Kalau udah aku tulis, nanti langsung aku update lagi :P
Perlahan kedua kelopak mata Luna mulai terbuka, kepalanya sedikit berdenyut efek dari obat bius yang sempat membuatnya tidak sadarkan diri beberapa saat lalu. Ketika ia sadar, matanya langsung melihat langit-langit kamar yang asing.Ini bukan tempat tinggal Jacob.Jantung Luna berdetak kencang. Tubuhnya refleks bangkit dari tempat tidur, dan dengan nafas memburu, ia segera berlari ke arah pintu. Tangannya bergetar saat memutar knop pintu, namun harapannya runtuh dalam sekejap, pintu itu terkunci.“Tidak... tidak, tidak!” bisiknya panik. Jemarinya berulang kali menarik dan mendorong gagang pintu, namun tetap tak membuahkan hasil. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Dimana dirinya sekarang? Siapa yang membawanya ke sini?Tiba-tiba, sebuah suara yang dingin dan penuh ancaman bergema di belakangnya."Pada akhirnya kau tidak bisa melarikan diri dariku terus-menerus, Luna."Darah Luna seakan berhenti mengalir. Tubuhnya membeku di tempat. Ia tidak perlu berbalik untuk tahu siapa pemil
Luna tahu dia terjebak. Melarikan diri dari Leah bukanlah perkara mudah, terlebih wanita itu sudah mengetahui tentang hubungannya dengan Jacob dan Hazel. Rasa takutnya semakin bertambah, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang dekat dengannya. Jika Leah tahu lebih banyak, bukan tidak mungkin Jacob dan Hazel akan ikut terseret dalam masalah ini.Untuk saat ini, Luna hanya bisa bertahan. Berusaha menekan keinginannya untuk kabur, meskipun setiap nalurinya berteriak untuk segera melarikan diri.Namun, ada satu hal yang masih membuatnya sulit percaya.Selama ini, ia selalu bertanya-tanya. Mengapa Leah tetap mempertahankannya saat tahu bahwa bayi yang dikandungnya adalah seorang perempuan? Mengapa ia tidak langsung membuangnya seperti sampah sejak awal, jika memang tak pernah menginginkannya?Jawabannya kini begitu jelas dan begitu mengerikan.Refleks, Luna menyentuh dadanya. Di balik tulang rusuknya, di balik kulit dan dagingnya, tersembunyi satu-satunya hal
Luna memang tidak diikat atau disiksa seperti yang ia bayangkan saat pertama kali bertemu ibunya, tetapi justru itulah yang membuatnya semakin tidak tenang. Setiap kali matanya menangkap sosok Leah, ketakutan dalam dirinya semakin menguat. Seolah-olah kapan saja, wanita itu bisa melakukan sesuatu yang menghidupkan kembali ingatan mengerikan di masa lalu.Di sofa, Leah tampak asyik membaca sebuah majalah, tetapi tiba-tiba, brak! dengan kasar, ia melemparkan majalah itu ke meja.Luna langsung bereaksi. Refleks, kedua tangannya terangkat, bersiap menerima pukulan yang tidak pernah ia harapkan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Leah bahkan tidak meliriknya. Wanita itu hanya berdiri dan berjalan menuju pintu.Luna menatap pintu itu dengan waspada. Siapa yang datang?Ketika pintu terbuka, seorang pria masuk. Luna mengenali wajah itu, namun juga tidak sepenuhnya yakin kalau ia kenal dengan pria tersebut."Aku masih belum bisa menghubungi Keith," ujar pria itu dengan nada penuh kekhawatir
