'Mampukah aku?' Hanya pertanyaan ini yang tiba-tiba muncul di dalam benakku."Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu?" tanya Ibu padaku."Seratus persen Laura yakin, Bu. Toh, Mas Alif bisa bahagia tanpa harus ada Laura di sisinya," ucapku pada Ibu.Ibu hanya mengangguk."Ayo kita sarapan dulu, nanti kamu sakit. Ibu sudah memasak makanan kesukaanmu," ucap Ibu.Aku bergegas menyelesaikan kegiatanku, lalu berjalan beriringan bersama Ibu."Apa Tiara sudah bangun, Bu?" tanyaku pada Ibu."Sudah. Dia tadi membantu Bi Narti untuk memasak." Ibu mengamit lenganku.Aku lalu membuka pintu kamar.Dan tiba-tiba sosok seseorang yang kubenci terjatuh tepat setelah pintu terbuka."Aduh ...." Terdengar suaranya yang kesakitan."Ngapain kamu?!" bentak Ibu padanya."Nguping ya, wah mau saya potong telinga kamu!" bentak Ibu kembali.Aku hanya menatap wanita itu dengan raut wajah datar."S-saya ...." Ucapannya menggantung di udara."Nggak punya adab kamu ya! Pergi kamu dari rumah ini!" teriak Ibu, tunjukn
"Aduh." Refleks kata itu yang keluar."Maaf, Mbak. Saya sengaja," ucapnya yang membuat mataku melotot.Sebentar, aku seperti kenal suara ini, batinku.Aku mendongak menatap seseorang yang berada di depanku. Mataku terbuka dengan sempurna saat menatapnya. Tak menyangka bisa bertemu dengan dia lagi.Tangannya terulur, berniat membantuku.Senyumnya benar-benar membuatku ingin menjitak kepalanya. Senyum tak berdosa."Kamu lagi, kamu lagi. Ngapain kamu di sini," ucapku setelah berdiri sambil berkacak pinggang. Kutatap dia dengan garang, bukannya takut dia malah mengejekku."Mbak lagi, Mbak lagi. Mbak mau teriak-teriak lagi ya di sini. Teriak gih, biar saya temanin." Dia melihat ke arah pantai."Enak saja, nggak lah. Justru saya cari udara segar, tapi waktu ketemu kamu sesak nafas saya jadinya." Aku mencabik kesal."Masa, buktinya nafas Mbak masih turun naik dengan santai nggak ngos-ngosan," ucapnya yang membuat aku menahan kesal. Bisa-bisanya bocah ini membuatku kesal."Halah, kamu ngapain
'Laura! Pulang kamu sekarang, jangan membangkang. Saya tunggu kamu di rumah!' bentak Mas Alif dengan suara yang menggelegar.Sampai-sampai suaranya terdengar juga oleh Ibu di sebelahku.Telepon dimatikan secara sepihak olehnya. Sepertinya Mas Alif benar-benar marah padaku.Tak ada lagi sifat lembutnya, bahkan dia memanggil namaku, tanpa awalan 'Dek'.Bulir bening membasahi pipiku."Tenang, Nak. Ada Ibu di sini," ucap Ibu sambil mengusap punggungku.Kuseka bulir bening yang mengalir dengan kasar.Dengan rasa yang berkecamuk, kuhidupkan kembali mesin mobil.Dan bergegas untuk sampai ke rumah. Ingin melihat apa yang akan dilakukan Mas Alif padaku.Tanpa sadar, mobil kulajukan dengan kecepatan tinggi.Hingga suara teriakkan menyadarkanku."Laura! Sadar, di dalam mobil bukan hanya satu nyawa!" bentak Tiara diiringi dengan teriakan yang melengking.Aku lalu mengerem mobil secara mendadak, dan mengucap istighfar berkali-kali."Jangan begini, Lau! Kamu bisa saja mencelakai orang yang berada
