"Jadi apa membuatmu kemari?" tanya Jenny setelah mereka berada di dalam kantornya dan duduk berhadapan di sofa. Gita tidak langsung menjawab dan justru terdiam selama beberapa detik untuk berpikir. Pertanyaannya sama. Haruskah dia mengatakannya sekarang? "Aku berpikir soal kemungkinan mengambil cuti," jawab Gita singkat dan jelas itu menimbulkan pertanyaan lanjutan dari lawan bicaranya. Dan reaksi Jenny seperti yang telah Gita prediksi. Kedua alisnya berkerut dan keterkejutan nampak jelas di wajahnya. "Kamu ingin mengambil cuti?" Dia mengulang kalimat Gita namun dengan perubahan dalam nadanya. Itu menjadi pertanyaan, lebih tepatnya untuk memastikan apa yang didengarnya. Gita mengangguk yakin. Dia telah mengujarkannya jadi dia harus menyelesaikannya. "Iya. Apakah itu mungkin?" Sebenarnya, Gita memiliki plan B jika cara ini tidak berjalan baik. Jika dia tidak bisa mendapatkan cuti, hanya ada satu pilihan. Dia harus mengundurkan diri. Memang, itu terkesan berlebihan. Tapi dia tetap
Citra. Nama itu terus terngiang-ngiang di kepala Gita sejak hari pertama dia mendengarnya langsung dari sang pemilik nama. Seberapa pun keras usahanya untuk menghilangkannya, itu tidak berhasil dan justru semakin bercokol kuat di sana. Itu menyebalkan dan dia nyaris frustasi dibuatnya. Namun dia benar-benar tak tahu harus bagaimana untuk melenyapkannya. Itu juga membuatnya kesulitan tidur semalam. Padahal dia butuh istirahat yang cukup. Benar-benar menyebalkan! Citra adalah wanita yang cantik dan dari informasi yang Gita peroleh, Citra memiliki kepribadian yang baik. Itulah mengapa penggemarnya menyayangkan berakhirnya hubungannya dengan kekasihnya, terutama Rangga. Gita bahkan menemukan beberapa komentar yang meminta Citra kembali kepada Rangga. Lalu, bagaimana dengan Gita? Dia adalah istri Rangga meski dunia belum mengetahuinya. Tunggu. Apakah itu alasan Nenek mendorongnya untuk mempercepat pengumuman pernikahan mereka? Untuk mengalahkan popularitas hubungan Rangga dan Citra di m
Gita hanya diam menatap jalanan di hadapannya. Itu tampak familiar meski dia tak mengetahui tujuannya. Rangga cuma mengatakan tentang akan membawanya ke suatu tempat tanpa memberikan sebuah penjelasan. Jadi, apa yang bisa dilakukannya hanya menebak-nebak maksud suaminya. Rangga mengambil belokan ke kanan di persimpangan yang Gita ketahui mengarah ke rumah Kirana. Otaknya bekerja menghubungkan semuanya. Apakah tujuan mereka adalah rumah Kirana? Tapi untuk alasan apa? Mereka belum membuat janji, atau Rangga memiliki janji di belakangnya. Tapi apa? Pertanyaan itu terus berputar di kepala Gita hingga Rangga mengarahkan mobilnya memasuki perumahan di mana Kirana tinggal. Jika demikian, apakah benar mereka akan mengunjungi Kirana? Rangga seharusnya memberitahukannya terlebih dahulu sehingga dia bisa membawa sesuatu untuk Kirana. Anehnya, Gita melihat rumah Kirana namun Rangga tidak memelankan mobilnya dan justru melewatinya. Dia pun hanya bisa menatap bingung dari jendela mobil mereka ke
