris enggak cocok buatmu, berarti buat aku sajalah.." tiba-tiba Friska berbicara lagi, setelah hening beberapa saat.
Sondang yang sudah hampir tertidur, hanya menjawab dengan satu kata, "Silahkan.."
Friska akhirnya bisa bangun pagi, dan mau ikut dengan mereka ke pasar. Ramai sekali sepagi itu. Jalanan di luar pasar yang becek oleh hujan dini hari tadi, membuat pasar terlihat lebih semrawut dan lebih sulit buat dijalani. Lelah sekali jadinya. Setelah ke tukang daging, mereka pindah ke tukang sayur, lalu membeli bumbu dapur, dan rempah untuk membuat jamu. Bang Idris juga bersikeras untuk membeli sekarung beras isi dua puluh kilo, yang langsung dibawa oleh seorang kuli angkut, untuk dimasukkan ke mobilnya. "Seperti mau pesta saja banyaknya belanja'an ini," kata Sondang ketika meihat keranjang belanja yang sudah memenuhi bagian belakang mobil. "Sekalian buat persediaan beberapa hari," kata Idris. Senang sekali akhirnya, ketika mereka bisa duduk di kursi 'Bakmi Ahin', bakmi babi terkenal di sini. Sudah ramai juga yang mengantri, sehingga mereka harus sabar menunggu sampai giliran mereka tiba. Friska terlihat berse
Usai makan, mereka duduk-duduk di gazebo di halaman depan rumah. Rumah keluarga Sondang memang berhalaman luas. Terletak di pinggir kampung, dan merupakan rumah paling ujung. Bapak mereka membeli tanah di situ, beberapa tahun menjelang pensiun. Waktu itu harga tanahnya masih murah, sehingga bisa dibeli cukup luas. Namun belum sempat dibangun, Bapak sudah meninggal, dan akhirnya Abangnya yang kemudian memutuskan untuk bekerja dan tinggal bersama mereka, membangun rumah tersebut sedikit demi sedikit. Pertama-tama hanya satu lantai. Ketika proyek yang dikerjakan Abang berhasil, dan membuatnya memiliki uang lebih, Abangnya menambahi membangun lantai dua, yang terdiri dari dua kamar tidur, dan satu kamar mandi. Dan suatu hari, ketika Abangnya merasa ingin punya ruang kerja sendiri di rumahnya, dia memutuskan membangun sebuah kamar di lantai tiga, yang sebelumnya hanya menjadi tempat menjemur pakaian dan tangki penampung air. Ketika Sondang bertanya, mengapa me
Seminggu berjalan dengan sangat cepat rasanya. Sondang merasa begitu tertekan sepanjang minggu. Dia telah salah membuat sebuah laporan, dan baru mengetahuinya, setelah hampir setahun berlalu. Pimpinannya marah besar, dan menyuruh dia untuk bekerja lembur, supaya pekerjaan itu selesai dalam waktu 3 hari. Itu sebabnya, begitu Kamis tiba, dia merasa seperti akan masuk ke dalam neraka. Dia sangat lelah, setelah bekerja sampai jam delapan malam selama dua hari berturut-turut. ‘Aku pasrah’, pikirnya. Hidungnya mampet karena flu yang berat, dan itu sangat melemahkan semangatnya. Satu sisi dirinya ingin menyerah, tapi sisi lain memaksanya untuk terus berjuang. Jam Sembilan malam, akhirnya laporan tersebut selesai juga. Abang menjemputnya ke kantor, karena sudah terlalu malam baginya, untuk pulang sendiri. Sepanjang perjalanan, dia menggigil dan merasa seolah mereka tak sampai juga ke rumah. Ke