Hancur sudah hidupku.Seseorang yang benar-benar begitu berarti, perlahan ingin pergi. Aku menyesal. Aku benar-benar sangat menyesal.Aku tau bahwa di sini akulah yang mempunyai andil paling besar untuk menyakiti. Aku juga tau semuanya terjadi karena aku yang memulai lebih awal. Kupatahkan hatinya berkali-kali tanpa rasa iba sedikit pun.Jujur, tak pernah terpikirkan olehku. Bahwa akhirnya, pernikahan yang sudah terjalin selama lima tahun, sebentar lagi di ambang kehancuran.Tak bisa!Aku tak sanggup, jika harus mengingat hal itu. Ini menyakitkan, aku tak ingin cintaku berakhir dengan sangat memilukan. Aku mencintai dia, Laura begitu pun sebaliknya. Aku tahu pasti Laura juga masih sangat mencintaiku. Bagaimana pun caranya, aku harus bisa mempertahankan pernikahan ini. Apapun itu, aku akan tetap mempertahankannya. Tak peduli konsekuensi apa yang ke depan nanti akan kuterima.Kuusap bulir bening yang berada di pelupuk mata yang ingin terjun bebas. Aku merasakan sesak yang mendalam di
Entah apa yang terjadi, aku sama sekali tak ingat.Rasanya saat itu, Debi memintaku tinggal sebentar. Lalu memberikan minuman sebelum aku pergi. Setelah itu aku tak ingat apapun lagi."Mas, kamu sudah bangun?" Suara Debi mengagetkanku.Aku menatapnya yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi.Astaga, apakah aku melakukannya sesuatu padanya tadi malam, pikirku."Deb ... apa kita?" tanyaku menggantung di udara. Tak sanggup rasanya melanjutkan pertanyaan ini padanya."Kenapa, Mas?" Ia bertanya balik padaku. Terlihat kulitnya yang mulus.Debi yang berdiri dengan balutan handuk di tubuhnya, membuatku bergidik ngeri membayangkan apa yang terjadi.Walaupun kami sudah sah, entahlah aku tak berniat sedikitpun menyentuhnya."Kenapa aku bisa berada di kamar ini, apa kita tidur bersama?" tanyaku tak sabaran."Kamu ini bicara apa, Mas. Bukankah tadi malam, kamu sendiri yang meminta untuk menginap di rumahku. Dikarenakan, hari yang mulai malam," ucapnya diiringi kekehan kecil."Apa benar begitu?
"Terima kasih, Mas. Kamu sudah mau menerimaku."Aku terdiam mematung, langkahku terhenti tepat di belakang Mas Alif.Duniaku seakan runtuh, harapan yang awalnya muncul sedikit demi sedikit sekarang hancur berkeping-keping. Mungkin tak akan ada.lagi kata kembali di antara kami berdua.Ucapan Debi benar-benar membuatku diam tak berkutik. Tak percaya begitu cepatnya Mas Alif mencintai Debi. Membagi hatinya dengan perempuan lain, rasanya ini seperti mimpiku di siang bolong Secepat itukah Mas Alif melupakanku, hanya dalam waktu sehari Debi berhasil membuat Mas Alif jatuh dalam pelukannya.Mataku mulai berkaca-kaca, kubiarkan bulir bening saling berjatuhan membasahi pipiku."Sudah, ya." Suara Mas Alif berhasil membuyarkan lamunan panjangku.Lagi-lagi pemandangan yang menyakitkan terpatri tepat di depanku. Belaian lembut pada rambut Debi seakan-akan memberitahukan, bahwa inilah saatnya aku mundur. Inilah saatnya aku tak boleh berharap apa-apa lagi pada hubungan rumah tangga kami.Mas Alif l
"Sakit, dia sudah kasar. Ayahmu saja tak pernah memperlakukanmu begini. Cinta boleh, bodoh jangan!" tegas Ibu.yang tak terima putri satu-satunya disakiti.Ia lalu berdiri, dan meninggalkanku yang terpaku mencerna ucapannya."Benar kata Ibu, Lau. Jika hanya kamu yang berjuang, cinta juga tetap akan menghilang." Tiara memegang bahuku. Hanya dia sosok yang selalu ada selama ini. Selama aku didera oleh masalah."Apa aku bodoh, Ra?" tanyaku sambil menatapnya. Aku merasa sangat tak berguna karena sampai sekarang masih tak bisa menghaluskan rasa cintaku pada dirinya "Hampir," ucap Tiara diiringi kekehan kecil."Kamu hanya akan melukai hati Ibu saja. Ayahmu juga akan terluka, jika melihat putri kesayangannya dihancurkan berkeping-keping," ucap Tiara lagi.Tok ... tok ... tok ....Terdengar bunyi pintu yang diketuk dari luar."Biar aku yang buka," ucap Tiara."Kalo Mas Alif, suruh dia pulang saja ya, Ra." Aku menatapnya dengan sayu.Tiara mengangguk, sambil menampilkan senyumnya.Aku mengambi
