Ini semua tidak akan terjadi seandainya aku pulang bersama Riza tadi malam. Biasanya dia akan mengantarku sampai rumah, mencium keningku, lalu menyetir pulang ke apartemennya. Bahkan meski itu jauh, dari Jakarta ke Bogor. Jelas saja, karena aku masih tinggal dengan keluargaku di Bogor walau seluruh aktivitas keartisanku dilakukan di ibu kota. Sedangkan ia meski memiliki rumah keluarga di Jakarta Selatan, memilih lebih dekat dengan kantor manajemennya di Jakarta Pusat. Namun, semalam, ia menyuruhku pulang lebih dulu karena persiapan acara tidak juga selesai.
Aku sudah berkata, “Nggak papa, aku seneng bisa lihat persiapannya sampai selesai.”
Namun, seperti kebiasaan Riza, ia akan menggeleng dengan tatapan lembut. “Nanti kamu kecapean. Keburu ndak ada kereta juga nanti. Aku ndak yakin kuat nyetirin kalo terlalu malam. Mungkin nanti aku panggil sopir.”
Aku menghargai kekhawatiran di sorot matanya, sehingga menurut. Lagi pula, hampir delapan puluh persen persiapan beres sesuai konsep yang kuinginkan. Masih kuingat, aku sempat meneliti lagi dekorasi yang ditata oleh tim artistik di panggung tempatku akan mengadakan prosesi lamaran. Aku tersenyum pada bunga-bunga tulip buatan, mengucapkan ‘sampai jumpa besok’, meski tahu bunga-bunga itu benda mati.
Ini semua tidak akan terjadi kalau aku tidak menerima tumpangan dari Radi yang tiba-tiba muncul di pelataran stasiun tempat aku akan menaiki kereta terakhir menuju Bogor. Dia datang entah dari mana, tiba-tiba mengklakson dan membuatku spontan menoleh. Mendapati ia dengan sedan yang dulu senantiasa menemaniku melewati masa-masa kuliah, hingga mengikuti kontes menyanyi, dan terkenal sebagai pemenang nomor satu dalam kontes tersebut. Jadilah aku penyanyi yang cukup berhasil menduduki peringkat papan atas negeri ini.
“Sendiri aja? Nggak sama Riza?” tanyanya malam itu saat menurunkan kaca mobil.
Aku menggeleng. Hendak melangkah pergi, ketika ia memotong, “Bareng aku aja, yuk. Sekalian aku mau ke apartemen di Bogor.”
Kenapa ke sana? Bukankah dia tinggal dengan istrinya di Jakarta Selatan?, aku ingin mempertanyakan itu. Namun, angin dingin menerpa sisi lenganku yang hanya dibalut dress lengan pendek yang kulapisi kardigan. Meski ini dress panjang yang kukombinasi dengan celana panjang, tetap saja malam terlalu larut sehingga anginnya menembus bajuku.
“Ayo, Din. Nggak usah khawatir, kamu bisa chat Riza sekalian ngabarin. Searah juga ini, daripada naik kereta sendirian.” Tawaran itu akhirnya kuterima. Ia masih seramah yang kukenal, bahkan masih ber-aku-kamu. Itu membuatku merasa cukup aman untuk menerima tumpangannya.
Kalau saja aku tidak masuk sedan itu dan mengingat semua kenangan di dalamnya, serta mendengar ceritanya setelah kami berpisah, maka aku tidak akan memutuskan hal nekat di hampir dini hari.
“Aku nggak pernah bahagia sama dia. Ternyata dia bohong, yang dia kandung bukan anakku. Aku berencana menceraikan dia setelah ini. Hasil tes DNA juga sudah keluar. Kami sudah pisah rumah.”
Ucapannya di menit perdana kami melaju, menghentikan gerak tanganku yang hendak mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Aku tidak sanggup berkata apa-apa kala itu. Bingung. Bagaimana harus merespons cerita yang keluar dari mantan pacarmu yang menikahi perempuan lain karena dinyatakan sudah menghamili perempuan itu lebih dahulu? Aku bahkan masih ingat betapa hancur perasaanku saat ia memutuskan memilih perempuan itu atas dasar tanggung jawab, meninggalkanku yang telah diberinya harapan pelaminan.
