"Hari ini bahasanya campuran, Bang: Batak dan Indonesia," kata Sondang pada Idris, ketika mereka berada di mobil Idris, di perjalanan menuju gereja.
"Iya, Bang Sihol sudah memberitahu semalam," jawab Idris kepadanya.
Idris bukan orang Batak, dan biasanya mengikuti ibadah di gereja protestan berbahasa Indonesia. Tapi keluarga Sondang semuanya pergi ke gereja Batak. Dan karena dia baru tiba di kota ini kemarin sore, mereka belum sempat untuk mencari tahu di mana gereja yang bisa dikunjunginya secara rutin.
"Nanti sepulang gereja, saya tunjukkan kepada Abang, ya. Ada 3 yang saya tahu cukup besar di sini," kata Sondang. Idris mengangguk, sambil berusaha berkonsentrasi mengemudi.
Kota 'baru'nya ini terlihat cukup sepi di hari Minggu pagi. Jalanan terlihat bersih. Di sepanjang trotoar, terlihat pepohonan yang mengeluarkan bunga-bunga cantik berwarna kuning, merah dan oranye. Bahkan ada beberapa Bougenville yang terlihat tumbuh 'meraksasa'.
"Kota kalian ini cantik, ya?" katanya pada Sondang.
"Iya. Rapi dan bersih memang. Apalagi sejak Bupati yang sekarang. Makin hijau di mana-mana. Kalinya juga makin bersih.."
“Lebih panas mana, di sini atau Surabaya?”
Sondang berpikir sejenak, “Nggak terlalu jauhlah bedanya.”
Idris mengangguk, lalu mengalihkan percakapan kepada topik lainnya.
"Berapa lama biasanya kebaktiannya?" Tanya Idris.
" Satu setengah sampai dua jam," jawab Sondang.
"Tapi setelah kebaktian, biasanya kami enggak langsung pulang. Ada ngobrol-ngobrol dulu dengan jemaat yang lain. Kadang-kadang latihan paduan suara atau diskusi Alkitab."
"Oh, ada diskusi Alkitab?" Tanya Idris antusias.
"Ada. Satu atau dua kali sebulan. Hari ini kayaknya, deh. Diskusi ringan, sih.. Ada thema khusus yang dipilih. Tapi bisa juga terjadi insidentil, misalnya kalau ada seorang Jemaat yang ingin bertanya tentang sesuatu kepada pendeta. Lalu akhirnya semua jemaat yang lain ikut mendengarkan dan memberikan pendapat. "
Idris takjub mendengar penjelasan Sondang.
"Gerejamu mengagumkan juga.. Belum pernah kutahu, ada gereja yang jemaatnya seantusias itu untuk berbicara mengenai Alkitab."
"Ya, enggak semua jemaat, sih, yang berminat. Tapi yang berminat biasanya cukup jumlahnya, untuk membuat diskusi tetap menarik." Sondang menjelaskan, lalu menyambung bicara lagi.
"Nah, sudah sampai kita.. Parkir di dekat halte saja, Bang."
Saat memasuki gedung gereja, Idris menatap heran. Jemaatnya tidak sebanyak yang dibayangkannya. Atau memang belum semuanya hadir?
"Mau duduk di mana?" Tanya Idris pada Sondang.
"Saya duduk di kiri. Itu Mama dan Eda, duduk di depan. Bang Sihol sedang bertugas hari ini, jadi pasti duduk di samping Altar. Kalau Abang mau berkumpul dengan para pemuda, duduk saja di sebelah kiri juga. Tapi kalau Abang mau duduk di dekat saya, boleh saja,” kata Sondang.
Idris mengangguk, memutuskan menerima usul Sondang yang terakhir. Dia belum pernah berada di antara orang Batak sebanyak ini. Jadi, untuk saat pertama, lebih baik duduk di samping orang yang sudah dikenalnya.
"Mana buku nyanyiannya?" Tanya Idris. Sondang melihatnya dengan geli. Dia merasakan kecanggungan Idris.
"Nanti lagu-lagunya, ditampilkan di layar - di depan. Tapi kalau memang mau pakai buku, itu disediakan di pintu masuk tadi. "
Musik mulai dimainkan, bunyi organ yang terdengar tua dan terasa kuno.. Terasa aneh awalnya bagi telinga Idris. Tapi dia tahu nada lagu yang dimainkan itu. Membuat dia merasa lega, karena ada juga sesuatu yang dikenalnya..
