ZELINEHari wisudaku akhirnya datang juga. Seharusnya hari ini aku bahagia karena ini adalah titik puncak perjuanganku setelah bertahun-tahun. Tapi peristiwa demi peristiwa yang terjadi belakangan ini membuat bahagia adalah hal yang kurang tepat untuk mendeskripsikan hidupku saat ini. Tidak terlalu banyak yang menghadiri acaraku. Paling hanya keluarga dekat. Mas Javas berhalangan datang sehingga yang mewakilinya hanya Mbak Zoi dan si kecil Bjorka.“Asem banget mukanya. Bisa senyum dikit nggak?” Mbak Zoi berbisik padaku saat melihatku hanya diam tanpa ekspresi apa-apa.Dengan terpaksa kulengkungkan bibir yang begitu berat untuk digerakkan. Bukan karena polesan lipstickku yang bold, tapi karena sejak kemarin malam perasaanku tidak enak.“Nah, gitu kan bagus.”Mama dan Papa sedang berbicara dengan orang tua teman-temanku yang mengenal mereka. Aku melipir saat melihat Gita melambaikan tangannya padaku.Sejak SMP, SMU hingga perguruan tinggi aku dan Gita menempuh pendidikan di tempat yan
JEVINLelaki di sebelah Zeline menatap sekilas padanya. Zeline membalas dengan senyumnya yang semanis madu.“Dim, kenalin ini kakak iparnya Mbak Zoi, namanya Jevin.”Lelaki bernama Dimas itu mengulurkan tangannya sehingga mau nggak mau aku terpaksa menyambutnya. Kami pun berjabatan menyebut nama masing-masing.“Dimas.”“Jevin.”Aku nggak tahu bagaimana proses itu terjadi—Zeline berpacaran dengan Dimas dalam jangka waktu dua minggu setelah dia meninggalkan Jakarta. Tapi sejujurnya jika aku melihat dari kacamata yang netral, Zeline dan Dimas tampak sangat serasi. Mereka mungkin seumuran. Zeline sesuai dengan Dimas yang masih muda, bukan dengan om-om sepertiku.“Jev, makasih atas kedatangannya. Kamu udah jauh-jauh ke sini hanya untuk menghadiri wisuda aku. Tapi acaranya sudah selesai. Sebaiknya kamu pulang sekarang. Aku nggak mau Papa sama Mama ngeliat kamu ada di sini dan itu bikin mereka emosi. Aku minta tolong banget pengertian kamu.”Zeline mengusirku terang-terangan di depan lelaki
JEVIN“Zoi …” Aku melafalkan namanya agar Zoia menjawab permintaanku. Sejak tadi dia hanya memandang dengan tatapan prihatin seakan aku adalah makhluk paling menyedihkan.Zoia mengembuskan nafas panjang. Dari gesturnya mengesankan apa yang akan disampaikannya merupakan sesuatu yang berat, yang mungkin dia sendiri tidak mampu untuk mengatakannya.“Mas Jevin udah tahu soal Mami?”“Mami kenapa?” Aku memburu tidak sabar.“Mami dan Papi waktu itu datang ke rumah ketemu sama Mama dan Papa dan juga Zeline. Ucapan Mami bikin keluarga aku tersinggung. Mami merendahkan Zeline. Mami bilang Zeline bukan perempuan baik-baik. Zeline hanya memanfaatkan Mas Jevin demi uang. Mami menuduh Zeline memaksa Mas Jevin untuk membatalkan pernikahan dengan Mbak Niken. Bukan cuma itu, Mas, masih banyak lagi hinaan Mami untuk Zeline dan keluarga kami yang disampaikan lewat telfon. Bahkan aku sama Javas sampe berantem gara-gara masalah tersebut.”Zoia kemudian menguraikan secara detail percakapan antara Mami Pa
ZELINEMama mengikutiku ketika aku masuk ke kamar setelah Dimas pulang. “Papa kenapa iya-iya aja, Ma? Kenapa nggak tanya aku dulu?” Aku memprotes sikap Papa pada Mama mengenai rencana melanjutkan S2 tadi.Mama lalu duduk di sebelahku, menatap dengan tatapan lembut seorang ibu.“Papa melakukan ini semua demi kebaikan kamu, Zel. Semakin tinggi pendidikan maka peluang untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik akan semakin besar. Kamu harus sukses dan berhasil biar nanti kamu bisa membungkam mulut orang-orang yang menghina kamu. Mengerti kan maksud Mama?”“Tapi nggak harus sampai ke luar negeri kan, Ma? Di kampusku juga ada kok program S2.”“Jelas aja berbeda kuliah di dalam dan di luar negeri. Bukannya Mama mau mengatakan kalau di negara kita nggak bagus, tapi faktanya memang begitu.”Aku mengakui kebenaran kata-kata Mama. Tapi entah mengapa rasanya berat sekali untuk pergi jika seandainya aku diterima.Papa masuk ke kamarku di saat aku sedang bicara dengan Mama.“Siapa yang mengundang
JEVIN“Lepasin aku, Jev! Keluarin aku dari sini!” Zeline terus berteriak setelah aku membawanya ke mobil seakan aku adalah seorang penculik yang akan mencelakainya.“Apa sih yang mau kamu omongin? Ngomong di sini aja!” Rasanya aku ingin membungkam mulutnya dengan kecupan agar dia berhenti memprotes.“Teriak aja, nggak ada yang bisa mendengar kamu. Yang ada suara kamu bakal habis.”“Aku nanya apa yang mau kamu omongin? Ngomong aja di sini. Kamu nggak bisa giniin aku, Jev. Aku bukan anak SMP bodoh lagi!”“Justru karena itu. Karena kamu bukan anak SMP seharusnya kamu bisa bersikap dewasa. Sekarang nggak usah banyak protes, turutin apa yang aku mau.”“Kamu pikir kamu siapa yang kemauannya harus aku turuti?”Demi apa pun aku merasa gemas melihat ekspresi Zeline. Alih-alih akan terlihat jelek mata bulatnya justru tampak semakin indah saat sedang marah begini.“Mau tahu aku siapa? I’m your first love.”Zeline menjawab dengan dengkusan keras sementara aku mengemudikan mobil semakin kencang.
