Hai, aku kembali~ Terima kasih untuk doa baiknya dan selamat membaca :)
Lima hari telah berlalu sejak Keith menghilang tanpa kabar. Leah yang biasanya tenang dan penuh kendali, mulai kehilangan kesabarannya. Setiap kali ia mencoba menghubungi Keith, yang ia dapat hanyalah nada sambung yang tak kunjung diangkat. Gadis itu seolah lenyap ditelan bumi, meninggalkan Leah tanpa petunjuk apa pun.Saat Leah sibuk menekan-nekan ponselnya, mencoba sekali lagi untuk menghubungi Keith, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Eric muncul dengan wajah yang dipenuhi kekesalan, berdiri di ambang pintu."Kau sudah bisa menghubunginya?" tanyanya, suaranya kasar dan penuh desakan.Leah menoleh, matanya menyipit. "Putrimu tampaknya lupa bahwa dia harus berpura-pura. Sekarang dia mengabaikan panggilan dariku," ujarnya dengan nada kesal. "Sebelum Keith tidak bisa dihubungi seperti sekarang, anak buahku melihatnya berbelanja barang mewah. Dia mungkin sedang asyik menghabiskan uang Russel."Eric berkacak pinggang, nafasnya berat seperti sedang menahan amarah. "Bagaimana ka
Suasana terasa lebih tegang dari apa yang Leah bayangkan, Russel sudah menjemput Luna? Itu artinya Russel sudah tau Luna yang asli, dan ini sangat berbahaya baginya karena jika Russel berhasil membawa Luna, maka kesempatan untuk proses transplantasi jantung antara ia dan perempuan itu bisa saja gagal.Leah menatap Russel dengan serius, kemudian terkekeh sekedar untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa pria itu hanya menggertaknya, meski sebenarnya kekhawatiran mulai menggerogoti pikirannya."Menjemput Luna? Kau pikir kau tahu di mana gadis itu sekarang? Aku takkan pernah menyerahkannya padamu," ujarnya, suaranya tegas namun terdengar sedikit cemas.Di sisi lain, Russel tampak tenang. Matanya melirik ke arah Nico, yang langsung mengangguk paham. Nico kemudian menoleh ke salah satu anak buahnya yang sedang memegangi Keith. "Bawa perempuan ini kembali ke tempat semula," perintahnya dingin.Keith memberontak, wajahnya memerah karena marah dan ketakutan. "Lepaskan aku! Aku tidak tahu apa-apa
Saat matahari mulai merangkak turun, langit berubah menjadi kanvas jingga keemasan yang memancarkan kehangatan terakhir sebelum malam tiba. Maci berdiri di ambang pintu, matanya tertuju pada Luna yang sedang asyik di halaman belakang. Gadis itu tampak sibuk mengamati para kelinci yang jumlahnya semakin banyak sejak ia pergi beberapa bulan lalu. Suara tawa kecil Luna sesekali terdengar, seperti lonceng kecil yang berdering di tengah keheningan pulau.Maci menghela nafas, lalu berbalik menghampiri Jacob yang sedang sibuk mengisi bahan bakar helikopternya. Pria itu terlihat fokus, tapi Maci tahu, inilah saat yang tepat untuk bertanya."Tuan Muda, bisakah kita bicara sebentar?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh ketegasan.Jacob menoleh, matanya yang biasanya dingin kini terlihat lebih santai. Ia mengangguk, lalu mengajak Maci ke sudut yang lebih sepi, jauh dari jangkauan telinga yang tak diinginkan. Maci berdiri tegak, menarik nafas panjang sebelum memberanikan diri menatap Jacob."Aku