Seminggu setelah kedatangan Mama mertua ke rumah, aku mulai menjalankan segala rencana yang dari awal sudah kusiapkan.Mulai dari rencana perceraian yang sudah kuurus dengan sedetail mungkin, dibantu oleh Tiara, sahabatku.Dan hari ini, aku berencana untuk melaporkan Mas Alif pada atasannya.Tentang pernikahan yang dilaksanakan olehnya secara diam-diam, yang apabila kusebarkan bukan hanya Mas Alif dan Deby yang hancur. Namun, perusahaan tempatnya bekerja pun akan di-cap buruk. Sebenarnya tak tega, hanya saja dia harus menerima semua yang dia perbuat. Aku tak mungkin membiarkannya bahagia di atas penderitaanku.Enak saja, mereka tertawa sedangkan aku menangis tersiksa.Beberapa hari yang lalu, Mas Alif selalu menghubungiku. Ia bahkan sering mengunjungi rumah yang kutempati, tetapi selalu kuusir. Aku tak ingin lagi bertemu dengannya, hatiku sudah mati rasa.Sampai-sampai aku bosan dengan apa yang dilakukannya, dan berujung memblokir seluruh akses medsosnya. Menurutku ini adalah salah
Aku terdiam tatkala Ibu mengungkapkan kekhawatirannya pada Laura. Aku merasakan sedih saat Ibu masih tak dapat memberikan kepercayaannya lagi padaku.Ya, aku sadar luka hati Laura begitu besar. Sikap dan perbuatanku dulu memang tak akan mungkin terlupakan. Aku juga tak ada niatan untuk melakukan pembelaan terhadap diriku sendiri.Kutatap manik mata milik Laura yang sudah basah, bergantian dengan Ibu yang juga terlihat berkaca-kaca. Karenaku, sebuah keluarga mengalami pertengkaran hebat. Karena kehadiranku, mereka tak seharmonis dahulu."Ibu hanya khawatir Laura, Ibu takut kamu tersakiti lagi. Ibu masih belum yakin Alif bisa berubah seperti yang kamu harapkan." Dari awal memang aku memilih untuk diam, mendengarkan pembicaraan antara Ibu dan anak. Masih tak berani ikut berbicara takut menambah keadaan semakin memburuk."Tak perlu mengkhawatirkan Laura, Bu. Mas Alif sudah menjadi sosok suami yang bertanggung jawab. Mas Alif sudah benar-benar berubah, Bu, dia sudah tak lagi mengambil peke
"Bu," tegurku saat mendengar Ibu seperti sedang memojokkan Mas Alif."Laura, Ibu seperti ini karena Ibu tidak ingin kamu merasakan sakit kembali. Ibu tak ingin kejadian yang lalu terulang lagi, cukup sekali saja dia berkhianat dan membuat kamu seperti mayat hidup.""Dari awal memang Ibu kurang setuju jika kamu harus berbalikan dengan Alif, tapi saat melihat binar di matamu. Ibu jadi tidak tega jika harus menghalangimu untuk bersama dengannya. Kamu harus mengerti, Laura, semua yang Ibu lakukan murni untuk kebaikan kamu untuk kebahagiaan kamu dan juga Reyhan. Kalo kalian jauh dari Ibu, Ibu tak bisa memantau rumah tangga kalian, Ibu juga tidak bisa mengawasi Alif lagi." Ucapan membuatku membeku seketika. Pertanyaan demi pertanyaan berputar dalam pikiran.Mengapa?Hanya satu kata yang menimbulkan banyak tanya, mengapa Ibu menjadi berubah, ke mana sosok ibuku yang begitu lembut dahulu. Sosok Ibu yang tak pernah menilai seseorang dari masalalu mereka. Mengapa Ibu seperti sosok yang tak bisa
