ZOLAZach mengajari Fai berjalan selangkah demi selangkah. Fai tampak begitu riang dan penuh semangat. Sesekali dia mencoba melepaskan tangan dari Zach. Namun karena belum terlalu kuat berdiri dengan kakinya sendiri Fai kehilangan keseimbangan.“Hahaha …” Zach tertawa dan cepat menahan tubuh Fai sebelum terjatuh. “Hati-hati ya, Nak, nggak usah buru-buru.”Fai melanjutkan langkahnya dengan menggandeng tangan Zach seperti tadi. Tapi baru beberapa langkah dia melepaskan kaitan tangannya dari genggaman Zach dan mencoba berjalan sendiri.Zach membiarkannya dan mengawasi dari belakang. Begitu Fai kehilangan keseimbangan dengan cepat Zach menangkap tubuhnya agar tidak jatuh ke lantai.Fai mewarisi sebagian besar fisik Zach. Di usianya yang masih kurang satu tahun Fai tumbuh jauh lebih tinggi dari anak-anak seusianya.“Mamaaa!!!” Fai berseru memanggilku yang berdiri tidak kurang dari dua meter di hadapannya.“Sini, Sayang!” Aku melambaikan tangan agar dia mendekat padaku.Fai menarik langkahn
ZOLAZach sudah berangkat sejak berjam-jam yang lalu, tapi hingga selarut ini mataku masih enggan terpejam.Tadi awalnya aku memang sengaja tidak tidur untuk menunggu kabar dari Zach. Setelah tiba di Singapura Zach meneleponku. Dan beberapa saat yang lalu dia mengabari bahwa akan berangkat. Tapi sekarang aku benar-benar nggak bisa tidur.Tidak jauh berbeda denganku, Fai juga gelisah dalam tidurnya. Meski matanya tertutup, tapi badannya bergerak-gerak. Tadi saat di bandara Fai juga tidak mau melepas Zach. Dia menangis saat Zach memindahkan dari gendongannya padaku. Fai bertahan dengan mengalungkan tangannya seerat mungkin ke leher Zach sampai aku terpaksa memaksanya.Aku berusaha keras agar bisa terpejam. Aku benar-benar kurang istirahat setelah sehari sebelumnya digempur habis-habisan.Baru saja memutar tubuh membelakangi Fai dan mencoba untuk mengatupkan mata, rengekan kecil Fai terdengar. Aku kembali mengarah padanya.Fai bergerak-gerak gelisah dengan mata tertutup seperti tadi. Han
ZOLAKeadaan Fai sudah kembali normal hari ini sehingga aku bisa meninggalkannya untuk bekerja. Jika tidak, mungkin aku akan merasa waswas sepanjang hari.Saat Zach menelepon aku memang sengaja menyembunyikan soal Fai yang sempat demam padanya. Aku nggak mau Zach jadi kepikiran dan membebaninya. Maunya aku semua urusan pekerjaannya lancar sehingga dia bisa cepat kembali ke sini.Wajah lesu Ariq adalah hal pertama yang kutemui setibanya di kantor lalu masuk ke ruangannya.“Pagi, Pak.” Aku menyapanya sopan.Ariq tidak menjawab sapaanku. Dia hanya menatapku datar.Aku tidak terlalu memedulikannya. Mungkin semalam dia mabuk dan hingga saat ini masih digayuti sisa-sisa hangover.Aku memusatkan perhatian pada pekerjaan dengan memeriksa schedule Ariq hari ini yang ternyata lumayan padat. Seninku mungkin jauh lebih hectic dari para budak korporat lainnya. Buktinya hari ini aku harus menemani Ariq dari pagi hingga malam.“Zola …”Aku mengalihkan atensi dari iPad di tangan saat mendengar Ariq
ZACH“Jawab aku, Ra! Apa maksud kamu bilang begitu sama istriku?” tuntutku pada Cassandra yang masih membatu sejak kutanya beberapa menit yang lalu. Dia yang biasanya piawai berorasi seakan kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaanku. Diam tandanya bersalah kan?Cassandra menegakkan kepalanya lalu menatap dengan lurus padaku. “Zach, sorry, waktu itu aku hanya becanda. Aku nggak sungguh-sungguh. Tapi ternyata Zola nggak bisa dibecandain.” Dia nyengir di ujung penjelasannya.Aku menggelengkan kepala tak percaya. Zola memang bukan tipe perempuan yang humoris, tapi aku yakin kalau semua yang dikatakan Cassandra bukanlah gurauan belaka. Nggak mungkin Zola mengarang cerita.“Apa kamu pikir semua hal bisa dijadikan bahan becandaan? Sebelum kamu candain istri aku pernah mikir nggak kalau kata-katamu itu akan menyakiti dia?”Sisa-sisa tawa di wajah Cassandra perlahan memudar menyadari bahwa saat ini aku sedang serius bicara dengannya.“Don’t get me wrong, Zach. Berani sumpah kalau aku sam
