"Pesta seperti apa yang kalian inginkan?" Ibu Rangga bertanya kepada Gita malam harinya. Keluarga Adiwijaya mengadakan makan malam demi menyambut kabar bahagia tentang kehamilan Gita dan seluruh anggota keluarga Adiwijaya hadir karena ini bertepatan dengan akhir pekan. Gita yang sedang minum saat pertanyaan itu diucapkan oleh Ibu Rangga menyebabkannya tersedak. Sebenarnya, itu lebih karena dia yang kehilangan konsentrasi sehingga dia menenggak air dan menarik napas secara bersamaan. Akibatnya jelas. Dia terbatuk akibat air yang memasuki saluran pernapasannya. "Pelan-pelan, Git," kata Rangga sembari mengelus lembut punggung sang istri. Kepedulian tampak di wajahnya. Sementara itu, Ibu Rangga tampak merasa bersalah telah menyebabkan menantunya tersedak. "Maaf, Sayang. Mama nggak bermaksud mengejutkanmu dengan pertanyaan tadi." Satu hal yang dipelajarinya tentang Gita. Gita akan menjadi sensitive setiap kali membahas soal pernikahannya, dan apa yang ditanyakannya jelas ada hubungannya
Setelah akhir pekan panjang dan penuh drama, akhirnya hari Senin datang. Rangga harus kembali ke Surabaya sementara Gita harus kembali bekerja. Sebenarnya, tidak ada pekerjaan khusus selain mengantarkan tawaran naskah kepada Gilang. Setelahnya, dia memutuskan untuk mampir ke perusahaan dan membicarakan kemungkinan dia mengambil cuti panjang. Yah, dia tahu mengambil cuti sejak awal kehamilan sedikit terlalu berlebihan. Tetapi dia memikirkan ucapan sang dokter dan permintaan Rangga agar dirinya berfokus pada kehamilannya. Sebagai gantinya, Rangga memberikannya kesempatan untuk mengirimkan naskahnya kepada Kirana. Setidaknya, dia semakin dekat dengan mimpinya. Tapi Gita sedikit khawatir mengenai respon Jenny. Jenny tidak suka kehilangan karyawan sebaik dirinya. Dan mengutip perkataan Jenny, dia merupakan salah satunya. Ingat soal Jenny yang mengabulkan permintaannya untuk mengambil libur di akhir pekan? Seperti itulah bagaimana Jenny memperlakukan karyawannya, terlebih mereka memiliki
"Jadi apa membuatmu kemari?" tanya Jenny setelah mereka berada di dalam kantornya dan duduk berhadapan di sofa. Gita tidak langsung menjawab dan justru terdiam selama beberapa detik untuk berpikir. Pertanyaannya sama. Haruskah dia mengatakannya sekarang? "Aku berpikir soal kemungkinan mengambil cuti," jawab Gita singkat dan jelas itu menimbulkan pertanyaan lanjutan dari lawan bicaranya. Dan reaksi Jenny seperti yang telah Gita prediksi. Kedua alisnya berkerut dan keterkejutan nampak jelas di wajahnya. "Kamu ingin mengambil cuti?" Dia mengulang kalimat Gita namun dengan perubahan dalam nadanya. Itu menjadi pertanyaan, lebih tepatnya untuk memastikan apa yang didengarnya. Gita mengangguk yakin. Dia telah mengujarkannya jadi dia harus menyelesaikannya. "Iya. Apakah itu mungkin?" Sebenarnya, Gita memiliki plan B jika cara ini tidak berjalan baik. Jika dia tidak bisa mendapatkan cuti, hanya ada satu pilihan. Dia harus mengundurkan diri. Memang, itu terkesan berlebihan. Tapi dia tetap
Citra. Nama itu terus terngiang-ngiang di kepala Gita sejak hari pertama dia mendengarnya langsung dari sang pemilik nama. Seberapa pun keras usahanya untuk menghilangkannya, itu tidak berhasil dan justru semakin bercokol kuat di sana. Itu menyebalkan dan dia nyaris frustasi dibuatnya. Namun dia benar-benar tak tahu harus bagaimana untuk melenyapkannya. Itu juga membuatnya kesulitan tidur semalam. Padahal dia butuh istirahat yang cukup. Benar-benar menyebalkan! Citra adalah wanita yang cantik dan dari informasi yang Gita peroleh, Citra memiliki kepribadian yang baik. Itulah mengapa penggemarnya menyayangkan berakhirnya hubungannya dengan kekasihnya, terutama Rangga. Gita bahkan menemukan beberapa komentar yang meminta Citra kembali kepada Rangga. Lalu, bagaimana dengan Gita? Dia adalah istri Rangga meski dunia belum mengetahuinya. Tunggu. Apakah itu alasan Nenek mendorongnya untuk mempercepat pengumuman pernikahan mereka? Untuk mengalahkan popularitas hubungan Rangga dan Citra di m