"Dek, tadi Mami ada menghubungiku," ucap Alif saat sedang menikmati masakan milik istrinya. Sedangkan Laura sibuk mengurus Reyhan yang berlarian ke sana kemari."Oh ya, Masyaa Allah kangen banget aku sama Mami. Gimana kabar Mami sekarang, Mas, udah lama kita nggak ketemu sama beliau," kata Laura pada Alif. Ia lalu berjalan mendekati Alif dengan Reyhan dalam gendongannya."Alhamdulillah baik, Dek. Tapi Mami tadi ada ngomong sesuatu sama, Mas. Mami nyuruh Mas untuk pulang ke B******. Katanya kita disuruh ngurus butik yang dahulu di kelola sama Almarhum Mama. Tapi kalo Adek nggak mau, ya nggak papa. Mas nggak bisa maksa juga, Mas nggak mau kalo Adek nggak nyaman nantinya di sana." Alif berbicara langsung tanpa menunggu jawaban dari Laura. Alif hanya takut Laura tak mau pergi meninggalkan rumah yang penuh kenangan bersama dengannya dan juga pastinya Laura akan berjauhan dengan Ayah dan Ibunya.Sedangkan Laura dia nampak terdiam. Lalu setelahnya menatap Alif dengan wajah tersenyum. "Kata
"Mas, mau langsung berangkat kerja, nggak sarapan dulu?" tanya Laura saat melihat Alif yang buru-buru karena bangun kesiangan."Mas langsung berangkat saja ya, Sayang, takut telat. Nanti kalo kamu mau datang aja ke kantor aku ya, ajak Reyhan sekalian. Kapan lagi kan kamu ke kantor aku," ucap Alif sambil memakai sepatunya."Iya, nanti aku ke kantor kamu ya, Mas. Oh ya, mau dibawain apa bekal siang nanti?" tanya Laura lagi sambil mendekat pada sang suami."Apa saja, masakan kamu selalu pas di lidah aku. Jadi apapun itu pasti akan aku makan, termasuk kamunya." Alif langsung tertawa ketika mendapat pelototan tajam dari Laura."Udah, jangan kebanyakan gombal. Lihat tuh udah jam berapa," ucap Laura sambil menggandeng tangan Reyhan dan juga mengamit lengan kekar sang suami."Aku berangkat kerja dulu ya, Sayang. Kamu hati-hati di rumah, jangan terlalu kerja yang berat-berat nanti capek," ucap Alif begitu perhatian pada Laura."Iya, kamu juga, ya, hati-hati di jalan. Jangan ngebut pokoknya kal
"Kamu yakin ingin kembali dengan Alif, Lau?" Tiara tiba-tiba masuk ke dalam ruangan Laura.Bukan hal mudah, apalagi Tiara juga termasuk orang yang ikut dalam kisah hidup Laura. Sosok yang juga ikut serta jatuh bangun bersama dengan Laura."Seminggu lagi hari pernikahanmu dan Alif, Lau. Rasanya aku tak menyangka kau kembali lagi pada seseorang yang sudah membuatmu terluka dahulu.""Jujur, aku sebagai seorang sahabat seperti merasa tak rela sahabatku jatuh ke lubang yang sama. Aku takut dia akan mengulangi kesalahannya lagi.""Tiara, aku meminta banyak terima kasih padamu, karena selalu ada untukku. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat dan juga Kakak Ipar sepertimu. Doakan yang terbaik untuk adik iparmu ini. Walau rasanya, ini seperti dejavu. Aku juga tak menyangka akan jatuh cinta kembali pada Mas Alif." Laura memegang tangan sang sahabat, dia menatap Tiara dengan rasa sayang yang dalam. Tiara sendiri langsung memeluk Laura. Air matanya menetes begitu saja, antara rasa tak rela dan ju
Debi terduduk di pinggir jalan, ia menenangkan pikirannya terlebih dahulu. Lalu memutuskan untuk pergi ke tempat penginapan berbekal uang seadanya.Debi ingin mengakhiri hidupnya, akan tetapi teringat bahwa dia memilih melakukan tindakan b*d*h itu agar dirinya tetap hidup.Jadi Debi memutuskan untuk mengistirahatkan pikiran terlebih dahulu, selanjutnya baru ia akan memikirkan tahap selanjutnya.Debi bersyukur polisi tak ada mencarinya, itu artinya mereka tak melaporkan kasus kepada pihak berwajib.Setelah seminggu menghilang, Debi merasakan badannya sering kelelahan, saat malam badannya berkeringat. Selain itu berat badannya pun menurun dan sering mengalami sakit kepala.Jadi Debi memutuskan untuk memeriksa kondisinya ke rumah sakit.****"Lu nggak apa-apa, kan?" tanya Ningsih melihat Ressa yang terbaring lemah di ranjang."Gue baik-baik aja," jawab Ressa. Matanya menatap kosong."Gue ngerasa bersalah sama dia, gue terlalu jauh membuatnya sengsara," ucap Ressa tanpa sadar mengeluarkan