Usai Doa Saat Teduh untuk membuka Ibadah dimulai, lagu-lagu mulai dinyanyikan.
Semua lagu ternyata dinyanyikan dalam bahasa Batak. Lagi-lagi dia tahu nada dari beberapa lagu-lagu itu, tapi tentu saja dalam bahasa Indonesia. Karena sangat ingin ikut bernyanyi, dengan suara pelan, Idris mencoba menyanyikan lagu tersebut. Namun lidahnya malah seperti ‘keseleo’, berkenalan dengan lagu dalam bahasa yang tak dikenalnya. Sulit sekali mengucapkannya. Dia hampir tertawa ketika menyadari betapa kerasnya dia berjuang, agar bisa terlibat dalam ibadah tersebut. Sesekali dilihatnya Sondang juga tersenyum-senyum mendengar suaranya yang timbul tenggelam.
"Belum pernah aku selelah ini, mengikuti kebaktian minggu," bisiknya pada Sondang, ketika Penatua sedang membacakan Warta Jemaat dalam bahasa Indonesia. Sondang menahan tawa mendengar ucapan Idris. Pastilah memang kesal, ketika sepanjang acara ibadah, kita ternyata tak bisa ikut bernyanyi.
Untunglah khotbah dalam Bahasa Indonesia. Kalau tidak, entah apa lagi yang bisa didapat Idris, dari kebaktian minggu ini..
Usai kebaktian, dilihatnya Diana dan Andi Silitonga, yang mereka temui semalam, ternyata duduk 2 baris di belakang mereka.
"Bisa mengerti, Bang?" Andi bertanya sambil tersenyum menggoda.
Idris tertawa mendengar godaan Andi tersebut.
"Lidahku sampai salah tempat, sepertinya. Nggak semudah makan sangsang," jawab Idris. Sondang dan Diana tertawa mendengar jawabannya.
"Tahu juga rupanya Abang soal sangsang, ya? Suka, Bang? Bolehlah kita coba kapan-kapan. Ada di sini, kan, Di?" kata Andi pada Diana, sepupunya. Diana mengangguk bersemangat.
"Nggak usah kapan-kapan. Siang ini bolehlah, selesai acara diskusi. Cukup dekat kok, dari sini," kata Diana.
"Ayolah," kata Idris pada mereka. Sondang melirik pada Diana dan Andi. Mereka terlihat begitu antusias untuk pergi makan sangsang. Tak tega dia menolak, walaupun sebenarnya dia tak ingin pergi, karena masih malas pada misi Diana dan seluruh keluarganya, untuk mendekatkan dia dengan Andi.
Usia diskusi yang memakan waktu sekitar satu jam, setelah bertegur sapa ke sana ke mari, lalu bersalaman dengan Amang A, Ompung B, dan Inang C, kemudian pamit kepada Mama dan keluarga Bang Sihol, akhirnya mereka ke luar juga dari gedung gereja.
"Apa selalu begitu setiap minggu? Enggak langsung pulang, tapi mengobrol dulu satu sama lain?" Tanya Idris di tengah perjalanan.
"Iya. Dari dulu sudah begitu. Mungkin karena tinggalnya terpencar-pencar, dan belum sebanyak di tempat lain, jadi rasa persaudaraannya lebih kental."
"Benar juga yang kudengar, katanya persaudaraan orang Batak itu kuat ya."
"Enggak tahu juga, ya. Sepertinya tergantung tempat dan situasi juga. Aku pernah mengunjungi satu gereja Batak yang besar di Jakarta. Ternyata di sana, begitu selesai kebaktian, jemaat sudah langsung pulang saja. Enggak ada bersalam-salaman antar jemaat seperti di sini. Di sana, jemaat cuma bersalaman dengan pendeta dan penatua yang menunggu di pintu ke luar," ujar Sondang.
Saat mereka tiba, Diana dan Andi sudah tiba lebih dahulu di sana. Mereka duduk di sudut ruangan, sambil menikmati kue berbungkus daun pisang.
"Kue apa ini?" Tanya Idrus sambil ikut mengambil satu, setelah mencuci tangannya di wastafel.
"Lampet, Bang. Ada 2 jenis: berbahan ketan atau beras. Yang Abang buka itu, Lampet beras. Abang suka apa?" kata Diana menjelaskan.