sai kebaktian, Idris entah bagaimana ceritanya, sudah mengobrol akrab sekali nampaknya dengan Amelia, membuat para pemuda lainnya, sungkan untuk ikut bergabung.Sondang bersama Justin, berlatih musik bersama, sementara yang lainnya bercanda-canda sambil menunggui mereka. Kalau sedang bermain musik, ternyata Sondang tak terlihat sakit. Wajahnya terlihat begitu bersemangat.Begitu latihan musik tersebut selesai, Sondang dan Justin bergabung dengan kelompok Andi, Friska dan Diana yang duduk-duduk mengobrol, bersama beberapa pemuda lainnya. Idris dan Amelia masih terlihat asyik berbincang berdua saja di kursi yang tak jauh dari mereka.“Eiyy, kita pergi kan, ke pestanya si Irene?” tanya Diana kepada semua pemuda yang duduk di situ.Irene, anak dari salah satu orang Batak di kota mereka, yang menjadi warga gereja GPIB. Dia menikah hari ini, dan resepsinya diadakan sejak jam 11 siang. Sebagai sesama orang Batak, meski tidak satu ge
Sudah sebulan, Idris tidak datang di Sabtu Minggu. Kata Bang Sihol, Idris sedang ke kantor pusat perusahaan mereka di Jakarta. Andi dan Amelia sibuk mencari-cari dia di gereja. Setiap minggu mereka bertanya kepada Sondang, apakah Bang Idris belum datang? Sondang merasa terganggu, tapi juga merasa kasihan pada Amelia, yang terlihat jelas menyukai Idris. Selama Idris tidak datang, Amelia terlihat kurang bersemangat, dan kadang-kadang seperti orang berkhayal saja. Tak tega melihat Amelia seperti itu, akhirnya Sondang memberikan nomor telepon Idris kepadanya, walaupun setelah itu dia menyesal, karena memberikan nomor tersebut, sebelum meminta izin kepada orangnya. Karena itu, buru-buru dikirimnya pesan ke Idris. 'Bang, maaf ya. Tadi tanpa izin Abang, saya bagi nomor telepon Abang ke Amelia.' Sore, baru ada jawaban. 'Iya, Ndang. Enggak apa-apa.' Sudah, cuma itu saja jawabannya. Entah dia kesal atau tidak, Son
Tiga minggu setelah Idris sembuh dari sakit, dan kembali ke proyek, akhirnya dia kembali datang ke rumah Sondang di suatu Sabtu malam, dan ikut ke gereja di hari Minggu.Amelia terlihat sangat gembira menyambutnya, dan segera duduk di samping Idris. Andi yang duduk di sebelah Idris, melihat semuanya dengan tersenyum-senyum, di sela-sela percakapannya dengan Friska.Diana yang merasa bahwa jemaat seharusnya hening saat menanti kebaktian dimulai, menatap dengan kesal pada Amelia yang sibuk mengobrol dengan Idris, dan membuat Diana yang duduk di belakang mereka merasa terganggu oleh percakapan mereka. Hanya Sondang yang duduk di samping Friska, yang tak peduli dengan tingkah Amelia. Dia sedang sibuk sendiri dengan pikirannya, yang akhir-akhir ini sedang 'diusik' oleh kehadiran suatu sosok, yang setiap kali teringat, membuat hatinya terasa terasa 'penuh' bunga.Sudah beberapa minggu ini, dia menyadari ada yang tak 'teratur' di denyut jantungnya, se
Ketika Sondang turun ke lantai 1 rumah mereka, untuk berangkat ke pesta ulang tahun Mama Amelia, Justin malah terlihat ada di ruang tamu, tanpa dia tahu kapan datangnya. Dia sedang berbincang bersama Mama, dan Abang. Di samping Justin, Sondang melihat juga Mama Justin. Situasi itu membuat kaki Sondang melemah. Apa lagi sekarang?Sondang tak faham, mengapa Justin tetap saja datang ke sini, meski Sondang sudah menolak tawarannya? Dia memang menyukai Justin, tapi saat ini dia sedang galau, dan dia tak ingin Justin memaksanya untuk menuruti kemauannya sendiri."Halo, Ndang,' Justin menyapanya dengan gembira. Matanya bercahaya gemerlap ditimpa sinar lampu. Dia terlihat tampan mengenakan kemeja kuning polos, membuat kulitnya yang putih terlihat semakin besih. Penampilannya membuat Sondang tak kuasa menolak pesonanya, dan mendadak kehilangan rasa kesalnya."Tadi Mama mengajak aku menjemput Nantulang ke sini. Ternyata mereka sudah janjian untu