Ia benar-benar menyesal dan merasa bersalah karena menjadi penyebab hancurnya keharmonisan rumah tangga orang lain.Dan sekarang Debi mulai terbiasa dengan pekerjaannya, bukan terbiasa tapi terpaksa. Ia harus jatuh ke dalam lembah dosa yang ke sekian kalinya."Maafkan aku, Mas Alif," ujarnya melemah. Debi lalu menghapus jejak air mata dan langsung masuk untuk melakukan pekerjaan yang tak halal itu kembali.****Setelah selesai, Debi lalu pulang bersama dengan Ressa. Mereka berdua pergi ke kontrakan milik Ressa, di sana sudah ada Ningsih dan juga temannya yang lain."Bagi hasil lagi nih kita," ujar Ningsih sambil tertawa.Debi hanya diam, lalu melangkahkan kaki untuk pergi."Mau ke mana lu?" tanya Ressa dengan nada tak enak."Mandi," jawab Debi ketus."Oh, oke, jangan lama-lama. Nggak gue bagi jatah lu entar," ancam Ressa.Debi tak memedulikan ancaman dari Ressa, ia tetap melanjutkan langkah dengan pikiran yang kosong."Gue lihat-lihat tuh anak makin ngelunjak, Res," ujar Ningsih."Iye,
***Setengah tahun sudah berlalu, selama itu juga Alif dan Laura tak pernah bertemu. Tak dipungkiri rasa rindu di hati mereka berdua masih sama.Namun mereka sendiri bingung, bagaimana cara menumpahkan rasa rindu itu. Padahal jelas-jelas mereka berdua tak bersama lagi.Kembali?Tak mungkin, menurut mereka hubungan mereka sudah berakhir sejak lama. Sejak Alif memutuskan untuk mendua. Hari ini Alif harus menarik pelanggan kembali, setelah beberapa bulan itu. Sebenarnya ia bisa saja berhenti bekerja begitu. Dia harusnya pulang ke tempat mamanya, dan mengelola butik yang tersisa.Namun Alif tak mau, dia masih bertekad untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri. Tabungannya sekarang pun sudah lumayan untuk membeli rumah, walaupun tak terlalu besar. Tapi setidaknya bisa dijadikan tempat untuk tinggal.Ia berhasil membeli rumah sendiri dengan hasil kerja kerasnya saat menjadi buruh bangunan.Tak berapa lama, ia lalu menjemput pelanggannya."Mas ke hotel ***, ya," ujar seseorang yang s
"Laura!" panggil Tiara pada Laura. Tiara mihat Laura yang dari tadi melamun. Ia pikir Laura masih teringat kejadian yang membuatnya merasa takut."Eh." Laura tersentak kaget, lalu menghapus air matanya."Ada apa, Ra?" tanya Laura pada Tiara.Tiara menatap lama mata Laura."Maaf, Lau. Aku benar-benar minta maaf karena sudah datang terlambat," ujar Tiara penuh penyesalan. Ia merasa bersalah karena sudah memperkenalkan Yoga pada Laura.Bahkan merasa sangat berdosa karena menyuruh Yoga untuk perlahan-lahan mendekati Laura."Hey, ini bukan salahmu, Ra. Mungkin itu adalah alur yang diciptakan Tuhan dalam hidupku. Anggap saja sebagai pelajaran, bahwa aku tak boleh terlalu percaya dengan orang yang baru saja dikenal," jawab Laura sambil memegang tangan Tiara.Tiara segera membawa Laura dalam pelukannya."Jika terjadi apa-apa lagi padamu. Aku akan secepatnya datang untuk melindungimu," ujar Tiara lagi. Ia memegang telapak tangan Laura dengan lembut. "Aku sama sekali tak tahu mengapa Yoga sepe