Gita dan Rangga tengah duduk di ruang santai sembari menonton televisi dengan tubuh Gita dalam pelukan Rangga saat ponsel pria itu berbunyi. Dari Kirana. "Aku ada di luar rumahmu," kata Kirana singkat begitu panggilannya diangkat. Dia sudah mengatakan ingin mengunjungi rumah sepupunya dengan membawa makan malam. Ini untuk merayakan rumah baru mereka. Rangga segera beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kotak yang tertempel di dinding--itu untuk akses kunci gerbang dan pintu utama serta menunjukkan siapa tamu merekaa--dan melihat mobil Kirana di layar kecil di sana. Lalu dia menekan tombol untuk membuka gerbang. Layar kemudian memperlihatkan mobil Kirana melewati gerbang dan setelah masuk sepenuh ke dalam area rumah mereka, barulah dia menekan tombol untuk menutup kembali gerbang. Setelahnya dia membuka kunci pintu agar Kirana tak perlu lagi menghubunginya ataupun membunyikan bel. Yah, itu merupakan teknologi terbaru demi keamanan kediamannya. "Dia datang," lapor Rangga seraya
"Rangga," panggil Gita dengan berbisik ketika dirasakannya pelukan Rangga di tubuhnya mengetat. Ini sudah pagi dan dia baru saja mematikan alarmnya. Tapi Rangga tak mau melepaskannya meski dia tahu suaminya itu sudah bangun. Rangga hanya menggumam kata-kata tak jelas dan kembali menikmati posisinya. Dia menghidu bau Gita dengan mata masih terpejam dan juga kehangatan sang istri dalam dekapannya. Itu membuatnya tak ingin cepat terbangun. Gita memutar matanya mendapati reaksi Rangga. Sejak semalam, lebih tepatnya setelah dia mengucapkan nama Citra, Rangga bertingkah sedikit aneh dengan selalu mengambil kesempatan untuk memeluknya. Rangga tidak meninggalkan sisinya dan bahkan mengikutinya ke mana pun, kecuali ke kamar mandi. Ah, kamar mandi! Itu memberikannya sebuah ide. "Aku mau pipis," kata Gita, mulai melancarkan rencananya lepas dari pelukan sang suami. Tidak. Itu bukan berarti dia membenci berada dalam pelukan Rangga--dia sangat suka. Tetapi dia membutuhkan sedikit ruang untuk l
Rangga sudah menduga Gita akan melakukannya. Overthinking. Ditambah dengan hormon kehamilannya, hal itu pasti akan terjadi. Sejujurnya, dia tidak pernah menduga pertemuan tersebut terjadi. Setidaknya, Gita mengetahuinya tidak dengan cara seperti itu. Siapa yang tak terkejut mendapati mantan kekasih suaminya berdiri di hadapannya? Dan apa dia bilang? Jenny menawarinya bekerja untuk Citra? Itu konyol! Bukan Citra yang dikhawatirkannya melainkan sang istri. Dia cemas dengan apa yang akan Gita pikirkan dan rasakan sepanjang bekerja dengan Citra. Andaikan saja dia dapat membaca pikiran seseorang. Sayangnya, dia tidak dapat melakukannya dan hanya bergantung pada insting untuk menebak-nebak apa yang ada di dalam kepala Gita. "Tentang tawaran Jenny, gimana kalau kamu tolak?" tanya Rangga di dekat telinga Gita. Oh, dia menyukai wangi istrinya. Itu menenangkannya saat menghidu baunya dan merasakan kehangatannya. Rasanya, dia ingin memeluk Gita seharian. Tentu saja, bukan karena percakapan m
[Del, gimana kabarmu?] Gita membaca ulang pesan tersebut sebelum mengirimkannya. Tak lama, dia melihat tanda pesannya telah berhasil dikirim dan bahkan telah masuk ke ponsel sang penerima, Dela. Tak sampai sepuluh detik, tandanya berganti warna biru, menunjukkan bahwa Dela telah membacanya. Namun setelah satu menit berlalu, tidak ada balasan dari wanita itu. Dan itu membuatnya frustasi. [Semua baik-baik saja, kan?] Gita mengirimkannya. Setelahnya, dia mengalami proses yang sama dengan hasil yang juga sama. Dia nyaris bangkit dari duduknya akibat rasa frustasinya. Tangannya bergerak naik dan mengacak rambutnya dengan asal sebagai cara lain untuk mengungkapkan perasaannya. Ada apa dengan Dela? "Kamu kenapa?" tanya Rangga setelah keluar dari kamar mandi dan berjalan menghampiri sang istri. Dia melihat hal ganjil di diri Gita dan itu adalah alasannya bertanya. Gita mendongak dengan bibir mengerucut, alis berkerut, dan mata yang menggenang. Yang terakhir menyebabkan Rangga mempercepat
