Sudah sebulan, Idris tidak datang di Sabtu Minggu.
Kata Bang Sihol, Idris sedang ke kantor pusat perusahaan mereka di Jakarta. Andi dan Amelia sibuk mencari-cari dia di gereja. Setiap minggu mereka bertanya kepada Sondang, apakah Bang Idris belum datang?
Sondang merasa terganggu, tapi juga merasa kasihan pada Amelia, yang terlihat jelas menyukai Idris. Selama Idris tidak datang, Amelia terlihat kurang bersemangat, dan kadang-kadang seperti orang berkhayal saja. Tak tega melihat Amelia seperti itu, akhirnya Sondang memberikan nomor telepon Idris kepadanya, walaupun setelah itu dia menyesal, karena memberikan nomor tersebut, sebelum meminta izin kepada orangnya.
Karena itu, buru-buru dikirimnya pesan ke Idris.
'Bang, maaf ya. Tadi tanpa izin Abang, saya bagi nomor telepon Abang ke Amelia.'
Sore, baru ada jawaban.
'Iya, Ndang. Enggak apa-apa.'
Sudah, cuma itu saja jawabannya. Entah dia kesal atau tidak, Son
Tiga minggu setelah Idris sembuh dari sakit, dan kembali ke proyek, akhirnya dia kembali datang ke rumah Sondang di suatu Sabtu malam, dan ikut ke gereja di hari Minggu.Amelia terlihat sangat gembira menyambutnya, dan segera duduk di samping Idris. Andi yang duduk di sebelah Idris, melihat semuanya dengan tersenyum-senyum, di sela-sela percakapannya dengan Friska.Diana yang merasa bahwa jemaat seharusnya hening saat menanti kebaktian dimulai, menatap dengan kesal pada Amelia yang sibuk mengobrol dengan Idris, dan membuat Diana yang duduk di belakang mereka merasa terganggu oleh percakapan mereka. Hanya Sondang yang duduk di samping Friska, yang tak peduli dengan tingkah Amelia. Dia sedang sibuk sendiri dengan pikirannya, yang akhir-akhir ini sedang 'diusik' oleh kehadiran suatu sosok, yang setiap kali teringat, membuat hatinya terasa terasa 'penuh' bunga.Sudah beberapa minggu ini, dia menyadari ada yang tak 'teratur' di denyut jantungnya, se
Ketika Sondang turun ke lantai 1 rumah mereka, untuk berangkat ke pesta ulang tahun Mama Amelia, Justin malah terlihat ada di ruang tamu, tanpa dia tahu kapan datangnya. Dia sedang berbincang bersama Mama, dan Abang. Di samping Justin, Sondang melihat juga Mama Justin. Situasi itu membuat kaki Sondang melemah. Apa lagi sekarang?Sondang tak faham, mengapa Justin tetap saja datang ke sini, meski Sondang sudah menolak tawarannya? Dia memang menyukai Justin, tapi saat ini dia sedang galau, dan dia tak ingin Justin memaksanya untuk menuruti kemauannya sendiri."Halo, Ndang,' Justin menyapanya dengan gembira. Matanya bercahaya gemerlap ditimpa sinar lampu. Dia terlihat tampan mengenakan kemeja kuning polos, membuat kulitnya yang putih terlihat semakin besih. Penampilannya membuat Sondang tak kuasa menolak pesonanya, dan mendadak kehilangan rasa kesalnya."Tadi Mama mengajak aku menjemput Nantulang ke sini. Ternyata mereka sudah janjian untu
Ketika Idris tiba di depan rumah Sondang di Sabtu malam itu, dia melihat sebuah mobil terparkir di dekat pohon Kemuning. Dia tahu mobil siapa itu! Dibukanya gerbang dengan lambat, menunggu gejolak hatinya mereda. Di ruang tamu, dilihatnya Justin sedang duduk sendirian. “Hai, Bang. Baru datang?” tanya Justin ramah ketika melihat Idris. Idris mengangguk, dan tersenyum membalas sapaan Justin. Diambilnya tempat duduk di kursi di depan Justin. “Sudah bertemu Sondang?” Justin mengangguk. “Iya, Bang. Ini baru mengantar dia. Tadi kami pergi ke pantai.” Idris merasa disayat hatinya. Berdua sajakah mereka pergi? “Sondang lagi di dapur. Membuat teh,” Justin menjelaskan, sebelum Idris bertanya. Idris bimbang, akan langsung saja pergi ke kamarnya, atau meneruskan mengobrol dengan Justin. Namun akhirnya, naluri lelakinya yang menang. Dia bertahan duduk di situ, di depan 'saingan'nya. Sambil menunggu Sondang, mereka berdua berbincang tentang klub Bola favorit mereka, dan hobi yang mereka k