Ketika Idris tiba di depan rumah Sondang di Sabtu malam itu, dia melihat sebuah mobil terparkir di dekat pohon Kemuning. Dia tahu mobil siapa itu! Dibukanya gerbang dengan lambat, menunggu gejolak hatinya mereda. Di ruang tamu, dilihatnya Justin sedang duduk sendirian. “Hai, Bang. Baru datang?” tanya Justin ramah ketika melihat Idris. Idris mengangguk, dan tersenyum membalas sapaan Justin. Diambilnya tempat duduk di kursi di depan Justin. “Sudah bertemu Sondang?” Justin mengangguk. “Iya, Bang. Ini baru mengantar dia. Tadi kami pergi ke pantai.” Idris merasa disayat hatinya. Berdua sajakah mereka pergi? “Sondang lagi di dapur. Membuat teh,” Justin menjelaskan, sebelum Idris bertanya. Idris bimbang, akan langsung saja pergi ke kamarnya, atau meneruskan mengobrol dengan Justin. Namun akhirnya, naluri lelakinya yang menang. Dia bertahan duduk di situ, di depan 'saingan'nya. Sambil menunggu Sondang, mereka berdua berbincang tentang klub Bola favorit mereka, dan hobi yang mereka k
“Hai, Ndang.. Selamat pagi,” sapa Idris ketika akhirnya langkahnya tiba di makam Sondang. Diletakkannya bunga mawar dan krisan putih, di dekat tulisan nama Sondang. Dirabanya nama tersebut dengan hati-hati, seolah dia sedang menyentuh rambut Sondang, seperti dulu. Dia tahu, Sondang tak ada di situ. Hanya tubuhnya yang tertinggal, perlahan-lahan sedang kembali menjadi tanah. Namun, hatinya begitu rindu untuk menyapa Sondang, dan untuk mengobrol dengan dia. “Pabriknya sudah selesai. Jadi aku akan pulang ke Jakarta besok,” katanya lagi, sambil menggigit bibirnya, menahan jatuhnya air mata. Tak ada jawaban apa-apa. Hanya ada teriakan anak-anak kecil yang bermain layang-layang, di sekitar pemakaman. "Harusnya kau ikut pulang bersamaku, kan?" Pada akhirnya Idris menangis. Rencananya untuk membawa Sondang, tinggal di rumah yang telah dipersiapkan Idris, kandas sudah. Sondang memilih berumah di seberang langit, tempat di mana Idris tak bisa mendatanginya. Idris menutup matanya. Dia sud
Usai acara penghiburan yang memang memancing kesedihan, Idris, Friska, Andi, dan keluarga Sondang duduk di ruang tengah. Friska sekarang tinggal di rumah itu, atas permintaan Mama. Menempati kamar Sondang dulu. Meski semua sangat rindu pada Sondang, namun sepanjang mereka mengobrol, tak seorangpun yang menyebut-nyebut nama Sondang, atau membicarakan kenangan tentang dia. Semua saling menjaga, sebab semua masih terluka hatinya. Masih perlu sangat banyak waktu, untuk membuat mereka sembuh. Namun, ketika Idris sudah naik ke kamarnya, bersama Andi yang ikut menginap, tiba-tiba Friska datang menemui mereka. Dia membawa sebuah tas, dan meletakkannya di atas meja di depan tempat tidur Idris. Di atas meja itu, juga ada foto Sondang dengan topi kelincinya. “Bang, aku bukan mau membuat Abang teringat-ingat Sondang. Aku hanya mau menyampaikan titipan Sondang untuk Abang.” Idris menenangkan hatinya sebentar, lalu membuka tas tersebut. Di bagian paling atas, ditemukannya selembar kertas