Malam telah merangkul pulau itu dengan selimut kegelapan, hanya diterangi oleh cahaya bulan purnama yang memantul lembut di antara dedaunan pohon-pohon tinggi. Suasana sepi, hanya dipecahkan oleh suara gemericik air terjun kecil yang mengalir ke kolam alami di tengah hutan.Tempat ini adalah salah satu spot favorit Luna, terutama saat musim panas. Tapi malam ini, kolam itu menyimpan kenangan lain, kenangan yang membuat Jacob tersenyum kecil saat bayangan pertama kali ia tak sengaja melihat Luna tanpa busana terpantul di air jernih itu."Kau ingin berenang?" tanya Luna, suaranya lembut, memecah keheningan.Jacob menoleh, matanya menatap Luna dengan senyum tipis. Ia meletakkan ponselnya di atas batu besar di tepi kolam. "Sudah lama aku tidak berenang di sini," ujarnya, sambil melepaskan bajunya perlahan. "Dan besok aku harus kembali ke kota. Jadi, tidak ada alasan untuk menyia-nyiakan kesempatan."Luna mengerutkan kening, "Tapi, sekarang masih cukup dingin." Jacob hanya tersenyum, tak p
Hari mulai merangkak pagi, cahaya lembut menyelinap melalui celah tirai, menyapu perlahan suasana kamar Jacob yang sunyi. Hening. Hanya dua tubuh yang saling berpelukan, membagi kehangatan yang seolah melawan dinginnya pagi. Udara terasa diam, seakan ikut menahan nafas, menyaksikan momen intim yang terjalin antara mereka.Luna sudah bangun lebih awal. Matanya yang teduh namun penuh perasaan menatap wajah Jacob yang masih terlelap. Nafasnya pria itu teratur, tenang, seakan dunia di luar tak mampu mengusik ketenangannya.Jacob mungkin lelah setelah mengurus segala masalah Luna yang belum ada ujungnya, tapi pria ini tetap setia di sisinya. Meski lelah menyelimuti pikirannya, Jacob tak pernah berhenti menjadi sandaran bagi Luna. Kesetiaannya seperti angin sepoi-sepoi yang selalu menemani, meski tak terlihat, namun terasa.Cahaya pagi menyinari ujung hidung mancung Jacob, dan tanpa sadar, jari-jari Luna meraihnya, menyentuh lembut. Sentuhan itu seperti mengukir kenangan, mengingatkan Luna b
Helikopter baru saja mendarat dengan suara mesin yang menderu perlahan, baling-balingnya berputar pelan sebelum akhirnya berhenti. Jacob bahkan belum sempat benar-benar turun dari kabin saat matanya menangkap sosok Hazel yang sudah berdiri di pintu masuk, wajahnya tegang dan penuh dengan kecemasan. Tanpa berpikir panjang, Jacob segera menyerahkan kendali helikopter pada anak buahnya dan setengah berlari menghampiri adiknya itu."Bagaimana kau tahu aku tiba?" tanya Jacob, suaranya penuh rasa penasaran, tapi juga ada sedikit kekhawatiran yang terselip di balik nada bicaranya.Hazel tak langsung menjawab. Alih-alih, ia langsung menyerahkan iPad ke tangan Jacob. Wajahnya serius, seolah tak ada waktu untuk basa-basi."Leah membuat masalah," ucap Hazel dengan suara datar namun tegas. "Dia mencuri data perusahaan tanpa kita ketahui. Sekarang, perusahaan kita dalam masalah besar jika file yang dia curi itu sampai jatuh ke tangan orang yang salah."Jacob tertegun sejenak, matanya membesar. Tan
Perkelahian berlangsung sengit, tinju dan tendangan saling berhamburan di udara yang tegang. Jacob dengan sigap, berusaha melindungi Hazel dari serangan yang datang bertubi-tubi. Beberapa kali dia terkena pukulan, tapi dia tak peduli.Tubuhnya bergerak lincah, menghalau serangan demi serangan, meski nafasnya mulai terengah-engah. Di sisi lain, Hazel tak kalah tangguh. Dengan gerakan yang terlatih, dia berhasil menjatuhkan satu lawan dengan tendangan yang tepat sasaran.Setelah pertarungan yang melelahkan, akhirnya ketiga penyerang itu tumbang. Mereka terkapar di tanah, mengerang kesakitan sebelum akhirnya memutuskan untuk melarikan diri, meninggalkan Jacob dan Hazel yang masih berdiri dengan nafas tersengal-sengal."Kau tidak terluka, kan?" tanya Jacob, matanya penuh kekhawatiran saat melihat Hazel.Hazel menggeleng, sambil menerima tasnya kembali yang diambilkan Jacob. "Aku baik-baik saja. Tapi menurutmu, apa mereka suruhan Leah?"Jacob menghela nafas, matanya masih waspada memindai s