Idris merasa lelah karena perasaan cintanya yang tak jua berbalas. Dia telah memaksakan diri untuk pulang ke rumah Sondang di Sabtu malam ini, demi memupus kerinduannya melihat Sondang dan mendengar tawa lepasnya. Namun begitu tiba, kenyataan yang didapatinya malah menghempaskan dia ke dalam realita, bahwa Sondang tidak mencintainya, dan dia telah memilih Justin. Memang sejak awal dia sudah tahu, kecil sekali peluangnya untuk memenangkan hati Sondang. Namun dia tetap bersikeras mencoba, karena terlalu menyedihkan jika dia harus melepaskan Sondang tanpa berbuat apa-apa. Dan setelah mencobanya, barulah dia tahu, sesakit ini ternyata. Melihat perempuan yang dia rindukan malah pergi berdua saja dengan lelaki lain, bagaimana dia tak merasa cemburu? Apa yang dilihatnya malam ini, telah membuatnya sampai pada titik, tak ingin mencoba lagi. Dia lelah, dan ingin kembali kepada kewarasan yang pernah dimilikinya, sebelum dia tenggelam lebih dalam. “Ndang, sudah
Saat melihat sekotak kue dan selembar pesan di atasnya, Sondang refleks menitikkan air mata. Meski keluarga mereka sangat akrab, tapi bagi mereka, ulang tahun bukan suatu peristiwa yang perlu dirayakan secara khusus. “Cukup berdoa saja,” itu kata Ayahnya sejak dulu. Karena itu, mendapat kue ulang tahun yang khusus diberikan untuknya, ternyata menjadi pengalaman yang mengharukan. Dia tahu, kue itu dari Idris, karena dia pernah melihat tulisannya, yang terlihat rapi dan kecil-kecil, ketika mereka sedang duduk bersebelahan di gereja. Yang membuatnya tak percaya adalah, Idris yang sejak tadi malam membuatnya kesal, karena seolah menghindarinya, ternyata malah menyiapkan kue ulang tahun buat dia. Semalam, begitu Idris mengatakan tidak ikut dengannya ke gereja, Sondang merasa kecewa. Lalu pagi-pagi tadi, Idris tak kunjung turun, meski dia sudah sengaja berlama-lama menunggunya di bawah. Sondang tahu, bahwa ini terasa aneh dan konyol, sebab Idris kan, bukan siapa-siapa baginya. Tapi inila
Ketika Idris mendaki tangga menuju lantai 2 rumah Sondang di Rabu malam itu, dari arah kamar Sondang, dia mendengar suaranya menyanyikan perlahan ‘Somewhere Over The Rainbow.’ Suaranya cukup jernih, dan seperti ke luar dari hati. Idris berhenti lama di ujung anak tangga menuju lantai 3, agar Sondang atau penghuni lain rumah itu, tak melihatnya menguping. Ternyata di hari kerja seperti ini, Sondang mengisi malamnya dengan bernyanyi-nyanyi. Idris datang untuk menginap di rumah Sondang malam itu. Sehari sebelumnya, seorang pekerja proyek mengalami kecelakaan kerja. Tidak parah, tapi cukup untuk membuatnya harus dirawat di rumah sakit di kota ini. Mereka sudah membuat laporannya ke Disnaker dan BPJSTK. Dan menjelang sore, dia berangkat dari Site, untuk melihat keadaan karyawan tersebut di rumah sakit. Sebenarnya, dia bisa langsung pulang ke tempat kerjanya, sebab hari masih jam 7 malam ketika dia ke luar dari rumah sakit. Tapi kerinduan pada