“Sialan. Harusnya dulu aku nggak nikahin dia sebelum anak itu lahir. Bodohnya aku percaya akal bulusnya. Harusnya aku nggak ninggalin kamu,” Radian, lelaki itu, terdengar patah saat mengatakannya.
Katakanlah, aku naif dan bodoh. Karena setelah mendengar kata-katanya, lalu radio menyetel lagu yang sering kami nyanyikan bersama, You’re Still The One yang dikover band indie, aku merasa kembali ke masa itu. Bukan hanya Radi yang salah. Aku juga tidak menahannya untuk pergi. Aku tidak memberinya saran apa pun selain marah dan membencinya. Sikapku juga andil mendorongnya pergi, apalagi gosip itu sudah menyebar di berbagai platform media sosial. Radi terpojok dan tidak memiliki alibi apa-apa untuk membantah bukti foto hubungan mereka—yang entah direkayasa dengan cara apa oleh gadis itu.
Lalu sekarang, ternyata itu semua benar-benar palsu. Anak itu bukan anak Radi—berarti lelaki di sebelahku ini tak pernah benar-benar mengkhianatiku. Perasaanku tiba-tiba campur aduk.
You’re still the one I run to
The one that I belong to
You’re still the one I want for life
Sayup-sayup nada lagu itu mengingatkanku pada hari-hari pertama kami mulai menjalin hubungan. Aku menoleh dan tepat bertemu mata dengannya. Perlahan, kurasakan mobil berhenti di lampu merah, dan ia mulai bicara lagi.
“Kupikir masih ada waktu buat ngejar kamu lagi, tapi ….”
Kalimatnya terputus, seiring wajahnya mengeruh. Pasti berita-berita meriah itu penyebabnya. Seluruh jagad maya tahu bahwa besok aku akan dilamar. Untuk kali kesekian, netizen berhasil menyatukan dua hati untuk melangkah ke pelaminan. Mereka bilang si A dan si B cocok, lalu memanas-manasi, hingga akhirnya keduanya menikah. Itu pula yang akan terjadi padaku. Namun, demi apa pun, saat itu, hatiku terasa diremas melihat Radi terluka. Bersamanya cukup lama, membuatku hafal dengan gestur wajahnya, meski ia menutupi itu dengan senyum tipis.
“… kamu sudah dapat laki-laki yang lebih baik,” lanjutnya, mengalihkan tatap pada mobil-mobil yang menyeberang di perempatan yang cukup padat di depan kami.
Jantungku berdesir halus. Ia sedang ada di titik terendahnya, dan aku akan bersenang-senang besok? Aku teringat rasa sakit di hari pernikahannya yang terpaksa kuhadiri, dan pengantin wanitanya tersenyum sinis padaku saat kami berjabat tangan. Aku yakin dia wanita serigala, dan aku hanya bisa menangis sesal karena menyerahkan priaku padanya.
“Aku turut berbahagia dengan hari lamaranmu. Maaf, dulu aku ninggalin kamu. Semoga Riza bisa jadi laki-laki yang lebih setia daripada aku.” Radi lantas kembali menjalankan mobil ketika lampu hijau menyala.
Bogor masih lumayan jauh. Jarak yang cukup untukku sekadar memejamkan mata yang lelah setelah terbuka seharian untuk mengurus berbagai keperluan, tapi cerita Radi membuat kantukku lenyap. Mataku berulang kali menoleh ke arahnya, mencoba meraba perasaan lelaki itu saat ini.
You’re still the one that I love
The only one I dream of
You’re still the one I kiss goodnight
“Radi, kamu nggak mau bawa aku pergi dari sini?”
Aku mengatupkan bibir tatkala akhirnya kalimat itu meluncur dari mulut tanpa bisa kuelakkan. Otomatis Radi menginjak rem, berujung klakson keras dilayangkan padanya oleh pengemudi di belakang kami. Ia cepat-cepat menarik gas lagi, meski masih dengan wajah bingung.