Saat dokter memeriksa kondisi Luna, gadis itu hanya duduk diam, matanya terus mengawasi Leah dengan tatapan penuh kekecewaan dan ketakutan. Wanita yang seharusnya menjadi pelindungnya, sosok yang ia harapkan penuh kasih sayang, ternyata hanya melihatnya sebagai alat untuk memperpanjang hidupnya.Luna merasa tak berdaya. Ia tahu melawan Leah hanya akan memperburuk keadaan. Lebih dari itu, ketakutannya bukan hanya untuk dirinya sendiri, ia cemas jika Leah benar-benar akan menyakiti Hazel dan Jacob."Kondisinya sehat, tidak ada masalah serius," ucap dokter setelah selesai memeriksa Luna.Leah mengangguk pelan, lalu berbisik sesuatu pada dokter sebelum mereka berdua keluar ruangan, meninggalkan Luna sendirian. Ruangan itu terasa semakin sempit dan mencekam. Tak lama, Leah kembali dengan senyum licik yang membuat bulu kuduk Luna meremang.Saat mereka berjalan keluar dari rumah sakit, Luna memberanikan diri bertanya dengan suara lirih, "Kapan ibu akan mengambilnya dariku?"Leah berhenti seje
Pintu apartemen baru saja terkunci dengan suara yang menggema, menandakan akhir dari situasi menegangkan yang Luna hadapi beberapa waktu lalu. Sementara Leah dengan senyum kemenangan, menatap punggung Luna dari samping. Matanya berbinar dengan ekspresi kepuasan menghiasi wajahnya."Pilihan yang bagus, Luna. Jika kau nekat ikut dengan pria tadi, kau akan menyesal seumur hidup," ucap Leah dengan nada yang dingin namun penuh ancaman. Tanpa menunggu respons, ia melangkah melewati Luna, meninggalkan aroma parfumnya yang menusuk, menuju kamarnya sendiri.Sementara itu, Luna masih berdiri di tempat, kedua tangannya mengepal erat, kukunya nyaris melukai telapak tangannya sendiri. Langkahnya gontai menuju sofa, tubuhnya terasa begitu berat, seakan bumi menariknya ke bawah. Ia pun terjatuh ke sofa, mencoba menenangkan diri, namun dadanya terasa sesak, seperti ada beban yang tak terlihat menindihnya.Ia tahu, Jacob pasti kecewa. Ekspresi kaget dan sedih di wajahnya saat ia menolak ajakannya masih
Lima hari telah berlalu sejak Keith menghilang tanpa kabar. Leah yang biasanya tenang dan penuh kendali, mulai kehilangan kesabarannya. Setiap kali ia mencoba menghubungi Keith, yang ia dapat hanyalah nada sambung yang tak kunjung diangkat. Gadis itu seolah lenyap ditelan bumi, meninggalkan Leah tanpa petunjuk apa pun.Saat Leah sibuk menekan-nekan ponselnya, mencoba sekali lagi untuk menghubungi Keith, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Eric muncul dengan wajah yang dipenuhi kekesalan, berdiri di ambang pintu."Kau sudah bisa menghubunginya?" tanyanya, suaranya kasar dan penuh desakan.Leah menoleh, matanya menyipit. "Putrimu tampaknya lupa bahwa dia harus berpura-pura. Sekarang dia mengabaikan panggilan dariku," ujarnya dengan nada kesal. "Sebelum Keith tidak bisa dihubungi seperti sekarang, anak buahku melihatnya berbelanja barang mewah. Dia mungkin sedang asyik menghabiskan uang Russel."Eric berkacak pinggang, nafasnya berat seperti sedang menahan amarah. "Bagaimana ka
Suasana terasa lebih tegang dari apa yang Leah bayangkan, Russel sudah menjemput Luna? Itu artinya Russel sudah tau Luna yang asli, dan ini sangat berbahaya baginya karena jika Russel berhasil membawa Luna, maka kesempatan untuk proses transplantasi jantung antara ia dan perempuan itu bisa saja gagal.Leah menatap Russel dengan serius, kemudian terkekeh sekedar untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa pria itu hanya menggertaknya, meski sebenarnya kekhawatiran mulai menggerogoti pikirannya."Menjemput Luna? Kau pikir kau tahu di mana gadis itu sekarang? Aku takkan pernah menyerahkannya padamu," ujarnya, suaranya tegas namun terdengar sedikit cemas.Di sisi lain, Russel tampak tenang. Matanya melirik ke arah Nico, yang langsung mengangguk paham. Nico kemudian menoleh ke salah satu anak buahnya yang sedang memegangi Keith. "Bawa perempuan ini kembali ke tempat semula," perintahnya dingin.Keith memberontak, wajahnya memerah karena marah dan ketakutan. "Lepaskan aku! Aku tidak tahu apa-apa