Suasana di dalam apartemen Leah terasa begitu mencekam, seperti udara yang dipenuhi oleh awan gelap sebelum badai. Leah duduk di sofa, tubuhnya membungkuk, kedua tangannya mencengkram rambutnya dengan erat.Kepalanya menunduk, wajahnya dipenuhi oleh frustasi yang tak terbendung. Seharusnya, dalam waktu dekat ini, dia sudah bisa mendapatkan apa yang dia incar selama bertahun-tahun. Tapi sekali lagi, Luna yang sudah hampir ada di genggamannya lepas begitu saja."Jacob sialan!" teriak Leah tiba-tiba, suaranya memecah keheningan ruangan. Tangannya meninju meja di depannya, membuat gelas yang ada di atasnya bergetar. "Ini semua gara-gara dia!"Eric yang baru saja muncul dari kamar, langsung terdiam di tempatnya. Matanya memperhatikan Leah yang sejak kemarin terlihat seperti orang yang kehilangan akal sehat. Wajahnya yang biasanya dingin dan penuh perhitungan, kini berubah menjadi liar, penuh emosi yang tak terkendali."Kau terlalu sembrono, Leah," ucap Eric dengan suara datar, meski ada sed
Jacob baru saja tiba di apartemennya, tubuhnya terasa berat seperti membawa beban yang tak terlihat. Ia langsung terjatuh ke sofa, menghembuskan nafas panjang sambil tersenyum kecil.“Rasanya aku sedang menyembunyikan harta karun yang diincar oleh banyak orang,” gumamnya, mencoba mencairkan suasana dalam pikirannya sendiri. Tapi senyum itu tidak bertahan lama. Detik berikutnya, ia terdiam, bahunya bersandar ke belakang sementara kepalanya setengah mendongak, menatap langit-langit apartemen yang kosong.Pikirannya melayang ke Luna. Saat ini, ia hanya bisa mempercayakan Luna pada Hazel. Tapi satu hal yang tak bisa ia lupakan, ia hanya punya waktu satu bulan untuk menyelesaikan semua masalah ini. Tekanan itu terasa begitu berat, seperti batu besar yang menindih dadanya.Jacob menyentuh keningnya, memijatnya perlahan. Bukan perusahaan yang ia khawatirkan, ia yakin bisa mengatasi itu. Yang membuatnya gelisah adalah Luna. Ia harus memastikan bahwa Russel tidak akan menemukan keberadaan gadi
Suasana persaingan semakin memanas, tiada hari tanpa kesibukan yang menguras tenaga dan pikiran. Sudah tiga hari berlalu sejak Jacob membawa Luna menjauh dari cengkeraman Russel Calderon. Tiga hari yang penuh dengan ketegangan, di mana setiap langkah Jacob selalu diawasi oleh mata-mata yang dikirim oleh Russel. Jacob tahu betul bahwa ia harus berhati-hati, setiap gerak-geriknya bisa menjadi bumerang yang membahayakan Luna.Di dalam ruang kerjanya yang megah, Jacob sibuk mengurus tumpukan dokumen yang berserakan di atas meja. Tangannya bergerak cepat, matanya fokus pada setiap detail yang tertulis di sana. Namun, ketenangan itu tiba-tiba pecah ketika pintu ruangannya terbuka dengan keras. Ayahnya masuk dengan langkah yang penuh wibawa. Wajahnya keras, tatapannya tajam seperti pedang yang siap menghunus.“Ada yang ingin aku bicarakan padamu,” ucap Dustin, suaranya berat dan penuh otoritas.Jacob yang langsung paham arti di balik kalimat itu, segera menghentikan pekerjaannya. Ia bangkit