"Kucoba dululah keduanya, baru ini juga memakannya." Kata Idrus sambil mulai mengunyah lampetnya. Lembut, terasa lembab oleh campuran tepung beras dan kelapa, dan manis oleh gula aren. Kue yang begitu sederhana, tapi dia merasa suka.
"Nah, ini apa lagi?" tanyanya ketika melihat kue berbentuk remasan tangan di atas piring kecil.
"Itu Itak Pohul-Pohul, artinya kue yang dibuat dengan cara digenggam atau dikepal. Lebih sering disebut Pohul-Pohul. Rasanya sama saja dengan Lampet beras, Cuma beda di bentuk dan bungkusnya saja."
Idris merasa lucu melihat bentuk kue itu. "Ini pembuatnya pasti gemuk ya, bentuk remasannya besar sekali," katanya geli, setelah mengamati ukuran Itak dan ‘cap’ 5 jari yang terlihat jelas di permukaannya. Yang lain tertawa mendengarnya.
"Tapi itu higienis, kok. Itu diremas dulu, baru dikukus sampai matang," kata Andi menjelaskan, sambil mengambil satu buah Itak. Idris akhirnya mengikutinya, memasukkan sepotong ke mulutnya.
“Dulu kue ini disajikan saat ada acara persiapan untuk melamar, marhusip. Kenapa dia diremas, dan bukan dibungkus daun, itu ada artinya,” kata Andi lagi. Nampaknya dia memang tahu cukup banyak mengenai makanan khas Batak yang satu ini.
“Apa artinya. Ndi?” Diana akhirnya jadi penasaran.
“Remasan yang kuat itu melambangkan perdebatan, dan perbedaan pendapat yang terjadi saat perundingan, yang setelah ada kata sepakat, akan menghasilkan keputusan yang tidak berubah dan konsisten. 5 bekas jari itu, mewakili 5 waktu dalam budaya Batak,” Andi menjelaskan.
Sondang melihat kepada Itak Pohu-pohul tersebut dengan takjub.
“Wah, kupikir ini cuma kue yang dibuat untuk sekedar dimakan saja. Ada filosofinya rupanya,” kata Sondang. Meski begitu, dia tak ikut memakan Itak tersebut.
Idris mendengarkan sambil terus memakan kuenya sampai habis.
"Enak. Aku suka.." katanya. Begitu selesai dengan yang di mulutnya, diambilnya lagi sebuah Lampet Ketan, setelah Diana memberitahunya, cara mengenali perbedaan bungkus Lampet Ketan dan Lampet Beras.
"Ini juga enak. Cuma lengket saja di tangan. Kalau yang beras, tangan tetap bersih." Kata Idrus, sambil beranjak mencari wastafel untuk mencuci tangan.
Sebentar kemudian, di depan mereka sudah terhidang semua pesanan mereka.
Nasi panas, sayur daung singkong dan sayur pahit. Sangsang margota dan tidak margota. Ikan dan Babi Arsik, dan tak ketinggalan favorit keluarga Sondang: Babi Panggang.
Mereka makan sambil berbincang. Di tengah percakapan, Sondang merasa, Diana sedang membantu Andi untuk membuatnya mengenal Sondang lebih jauh. Sebab sebentar-sebentar, Diana akan bertanya sesuatu tentang Sondang, yang mau tidak mau, Sondang harus menjawabnya, demi sopan santun.
“Kamu lahir di sini juga, ya, Ndang? Sudah berapa lama kamu kerja di kantormu yang sekarang? Kapan terakhir kali kalian pulang kampung, Ndang?” Bla bla bla.. Sondang menjawab semuanya sesingkat yang dia bisa.
Kontras dengan Sondang, Andi sendiri terlihat begitu ramah dan antusias, mendengar jawaban dari Sondang. Sikapnya membuat Sondang bertanya-tanya, apakah dia memang setulus itu menjadi pendengar yang baik, atau itu dilakukannya, semata hanya untuk bersopan santun?
"Bang Idris berapa lama akan tinggal di sini?" Tanya Andi mengalihkan topik pada Idris.
"Setahun setengah atau dua tahun, mungkin.”
"Nanti pergi pulang ke tempat kerja, dari rumah Sondang?" Tanya Diana.
"Enggak. Di lapangan sebenarnya ada Mess. Cuma kalau tinggal di situ terus, saya bosan. Jadi kalau pekerjaan sedang bisa ditinggal, misalnya di hari Sabtu dan Minggu, saya datang ke rumah Bang Sihol," Idris menjelaskan.