Saat matahari mulai merangkak turun, langit berubah menjadi kanvas jingga keemasan yang memancarkan kehangatan terakhir sebelum malam tiba. Maci berdiri di ambang pintu, matanya tertuju pada Luna yang sedang asyik di halaman belakang. Gadis itu tampak sibuk mengamati para kelinci yang jumlahnya semakin banyak sejak ia pergi beberapa bulan lalu. Suara tawa kecil Luna sesekali terdengar, seperti lonceng kecil yang berdering di tengah keheningan pulau.Maci menghela nafas, lalu berbalik menghampiri Jacob yang sedang sibuk mengisi bahan bakar helikopternya. Pria itu terlihat fokus, tapi Maci tahu, inilah saat yang tepat untuk bertanya."Tuan Muda, bisakah kita bicara sebentar?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh ketegasan.Jacob menoleh, matanya yang biasanya dingin kini terlihat lebih santai. Ia mengangguk, lalu mengajak Maci ke sudut yang lebih sepi, jauh dari jangkauan telinga yang tak diinginkan. Maci berdiri tegak, menarik nafas panjang sebelum memberanikan diri menatap Jacob."Aku
Hari yang dinantikan itu akhirnya tiba, hari pernikahan yang telah lama mereka perjuangkan. Halaman belakang rumah Jacob kini telah berubah menjadi taman kecil penuh kehangatan. Rangkaian bunga putih dan emas menjuntai indah di setiap sudut, kursi-kursi tamu tersusun rapi, dan langit biru seolah memberkati segala hal yang akan terjadi hari ini.Tak ada keramaian mewah, tak ada kilatan media. Hanya keluarga, orang-orang yang ikut meramaikan pesta pernikahan sederhana tersebut. Sebuah pesta kecil yang hangat, seperti yang Jacob dan Luna impikan.Jacob duduk di kursi rodanya, mengenakan tuksedo hitam yang disesuaikan dengan elegan. Tatapannya sesekali melayang ke arah pintu rumah yang masih tertutup rapat. Di balik pintu itu, mungkin saja Luna tengah bersiap. Dan sebentar lagi, pintu itu akan terbuka… membiarkannya melihat sosok perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.Jantung Jacob berdebar tak karuan. Ia bukan pria yang mudah gugup, namun hari ini berbeda. Di balik senyum te
Beberapa jam telah berlalu sejak panggilan tak terduga dari Russel. Kini, Luna dan Jacob tengah duduk berdampingan di dalam mobil yang perlahan melaju memasuki kawasan rumah keluarga Calderon. Gerbang utama terbuka otomatis, memperlihatkan jalanan beraspal mulus yang membentang panjang, diapit pepohonan tinggi dan taman yang tertata rapi.Luna menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Mobil terus melaju, tapi pikirannya seolah terhenti di masa lalu, masa di mana rumah itu tak pernah benar-benar terasa seperti rumah baginya. Butuh hampir sekitar sepuluh menit bagi kendaraan itu untuk sampai ke pintu utama, dan tiap detik terasa seperti perjalanan menyusuri kenangan yang tak selalu menyenangkan.Mobil akhirnya berhenti di depan anak tangga marmer yang megah. Luna turun lebih dulu, mengenakan gaun sederhana berwarna pastel, lalu berbalik melihat Jacob yang sedang dibantu keluar oleh asistennya. Namun sebelum asistennya sempat mendorong kursi roda Jacob, sosok yang tak asing tiba-ti