Akhirnya Gita mendapatkan apa dia inginkan. Jenny sangat baik karena bersedia mengabulkannya. Dan sebagai balasan, dia tidak masalah harus langsung bekerja hari ini. Dia akan bertemu klien sebagai perwakilan dari Jessica. Dia membaca jika itu merupakan brand untuk baju-baju bayi. Jadi dugaannya itu tawaran untuk bayi Jessica. Oh, Jessica memiliki seorang bayi laki-laki yang lucu. Dia menunggu di cafe sembari memesan segelas coklat panas dan kentang goreng. Sayangnya, tidak ada es krim dalam menu makanan mereka padahal dia sangat menginginkannya. Yah, untuk merayakan bagaimana semua berjalan dengan baik akhir-akhir ini. Hubungannya dengan Rangga, kehamilannya, dan pekerjaannya. Semua itu terasa sempurna hingga terkadang dia berpikir apakah itu hanya mimpi. Tapi itu bukan mimpi. Itu kenyataan. Perwakilan dari brand seharusnya datang jam sepuluh. Namun tampaknya ada yang tidak berjalan baik dengan pertemuan mereka sebelumnya--mereka mengatakan punya janji lain sebelum bertemu dengannya
Gita mengintip melalui pintu kamar mandi di lantai pertama sebelum melangkah keluar dengan santai seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia berjalan melewati Rangga, yang sedang duduk di sofa di ruang tamu mereka dan membaca laporan di tablet, dengan Ardian merangkak di lantai."Ardian, sayang, kemari." Gita memanggil Ardian, yang perhatiannya selalu mudah didapatkannya. "Ayo bermain di luar."Dan reaksi Ardian dapat diprediksi. Dia berlari ke arah ibunya dengan penuh semangat. Senyumnya begitu lebar.Menjadi anak-anak tampaknya menyenangkan, bukan?Gita mengikuti Ardian yang berlari keluar rumah ke halaman tanpa alas kaki. Dia tidak bisa menahan senyum di wajahnya melihat putranya dan kebahagiaan lain yang baru saja dia temukan hari ini.Gita hamil dengan anak kedua mereka.Tapi ini masih rahasia. Gita ingin membuat kejutan untuk suaminya.Oh, dia tidak sabar ingin melihat reaksi Rangga!"Ardian, kemari. Mama ingin mengatakan sesuatu."Ardian menghentikan larinya untuk melihat ibunya d
Tiga tahun kemudian.Gita memperhatikan semuanya. Setiap gerakan, tawa, canda, teriakan, dan banyak lagi.Dia tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar melihat itu semua. Rasanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Tapi itulah yang terjadi karena memang itulah realitanya.Ardian kini berusia tiga tahun dan dalam masa aktifnya. Dia berlari ke setiap sudut rumah dan selalu bersemangat untuk berlari di halaman.Meskipun melelahkan tubuh mereka karena harus mengikuti pergerakan Ardian, mereka tidak mengeluh, terutama Rangga. Suaminya selalu punya energi untuk bermain dengan Ardian dan tidak pernah kehabisan ide. Rangga membesarkan anak mereka dengan sepenuh hati.Gita menggelengkan kepalanya untuk memaksa dirinya kembali ke tempatnya. Dia tidak bisa hanya mengamati mereka sepanjang waktu, karena dia perlu menyelesaikan adonan kuenya.Ardian memiliki selera yang sama dengannya mengenai makanan manis. Jadi dia mencoba menjadi ibu yang baik dengan memanggang kue sendiri daripada membelinya d