Di sebuah tempat yang jauh dari keramaian kota New York, di mana alam masih begitu liar dan tak tersentuh oleh hiruk-pikuk kehidupan modern, terdapat sebuah rumah kecil yang tersembunyi di tengah hutan lebat. Pohon-pohon tinggi menjulang, seolah menjadi penjaga alami bagi tempat itu.Tak jauh dari rumah, sebuah sungai mengalir dengan air yang jernih, menciptakan suara gemericik yang menenangkan. Namun, ketenangan alam itu tidak sepenuhnya mampu menenangkan hati Luna, yang saat ini duduk di atas batu besar di pinggir sungai, pandangannya kosong menatap air yang mengalir.Hazel keluar dari rumah, matanya langsung mencari Luna. Ia melihat gadis itu duduk sendirian, terlihat seperti tenggelam dalam lamunan yang dalam. Perlahan Hazel mendekat, langkahnya pelan agar tidak mengganggu ketenangan Luna. Ia memperhatikan Luna dengan penuh perhatian. Menjadi seseorang yang diperebutkan seperti ini pastilah tidak menyenangkan. Luna hanya menginginkan kebebasan, tapi orang-orang di sekitarnya terlal
Hari sudah semakin larut, langit malam dipenuhi bintang-bintang yang seolah menjadi saksi bisu dari segala kejadian yang sedang berlangsung. Jacob bangkit dari duduknya, tubuhnya terlihat tegap meski kelelahan terpancar dari sorot matanya. Ia mengulurkan tangannya ke arah Luna, mengajak gadis itu untuk berdiri. Tanpa ragu, Luna menerima tangan Jacob, dan mereka pun berdiri saling berhadapan, tatapan mereka saling bertaut dalam keheningan yang penuh makna. “Aku tidak ingin menjadi beban untukmu,” ucap Luna, suaranya lirih namun sarat dengan emosi. Sorot matanya menunjukkan kebingungan yang mendalam, pertarungan batin antara rasa cintanya pada Jacob dan kekhawatirannya akan perseteruan sengit antara Jacob dan Russel yang tak kunjung usai. Tapi, Jacob dengan tenang hanya tersenyum lembut. Tangannya terulur, membelai rambut Luna dengan penuh kelembutan. “Sama sekali tidak,” katanya, suaranya tegas namun hangat. “Aku tidak pernah menganggap dirimu sebagai beban sejak pertama kali kita be
Beberapa saat sebelumnya, suasana tegang sudah mulai terasa. Setelah Nico menjauh dari Luna, ponsel Luna bergetar singkat. Sebuah pesan dari Jacob muncul di layar, “Dimana posisimu?” tanyanya singkat, namun penuh urgensi.Luna dengan jantung berdebar kencang, segera menghubungi Jacob sambil berjalan menjauh. Begitu telepon tersambung, suara Jacob yang tegas langsung terdengar. “Luna, kau di sebelah mana?”“Aku ada di lantai tiga,” jawab Luna dengan suara cemas, matanya terus melirik ke sekeliling, takut ketahuan oleh siapa pun.“Sekarang ikuti arahanku. Keluar melalui tangga darurat. Aku akan menunggu di bawah,” perintah Jacob dengan nada yang tidak bisa ditawar.Luna mengangguk, meskipun Jacob tidak bisa melihatnya. Ia segera mematikan panggilan, tapi langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat Russel dan George keluar dari ruangan tempat pertemuan mereka berlangsung. Luna mundur perlahan, bersembunyi di balik dinding, menunggu kedua pria tua itu pergi. Detak jantungnya semakin kencang
Di depan cermin besar yang memantulkan cahaya redup kamarnya, Luna berdiri tegak, mengenakan dress hitam tanpa lengan yang sederhana namun elegan. Dress itu sengaja ia pilih tidak terlalu formal atau ketat agar ia bisa bergerak leluasa, terutama jika situasi memaksanya untuk berpacu dengan waktu.Detak jantungnya masih berdegup kencang, seperti drum yang dipukul tak beraturan. Pikirannya melayang pada Jacob. Ia khawatir, sangat khawatir, kalau-kalau Russel akan mengetahui niat Jacob. Jika itu terjadi, Jacob bisa berada dalam masalah."Aku sepertinya sangat egois," batin Luna, menatap bayangannya sendiri di cermin. Matanya menyiratkan konflik batin yang mendalam. Di satu sisi, ia tidak ingin menjerumuskan Jacob ke dalam masalah. Disisi lain, ia juga tidak ingin dipaksa menjalani hidup dengan seseorang yang bahkan tidak ia kenal, apalagi dijodohkan tanpa persetujuannya.Tiba-tiba, suara langkah kaki yang tegas memecah kesunyian. Russel muncul di balik pintu, wajahnya seperti biasa, dingi
