Yuhuuuu~~
Kulit tubuh mereka saling bersentuhan, angin berhembus menjadi saksi cumbuan Jacob yang semakin dalam, bibirnya menjelajah dengan penuh penguasaan, meninggalkan jejak gairah di sepanjang kulit Luna. Tangannya dengan lembut menelusuri lekuk tubuh gadis itu, seolah ingin menghafal setiap inci dirinya.Namun, di tengah kenikmatan yang menggelitik indranya, Luna menyadari satu hal bahwa mereka masih berada di dek belakang, di ruang terbuka, di bawah langit luas tanpa penghalang.“Tuan… kita ada di luar,” bisiknya, suaranya bergetar antara kesadaran dan godaan yang menariknya kembali ke pelukan Jacob.Jacob mengangkat wajahnya, menatap Luna dengan mata yang menggelap oleh hasrat. “Dan?” tanyanya, suaranya rendah dan menggoda.Luna menelan ludah, mengedarkan pandangan dengan gelisah. “Bagaimana kalau ada yang melihat?”Jacob tersenyum, ia mencium bibir gadis itu sekilas. "Tak ada yang melihat, hanya ada kita berdua." jawabnya.Sejenak, Luna masih ragu, tapi Jacob tahu bagaimana membuatnya me
Perlahan kedua kelopak mata Luna mulai terbuka, kepalanya sedikit berdenyut efek dari obat bius yang sempat membuatnya tidak sadarkan diri beberapa saat lalu. Ketika ia sadar, matanya langsung melihat langit-langit kamar yang asing.Ini bukan tempat tinggal Jacob.Jantung Luna berdetak kencang. Tubuhnya refleks bangkit dari tempat tidur, dan dengan nafas memburu, ia segera berlari ke arah pintu. Tangannya bergetar saat memutar knop pintu, namun harapannya runtuh dalam sekejap, pintu itu terkunci.“Tidak... tidak, tidak!” bisiknya panik. Jemarinya berulang kali menarik dan mendorong gagang pintu, namun tetap tak membuahkan hasil. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Dimana dirinya sekarang? Siapa yang membawanya ke sini?Tiba-tiba, sebuah suara yang dingin dan penuh ancaman bergema di belakangnya."Pada akhirnya kau tidak bisa melarikan diri dariku terus-menerus, Luna."Darah Luna seakan berhenti mengalir. Tubuhnya membeku di tempat. Ia tidak perlu berbalik untuk tahu siapa pemil
Luna tahu dia terjebak. Melarikan diri dari Leah bukanlah perkara mudah, terlebih wanita itu sudah mengetahui tentang hubungannya dengan Jacob dan Hazel. Rasa takutnya semakin bertambah, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang dekat dengannya. Jika Leah tahu lebih banyak, bukan tidak mungkin Jacob dan Hazel akan ikut terseret dalam masalah ini.Untuk saat ini, Luna hanya bisa bertahan. Berusaha menekan keinginannya untuk kabur, meskipun setiap nalurinya berteriak untuk segera melarikan diri.Namun, ada satu hal yang masih membuatnya sulit percaya.Selama ini, ia selalu bertanya-tanya. Mengapa Leah tetap mempertahankannya saat tahu bahwa bayi yang dikandungnya adalah seorang perempuan? Mengapa ia tidak langsung membuangnya seperti sampah sejak awal, jika memang tak pernah menginginkannya?Jawabannya kini begitu jelas dan begitu mengerikan.Refleks, Luna menyentuh dadanya. Di balik tulang rusuknya, di balik kulit dan dagingnya, tersembunyi satu-satunya hal