Kenyang makan, mereka berbincang ngalor-ngidul selama satu jam lebih, ditemani lampet dan kopi pahit, seolah tak kenyang-kenyang juga.
Saat akan membayar, Idris berkata, dia yang akan membayar.
"Wah, jangan begitu, Bang. Jadi senang kami," kata Andi mencandainya.
"Tanda perkenalan," kata Idris.
Mereka berpisah di tempat parkir. Diana pulang naik motor dengan Andi.
"Kita cari gereja, ya?" kata Sondang mengingatkan. Idris mengangguk.
Mereka menyusuri perlahan, jalanan kota yang tidak terlalu ramai. Kata Sondang, biasanya di jam kerja wilayah ini agak macet.
“Itu ada gereja GKJW. Tapi mereka juga memakai bahasa Jawa dalam kebaktiannya. Mau lihat?” tanya Sondang, saat mereka melewati sebuah gereja di seberang jalan.
Idris menggeleng sambil tertawa, “Aku nggak bisa berbahasa Jawa, Ndang. Kamu bisa?”
Sondang ikut tertawa, lalu menyahut: “Kalau yang ngoko – bahasa sehari-hari, aku bisa, Bang. Tapi kalau yang kromo, nggak lancar. Itu cuma jadi bahan pelajaran waktu sekolah saja dulu.”
Setelah melihat ketiga gereja yang dimaksud, yang semuanya hanya memakai bahasa Indonesia, akhirnya mereka sampai juga di rumah.
Untunglah Mama dan Iparnya tidak bertanya macam-macam, tentang pertemuan kembali dengan Andi tadi. Sondang merasa capek juga. Ingin tidur sore rasanya.
.**********
Jam setengah enam pagi, sebuah pesan teks masuk ke telepon genggam Idris. 'Bang, kalau mau sarapan, di bawah sudah ada, ya,' dari Sondang ternyata. Cepat sekali dia, sepagi ini sudah selesai memasak makanan. Idris menjawab 'Terima kasih,' dan kemudian bergegas turun dari kamarnya di lantai 3, sambil membawa tas pakaian dan tas kerjanya. Dia akan berangkat pagi-pagi, agar bisa segera sampai di Site. Ditemuinya Sondang yang sedang sarapan di bawah, masih memakai baju tidurnya, dan terlihat masih belum mandi juga. Di atas meja, sudah tersedia beberapa piring, dan semangkuk besar sup ayam yang mengepul. Idris sebenarnya belum pernah makan sepagi itu, tapi melihat Sondang sedang makan, dia jadi ingin ikut-ikutan. "Kamu berangkat jam berapa?" Tanya Idris ketika mereka sudah sama-sama duduk menghadapi makanan masing-masing. Di samping piring mereka masing-masing, sekarang ada gelas-gelas berisi jus Wortel, yang baru saja
Friska akhirnya bisa bangun pagi, dan mau ikut dengan mereka ke pasar. Ramai sekali sepagi itu. Jalanan di luar pasar yang becek oleh hujan dini hari tadi, membuat pasar terlihat lebih semrawut dan lebih sulit buat dijalani. Lelah sekali jadinya. Setelah ke tukang daging, mereka pindah ke tukang sayur, lalu membeli bumbu dapur, dan rempah untuk membuat jamu. Bang Idris juga bersikeras untuk membeli sekarung beras isi dua puluh kilo, yang langsung dibawa oleh seorang kuli angkut, untuk dimasukkan ke mobilnya. "Seperti mau pesta saja banyaknya belanja'an ini," kata Sondang ketika meihat keranjang belanja yang sudah memenuhi bagian belakang mobil. "Sekalian buat persediaan beberapa hari," kata Idris. Senang sekali akhirnya, ketika mereka bisa duduk di kursi 'Bakmi Ahin', bakmi babi terkenal di sini. Sudah ramai juga yang mengantri, sehingga mereka harus sabar menunggu sampai giliran mereka tiba. Friska terlihat berse