“Dris, bangunlah,” sebuah suara samar-samar terdengar memanggil namanya. Dibukanya mata, dan terlihat Bang Sihol di sisinya. Friska dan Andi juga ada di situ.Ternyata Idris sakit. Andi mencarinya ke kamar, setelah Idris tak kunjung menjawab teleponnya. Dan di situ, dilihatnya Idris berbaring dengan tubuh menggigil kedinginan, sambil mendekap erat songket hijau - jingga, di dadanya. Dia demam tinggi, mungkin karena terlalu lelah batin dan raganya. Menunggui Sondang setiap hari di rumah sakit, membuat tubuhnya akhirnya kalah. Dan kekalahan itu semakin telak, ketika semua jerih lelahnya, tak mampu membuat dia menang bertarung melawan maut, yang dengan tega telah merenggut Sondang darinya.Andi dan Bang Sihol membantunya mengganti pakaiannya, seperti yang dulu juga pernah dikerjakan Sondang, saat Idris sedang sakit. Mereka juga membantunya pergi ke toilet, sebab kakinya terlalu goyah untuk bisa berjalan sendiri. Lalu setelah semuanya selesai, Andi menyelimutinya dengan selimut tebal b
Hari sangat cerah, ketika Sondang akhirnya ‘pergi’. Hari itu hari Sabtu, hanya beberapa hari setelah Sondang menerima Perjamuan Kudusnya. Di taman rumah sakit, burung-burung ramai bernyanyi, di pohon-pohon yang tumbuh besar dan rindang. Anak-anak kecil terlihat riuh berlari-larian, tanpa pernah tahu, ketika mereka sedang tertawa menikmati kehidupan, Sondang sedang melintasi lembah mautnya. Saat itu, semua yang mengasihinya, menjeritkan namanya dengan sisa air mata yang masih ada. Mama sudah terduduk lemah di kursi, setelah lelah meratap sambil memeluk anak bungsunya yang mendahuluinya pulang. Dia tak mengerti, mengapa bukan dirinya yang sudah tua ini saja, yang dipanggil pulang. Mengapa Sondang yang masih muda, yang sedang akan memulai kebahagiaanya dengan Idris, harus dihentikan langkahnya dengan tiba-tiba seperti ini. Dia telah berulang kali berkata dalam doanya: “Angkatlah penyakitnya, pindahkan kepadaku.” Tapi ternyata, kehendaknya, tidak sama dengan kehendak Pemilik Kehidup
Siapa yang tak akan marah, dan sakit hati, jika rencana yang sudah disusun rapi, hancur dalam sekejap mata? Sondang merasa sakit hati pada Penciptanya. Dia merasa dilupakan, tak dipedulikan. “Aku tak dapat beriman padaMu,” bisik Sondang dalam kemarahannya. Namun ketika dia sangat putus asa, dia tetap kembali menaikkan doa. “Aku bukan seseorang yang istimewa, bukan orang yang berguna untuk orang lain. Tapi setidaknya, aku berusaha membuat diriku, tak menjadi beban bagi orang lain. Bolehkah aku hidup lebih lama lagi, dan menikmati kebahagiaan bersama Idris?” Marah dan sedihnya, akhirnya menjadi bagian yang berganti-ganti mengisi perasaannya. Dia bahkan telah kehilangan kemampuannya untuk tersenyum. Ketika Mama datang, dan duduk di sampingnya, sambil menyanyikan dengan lembut, lagu-lagu dari ‘Buku Ende’, dia justru merasa semakin terpuruk di dalam sakit hati yang mendalam terhadap semuanya. Dilihatnya kerut-kerut wajah Mama, tanda dari tahun-tahun yang banyak dan berat, yang suda
Meski sudah berlatih untuk tidak menangis, air mata Sondang tetap saja tumpah, ketika Idris datang di hari Sabtu sore. Usai mengusap air matanya, tatapannya menyusuri wajah lelah Idris, dan menemukan kemurungan di sana, yang tak mampu disembunyikan oleh senyuman. Begitu Idris datang, Mama yang sejak tadi pagi menjaga Sondang, memutuskan untuk pulang dulu. Friska juga menunda kedatangannya, memberi waktu bagi mereka berdua untuk saling berbicara. Tapi Sondang tak punya kata-kata untuk dibicarakan. Kesedihan mengatupkan mulutnya, membuat kata-kata hanya diam dalam pikiran. “Bagaimana keadaanmu, Ndang?” tanya Idris lembut, sambil mengelus jemari Sondang. Sondang menggigit bibirnya, berjuang agar air matanya tak lagi jatuh. Tanpa Sondang harus menjawabpun, Idris pasti sudah dapat menebak keadaannya sekarang. Mata dan kulitnya yang semula hanya pucat, sekarang mulai terlihat menguning. Tidak terlalu kuning, tapi pasti tak akan luput dari mata Idris yang selalu teliti. Dia juga pasti