Luna memang tidak diikat atau disiksa seperti yang ia bayangkan saat pertama kali bertemu ibunya, tetapi justru itulah yang membuatnya semakin tidak tenang. Setiap kali matanya menangkap sosok Leah, ketakutan dalam dirinya semakin menguat. Seolah-olah kapan saja, wanita itu bisa melakukan sesuatu yang menghidupkan kembali ingatan mengerikan di masa lalu.Di sofa, Leah tampak asyik membaca sebuah majalah, tetapi tiba-tiba, brak! dengan kasar, ia melemparkan majalah itu ke meja.Luna langsung bereaksi. Refleks, kedua tangannya terangkat, bersiap menerima pukulan yang tidak pernah ia harapkan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Leah bahkan tidak meliriknya. Wanita itu hanya berdiri dan berjalan menuju pintu.Luna menatap pintu itu dengan waspada. Siapa yang datang?Ketika pintu terbuka, seorang pria masuk. Luna mengenali wajah itu, namun juga tidak sepenuhnya yakin kalau ia kenal dengan pria tersebut."Aku masih belum bisa menghubungi Keith," ujar pria itu dengan nada penuh kekhawatir
Saat dokter memeriksa kondisi Luna, gadis itu hanya duduk diam, matanya terus mengawasi Leah dengan tatapan penuh kekecewaan dan ketakutan. Wanita yang seharusnya menjadi pelindungnya, sosok yang ia harapkan penuh kasih sayang, ternyata hanya melihatnya sebagai alat untuk memperpanjang hidupnya.Luna merasa tak berdaya. Ia tahu melawan Leah hanya akan memperburuk keadaan. Lebih dari itu, ketakutannya bukan hanya untuk dirinya sendiri, ia cemas jika Leah benar-benar akan menyakiti Hazel dan Jacob."Kondisinya sehat, tidak ada masalah serius," ucap dokter setelah selesai memeriksa Luna.Leah mengangguk pelan, lalu berbisik sesuatu pada dokter sebelum mereka berdua keluar ruangan, meninggalkan Luna sendirian. Ruangan itu terasa semakin sempit dan mencekam. Tak lama, Leah kembali dengan senyum licik yang membuat bulu kuduk Luna meremang.Saat mereka berjalan keluar dari rumah sakit, Luna memberanikan diri bertanya dengan suara lirih, "Kapan ibu akan mengambilnya dariku?"Leah berhenti seje
Pintu apartemen baru saja terkunci dengan suara yang menggema, menandakan akhir dari situasi menegangkan yang Luna hadapi beberapa waktu lalu. Sementara Leah dengan senyum kemenangan, menatap punggung Luna dari samping. Matanya berbinar dengan ekspresi kepuasan menghiasi wajahnya."Pilihan yang bagus, Luna. Jika kau nekat ikut dengan pria tadi, kau akan menyesal seumur hidup," ucap Leah dengan nada yang dingin namun penuh ancaman. Tanpa menunggu respons, ia melangkah melewati Luna, meninggalkan aroma parfumnya yang menusuk, menuju kamarnya sendiri.Sementara itu, Luna masih berdiri di tempat, kedua tangannya mengepal erat, kukunya nyaris melukai telapak tangannya sendiri. Langkahnya gontai menuju sofa, tubuhnya terasa begitu berat, seakan bumi menariknya ke bawah. Ia pun terjatuh ke sofa, mencoba menenangkan diri, namun dadanya terasa sesak, seperti ada beban yang tak terlihat menindihnya.Ia tahu, Jacob pasti kecewa. Ekspresi kaget dan sedih di wajahnya saat ia menolak ajakannya masih
Lima hari telah berlalu sejak Keith menghilang tanpa kabar. Leah yang biasanya tenang dan penuh kendali, mulai kehilangan kesabarannya. Setiap kali ia mencoba menghubungi Keith, yang ia dapat hanyalah nada sambung yang tak kunjung diangkat. Gadis itu seolah lenyap ditelan bumi, meninggalkan Leah tanpa petunjuk apa pun.Saat Leah sibuk menekan-nekan ponselnya, mencoba sekali lagi untuk menghubungi Keith, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Eric muncul dengan wajah yang dipenuhi kekesalan, berdiri di ambang pintu."Kau sudah bisa menghubunginya?" tanyanya, suaranya kasar dan penuh desakan.Leah menoleh, matanya menyipit. "Putrimu tampaknya lupa bahwa dia harus berpura-pura. Sekarang dia mengabaikan panggilan dariku," ujarnya dengan nada kesal. "Sebelum Keith tidak bisa dihubungi seperti sekarang, anak buahku melihatnya berbelanja barang mewah. Dia mungkin sedang asyik menghabiskan uang Russel."Eric berkacak pinggang, nafasnya berat seperti sedang menahan amarah. "Bagaimana ka