Keesokan paginya, rumah Jacob tampak lebih sibuk dari biasanya. Ia telah mengatur seseorang untuk membawakan beberapa model gaun pengantin untuk Luna. Waktu mereka memang terbatas, tak cukup untuk membuat desain gaun dari nol. Tapi Jacob memastikan satu hal, gaun itu tetap harus pas dan spesial, disesuaikan dengan bentuk tubuh Luna yang mungil, sebelum kehamilannya mulai mengubah segalanya.Jacob ingin mempercepat hari pernikahan, bukan karena terburu-buru, melainkan agar Luna bisa merasakan momen indah menjadi seorang mempelai wanita sepenuhnya, tanpa harus menunggu hingga bayinya lahir.Kali ini, Jacob menolak mengadakan pesta besar seperti dulu. Ia masih dibayangi trauma atas insiden yang merenggut kebahagiaannya di masa lalu. Ia menginginkan sebuah pemberkatan sederhana di halaman belakang rumah, di antara keluarga dan orang-orang yang benar-benar mereka cintai.Satu per satu gaun dicoba. Luna keluar dari kamar mengenakan gaun pertamanya. Mata Jacob mengamati seksama, gaun itu mema
Mobil hitam itu akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan bergaya klasik. Dengan penuh kehati-hatian, asisten pribadi Jacob mendorong kursi rodanya masuk ke dalam. Di sebuah ruangan luas namun terasa sepi, Russel telah menunggu. Begitu pintu tertutup, hawa ruangan seketika berubah tegang, seolah udara pun ikut menahan nafas.Jacob mengangkat tangannya, memberi isyarat pada asistennya untuk pergi. Ia ingin bicara tanpa perantara, hanya ia dan Russel.Tak ada sapaan. Tak ada basa-basi. Hanya tatapan tajam yang saling bersilangan di antara mereka.Hingga akhirnya, Jacob yang pertama kali memecah keheningan. Suaranya tenang, namun ada ketegasan yang tak bisa disangkal."Aku rasa, Anda sudah tahu alasan kedatanganku ke sini."Russel menatapnya dalam-dalam. Jacob bisa merasakan beratnya tatapan itu, sebuah penolakan yang belum diucapkan, sebuah pertarungan harga diri yang tak terlihat."Ya," jawab Russel akhirnya, suaranya dalam dan berat. "Aku sudah tahu segalanya tentang dirimu dan Luna.
Jacob jadi kepikiran dengan apa yang Nico katakan, namun ia mencoba untuk mengenyahkan hal itu karena mulai hari ini ia akan mulai menyiapkan pernikahannya dengan Luna."Jadi... kau benar-benar akan menikah dengan Luna minggu depan?" tanya Nico sekali lagi, memastikan dengan nada setengah tak percaya.Jacob mengangguk, kali ini dengan ketegasan yang tak bisa digoyahkan. "Aku serius," jawabnya mantap.Nico tampak berpikir sejenak, lalu berkata, "Kalau begitu, kau harus membujuk ayahku. Kau tahu betapa besarnya kebenciannya padamu."Jacob tersenyum tipis, seolah semua kebencian Russel sudah menjadi bagian dari masa lalu yang tak lagi menakutkannya. "Aku tahu. Tapi itu urusanku. Kau tak perlu memikirkannya."Nico hanya mengangguk, kemudian matanya mencari-cari sosok lain di sekitar ruangan. "Aku ingin bicara dengan Luna," katanya, dan tanpa menunggu jawaban, ia beranjak pergi meninggalkan Jacob.Melihat itu, Jacob pun segera meraih ponselnya dan menghubungi seseorangSementara itu, di si
Rumah Jacob kembali sunyi setelah kepergian Hazel dan ketiga anak Deon. Riuh tawa yang tadi memenuhi setiap sudut kini tinggal kenangan samar di dinding. Hanya ada Luna dan Jacob yang duduk berdekatan di sofa ruang tamu, dalam diam yang terasa asing namun nyaman. Sisa tawa dan langkah kaki yang hilang, tergantikan oleh suara alam malam dan detak pelan waktu.Selama lima belas menit mereka hanya duduk, membiarkan keheningan menjadi jeda dari semua keramaian yang tadi terjadi. Hingga akhirnya, suara pelan Luna memecah sunyi itu."Apakah kau benar-benar serius ingin melangsungkan pernikahan secepat itu?"Jacob menoleh padanya, lalu mengangguk mantap. “Ini waktu yang paling tepat. Sebelum musim gugur datang dan hari-hari menjadi lebih dingin. Aku ingin kita mengikat janji sebelum daun-daun berguguran.” Suaranya tenang, penuh keyakinan. “Dan jangan khawatir soal persiapannya, aku akan urus semuanya. Kita akan buat pesta kecil saja di halaman belakang, sederhana, tapi hangat, bersama keluar