Akhir pekan itu, Idris tak kunjung datang. Sondang mengira, dia akan datang di Sabtu malam, seperti minggu sebelumnya, tapi ternyata itu tak terjadi.Pulang latihan koor di jam setengah sepuluh malam, dan hanya menemukan 'kekosongan' di bawah Pohon Jambu Air, membuat Sondang semakin merasa lesu. Dia lalu tidur dengan muram, dan tak merasa terhibur, meskipun Friska mengiriminya pesan teks, bahwa dia akan ikut ke rumah Sondang besok sepulang gereja. Dibiarkannya saja pesan itu tak terbalas, dan merelakan dirinya mendengarkan protes dari Friska besok.Pagi itu, dengan rasa lesu, dia menaiki motor ungunya menuju gereja. Di jalan ke luar ‘kampung’, tiba-tiba dia merasa melihat mobil yang dikenalnya, melaju lambat menuju dia. Ketika kaca mobil tersebut hampir sempurna membuka, dia melihat Idris berteriak memanggilnya:“Ndang, kita berangkat bareng aja!”Sondang bagai mendengar darahnya berbunyi ‘serr,serr’ saat
Sudah setengah jam lebih dia menunggu di Café ini, ketika Justin akhirnya datang.Tadi jam 12 siang, Justin tiba-tiba mengiriminya pesan, mengajak bertemu, jam 5 sore. Awalnya Sondang ingin menolak, karena belum siap untuk memberikan jawab kepada Justin. Tapi kemudian hatinya berkata, bahwa akan lebih baik, jika apa yang menjadi urusannya dengan Justin, diselesaikan lebih cepat.“Maaf ya, Ndang. Aku terlambat. Tadi waktu mau pulang, tiba-tiba Atasanku telepon, minta bantuan menyelesaikan satu pekerjaan,” kata Justin begitu dia hadir di depan Sondang.Sondang mengangguk. Dia percaya Justin tidak berbohong, sebab dia sudah kenal Justin sejak masih kecil dulu. Lurus dan tak pernah berbelit-belit saat bicara.Dilihatnya Justin yang selalu tampan dengan kulit putihnya dan rambut lurus rapi dibelah samping. Bajunya selalu saja rapi, bahkan ketika dia memakai kaos, tak pernah dia melihat Justin tampil berantakan. Sejak dulu,
“Hai, Ndang.. Selamat pagi,” sapa Idris ketika akhirnya langkahnya tiba di makam Sondang. Diletakkannya bunga mawar dan krisan putih, di dekat tulisan nama Sondang. Dirabanya nama tersebut dengan hati-hati, seolah dia sedang menyentuh rambut Sondang, seperti dulu. Dia tahu, Sondang tak ada di situ. Hanya tubuhnya yang tertinggal, perlahan-lahan sedang kembali menjadi tanah. Namun, hatinya begitu rindu untuk menyapa Sondang, dan untuk mengobrol dengan dia. “Pabriknya sudah selesai. Jadi aku akan pulang ke Jakarta besok,” katanya lagi, sambil menggigit bibirnya, menahan jatuhnya air mata. Tak ada jawaban apa-apa. Hanya ada teriakan anak-anak kecil yang bermain layang-layang, di sekitar pemakaman. "Harusnya kau ikut pulang bersamaku, kan?" Pada akhirnya Idris menangis. Rencananya untuk membawa Sondang, tinggal di rumah yang telah dipersiapkan Idris, kandas sudah. Sondang memilih berumah di seberang langit, tempat di mana Idris tak bisa mendatanginya. Idris menutup matanya. Dia sud
Usai acara penghiburan yang memang memancing kesedihan, Idris, Friska, Andi, dan keluarga Sondang duduk di ruang tengah. Friska sekarang tinggal di rumah itu, atas permintaan Mama. Menempati kamar Sondang dulu. Meski semua sangat rindu pada Sondang, namun sepanjang mereka mengobrol, tak seorangpun yang menyebut-nyebut nama Sondang, atau membicarakan kenangan tentang dia. Semua saling menjaga, sebab semua masih terluka hatinya. Masih perlu sangat banyak waktu, untuk membuat mereka sembuh. Namun, ketika Idris sudah naik ke kamarnya, bersama Andi yang ikut menginap, tiba-tiba Friska datang menemui mereka. Dia membawa sebuah tas, dan meletakkannya di atas meja di depan tempat tidur Idris. Di atas meja itu, juga ada foto Sondang dengan topi kelincinya. “Bang, aku bukan mau membuat Abang teringat-ingat Sondang. Aku hanya mau menyampaikan titipan Sondang untuk Abang.” Idris menenangkan hatinya sebentar, lalu membuka tas tersebut. Di bagian paling atas, ditemukannya selembar kertas