Suasana terasa lebih tegang dari apa yang Leah bayangkan, Russel sudah menjemput Luna? Itu artinya Russel sudah tau Luna yang asli, dan ini sangat berbahaya baginya karena jika Russel berhasil membawa Luna, maka kesempatan untuk proses transplantasi jantung antara ia dan perempuan itu bisa saja gagal.Leah menatap Russel dengan serius, kemudian terkekeh sekedar untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa pria itu hanya menggertaknya, meski sebenarnya kekhawatiran mulai menggerogoti pikirannya."Menjemput Luna? Kau pikir kau tahu di mana gadis itu sekarang? Aku takkan pernah menyerahkannya padamu," ujarnya, suaranya tegas namun terdengar sedikit cemas.Di sisi lain, Russel tampak tenang. Matanya melirik ke arah Nico, yang langsung mengangguk paham. Nico kemudian menoleh ke salah satu anak buahnya yang sedang memegangi Keith. "Bawa perempuan ini kembali ke tempat semula," perintahnya dingin.Keith memberontak, wajahnya memerah karena marah dan ketakutan. "Lepaskan aku! Aku tidak tahu apa-apa
“Berikan gadis itu padaku,” ucap Xavier, suaranya rendah namun penuh dengan otoritas. Tangannya terulur, siap mengambil Luna dari Jacob. Tapi dengan cepat, Jacob melangkah maju, berdiri di depan Luna, menghalangi Xavier yang akan menyentuhnya. Tubuhnya tegap, matanya berapi-api, siap melindungi Luna dengan segala cara.Kini, kedua pria itu saling bertatapan sengit. Udara di sekitar mereka terasa panas, seperti pertarungan yang tak terelakkan akan segera dimulai. Tidak ada yang mau mengalah. Sementara itu, Luna berdiri di belakang Jacob, hatinya bergejolak antara rasa takut dan kebingungan. Di satu sisi, jika ia ikut dengan Jacob, pria itu pasti akan mendapatkan masalah yang lebih besar. Di sisi lain, jika ia ikut dengan Xavier, maka artinya Luna harus siap menerima konsekuensi menikah dengan pria yang bahkan tidak ia sukai sama sekali.“Kau tidak akan membawanya kemana pun,” geram Jacob, sorot matanya tajam seperti pedang yang siap menghunus. “Aku tidak akan pernah melepaskannya.”Tapi
Hari sudah gelap, langit malam dipenuhi bintang-bintang yang seolah menjadi saksi bisu dari segala kejadian yang sedang berlangsung hari ini. Luna baru saja menaiki tangga menuju kamarnya, langkahnya berat seperti membawa beban yang tak terlihat. Namun, saat kakinya menapak di lantai dua, pandangannya tertarik pada sosok yang bersandar di dinding. Nico menatap Luna dengan ekspresi yang sulit dibaca.“Aku tak ingin bicara apa pun denganmu,” ucap Luna dengan suara datar, mencoba melewati Nico begitu saja. Tapi Nico dengan sikapnya yang selalu provokatif, ia tak membiarkan Luna pergi dengan mudah.Melihat Luna yang mengabaikannya, Nico menyeringai. Tangannya terlipat di depan dada, sikapnya santai tapi penuh dengan nada mengejek. “Kau akan menikah dengan Xavier, tapi apa kau tahu siapa pria itu dan seperti apa wajahnya?” tanyanya, suaranya penuh dengan nada menggoda.Langkah Luna akhirnya berhenti. Ia berbalik, matanya penuh dengan rasa penasaran yang tak bisa ia sembunyikan. Nico terseny