Usai makan, mereka duduk-duduk di gazebo di halaman depan rumah. Rumah keluarga Sondang memang berhalaman luas. Terletak di pinggir kampung, dan merupakan rumah paling ujung. Bapak mereka membeli tanah di situ, beberapa tahun menjelang pensiun. Waktu itu harga tanahnya masih murah, sehingga bisa dibeli cukup luas. Namun belum sempat dibangun, Bapak sudah meninggal, dan akhirnya Abangnya yang kemudian memutuskan untuk bekerja dan tinggal bersama mereka, membangun rumah tersebut sedikit demi sedikit. Pertama-tama hanya satu lantai. Ketika proyek yang dikerjakan Abang berhasil, dan membuatnya memiliki uang lebih, Abangnya menambahi membangun lantai dua, yang terdiri dari dua kamar tidur, dan satu kamar mandi. Dan suatu hari, ketika Abangnya merasa ingin punya ruang kerja sendiri di rumahnya, dia memutuskan membangun sebuah kamar di lantai tiga, yang sebelumnya hanya menjadi tempat menjemur pakaian dan tangki penampung air. Ketika Sondang bertanya, mengapa me
Seminggu berjalan dengan sangat cepat rasanya. Sondang merasa begitu tertekan sepanjang minggu. Dia telah salah membuat sebuah laporan, dan baru mengetahuinya, setelah hampir setahun berlalu. Pimpinannya marah besar, dan menyuruh dia untuk bekerja lembur, supaya pekerjaan itu selesai dalam waktu 3 hari. Itu sebabnya, begitu Kamis tiba, dia merasa seperti akan masuk ke dalam neraka. Dia sangat lelah, setelah bekerja sampai jam delapan malam selama dua hari berturut-turut. ‘Aku pasrah’, pikirnya. Hidungnya mampet karena flu yang berat, dan itu sangat melemahkan semangatnya. Satu sisi dirinya ingin menyerah, tapi sisi lain memaksanya untuk terus berjuang. Jam Sembilan malam, akhirnya laporan tersebut selesai juga. Abang menjemputnya ke kantor, karena sudah terlalu malam baginya, untuk pulang sendiri. Sepanjang perjalanan, dia menggigil dan merasa seolah mereka tak sampai juga ke rumah. Ke
sai kebaktian, Idris entah bagaimana ceritanya, sudah mengobrol akrab sekali nampaknya dengan Amelia, membuat para pemuda lainnya, sungkan untuk ikut bergabung.Sondang bersama Justin, berlatih musik bersama, sementara yang lainnya bercanda-canda sambil menunggui mereka. Kalau sedang bermain musik, ternyata Sondang tak terlihat sakit. Wajahnya terlihat begitu bersemangat.Begitu latihan musik tersebut selesai, Sondang dan Justin bergabung dengan kelompok Andi, Friska dan Diana yang duduk-duduk mengobrol, bersama beberapa pemuda lainnya. Idris dan Amelia masih terlihat asyik berbincang berdua saja di kursi yang tak jauh dari mereka.“Eiyy, kita pergi kan, ke pestanya si Irene?” tanya Diana kepada semua pemuda yang duduk di situ.Irene, anak dari salah satu orang Batak di kota mereka, yang menjadi warga gereja GPIB. Dia menikah hari ini, dan resepsinya diadakan sejak jam 11 siang. Sebagai sesama orang Batak, meski tidak satu ge
Sudah sebulan, Idris tidak datang di Sabtu Minggu. Kata Bang Sihol, Idris sedang ke kantor pusat perusahaan mereka di Jakarta. Andi dan Amelia sibuk mencari-cari dia di gereja. Setiap minggu mereka bertanya kepada Sondang, apakah Bang Idris belum datang? Sondang merasa terganggu, tapi juga merasa kasihan pada Amelia, yang terlihat jelas menyukai Idris. Selama Idris tidak datang, Amelia terlihat kurang bersemangat, dan kadang-kadang seperti orang berkhayal saja. Tak tega melihat Amelia seperti itu, akhirnya Sondang memberikan nomor telepon Idris kepadanya, walaupun setelah itu dia menyesal, karena memberikan nomor tersebut, sebelum meminta izin kepada orangnya. Karena itu, buru-buru dikirimnya pesan ke Idris. 'Bang, maaf ya. Tadi tanpa izin Abang, saya bagi nomor telepon Abang ke Amelia.' Sore, baru ada jawaban. 'Iya, Ndang. Enggak apa-apa.' Sudah, cuma itu saja jawabannya. Entah dia kesal atau tidak, Son