“Maksudmu? Kamu kan harus pulang. Besok … lamaranmu ….” Suara Radi terdengar panik sekaligus riang, tak jelas.
“Aku ….” Bimbang, aku menautkan kedua tangan, memaksa otak untuk bicara. Namun, percuma, aku tidak sedang ingin mendengarkan logikaku sendiri. “Aku nggak bener-bener cinta sama Riza. Itu semua setting-an netizen. Aku nggak bisa bayangin nikah sama dia dan semua kisah rumah tanggaku diekspos sama mereka.” Segala kilasan tentang ramalan netizen dan komentar-komentar mereka silang sengkarut di otakku. Tiba-tiba seperti ada bisikan entah dari mana yang mengatakan, mungkin ini sudah rencana Tuhan. Untuk mengingatkanku bahwa bersama Riza bukan pilihan terbaik.
Saat tidak mendengar jawaban dari Radi sampai sekian waktu berlalu, aku memberanikan diri menyentuh punggung tangannya yang menempel di tuas persneling. Spontan ia terkejut dan menoleh. Sesaat saja, lantas ia menarik tangannya.
“Kalo kamu nggak mau, ya nggak papa. Mungkin … kita emang—”
“Kadang-kadang kita punya satu frekuensi yang sangat nekat, tapi berhasil kita wujudkan. Masih inget gimana kita dulu bisa sama-sama menang di kompetisi yang kita ikutin?” Tangan Radi kurasakan mendarat di atas rambutku, mengusapnya.
Aku mengerjap, menunggu lanjutan kata-katanya dengan dada berdegup keras.
“Maybe we should give it a try, aren’t we?”
Dan, dengan anggukan impulsifku, aku meninggalkan rencana lamaran itu hanya dengan pesan pendek yang aku yakin akan menyakiti seluruh keluarga serta Riza hanya dalam sekali membacanya. Namun, pada akhirnya, ini hidupku. Aku berhak menentukan jalan yang kupilih. Sudah cukup selama ini aku mengikuti mau orang-orang di sekitarku, bahkan sampai orang yang tidak kukenal sama sekali. Kali ini, aku mengikuti hatiku. Entah akan berhasil atau tidak, setidaknya aku ingin mencoba.
***
Hai, hai, bantu like dan berlangganan cerita ini ya. Cerita akan di-update setiap hari. Untuk mengetahui cerita-cerita author lainnya dan jadwal update, boleh follow IG: @sayapsenja. Terima kasih!
“Diniii! Ayo berangkat! Kamu jangan lama-lama dandannya, nanti di sana juga didandanin lagi, kok!”Teriakan Mama membuatku buru-buru mengenakan wedges dan keluar kamar. “Aku nggak dandan, Ma. Cuma ribet pake bajunya, nggak biasa,” sahutku sambil berjalan mendekati Mama.Kulihat, ia sudah tampil dengan paripurna, mengenakan kebaya berwarna hijau yang merupakan seragam khusus untuk keluarga yang akan datang ke pernikahan Kak Andina. Aku merapikan lagi kebayaku yang sama dengan Mama, hanya berukuran lebih kecil dan tidak terlalu banyak payetnya. Aku tidak suka sesuatu yang berkilauan memenuhi diriku, terutama karena aku harus menjaga diri dengan jilbab yang kukenakan.“Oh ya, Ma, Kak Andina beneran jadi berjilbab ya?” tanyaku ketika kami sudah di dalam mobil.Meski ibuku itu sudah berusia lima puluh lebih, tapi ia masih lebih suka menyetir ketimbang diam di sebelah sopir. Jadi, setiap kami bersama, aku mengalah me