"Hai. Ayah senang kamu bangun, dan Ayah bisa memegangmu. Ibumu pasti merasakan hal yang sama. Tapi dia sedang beristirahat sekarang, jadi jangan ganggu dia dan bermain dengan Ayah saja." Suara Rangga dipenuhi kebahagiaan, begitu pun sorot matanya menunjukkan perasaan yang sama. Tidak ada yang lebih membahagiakan dibandingkan saat ini ketika dia akhirnya bisa memegang bayi Ardian. Dan kenyataan bahwa Ardian lahir dengan sehat adalah hal yang terbaik. Semuanya akan bertambah sempurna saat pemulihan istrinya berjalan dengan baik.Bayi Ardian menggerakkan tangannya yang kecil dan berhasil menangkap jari Rangga. Dia menggenggamnya meskipun matanya masih tertutup. Bayi Ardian mungkin merasakan suasana yang akrab dan aman, sehingga dia tidak menangis, yang membuat hati Rangga terasa hangat dan bangga. Hanya sentuhan dari Rangga yang bisa melakukan itu, dan dia jelas bangga akan hal itu."Gimana pendapatmu tentang dunia ini? Menakjubkan, kan? Kamu punya Ayah, ibumu, dan seluruh keluargamu di
Beberapa bulan kemudian.Gita sedang menutup laci setelah memeriksa yang ada di dalamnya masih di tempatnya.Mungkin terdengar membingungkan. Intinya, Gita baru saja selesai memeriksa kebutuhan bayi mereka, seperti pakaian, popok, kaos kaki, selimut, dan lainnya. Dia ingin memastikan semuanya siap saat waktunya tiba, yang tidak akan lama lagi. Tanggal perkiraan kelahirannya harusnya minggu ini, dan dia sangat bersemangat untuk menyambut bayi mereka.Dia berpindah ke satu-satunya tempat tidur di ruangan tersebut. Tempat tidur itu besar dan memiliki dinding kayu di keempat sisinya untuk melindungi bayi mereka agar tak terjatuh. Dan itu adalah tempat tidur yang dikatakan Rangga bisa menampung tubuhnya saat menyusui bayi mereka. Dia bahkan bisa tidur di situ juga.Tangannya bergerak untuk menyentuh boneka di dekatnya dan meletakkannya dengan rapi di antara boneka-boneka lain dan bantal. Ada beberapa jenis boneka, terutama dengan karakter hewan yang lucu untuk menemani bayi mereka saat tid
"Aku lihat semuanya, Gita. Aku tahu apa yang kamu sembunyikan di belakang punggungmu." Alis Rangga terangkat seolah-olah menunggu Gita untuk mengungkapkannya sendiri. Tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi karena itulah alasan dia menghampiri istrinya. Dia sudah melihat Gita menikmati es krim!"Apa maksudmu?"Jadi Gita memilih untuk bermain-main dengannya. Sayangnya, dia tidak ingin berpura-pura tidak melihatnya. "Mangkuknya. Es krim."Dan Gita hanya bisa memaksakan untuk tersenyum."Kemarilah." Tangan Rangga terjulur untuk meminta Gita mendekat."Nggak mau. Kamu akan memarahiku.""Artinya kamu tahu kamu melakukan kesalahan. Sudah berapa mangkuk es krim yang kamu habiskan?""Hmm. Lima?""Hitung dengan benar, Sayang.""Oke. Oke. Sembilan." Gita mengangkat kedua tangannya ke udara dan menyerah."Nggak, Sayang. Mangkuk di belakangmu itu yang kesebelas."Sebenarnya Rangga tidak masalah dengan Gita menikmati es krim. Tapi istrinya itu suka makan berlebihan, dan Gita mungkin akan makan le
Akhirnya, hari yang mereka tunggu-tunggu tiba. Hari itu begitu sibuk tapi juga menyenangkan. Teman-teman dan keluarga mereka berkumpul bersama untuk merayakan hari bahagia tersebut. Apa lagi yang lebih menyenangkan daripada itu?Akad mereka berjalan dengan baik. Meskipun Gita merasa lebih gugup, kali ini semuanya terasa sempurna dibandingkan dengan pernikahannya yang sebenarnya. Ayahnya menikahkannya dan menyerahkannya kepada Rangga, seperti yang seharusnya dilakukan dalam sebuah upacara pernikahan. Dan dia bersama suaminya mengucapkan janji mereka lagi dan menjadi suami istri sekali lagi.Dan untuk membuatnya semakin sempurna, Rangga mengunci janji mereka dengan sebuah ciuman di bibir Gita. Kemudian tepuk tangan dan sorakan mengisi aula yang penuh tersebut.Itu adalah momen yang hangat dan membahagiakan. Dan itu berlangsung hingga malam."Senang sekali akhirnya bertemu dengan Nyonya Adiwijaya yang baru." Irfan menyapa Gita seraya menjabat tangannya. "Namaku Irfan.""Oh!" Gita tidak b