Tiga minggu setelah Idris sembuh dari sakit, dan kembali ke proyek, akhirnya dia kembali datang ke rumah Sondang di suatu Sabtu malam, dan ikut ke gereja di hari Minggu.Amelia terlihat sangat gembira menyambutnya, dan segera duduk di samping Idris. Andi yang duduk di sebelah Idris, melihat semuanya dengan tersenyum-senyum, di sela-sela percakapannya dengan Friska.Diana yang merasa bahwa jemaat seharusnya hening saat menanti kebaktian dimulai, menatap dengan kesal pada Amelia yang sibuk mengobrol dengan Idris, dan membuat Diana yang duduk di belakang mereka merasa terganggu oleh percakapan mereka. Hanya Sondang yang duduk di samping Friska, yang tak peduli dengan tingkah Amelia. Dia sedang sibuk sendiri dengan pikirannya, yang akhir-akhir ini sedang 'diusik' oleh kehadiran suatu sosok, yang setiap kali teringat, membuat hatinya terasa terasa 'penuh' bunga.Sudah beberapa minggu ini, dia menyadari ada yang tak 'teratur' di denyut jantungnya, se
Ketika Sondang turun ke lantai 1 rumah mereka, untuk berangkat ke pesta ulang tahun Mama Amelia, Justin malah terlihat ada di ruang tamu, tanpa dia tahu kapan datangnya. Dia sedang berbincang bersama Mama, dan Abang. Di samping Justin, Sondang melihat juga Mama Justin. Situasi itu membuat kaki Sondang melemah. Apa lagi sekarang?Sondang tak faham, mengapa Justin tetap saja datang ke sini, meski Sondang sudah menolak tawarannya? Dia memang menyukai Justin, tapi saat ini dia sedang galau, dan dia tak ingin Justin memaksanya untuk menuruti kemauannya sendiri."Halo, Ndang,' Justin menyapanya dengan gembira. Matanya bercahaya gemerlap ditimpa sinar lampu. Dia terlihat tampan mengenakan kemeja kuning polos, membuat kulitnya yang putih terlihat semakin besih. Penampilannya membuat Sondang tak kuasa menolak pesonanya, dan mendadak kehilangan rasa kesalnya."Tadi Mama mengajak aku menjemput Nantulang ke sini. Ternyata mereka sudah janjian untu
“Hai, Ndang.. Selamat pagi,” sapa Idris ketika akhirnya langkahnya tiba di makam Sondang. Diletakkannya bunga mawar dan krisan putih, di dekat tulisan nama Sondang. Dirabanya nama tersebut dengan hati-hati, seolah dia sedang menyentuh rambut Sondang, seperti dulu. Dia tahu, Sondang tak ada di situ. Hanya tubuhnya yang tertinggal, perlahan-lahan sedang kembali menjadi tanah. Namun, hatinya begitu rindu untuk menyapa Sondang, dan untuk mengobrol dengan dia. “Pabriknya sudah selesai. Jadi aku akan pulang ke Jakarta besok,” katanya lagi, sambil menggigit bibirnya, menahan jatuhnya air mata. Tak ada jawaban apa-apa. Hanya ada teriakan anak-anak kecil yang bermain layang-layang, di sekitar pemakaman. "Harusnya kau ikut pulang bersamaku, kan?" Pada akhirnya Idris menangis. Rencananya untuk membawa Sondang, tinggal di rumah yang telah dipersiapkan Idris, kandas sudah. Sondang memilih berumah di seberang langit, tempat di mana Idris tak bisa mendatanginya. Idris menutup matanya. Dia sud
Usai acara penghiburan yang memang memancing kesedihan, Idris, Friska, Andi, dan keluarga Sondang duduk di ruang tengah. Friska sekarang tinggal di rumah itu, atas permintaan Mama. Menempati kamar Sondang dulu. Meski semua sangat rindu pada Sondang, namun sepanjang mereka mengobrol, tak seorangpun yang menyebut-nyebut nama Sondang, atau membicarakan kenangan tentang dia. Semua saling menjaga, sebab semua masih terluka hatinya. Masih perlu sangat banyak waktu, untuk membuat mereka sembuh. Namun, ketika Idris sudah naik ke kamarnya, bersama Andi yang ikut menginap, tiba-tiba Friska datang menemui mereka. Dia membawa sebuah tas, dan meletakkannya di atas meja di depan tempat tidur Idris. Di atas meja itu, juga ada foto Sondang dengan topi kelincinya. “Bang, aku bukan mau membuat Abang teringat-ingat Sondang. Aku hanya mau menyampaikan titipan Sondang untuk Abang.” Idris menenangkan hatinya sebentar, lalu membuka tas tersebut. Di bagian paling atas, ditemukannya selembar kertas