ZOLA“Terima kasih, Pak,” kataku pada Ariq setelah kami tiba di rumah.Ariq mengangguk singkat, kemudian tanpa aku duga membuka pintu di sebelahnya dan memutari mobil lalu membukakan pintu untukku.Aku mengucapkan terima kasih sekali lagi. Bukannya pergi dia malah berdiri di sebelahku. Aku memandangnya bingung.“Bapak nggak pulang?”“Saya mau pamitan dulu sama mertua kamu.”Aku mengikuti arah pandang Ariq yang tertuju tepat pada beranda. Di sana Mami berdiri tegak entah sejak kapan. Mungkin dia keluar saat mendengar suara mobil. Di keheningan malam seperti saat ini suara sehalus apapun akan begitu menarik perhatian.“Nggak usah, Pak, Bapak langsung pulang saja.” Aku menolak permintaannya. “Nggak bisa begitu dong, mertua kamu sudah terlanjur melihat saya. Saya jadinya yang nggak enak.”Aku terpaksa membiarkannya.Tatapan Mami masih menyorotku dan Ariq saat aku membuka pintu p
ZACHAku bertemu dengan Cassandra di kantor. Ya, mau nggak mau aku tidak bisa menghindari perjumpaan dengannya karena kami berada pada team yang sama.Tadi kami meeting membahas ekspedisi ke Alaska besok lusa. Sepanjang meeting berlangsung Cassandra tidak banyak bicara seperti biasa. Bibirnya terkatup rapat sementara matanya menyorot sendu. Dia terlihat sedih. Atau apa ini hanya perasaanku saja?Aku sudah berada di dalam jeep-ku dan siap-siap untuk pulang ketika Cassandra melintas. Kasihan juga melihatnya jalan kaki sendiri. Padahal biasanya dia selalu ke mana-mana bersamaku.Aku menahan diri untuk tidak memanggilnya dan memberi tebengan. Aku benar-benar harus menjaga jaraknya dengannya.***Cassandra muncul pukul delapan malam dengan wajah lesu. Aku pura-pura tidak melihatnya datang dan terus mengisap rokok sambil menikmati tayangan berita di televisi.Selama hitungan menit Cassandra hanya berdiri di ujung sofa
ZOLATanpa terasa sudah sebulan tidak ada kabar dari Zach. Dan itu membuatku resah. Sebelum pergi dia memang mengatakan bisa saja nanti komunikasi kami akan terputus. Dan sekarang hal tersebut benar-benar menjadi kenyataan.Aku hanya bisa menghela nafas setiap kali mencoba menghubunginya tapi nomor tujuan tidak merespon. Zach memang pernah menghubungiku setibanya di Alaska, tapi hanya pada beberapa hari pertama. Selebihnya hingga saat ini aku kehilangan kontak dengannya.Aku begitu merindukannya. Pun dengan Fai yang sering menanyakan papanya.“Gimana? Zach masih belum bisa dihubungi?” tanya Mami pagi ini saat aku mencoba menelepon Zach untuk kesekian kalinya.“Belum, Mi,” jawabku lesu sambil memasukkan ponsel ke dalam tas.“Positif thinking aja ya, La, mungkin di sana sedang ada kendala,” ujar Mami menghibur hatiku.“Iya, Mi.” Aku kemudian berpamitan pada Mami.Di dalam perjalanan ke kantor
ZOLA“Gimana, Zel, menurutmu Pak Ariq, oke nggak?” tanyaku saat kami pulang ke rumah sore ini.Zeline yang sedang menyetir lantas menoleh ke arahku. Tadi dia sendiri yang meminta untuk menyetir begitu melihat mobilku yang perkasa.“Oke banget, Mbak. Kok nggak cerita sih kalau Pak Ariq itu masih muda? Kirain udah bapak-bapak yang perutnya buncit.” Zeline tertawa terpingkal-pingkal. “Kamunya juga nggak nanya.”“Tapi harusnya Mbak Ola kasih tahu aku jadi aku kan nggak perlu mikir panjang dulu.” Zeline masih memprotesku.“Memangnya sebelum ke sini kamu mikir panjang dulu?”“Ya iyalah. Kalau bukan karena kasihan sama Mbak Ola aku nggak bakal mau ke sini. Tapi beneran aku di sini cuma sementara?”Saat melobi Zeline aku memang mengatakan padanya bahwa dia di sini hanya sesaat, sampai Ariq mendapat penggantiku. Sebelumnya aku berpikir pasti Zeline nggak akan mau kalau dia adalah penggantiku yang sesunggu
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.