Pada akhirnya, semua usaha kabur itu sia-sia. Luna kembali ke kediaman megah Russel Calderon, tempat yang seharusnya menjadi rumahnya, tapi justru terasa seperti sangkar emas yang mengurungnya. Saat mobil hitam berhenti di depan rumah, Russel sudah menunggu di depan pintu, seolah tahu bahwa Nolan akan membawa pulang putrinya yang memberontak.Wajah Russel dingin, matanya tajam seperti pedang yang siap menghunus. Luna turun dari mobil dengan langkah berat, kepalanya menunduk, tak berani menatap langsung ke arah ayahnya. Ia tahu, amukan dan kemarahan Russel pasti akan segera menghujaninya. Tapi yang lebih membuatnya takut adalah rasa bersalah yang menggerogoti hatinya. Ia telah membawa Hazel dan Jacob ke dalam masalah, dan sekarang, ia harus menghadapi konsekuensinya.“Kau berhasil membawanya pulang, Xav… maksudku, Nolan,” ucap Russel, suaranya datar namun penuh makna. Pandangannya lurus ke arah Nolan yang berdiri di belakang Luna, seolah ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katany
Jacob baru saja tiba di apartemennya, tubuhnya terasa berat seperti membawa beban yang tak terlihat. Ia langsung terjatuh ke sofa, menghembuskan nafas panjang sambil tersenyum kecil. “Rasanya aku sedang menyembunyikan harta karun yang diincar oleh banyak orang,” gumamnya, mencoba mencairkan suasana dalam pikirannya sendiri. Tapi senyum itu tidak bertahan lama. Detik berikutnya, ia terdiam, bahunya bersandar ke belakang sementara kepalanya setengah mendongak, menatap langit-langit apartemen yang kosong. Pikirannya melayang ke Luna. Saat ini, ia hanya bisa mempercayakan Luna pada Hazel. Tapi satu hal yang tak bisa ia lupakan, ia hanya punya waktu satu bulan untuk menyelesaikan semua masalah ini. Tekanan itu terasa begitu berat, seperti batu besar yang menindih dadanya. Jacob menyentuh keningnya, memijatnya perlahan. Bukan perusahaan yang ia khawatirkan, ia yakin bisa mengatasi itu. Yang membuatnya gelisah adalah Luna. Ia harus memastikan bahwa Russel tidak akan menemukan keberadaan ga
Suasana persaingan semakin memanas, tiada hari tanpa kesibukan yang menguras tenaga dan pikiran. Sudah tiga hari berlalu sejak Jacob membawa Luna menjauh dari cengkeraman Russel Calderon. Tiga hari yang penuh dengan ketegangan, di mana setiap langkah Jacob selalu diawasi oleh mata-mata yang dikirim oleh Russel. Jacob tahu betul bahwa ia harus berhati-hati, setiap gerak-geriknya bisa menjadi bumerang yang membahayakan Luna.Di dalam ruang kerjanya yang megah, Jacob sibuk mengurus tumpukan dokumen yang berserakan di atas meja. Tangannya bergerak cepat, matanya fokus pada setiap detail yang tertulis di sana. Namun, ketenangan itu tiba-tiba pecah ketika pintu ruangannya terbuka dengan keras. Ayahnya masuk dengan langkah yang penuh wibawa. Wajahnya keras, tatapannya tajam seperti pedang yang siap menghunus.“Ada yang ingin aku bicarakan padamu,” ucap Dustin, suaranya berat dan penuh otoritas.Jacob yang langsung paham arti di balik kalimat itu, segera menghentikan pekerjaannya. Ia bangkit
Di sebuah tempat yang jauh dari keramaian kota New York, di mana alam masih begitu liar dan tak tersentuh oleh hiruk-pikuk kehidupan modern, terdapat sebuah rumah kecil yang tersembunyi di tengah hutan lebat. Pohon-pohon tinggi menjulang, seolah menjadi penjaga alami bagi tempat itu.Tak jauh dari rumah, sebuah sungai mengalir dengan air yang jernih, menciptakan suara gemericik yang menenangkan. Namun, ketenangan alam itu tidak sepenuhnya mampu menenangkan hati Luna, yang saat ini duduk di atas batu besar di pinggir sungai, pandangannya kosong menatap air yang mengalir.Hazel keluar dari rumah, matanya langsung mencari Luna. Ia melihat gadis itu duduk sendirian, terlihat seperti tenggelam dalam lamunan yang dalam. Perlahan Hazel mendekat, langkahnya pelan agar tidak mengganggu ketenangan Luna. Ia memperhatikan Luna dengan penuh perhatian. Menjadi seseorang yang diperebutkan seperti ini pastilah tidak menyenangkan. Luna hanya menginginkan kebebasan, tapi orang-orang di sekitarnya terlal
