ZOLA
Today is my day.Setelah sekian banyak drama serta lika-liku hubungan kami di sana sini, akhirnya perjalanan hidup mengantarku pada hari ini.Pagi ini aku dan Zach akan menikah. Kami menyelenggarakan acara tersebut bukan di hotel atau tempat lainnya, melainkan di rumah orang tua Zach. Acara tersebut tidak mengundang banyak orang. Yang hadir hanyalah orang tua serta keluargaku dan Zach.Meskipun berbeda dengan Mbak Zoi dan Mas Javas yang dulu pernikahan keduanya diselenggarakan secara mewah dan meriah saat Euro trip dengan kapal pesiar, tapi aku bahagia. Bagiku yang terpenting adalah esensi pernikahan itu sendiri.Berhubungan acaranya mendadak, maka semua serba dadakan. Baju pengantinku adalah pemberian Tante Rosella. Aku juga tidak menggunakan make up artist untuk merias. Zelinelah yang mendandaniku from head to toe.“Cantik kamu, Dek.” Pujian itu meluncur dari bibir Mbak Zoi yang memperhatikanku sejak tadi.ZOLARasanya nggak percaya kalau saat ini statusku adalah seorang istri. Status yang menurutku sangat menakjubkan mengingat saat ini usiaku masih begitu dini untuk menyandangnya. Aku baru dua puluh tiga tahun saat ini.Dulu, aku pernah berniat tidak akan menikah sebelum mimpi-mimpiku menjadi kenyataan. Aku ingin menjadi wanita karir yang hebat. Ingin memiliki rumah dan kendaraan pribadi yang kubeli dengan hasil keringat sendiri. Serta masih banyak lagi angan-angan di kepalaku.Namun, sekarang semua keinginan itu tidak lagi penting. Preferensi hidupku sudah berganti. Yang kuinginkan sekarang adalah kebahagiaan yang kekal selamanya.Setelah menikah tadi pagi, aku resmi menjadi anggota baru keluarga Mahanta. Istri dari seorang lelaki yang saat ini sedang mengusap-usap kepalaku.Aku berbaring di atas dada Zach. Saat ini kami sedang berada di honeymoon suite sebuah hotel.Ini bukanlah rencana kami berdua. Aku dan Zach berniat menghabiskan malam pertama sebagai pengantin baru di rumah saja
ZOLAZach masih berada di atasku padahal percintaan kami sudah selesai sejak bermenit-menit yang lalu. Bahkan miliknya masih mengisi kewanitaanku. Belum ada tanda-tanda dia akan mengeluarkannya meski ukurannya kurasakan sudah menyusut.“Zach ...” Aku mengusap punggungnya yang basah oleh peluh.“Aku masih mau di sini dulu, La,” ucapnya pelan seakan mengerti apa yang kumaksud.Aku membiarkan dia dengan kemauannya. Termasuk saat Zach memain-mainkan inti dadaku dengan jarinya seakan saat bercinta tadi dia masih belum puas. Kalau sudah begini aku hanya bisa membalas. Aku mengaitkan kaki ke pinggangnya, membuat tubuh kami menempel semakin erat.Melihat caranya memperlakukanku, aku yakin momen-momen seperti inilah yang nanti akan kurindukan.“Aku pasti bakalan kangen banget sama kamu,” cetusku pelan sembari mengelus rambutnya.“Me too, makanya aku mau puas-puasin sekarang.”“Terus kalau nanti kamu kangen dan kepengen gimana caranya?” Aku mulai memancing, ingin tahu apa yang dilakukan Zach sa
ZOLAAku baru saja akan turun dari tempat tidur ketika pinggangku direngkuh bersama suara yang terdengar.“Mau ke mana, La?”Aku menoleh dan mendapati Zach yang matanya masih tertutup. Aku nggak tahu kalau Zach memiliki insting yang kuat. Buktinya dia tahu aku akan beranjak.Aku mengelus kepalanya dengan lembut. “Mau ke kamar mandi bentar, bangun gih, udah siang.”Zach menggeliat malas. Perlahan kelopak matanya pun terbuka. “Jam berapa sekarang, La?” tanyanya parau.“Udah jam sepuluh,” jawabku lesu.Zach mengesahkan nafasnya. Aku tahu dia juga sedang merasakan keresahan yang sama denganku. Kami sama-sama khawatir karena kebersamaan kami akan segera berakhir. Tinggal beberapa jam lagi ya.” Zach menggumam pelan.“Iya.” Suaraku semakin lirih.Zach menaikkan tangannya mengusap pipiku. “Nggak usah sedih ya, La, nanti kita kan masih bisa telfonan.” Dia menghiburku.“Nggak usah janji-janji deh, nanti kamu kayak dulu lagi. Awalnya memang rajin nelfon aku tiap hari, tapi lama-lama aku dighos