Sembilan bulan yang lalu, aku meninggalkan Andina untuk menikah dengan seorang gadis yang belum lama kukenal. Dia adalah Rere, anak teman mamaku yang beberapa kali minta tolong padaku untuk mengantarnya ke sana-sini. Cewek itu bukan tipe idealku sama sekali. Badannya memang bagus, seperti gitar spanyol kata para lelaki, tapi sikapnya terlalu manja. Sangat anak mama. Tidak punya keahlian apa-apa selain merengek, dan tidak punya mimpi lain selain menikah dengan lelaki kaya. Jadi, sejak awal Mama memperkenalkannya padaku, aku tidak tertarik, apalagi sejak aku memiliki Andina.Dina, panggilan akrabnya, sangat mandiri dan pekerja keras. Ia memiliki banyak impian dan selalu semangat mewujudkannya. Kalau ia tengah bercerita tentang mimpi-mimpinya, aku selalu terpukau dengan binar di mata serta tekad di dalam suaranya. Seperti ketika akhirnya Dina bisa meraih juara satu di kompetisi menyanyi nasional yang diadakan televisi, ia memang dengan gigih berusaha meraih mimpinya. Pelan tapi
Baru saja aku akan buka mulut untuk menjawab omongan Riza, pintu kembali terbuka dan orang-orang yang tidak kukenal berbondong-bondong masuk. Salah satunya cewek berambut mengombak tadi, disusul wanita berhijab yang tampak dewasa, dan ada satu laki-laki yang berjalan dengan gemulai.“Nggak ada banyak waktu lagi, Za. Harus mulai make up sekarang. Lo juga keliatan kacau gini, touch up lagi ya, di ruang sebelah.” Cewek itu mulai bicara. Riza langsung berdiri, mengangguk setuju. Ia sempat menoleh padaku, memberiku tatapan hangat, lantas berlalu menuju pintu.“Mbak, aku ….” Lagi-lagi ucapanku terpotong dengan suara derap langkah seseorang yang masuk ruangan. Aku menoleh untuk mendapati Papa menatapku serius.“Saya mau bicara berdua dulu dengan anak saya,” kata Papa. Matanya sempat berganti menatap orang-orang di situ yang kuduga adalah stylist dan make up artist yang sudah disewa oleh Dini
“Gimana kalau kamu berjilbab, Say?” Aku mencoba mendapatkan atensinya saat ia tengah sibuk mengambil selfie di kafe tempat kami berkunjung. Itu kafe yang mengundangnya untuk urusan endorsement, jadi sejak tadi ia berkutat mencari angle yang bagus untuk mengambil foto.Saat mendengar tawaranku, ia langsung menoleh dengan wajah seperti tak percaya. “Apa? Jilbab?” Ia mengulang, seolah khawatir salah dengar.Aku mengambil alih ponselnya, menunjuk salah satu sudut, lantas memotretnya. Saat kutunjukkan hasilnya, ia melonjak senang. “Kalo kamu yang foto, selalu cantik! Makasih, ya, Za.”“Itu maksudku,” sahutku, “akan lebih cantik lagi kalau kamu berjilbab.”Ia mengerutkan kening. “Kamu tahu kan, Za, karierku lagi tinggi-tingginya ….”Aku angkat bahu. “Bukannya kamu dulu juga berjilbab, waktu masih sekolah? Justru sekarang, kamu udah punya banyak
Ini keputusan paling nekatku seumur hidup. Mungkin kalian akan bilang aku bodoh, menyia-nyiakan sebuah pernikahan yang sudah ada di ambang mata hanya demi mengejar ekstase semu, tapi … ingat, kalian bukan aku, dan tak pernah tahu rasanya jadi aku.Sebulan sebelum hari lamaran, persiapan pernikahan mencapai lima puluh persen. Aku tidak berhenti mendapatkan teror melalui media sosial, mulai dari orang yang kenal sampai yang tak pernah bertemu sama sekali.Riza itu playboy, ngapain mau sama dia?Yakin mau nikah sama Riza? Dulunya tukang bully di sekolahAh, panjat sosial aja sih? Nikah demi uang?Nggak bakal langgeng! Gue sumpahin cerai!Isi direct message di Instagram dan Twitter-ku seperti itu. Setiap aku ingin mengunggah sesuatu, jika terpencet ke kotak masuk, amarahku langsung mendidih. Terakhir, aku membanting ponsel sampai pecah karena membaca komentar kasar saat sedang