Hari sudah semakin larut, langit malam dipenuhi bintang-bintang yang seolah menjadi saksi bisu dari segala kejadian yang sedang berlangsung. Jacob bangkit dari duduknya, tubuhnya terlihat tegap meski kelelahan terpancar dari sorot matanya. Ia mengulurkan tangannya ke arah Luna, mengajak gadis itu untuk berdiri. Tanpa ragu, Luna menerima tangan Jacob, dan mereka pun berdiri saling berhadapan, tatapan mereka saling bertaut dalam keheningan yang penuh makna. “Aku tidak ingin menjadi beban untukmu,” ucap Luna, suaranya lirih namun sarat dengan emosi. Sorot matanya menunjukkan kebingungan yang mendalam, pertarungan batin antara rasa cintanya pada Jacob dan kekhawatirannya akan perseteruan sengit antara Jacob dan Russel yang tak kunjung usai. Tapi, Jacob dengan tenang hanya tersenyum lembut. Tangannya terulur, membelai rambut Luna dengan penuh kelembutan. “Sama sekali tidak,” katanya, suaranya tegas namun hangat. “Aku tidak pernah menganggap dirimu sebagai beban sejak pertama kali kita be
Beberapa saat sebelumnya, suasana tegang sudah mulai terasa. Setelah Nico menjauh dari Luna, ponsel Luna bergetar singkat. Sebuah pesan dari Jacob muncul di layar, “Dimana posisimu?” tanyanya singkat, namun penuh urgensi.Luna dengan jantung berdebar kencang, segera menghubungi Jacob sambil berjalan menjauh. Begitu telepon tersambung, suara Jacob yang tegas langsung terdengar. “Luna, kau di sebelah mana?”“Aku ada di lantai tiga,” jawab Luna dengan suara cemas, matanya terus melirik ke sekeliling, takut ketahuan oleh siapa pun.“Sekarang ikuti arahanku. Keluar melalui tangga darurat. Aku akan menunggu di bawah,” perintah Jacob dengan nada yang tidak bisa ditawar.Luna mengangguk, meskipun Jacob tidak bisa melihatnya. Ia segera mematikan panggilan, tapi langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat Russel dan George keluar dari ruangan tempat pertemuan mereka berlangsung. Luna mundur perlahan, bersembunyi di balik dinding, menunggu kedua pria tua itu pergi. Detak jantungnya semakin kencang
Di depan cermin besar yang memantulkan cahaya redup kamarnya, Luna berdiri tegak, mengenakan dress hitam tanpa lengan yang sederhana namun elegan. Dress itu sengaja ia pilih tidak terlalu formal atau ketat agar ia bisa bergerak leluasa, terutama jika situasi memaksanya untuk berpacu dengan waktu.Detak jantungnya masih berdegup kencang, seperti drum yang dipukul tak beraturan. Pikirannya melayang pada Jacob. Ia khawatir, sangat khawatir, kalau-kalau Russel akan mengetahui niat Jacob. Jika itu terjadi, Jacob bisa berada dalam masalah."Aku sepertinya sangat egois," batin Luna, menatap bayangannya sendiri di cermin. Matanya menyiratkan konflik batin yang mendalam. Di satu sisi, ia tidak ingin menjerumuskan Jacob ke dalam masalah. Disisi lain, ia juga tidak ingin dipaksa menjalani hidup dengan seseorang yang bahkan tidak ia kenal, apalagi dijodohkan tanpa persetujuannya.Tiba-tiba, suara langkah kaki yang tegas memecah kesunyian. Russel muncul di balik pintu, wajahnya seperti biasa, dingi