ZOLAZach mengajari Fai berjalan selangkah demi selangkah. Fai tampak begitu riang dan penuh semangat. Sesekali dia mencoba melepaskan tangan dari Zach. Namun karena belum terlalu kuat berdiri dengan kakinya sendiri Fai kehilangan keseimbangan.“Hahaha …” Zach tertawa dan cepat menahan tubuh Fai sebelum terjatuh. “Hati-hati ya, Nak, nggak usah buru-buru.”Fai melanjutkan langkahnya dengan menggandeng tangan Zach seperti tadi. Tapi baru beberapa langkah dia melepaskan kaitan tangannya dari genggaman Zach dan mencoba berjalan sendiri.Zach membiarkannya dan mengawasi dari belakang. Begitu Fai kehilangan keseimbangan dengan cepat Zach menangkap tubuhnya agar tidak jatuh ke lantai.Fai mewarisi sebagian besar fisik Zach. Di usianya yang masih kurang satu tahun Fai tumbuh jauh lebih tinggi dari anak-anak seusianya.“Mamaaa!!!” Fai berseru memanggilku yang berdiri tidak kurang dari dua meter di hadapannya.“Sini, Sayang!” Aku melambaikan tangan agar dia mendekat padaku.Fai menarik langkahn
ZOLAZach sudah berangkat sejak berjam-jam yang lalu, tapi hingga selarut ini mataku masih enggan terpejam.Tadi awalnya aku memang sengaja tidak tidur untuk menunggu kabar dari Zach. Setelah tiba di Singapura Zach meneleponku. Dan beberapa saat yang lalu dia mengabari bahwa akan berangkat. Tapi sekarang aku benar-benar nggak bisa tidur.Tidak jauh berbeda denganku, Fai juga gelisah dalam tidurnya. Meski matanya tertutup, tapi badannya bergerak-gerak. Tadi saat di bandara Fai juga tidak mau melepas Zach. Dia menangis saat Zach memindahkan dari gendongannya padaku. Fai bertahan dengan mengalungkan tangannya seerat mungkin ke leher Zach sampai aku terpaksa memaksanya.Aku berusaha keras agar bisa terpejam. Aku benar-benar kurang istirahat setelah sehari sebelumnya digempur habis-habisan.Baru saja memutar tubuh membelakangi Fai dan mencoba untuk mengatupkan mata, rengekan kecil Fai terdengar. Aku kembali mengarah padanya.Fai bergerak-gerak gelisah dengan mata tertutup seperti tadi. Han
ZOLAKeadaan Fai sudah kembali normal hari ini sehingga aku bisa meninggalkannya untuk bekerja. Jika tidak, mungkin aku akan merasa waswas sepanjang hari.Saat Zach menelepon aku memang sengaja menyembunyikan soal Fai yang sempat demam padanya. Aku nggak mau Zach jadi kepikiran dan membebaninya. Maunya aku semua urusan pekerjaannya lancar sehingga dia bisa cepat kembali ke sini.Wajah lesu Ariq adalah hal pertama yang kutemui setibanya di kantor lalu masuk ke ruangannya.“Pagi, Pak.” Aku menyapanya sopan.Ariq tidak menjawab sapaanku. Dia hanya menatapku datar.Aku tidak terlalu memedulikannya. Mungkin semalam dia mabuk dan hingga saat ini masih digayuti sisa-sisa hangover.Aku memusatkan perhatian pada pekerjaan dengan memeriksa schedule Ariq hari ini yang ternyata lumayan padat. Seninku mungkin jauh lebih hectic dari para budak korporat lainnya. Buktinya hari ini aku harus menemani Ariq dari pagi hingga malam.“Zola …”Aku mengalihkan atensi dari iPad di tangan saat mendengar Ariq
ZACH“Jawab aku, Ra! Apa maksud kamu bilang begitu sama istriku?” tuntutku pada Cassandra yang masih membatu sejak kutanya beberapa menit yang lalu. Dia yang biasanya piawai berorasi seakan kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaanku. Diam tandanya bersalah kan?Cassandra menegakkan kepalanya lalu menatap dengan lurus padaku. “Zach, sorry, waktu itu aku hanya becanda. Aku nggak sungguh-sungguh. Tapi ternyata Zola nggak bisa dibecandain.” Dia nyengir di ujung penjelasannya.Aku menggelengkan kepala tak percaya. Zola memang bukan tipe perempuan yang humoris, tapi aku yakin kalau semua yang dikatakan Cassandra bukanlah gurauan belaka. Nggak mungkin Zola mengarang cerita.“Apa kamu pikir semua hal bisa dijadikan bahan becandaan? Sebelum kamu candain istri aku pernah mikir nggak kalau kata-katamu itu akan menyakiti dia?”Sisa-sisa tawa di wajah Cassandra perlahan memudar menyadari bahwa saat ini aku sedang serius bicara dengannya.“Don’t get me wrong, Zach. Berani sumpah kalau aku sam
ZOLA“Terima kasih, Pak,” kataku pada Ariq setelah kami tiba di rumah.Ariq mengangguk singkat, kemudian tanpa aku duga membuka pintu di sebelahnya dan memutari mobil lalu membukakan pintu untukku.Aku mengucapkan terima kasih sekali lagi. Bukannya pergi dia malah berdiri di sebelahku. Aku memandangnya bingung.“Bapak nggak pulang?”“Saya mau pamitan dulu sama mertua kamu.”Aku mengikuti arah pandang Ariq yang tertuju tepat pada beranda. Di sana Mami berdiri tegak entah sejak kapan. Mungkin dia keluar saat mendengar suara mobil. Di keheningan malam seperti saat ini suara sehalus apapun akan begitu menarik perhatian.“Nggak usah, Pak, Bapak langsung pulang saja.” Aku menolak permintaannya. “Nggak bisa begitu dong, mertua kamu sudah terlanjur melihat saya. Saya jadinya yang nggak enak.”Aku terpaksa membiarkannya.Tatapan Mami masih menyorotku dan Ariq saat aku membuka pintu p