“Dris, bangunlah,” sebuah suara samar-samar terdengar memanggil namanya. Dibukanya mata, dan terlihat Bang Sihol di sisinya. Friska dan Andi juga ada di situ.Ternyata Idris sakit. Andi mencarinya ke kamar, setelah Idris tak kunjung menjawab teleponnya. Dan di situ, dilihatnya Idris berbaring dengan tubuh menggigil kedinginan, sambil mendekap erat songket hijau - jingga, di dadanya. Dia demam tinggi, mungkin karena terlalu lelah batin dan raganya. Menunggui Sondang setiap hari di rumah sakit, membuat tubuhnya akhirnya kalah. Dan kekalahan itu semakin telak, ketika semua jerih lelahnya, tak mampu membuat dia menang bertarung melawan maut, yang dengan tega telah merenggut Sondang darinya.Andi dan Bang Sihol membantunya mengganti pakaiannya, seperti yang dulu juga pernah dikerjakan Sondang, saat Idris sedang sakit. Mereka juga membantunya pergi ke toilet, sebab kakinya terlalu goyah untuk bisa berjalan sendiri. Lalu setelah semuanya selesai, Andi menyelimutinya dengan selimut tebal b
Hari sangat cerah, ketika Sondang akhirnya ‘pergi’. Hari itu hari Sabtu, hanya beberapa hari setelah Sondang menerima Perjamuan Kudusnya. Di taman rumah sakit, burung-burung ramai bernyanyi, di pohon-pohon yang tumbuh besar dan rindang. Anak-anak kecil terlihat riuh berlari-larian, tanpa pernah tahu, ketika mereka sedang tertawa menikmati kehidupan, Sondang sedang melintasi lembah mautnya. Saat itu, semua yang mengasihinya, menjeritkan namanya dengan sisa air mata yang masih ada. Mama sudah terduduk lemah di kursi, setelah lelah meratap sambil memeluk anak bungsunya yang mendahuluinya pulang. Dia tak mengerti, mengapa bukan dirinya yang sudah tua ini saja, yang dipanggil pulang. Mengapa Sondang yang masih muda, yang sedang akan memulai kebahagiaanya dengan Idris, harus dihentikan langkahnya dengan tiba-tiba seperti ini. Dia telah berulang kali berkata dalam doanya: “Angkatlah penyakitnya, pindahkan kepadaku.” Tapi ternyata, kehendaknya, tidak sama dengan kehendak Pemilik Kehidup
Siapa yang tak akan marah, dan sakit hati, jika rencana yang sudah disusun rapi, hancur dalam sekejap mata? Sondang merasa sakit hati pada Penciptanya. Dia merasa dilupakan, tak dipedulikan. “Aku tak dapat beriman padaMu,” bisik Sondang dalam kemarahannya. Namun ketika dia sangat putus asa, dia tetap kembali menaikkan doa. “Aku bukan seseorang yang istimewa, bukan orang yang berguna untuk orang lain. Tapi setidaknya, aku berusaha membuat diriku, tak menjadi beban bagi orang lain. Bolehkah aku hidup lebih lama lagi, dan menikmati kebahagiaan bersama Idris?” Marah dan sedihnya, akhirnya menjadi bagian yang berganti-ganti mengisi perasaannya. Dia bahkan telah kehilangan kemampuannya untuk tersenyum. Ketika Mama datang, dan duduk di sampingnya, sambil menyanyikan dengan lembut, lagu-lagu dari ‘Buku Ende’, dia justru merasa semakin terpuruk di dalam sakit hati yang mendalam terhadap semuanya. Dilihatnya kerut-kerut wajah Mama, tanda dari tahun-tahun yang banyak dan berat, yang suda