“Ada bocoran mengenai tanggal pernikahan?”Riza di sebelahku menggeleng. “Itu masih kami rahasiakan. Yang pasti, tidak lama lagi.”Para wartawan semakin semangat mengajukan pertanyaan. Sementara aku juga semakin tidak nyaman. Khawatir penyamaran ini ketahuan karena aku kesulitan mengatur mimik muka. Akhirnya, dengan terpaksa, tanganku memberikan kode ke Riza, meremas lengan bawahnya yang harus kugandeng sedari tadi.Ia menoleh padaku dengan alis menukik, dan aku hanya bisa mengerjap beberapa kali, berharap ia paham maksudku—sekalipun aku bukanlah calon istrinya. Tak lama, ia kembali fokus ke kamera dan … syukurlah, ia memahami maksudku.“Maaf ya Mas, Mbak, kita ngobrol-ngobrol lagi nanti. Saya dan Dina capek banget, perlu istirahat,” ujarnya luwes. Nada suaranya lembut, tapi mendominasi dan mengontrol. Ada kekuatan khas di dalamnya, yang membuat sebagian besar wartawan itu memutuskan mundur. Hanya beberapa
WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca.***“Din, aku udah masakin omelet nih. Ayo bangun,” aku melangkah masuk ke kamar Andina setelah mengetuk dua kali. Kebetulan pintunya tidak ditutup rapat, sehingga aku yakin ia sedang tidak berganti baju atau melakukan sesuatu yang privat.Saat aku masuk, jantungku mencelus melihatnya tengah merapikan barang-barang yang semula tertata di meja. Ia bahkan mengeluarkan kembali pakaian yang sudah dikapstok di lemari.“Din … kamu mau ke mana?”Otomatis ia menoleh. Sekilas kulihat bahunya berjengit mendengar suaraku, seolah ia tengah mengendap-endap akan kabur dari sini. Matanya menatapku sejenak, kemudian kembali mengemasi kosmetik yang berjajar di meja rias.“Aku harus balik ke Jakarta, Rad. Ini nggak bener. Aku nggak harusnya pergi.”Aku mendelik. Secepat ini
Pintu rumah itu megah sekaligus asing di mataku. Berapa lama sejak aku terakhir menginjakkan kaki di rumah Papa? Dalam setahun, mungkin bisa dihitung jari aku mengunjunginya. Selain karena ia selalu sibuk dengan urusan perusahaan, aku juga tidak merasa dekat untuk sering-sering datang. Dari Bandung ke Bogor tidak jauh, tapi bagiku, terasa seperti ujung dunia. Aku hanya enggan untuk terlalu banyak ikut campur dengan hidup orang yang telah menggoreskan luka di hati Mama.Jadi, ketika aku harus berjalan sendirian dari gerbang depan tadi, sudah kelima kalinya aku berpikir untuk kembali dan memesan taksi online untuk pergi ke stasiun, lalu pulang ke Bandung. Aku bahkan sudah mengetik chat ke Mama, bertanya posisinya di mana. Kalau ia masih belum jauh, aku bisa minta dijemput saja. Namun, mungkin Mama sudah sampai rumah, atau entahlah. Riza tidak mengebut, tapi juga tidak pelan dalam menyetir. Sisa perjalanan aku terpaksa pura-pura tidur karena enggan diinterogasi
WARNING: Part ini mengandung konten sensitif yang hanya diperuntukkan pembaca berusia 18 tahun ke atas. Diharapkan kebijakan dari pembaca.“Gimana? Cantik nggak?” Ini sudah ketiga kalinya aku berganti outfit. Yang pertama aku merasa tidak cocok, yang kedua Radian yang tidak cocok.Lelaki yang duduk di sofa depan ruang pas itu terlihat mengamati sejenak, kemudian menggeleng. “Terlalu … macho. Yang agak girly dikit, lah, Din. Jangan terlalu panjang, dan kalo bisa rok.”Aku menghela napas. Seorang pegawai wanita yang melayani kami sebagai tamu VVIP menunjukkan lagi beberapa kapstok berisi pakaian dengan beragam warna. Mulai dari yang mencolok hingga yang lembut. Warna-warna cerah seperti pastel, baby pink, blue sea, sampai warna gelap seperti dark blue, gray, dan hitam pekat dipadu cokelat tua.“Sebenarnya Mbak Andina cantik pakai apa saja,”