Setelah Nolan mengantarkannya ke depan ruangan Russel, Luna mengambil nafas dalam-dalam sebelum melangkahkan kakinya. Ruangan itu terasa megah dan berwibawa, dipenuhi dengan aroma kayu mahoni yang segar dan elegan. Meja kaca besar terpajang di pinggir ruangan, sementara Russel duduk di baliknya, bersandar di kursi kulit hitam yang terlihat sangat mahal. Saat melihat Luna masuk, Russel langsung bangkit dari kursinya, wajahnya dihiasi senyum ramah yang membuat Luna merasa sedikit tidak nyaman."Kau sudah datang," ucap Russel, suaranya hangat tapi ada sesuatu di baliknya yang membuat Luna waspada.Luna mencoba tersenyum, tapi senyumnya terasa kaku. Pandangannya segera tertarik pada sebuah bingkai foto di atas meja Russel. Foto itu adalah foto dirinya, foto yang sama yang ada di kamarnya, hanya berbeda ukuran."Aku tidak mengerti kenapa kau menyuruhku datang ke sini," ucap Luna, mencoba menjaga suaranya tetap tenang meski hatinya berdebar kencang. Ia tidak ingin menunjukkan kegugupannya, t
Kejahilan Nico masih terus berlanjut, dan meskipun tindakannya tidak berbahaya, tetap saja itu membuat Luna merasa kesal. Pagi ini, saat Luna membuka pintu kamarnya, ia langsung dibuat kaget oleh pemandangan yang tidak terduga. Sebuah boneka dengan hanya kepala yang tersisa tergantung di depan pintu kamarnya, matanya kosong dan senyumnya mengerikan. Luna menjerit kaget, jantungnya berdebar kencang."Astaga!" teriak Luna, tangannya menutupi mulutnya yang terbuka lebar.Dari ujung lorong, Nico muncul dengan senyum puas di wajahnya. Luna memijat keningnya, mencoba menenangkan diri. "Aku pikir dia sudah berhenti dengan kejahilannya. Ternyata aku salah," batinnya, sambil menghela nafas panjang.Luna memutuskan untuk tidak membiarkan hal itu mengganggu paginya. Ia berjalan menuju meja makan, berharap bisa menikmati sarapan dengan tenang. Tapi, kali ini Russel Calderon tidak hadir di meja makan. Suasana terasa sedikit berbeda, biasanya pria itu duduk di ujung meja dengan wajah serius. Luna me
Beberapa hari tinggal di kediaman megah keluarga Calderon, Luna mulai merasakan sesuatu yang aneh. Meskipun ia dikelilingi oleh kemewahan, tas-tas desainer, pakaian mahal, dan perhiasan berkilauan, semua itu terasa hampa.Barang-barang mewah yang dulu hanya ia lihat di miliki orang kaya, sekarang memenuhi kamarnya. Tapi entah mengapa, semua itu tak bisa mengisi kekosongan di hatinya. Rasanya seperti memakai topeng yang terlalu besar untuk wajahnya, tak nyaman dan tak cocok."Jika Anda membutuhkan sesuatu lagi, jangan sungkan untuk mengatakannya padaku," ucap Nolan sambil meletakkan beberapa tas belanjaan terbaru di sudut kamar Luna. Suaranya datar, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Luna merasa tidak nyaman. Seperti ada niat tersembunyi di balik setiap pandangannya.Luna hanya mengangguk, mencoba tersenyum tipis. Tapi begitu Nolan pergi, ia menghela nafas lega. Ia memperhatikan bahu Nolan yang semakin menjauh, lalu menghilang di balik pintu yang tertutup rapat. Sejak Nolan