Malam pertama Jacob di rumah barunya berubah menjadi lebih riuh dari yang ia bayangkan. Bukan karena pesta besar atau acara formal, tapi karena kehadiran empat perempuan yang membuat suasana jadi ramai, ketiga anak Deon dan tentu saja Hazel yang tidak pernah kekurangan energi.Setelah makan malam, mereka semua menghilang ke dalam salah satu kamar. Jacob sempat hendak ikut masuk, penasaran dengan apa yang terjadi, tapi niatnya langsung dipatahkan oleh ucapan tajam dari anak bungsu Deon.“Tidak boleh masuk! Ini area terlarang untuk laki-laki malam ini!” serunya sambil menutup pintu dengan dramatis.Di dalam kamar, suasana jauh dari tenang. Diana si paling cerewet, sedang memandangi rambut Luna dengan penuh semangat.“Kau pernah potong rambut sebelumnya?” tanyanya sambil memegang ujung rambut Luna yang nyaris menyentuh pinggang.Luna tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Hampir satu tahun sejak terakhir kali aku memotong rambutku, dulu rambutku sebatas leher."“Astaga, kau pasti kelihatan ma
Setelah melewati hari-hari panjang di rumah sakit, akhirnya Jacob bisa kembali pulang. Tapi kali ini, bukan ke apartemen lamanya di tengah kota, melainkan ke sebuah rumah yang selama ini hanya ia lihat dari kejauhan, rumah yang pernah ia beli, namun belum sempat ia tinggali. Lokasinya tenang, jauh dari hiruk pikuk kota, berdiri megah di tepi danau kecil dengan udara yang segar dan suasana yang mendamaikan.Mobil berhenti tepat di depan rumah. Dua penjaga pribadi segera sigap membantu Jacob turun dari kursi mobil dan membawanya ke kursi roda yang telah disiapkan. Tak ada pilihan lain, kakinya belum mampu menopang tubuhnya sendiri. Kali ini, Jacob benar-benar harus bergantung pada bantuan orang lain."Ini… di mana?" tanya Luna sambil menatap ke sekeliling, kagum oleh keindahan alam yang membingkai rumah tersebut.Jacob menoleh ke arahnya. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Ini rumahku. Aku membelinya bertahun-tahun lalu, tapi belum pernah tinggal di sini. Dulu kupikir, tempat ini akan m
Kabar bahwa Jacob telah siuman menyebar secepat cahaya dan sampai ke telinga Luna tepat saat senja menutup hari. Setelah lima belas hari penuh doa, penantian, dan ketidakpastian, akhirnya hari yang ia nantikan datang juga. Hari ketika dua kabar besar mengisi hatinya, kehamilannya... dan kembalinya Jacob dari ambang batas kesadaran.Namun, kebahagiaan itu tak bisa sepenuhnya ia ungkapkan. Hazel sempat menyarankan agar kabar tentang kehamilan Luna tidak langsung disampaikan kepada Jacob. Pria itu baru saja sadar, tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Rasa bahagia yang terlalu intens bisa saja menjadi tekanan baru. Maka, mereka sepakat untuk menunda dua hari saja. Dua hari sebelum kabar tentang dua jiwa kecil di dalam tubuh Luna sampai ke telinga Jacob.Luna duduk di sisi ranjang Jacob, jemarinya menggenggam tangan kekasihnya dengan lembut, seolah tak ingin melepaskannya lagi."Aku senang akhirnya kau sadar setelah tidur selama lima belas hari," bisiknya dengan suara penuh haru.Jacob tak bisa