Ketika sedang bersalam-salaman usai kebaktian minggu, Pendeta bertanya pada Sondang, tentang kesehatannya. Di ujung perbincangan mereka, Sang Pendeta kemudian berkata, “Tadi saya sudah mengobrol dengan ‘temanmu’. Konseling pranikah kalian, kita tunda sampai kamu sehat dulu, ya.” Sondang bengong sejenak, baru kemudian memahami maksud Pendeta. “Oh, iya.. Seharusnya dimulai hari ini ya, Amang? Jangan Amang, jangan ditunda.. Biar saja hari ini dimulai..” Pendeta memandangnya tak yakin. “Nanti saja, Ndang. Kalau kamu sudah sembuh.” Sondang menggeleng, “Sekarang saja ya, Amang. Mumpung Bang Idris ada juga,” bantahnya dengan suara memohon. Pendeta akhirnya setuju. Dari tempatnya berdiri, Sondang mencari Idris, dan melihatnya sedang mengobrol bersama Andi dan yang lainnya. Sondang menghampirinya dan berkata, “Bang, ke sini sebentar, ya..” Di depan Pendeta yang masih menunggu mereka, Sondang berkata, “Ayo, Bang.. Kita konseling sekarang.” “Tadi kami sudah sepakat menundanya, sampai kam
Kadang-kadang, zaman ketika informasi begitu mudah didapat ini, justru membawa kecemasan baru.Seperti hari ini. Begitu dokter memutuskan untuk melakukan biopsi, beberapa saat kemudian, Idris sudah memperoleh informasi mengenai kemungkinan penyakit Sondang.Itulah penyebabnya, meskipun sepanjang perjalanan menuju Site tadi, dia sudah menangis, air matanya tetap belum lelah turun, ketika dia sudah berada di kamarnya di tengah malam itu.Ditekuknya kaki, bersujud di tepi pembaringan. Dia sangat ketakutan, dan merasa membutuhkan kekuatan melalui doa.Tadi, sekitar jam 9 malam, dia sudah menelepon Friska, yang kembali menunggui Sondang di sana.“Dia sudah tidur, Bang,” kata Friska memberitahu.“Jangan biarkan dia sering-sering memegang teleponnya ya, Fris,” kata Idris meminta tolong. Dia takut kalau seperti dirinya, Sondang juga tergoda untuk mencari tahu mengenai penyakitnya. Dia tak ingin Sondang merasa takut dan akhirnya malah putus asa.“Iya, Bang. Dia menurut, kok. Tadi kan, Abang j
Di IGD, Sondang diperiksa oleh dokter jaga yang memeriksanya beberapa hari lalu. “Apa infeksinya lambungnya makin parah, Dok?” tanya Friska saat dokter memeriksa perut Sondang. Sejak masih di rumah, selain lemas dan mual, Sondang mengeluh perutnya sakit. Dokter perempuan muda tersebut tidak langsung menjawab. Dia masih memeriksa beberapa bagian di perut Sondang dengan tangannya, menekannya di beberapa tempat. Dia juga memeriksa mata, kaki dan tangan Sondang. Entah apa yang dicarinya, Friska dan Idris sama-sama tak tahu. “Iya, lambungnya masih belum sembuh. Tapi saya ingin memastikan , apakah ada kemungkinan penyakit lain. Kita akan melakukan tes fungsi hati,” dokter akhirnya menjawab setelah selesai memeriksa fisik Sondang. “Tes fungsi hati? Apakah dia terkena hepatitis, Dokter?” Idris bertanya dengan cepat. Seorang teman kerjanya pernah bercerita tentang pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi hati, saat sang teman terkena hepatitis. “Saya belum bisa memastikan, Pak. Nanti aka