Gita hanya diam menatap jalanan di hadapannya. Itu tampak familiar meski dia tak mengetahui tujuannya. Rangga cuma mengatakan tentang akan membawanya ke suatu tempat tanpa memberikan sebuah penjelasan. Jadi, apa yang bisa dilakukannya hanya menebak-nebak maksud suaminya. Rangga mengambil belokan ke kanan di persimpangan yang Gita ketahui mengarah ke rumah Kirana. Otaknya bekerja menghubungkan semuanya. Apakah tujuan mereka adalah rumah Kirana? Tapi untuk alasan apa? Mereka belum membuat janji, atau Rangga memiliki janji di belakangnya. Tapi apa? Pertanyaan itu terus berputar di kepala Gita hingga Rangga mengarahkan mobilnya memasuki perumahan di mana Kirana tinggal. Jika demikian, apakah benar mereka akan mengunjungi Kirana? Rangga seharusnya memberitahukannya terlebih dahulu sehingga dia bisa membawa sesuatu untuk Kirana. Anehnya, Gita melihat rumah Kirana namun Rangga tidak memelankan mobilnya dan justru melewatinya. Dia pun hanya bisa menatap bingung dari jendela mobil mereka ke
Gita dan Rangga tengah duduk di ruang santai sembari menonton televisi dengan tubuh Gita dalam pelukan Rangga saat ponsel pria itu berbunyi. Dari Kirana. "Aku ada di luar rumahmu," kata Kirana singkat begitu panggilannya diangkat. Dia sudah mengatakan ingin mengunjungi rumah sepupunya dengan membawa makan malam. Ini untuk merayakan rumah baru mereka. Rangga segera beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kotak yang tertempel di dinding--itu untuk akses kunci gerbang dan pintu utama serta menunjukkan siapa tamu merekaa--dan melihat mobil Kirana di layar kecil di sana. Lalu dia menekan tombol untuk membuka gerbang. Layar kemudian memperlihatkan mobil Kirana melewati gerbang dan setelah masuk sepenuh ke dalam area rumah mereka, barulah dia menekan tombol untuk menutup kembali gerbang. Setelahnya dia membuka kunci pintu agar Kirana tak perlu lagi menghubunginya ataupun membunyikan bel. Yah, itu merupakan teknologi terbaru demi keamanan kediamannya. "Dia datang," lapor Rangga seraya
"Rangga," panggil Gita dengan berbisik ketika dirasakannya pelukan Rangga di tubuhnya mengetat. Ini sudah pagi dan dia baru saja mematikan alarmnya. Tapi Rangga tak mau melepaskannya meski dia tahu suaminya itu sudah bangun. Rangga hanya menggumam kata-kata tak jelas dan kembali menikmati posisinya. Dia menghidu bau Gita dengan mata masih terpejam dan juga kehangatan sang istri dalam dekapannya. Itu membuatnya tak ingin cepat terbangun. Gita memutar matanya mendapati reaksi Rangga. Sejak semalam, lebih tepatnya setelah dia mengucapkan nama Citra, Rangga bertingkah sedikit aneh dengan selalu mengambil kesempatan untuk memeluknya. Rangga tidak meninggalkan sisinya dan bahkan mengikutinya ke mana pun, kecuali ke kamar mandi. Ah, kamar mandi! Itu memberikannya sebuah ide. "Aku mau pipis," kata Gita, mulai melancarkan rencananya lepas dari pelukan sang suami. Tidak. Itu bukan berarti dia membenci berada dalam pelukan Rangga--dia sangat suka. Tetapi dia membutuhkan sedikit ruang untuk l
Rangga sudah menduga Gita akan melakukannya. Overthinking. Ditambah dengan hormon kehamilannya, hal itu pasti akan terjadi. Sejujurnya, dia tidak pernah menduga pertemuan tersebut terjadi. Setidaknya, Gita mengetahuinya tidak dengan cara seperti itu. Siapa yang tak terkejut mendapati mantan kekasih suaminya berdiri di hadapannya? Dan apa dia bilang? Jenny menawarinya bekerja untuk Citra? Itu konyol! Bukan Citra yang dikhawatirkannya melainkan sang istri. Dia cemas dengan apa yang akan Gita pikirkan dan rasakan sepanjang bekerja dengan Citra. Andaikan saja dia dapat membaca pikiran seseorang. Sayangnya, dia tidak dapat melakukannya dan hanya bergantung pada insting untuk menebak-nebak apa yang ada di dalam kepala Gita. "Tentang tawaran Jenny, gimana kalau kamu tolak?" tanya Rangga di dekat telinga Gita. Oh, dia menyukai wangi istrinya. Itu menenangkannya saat menghidu baunya dan merasakan kehangatannya. Rasanya, dia ingin memeluk Gita seharian. Tentu saja, bukan karena percakapan m