Gita merasakan kehangatan di kulitnya. Sebuah angin sepoi-sepoi yang lembut dan hangat yang menyapu lehernya dan membawa getaran ke tubuhnya. Sedetik kemudian, dia merasakan sebuah kehangatan lain bergerak di perut buncitnya dan mengusapnya dengan sangat lembut seolah-olah takut untuk membangunkannya."Hmm." Gita terbangun dari tidurnya, tentu saja, akibat perbuatan tersebut. Barulah saat itu dia menyadari ada tangan yang melingkupinya, dan dia tahu itu milik siapa. "Rangga." Suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur."Maaf aku membangunkanmu." Rangga bergumam di lekukan leher istrinya.Gita mendengarnya tapi dia tidak ingin menjawab karena suaranya seperti tersangkut di tenggorokan. Tapi dia tidak bisa menahannya lagi ketika kedua matanya membuka dan kegelapan menyambutnya melalui dinding kaca yang memberikan pemandangan langit malam nan gelap. "Masih gelap ternyata.""Iya.""Jam berapa sekarang?""Lewat tengah malam.""Kenapa kamu nggak tidur?"Alih-alih menjawab, Rangga mem
"Semua persiapannya berjalan dengan baik, kan?" Rangga bertanya kepada Erik, Manajer Hotel Adiwijaya yang ada di Jakarta, saat mereka melihat-lihat aula yang akan digunakan untuk acara pernikahannya. Aula itu masih penuh dengan dekorasi lain, karena akan digunakan untuk acara seseorang malam ini."Iya. Kami sudah mempersiapkan semua yang diperlukan. Hadiah untuk tamu-tamu juga sudah tiba, dan kami sedang memasukkannya ke dalam goodie bag."Rangga mengangguk paham. "Persiapkan dengan baik dan pastikan itu sesuai untuk setiap acara. Jangan sampai salah."Sesuai rencana, mereka akan membagi acara menjadi dua, yaitu akad dan pesta. Karena itu, mereka akan menggunakan aula terpisah, begitu pun dekorasi, hadiah untuk tamu, makanan, dan lainnya. Mereka memiliki persiapan yang berbeda untuk setiap acara."Tentu saja. Kami sudah berpengalaman dengan hal-hal seperti ini. Saya jamin semuanya akan ditangani oleh tangan terbaik. Pak Rangga bisa menikmati waktu bersama istri Bapak.""Oke. Saya perc
"Aku seperti lumba-lumba!" Suara Gita bergema di seluruh ruangan. Dia berdiri di depan cermin dan sedang mengamati penampilannya dari pantulan kaca. Dia mengenakan gaun midi berbentuk A-line dan berwarna hitam, yang tampak jatuh dengan indah di tubuhnya. Tapi itu juga memperlihatkan perutnya yang mulai membesar."Siapa yang bilang begitu?" Rangga berjalan ke arah sang istri sambil mengancingkan kemejanya."Aku." Gita masih berfokus pada pantulannya tubuhnya sendiri, seolah-olah mencari sesuatu untuk memuaskan dirinya."Kalau begitu, kamu salah. Kamu sama sekali nggak terlihat seperti itu." Rangga melingkarkan lengannya di pinggang Gita. "Sebaliknya, kamu terlihat makin seksi." Dia mencium leher istrinya dan mulai mengelus perutnya dengan lembut. Sudah hampir enam bulan, dan perut Gita sudah cukup besar."Jangan bohong sama aku, Rangga. Lihat. Tubuhku membengkak sekarang. Bahkan pipiku kelihatan seperti bakpao.""Itulah yang bikin kamu seksi, Sayang. Aku suka tubuhmu sekarang."Gita me