JEVINAku menatap hampa ke sekeliling. Ini adalah kamarku di rumah Mami sejak bertahun-tahun yang lalu. Tapi entah mengapa warna putih yang mendominasi kamar ini semakin menambah aura kesedihan.Iya, sedih, hampa, kosong, kehilangan semangat, itu yang kurasakan sejak memutuskan untuk melepas Zeline. Aku benar-benar sudah kehilangan dia, dan mungkin untuk selamanya. Baru beberapa bulan, tapi aku merasa sudah hampir mati.Pintu yang kemudian dibuka dari luar bersama dengan sosok Mami yang muncul menghalau pergi lamunanku tentang Zeline.“Jev, ada Niken nih.”Ternyata Mami tidak sendiri. Aku melihat Niken berjalan di belakang Mami. Keduanya kemudian mendekat ke arahku.“Mami nggak bisa nemenin kamu ke rumah sakit. Jadi hari ini kamu ditemenin sama Niken,” kata Mami padaku setelah duduk di pinggir tempat tidur yang kutempati.“Aku nggak sakit, Mi. Aku nggak mau ke rumah sakit.” Aku menolak permintaan Mami. Aku merasa baik-baik saja tapi mereka bilang aku sakit.Awalnya setiap hari aku tid
JEVINAku dan Niken baru saja meninggalkan rumah sakit. Cukup lama kami berada di sana. Tadi aku juga mengikuti sesi psikoterapi, hanya berdua dengan dokter, sedangkan Niken menunggu di luar. Tapi aku yakin pasti dokter yang menanganiku menceritakannya pada Niken.“Dokter Ivan bilang katanya kamu nggak kooperatif,” cetus Niken yang sedang menyetir di sebelahku sambil memandang sekilas.Aku diam tidak menanggapi. Bukan tidak kooperatif, tapi terlalu sulit untuk mengungkapkan apa yang kurasakan.“Kalau kamu terus begitu dokter akan sulit membantu kamu, Jev. Kamu nggak usah malu. Cerita aja semua yang kamu rasakan sama dokter. Dia nggak akan menertawakan kamu. Kalau kamu kayak gini aku jadinya juga sedih,” ucap Niken menunjukkan keprihatinannya.Aku masih mengunci mulut, tidak sedikit pun merespon kata-kata Niken. Jika dia orang lain mungkin akan muak padaku. Tapi ini Niken, perempuan baik hati yang stock kesabarannya tiada batas.“Jev, aku nggak marah, kamu jangan tersinggung ya,” imbuh
ZELINEDimas baru saja menelepon. Dia mengonfirmasi mengenai keberangkatanku nanti sore. Dari awal sampai akhir bantuan Dimas tak terhitung lagi jumlahnya. Dimaslah yang membantuku mengurus persyaratan LPDP, mengantar dan menemaniku selama tes, sampai memberiku semangat yang berkobar-kobar. Energi positif Dimas menular padaku sehingga aku ikut menjadi pribadi yang optimis.Tidak cukup sampai di sana. Dimas juga yang mencarikan tempat tinggal di New York. Jadi bagaimana Papa tidak akan simpati padanya? Papa memercayakanku sepenuhnya pada Dimas. Kata Papa lagi Dimas adalah laki-laki baik dan bertanggung jawab. Berbeda dengan … Jevin.Aku ingin membantah kata-kata Papa dengan mengatakan bahwa Jevin bukannya tidak bertanggung jawab, tapi Papalah yang tidak menyetujui hubungan kami. Tapi karena tidak ingin menambah luka di atas luka yang belum sembuh maka aku pun memilih diam dan memilih menyimpan semua pembelaan itu di dalam hati.Ngomong-ngomong soal Jevin sudah sangat lama aku tidak