Meski sudah berlatih untuk tidak menangis, air mata Sondang tetap saja tumpah, ketika Idris datang di hari Sabtu sore. Usai mengusap air matanya, tatapannya menyusuri wajah lelah Idris, dan menemukan kemurungan di sana, yang tak mampu disembunyikan oleh senyuman. Begitu Idris datang, Mama yang sejak tadi pagi menjaga Sondang, memutuskan untuk pulang dulu. Friska juga menunda kedatangannya, memberi waktu bagi mereka berdua untuk saling berbicara. Tapi Sondang tak punya kata-kata untuk dibicarakan. Kesedihan mengatupkan mulutnya, membuat kata-kata hanya diam dalam pikiran. “Bagaimana keadaanmu, Ndang?” tanya Idris lembut, sambil mengelus jemari Sondang. Sondang menggigit bibirnya, berjuang agar air matanya tak lagi jatuh. Tanpa Sondang harus menjawabpun, Idris pasti sudah dapat menebak keadaannya sekarang. Mata dan kulitnya yang semula hanya pucat, sekarang mulai terlihat menguning. Tidak terlalu kuning, tapi pasti tak akan luput dari mata Idris yang selalu teliti. Dia juga pasti
Ketika sedang bersalam-salaman usai kebaktian minggu, Pendeta bertanya pada Sondang, tentang kesehatannya. Di ujung perbincangan mereka, Sang Pendeta kemudian berkata, “Tadi saya sudah mengobrol dengan ‘temanmu’. Konseling pranikah kalian, kita tunda sampai kamu sehat dulu, ya.” Sondang bengong sejenak, baru kemudian memahami maksud Pendeta. “Oh, iya.. Seharusnya dimulai hari ini ya, Amang? Jangan Amang, jangan ditunda.. Biar saja hari ini dimulai..” Pendeta memandangnya tak yakin. “Nanti saja, Ndang. Kalau kamu sudah sembuh.” Sondang menggeleng, “Sekarang saja ya, Amang. Mumpung Bang Idris ada juga,” bantahnya dengan suara memohon. Pendeta akhirnya setuju. Dari tempatnya berdiri, Sondang mencari Idris, dan melihatnya sedang mengobrol bersama Andi dan yang lainnya. Sondang menghampirinya dan berkata, “Bang, ke sini sebentar, ya..” Di depan Pendeta yang masih menunggu mereka, Sondang berkata, “Ayo, Bang.. Kita konseling sekarang.” “Tadi kami sudah sepakat menundanya, sampai kam
Kadang-kadang, zaman ketika informasi begitu mudah didapat ini, justru membawa kecemasan baru.Seperti hari ini. Begitu dokter memutuskan untuk melakukan biopsi, beberapa saat kemudian, Idris sudah memperoleh informasi mengenai kemungkinan penyakit Sondang.Itulah penyebabnya, meskipun sepanjang perjalanan menuju Site tadi, dia sudah menangis, air matanya tetap belum lelah turun, ketika dia sudah berada di kamarnya di tengah malam itu.Ditekuknya kaki, bersujud di tepi pembaringan. Dia sangat ketakutan, dan merasa membutuhkan kekuatan melalui doa.Tadi, sekitar jam 9 malam, dia sudah menelepon Friska, yang kembali menunggui Sondang di sana.“Dia sudah tidur, Bang,” kata Friska memberitahu.“Jangan biarkan dia sering-sering memegang teleponnya ya, Fris,” kata Idris meminta tolong. Dia takut kalau seperti dirinya, Sondang juga tergoda untuk mencari tahu mengenai penyakitnya. Dia tak ingin Sondang merasa takut dan akhirnya malah putus asa.“Iya, Bang. Dia menurut, kok. Tadi kan, Abang j
Di IGD, Sondang diperiksa oleh dokter jaga yang memeriksanya beberapa hari lalu. “Apa infeksinya lambungnya makin parah, Dok?” tanya Friska saat dokter memeriksa perut Sondang. Sejak masih di rumah, selain lemas dan mual, Sondang mengeluh perutnya sakit. Dokter perempuan muda tersebut tidak langsung menjawab. Dia masih memeriksa beberapa bagian di perut Sondang dengan tangannya, menekannya di beberapa tempat. Dia juga memeriksa mata, kaki dan tangan Sondang. Entah apa yang dicarinya, Friska dan Idris sama-sama tak tahu. “Iya, lambungnya masih belum sembuh. Tapi saya ingin memastikan , apakah ada kemungkinan penyakit lain. Kita akan melakukan tes fungsi hati,” dokter akhirnya menjawab setelah selesai memeriksa fisik Sondang. “Tes fungsi hati? Apakah dia terkena hepatitis, Dokter?” Idris bertanya dengan cepat. Seorang teman kerjanya pernah bercerita tentang pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi hati, saat sang teman terkena hepatitis. “Saya belum bisa memastikan, Pak. Nanti aka