“Dris, bangunlah,” sebuah suara samar-samar terdengar memanggil namanya. Dibukanya mata, dan terlihat Bang Sihol di sisinya. Friska dan Andi juga ada di situ.Ternyata Idris sakit. Andi mencarinya ke kamar, setelah Idris tak kunjung menjawab teleponnya. Dan di situ, dilihatnya Idris berbaring dengan tubuh menggigil kedinginan, sambil mendekap erat songket hijau - jingga, di dadanya. Dia demam tinggi, mungkin karena terlalu lelah batin dan raganya. Menunggui Sondang setiap hari di rumah sakit, membuat tubuhnya akhirnya kalah. Dan kekalahan itu semakin telak, ketika semua jerih lelahnya, tak mampu membuat dia menang bertarung melawan maut, yang dengan tega telah merenggut Sondang darinya.Andi dan Bang Sihol membantunya mengganti pakaiannya, seperti yang dulu juga pernah dikerjakan Sondang, saat Idris sedang sakit. Mereka juga membantunya pergi ke toilet, sebab kakinya terlalu goyah untuk bisa berjalan sendiri. Lalu setelah semuanya selesai, Andi menyelimutinya dengan selimut tebal b
Hari sangat cerah, ketika Sondang akhirnya ‘pergi’. Hari itu hari Sabtu, hanya beberapa hari setelah Sondang menerima Perjamuan Kudusnya. Di taman rumah sakit, burung-burung ramai bernyanyi, di pohon-pohon yang tumbuh besar dan rindang. Anak-anak kecil terlihat riuh berlari-larian, tanpa pernah tahu, ketika mereka sedang tertawa menikmati kehidupan, Sondang sedang melintasi lembah mautnya. Saat itu, semua yang mengasihinya, menjeritkan namanya dengan sisa air mata yang masih ada. Mama sudah terduduk lemah di kursi, setelah lelah meratap sambil memeluk anak bungsunya yang mendahuluinya pulang. Dia tak mengerti, mengapa bukan dirinya yang sudah tua ini saja, yang dipanggil pulang. Mengapa Sondang yang masih muda, yang sedang akan memulai kebahagiaanya dengan Idris, harus dihentikan langkahnya dengan tiba-tiba seperti ini. Dia telah berulang kali berkata dalam doanya: “Angkatlah penyakitnya, pindahkan kepadaku.” Tapi ternyata, kehendaknya, tidak sama dengan kehendak Pemilik Kehidup
Siapa yang tak akan marah, dan sakit hati, jika rencana yang sudah disusun rapi, hancur dalam sekejap mata? Sondang merasa sakit hati pada Penciptanya. Dia merasa dilupakan, tak dipedulikan. “Aku tak dapat beriman padaMu,” bisik Sondang dalam kemarahannya. Namun ketika dia sangat putus asa, dia tetap kembali menaikkan doa. “Aku bukan seseorang yang istimewa, bukan orang yang berguna untuk orang lain. Tapi setidaknya, aku berusaha membuat diriku, tak menjadi beban bagi orang lain. Bolehkah aku hidup lebih lama lagi, dan menikmati kebahagiaan bersama Idris?” Marah dan sedihnya, akhirnya menjadi bagian yang berganti-ganti mengisi perasaannya. Dia bahkan telah kehilangan kemampuannya untuk tersenyum. Ketika Mama datang, dan duduk di sampingnya, sambil menyanyikan dengan lembut, lagu-lagu dari ‘Buku Ende’, dia justru merasa semakin terpuruk di dalam sakit hati yang mendalam terhadap semuanya. Dilihatnya kerut-kerut wajah Mama, tanda dari tahun-tahun yang banyak dan berat, yang suda
Meski sudah berlatih untuk tidak menangis, air mata Sondang tetap saja tumpah, ketika Idris datang di hari Sabtu sore. Usai mengusap air matanya, tatapannya menyusuri wajah lelah Idris, dan menemukan kemurungan di sana, yang tak mampu disembunyikan oleh senyuman. Begitu Idris datang, Mama yang sejak tadi pagi menjaga Sondang, memutuskan untuk pulang dulu. Friska juga menunda kedatangannya, memberi waktu bagi mereka berdua untuk saling berbicara. Tapi Sondang tak punya kata-kata untuk dibicarakan. Kesedihan mengatupkan mulutnya, membuat kata-kata hanya diam dalam pikiran. “Bagaimana keadaanmu, Ndang?” tanya Idris lembut, sambil mengelus jemari Sondang. Sondang menggigit bibirnya, berjuang agar air matanya tak lagi jatuh. Tanpa Sondang harus menjawabpun, Idris pasti sudah dapat menebak keadaannya sekarang. Mata dan kulitnya yang semula hanya pucat, sekarang mulai terlihat menguning. Tidak terlalu kuning, tapi pasti tak akan luput dari mata Idris yang selalu teliti. Dia juga pasti
Ketika sedang bersalam-salaman usai kebaktian minggu, Pendeta bertanya pada Sondang, tentang kesehatannya. Di ujung perbincangan mereka, Sang Pendeta kemudian berkata, “Tadi saya sudah mengobrol dengan ‘temanmu’. Konseling pranikah kalian, kita tunda sampai kamu sehat dulu, ya.” Sondang bengong sejenak, baru kemudian memahami maksud Pendeta. “Oh, iya.. Seharusnya dimulai hari ini ya, Amang? Jangan Amang, jangan ditunda.. Biar saja hari ini dimulai..” Pendeta memandangnya tak yakin. “Nanti saja, Ndang. Kalau kamu sudah sembuh.” Sondang menggeleng, “Sekarang saja ya, Amang. Mumpung Bang Idris ada juga,” bantahnya dengan suara memohon. Pendeta akhirnya setuju. Dari tempatnya berdiri, Sondang mencari Idris, dan melihatnya sedang mengobrol bersama Andi dan yang lainnya. Sondang menghampirinya dan berkata, “Bang, ke sini sebentar, ya..” Di depan Pendeta yang masih menunggu mereka, Sondang berkata, “Ayo, Bang.. Kita konseling sekarang.” “Tadi kami sudah sepakat menundanya, sampai kam
Kadang-kadang, zaman ketika informasi begitu mudah didapat ini, justru membawa kecemasan baru.Seperti hari ini. Begitu dokter memutuskan untuk melakukan biopsi, beberapa saat kemudian, Idris sudah memperoleh informasi mengenai kemungkinan penyakit Sondang.Itulah penyebabnya, meskipun sepanjang perjalanan menuju Site tadi, dia sudah menangis, air matanya tetap belum lelah turun, ketika dia sudah berada di kamarnya di tengah malam itu.Ditekuknya kaki, bersujud di tepi pembaringan. Dia sangat ketakutan, dan merasa membutuhkan kekuatan melalui doa.Tadi, sekitar jam 9 malam, dia sudah menelepon Friska, yang kembali menunggui Sondang di sana.“Dia sudah tidur, Bang,” kata Friska memberitahu.“Jangan biarkan dia sering-sering memegang teleponnya ya, Fris,” kata Idris meminta tolong. Dia takut kalau seperti dirinya, Sondang juga tergoda untuk mencari tahu mengenai penyakitnya. Dia tak ingin Sondang merasa takut dan akhirnya malah putus asa.“Iya, Bang. Dia menurut, kok. Tadi kan, Abang j
Di IGD, Sondang diperiksa oleh dokter jaga yang memeriksanya beberapa hari lalu. “Apa infeksinya lambungnya makin parah, Dok?” tanya Friska saat dokter memeriksa perut Sondang. Sejak masih di rumah, selain lemas dan mual, Sondang mengeluh perutnya sakit. Dokter perempuan muda tersebut tidak langsung menjawab. Dia masih memeriksa beberapa bagian di perut Sondang dengan tangannya, menekannya di beberapa tempat. Dia juga memeriksa mata, kaki dan tangan Sondang. Entah apa yang dicarinya, Friska dan Idris sama-sama tak tahu. “Iya, lambungnya masih belum sembuh. Tapi saya ingin memastikan , apakah ada kemungkinan penyakit lain. Kita akan melakukan tes fungsi hati,” dokter akhirnya menjawab setelah selesai memeriksa fisik Sondang. “Tes fungsi hati? Apakah dia terkena hepatitis, Dokter?” Idris bertanya dengan cepat. Seorang teman kerjanya pernah bercerita tentang pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi hati, saat sang teman terkena hepatitis. “Saya belum bisa memastikan, Pak. Nanti aka