“Aduuh, diem dong! Berisik banget sih, dasar anak nggak berguna!” gerutuku kesal melihat bayi dalam gendonganku yang terus saja menangis. Sejak hari kelahirannya, aku sama sekali tidak tenang.Pertama, Radian yang seharusnya bersikap sebagai ayah yang baik, justru tidak datang waktu persalinan dan baru menampakkan batang hidung saat aku pulang dari rumah sakit. Untunglah aku tidak harus dioperasi. Sebab ia sama sekali tidak membantuku mengurus bayi baru lahir itu, sedangkan perawat bayi yang dibayarnya tidak bisa menginap, sehingga sore hari sampai pagi aku harus mengurus bayi itu sendirian. Keluarga kami tinggal di rumah yang berbeda, apalagi keluargaku yang memang beda kota.Aku membetulkan tali gendongan, kemudian mengikat cepol rambut. Usai itu, aku beranjak menuju rak dapur untuk mengambil dot dan membersihkannya. Masalah kedua adalah ASI-ku jadi macet sejak Radian tidak pulang sama sekali sampai sekarang. Kalau tidak salah, ia hanya melihat bayi ini d
Itu bukan ucapan yang jelas mengiyakan. Aku ingin Riza menjawab, “Iya, ini yang terakhir. Kamu nggak perlu ikut campur apa-apa lagi setelah ini.” Namun, aku juga tahu setelah tiga hari ini bersama dengannya, ia orang yang jujur. Kalau ia mengatakan kebohongan hanya untuk menghiburku pun, aku juga tidak akan suka. Jadi, aku menghargai usahanya dan menguatkan hati.Pagi tadi, Mama berpesan untuk mengabari kalau ada apa-apa terkait Andina. Jadi, dalam perjalanan pulang ke Bandung—Riza lagi-lagi bersikeras mengantarku—aku menghubungi Mama.“Dini? Mama sudah lihat beritanya. Papa tadi juga telepon, kedengarannya agak marah karena Andina belum bisa juga dihubungi.” Mama langsung menyahut tanpa menungguku bicara lebih dulu. Nada suara panik sekaligus bingung.“Papa udah nemu lokasi akuratnya Kak Dina?”Kulirik Riza yang tengah menoleh padaku.“Katanya sudah coba ke beberapa vila dan cottag
Sudah ketiga kalinya aku menghubungi Radian, tapi panggilanku selalu ditolak. Terakhir malah tidak ada jawaban. Padahal jelas beberapa kali aku melihat Whatsapp-nya online. Aku mengusap wajah frustrasi. Sementara di hadapanku, Andini tengah mengaduk-aduk nasi padang dengan tidak berselera.“Kenapa? Itu kan makanan kesukaanmu?” Aku ingat ia sangat lahap makan saat kami mampir ke restoran padang selepas acara lamaran itu.Ia mendongak, lalu menggeleng pelan. “Bukan, Kak, bukan itu. Aku cuma capek aja.”“Gara-gara kebanyakan teriak ya, kemarin?” Aku memastikan. Memang sih, ide gilaku itu membuat Andini terpaksa berakting jadi orang cerewet dan galak yang memarahi semua kesalahan kru, sekecil apa pun, tapi tak mau disalahkan kalau ia yang keliru. Akibatnya, di akhir syuting, ia batuk-batuk dan kehilangan suara.Lagi-lagi, ia menggeleng. “Gimana ya, Kak? Tiba-tiba Rere-Rere itu nyebarin hal kayak gitu, dan sek
Pagi itu adalah pagi paling indah dalam hidupku. Wajah Andina berada tepat di hadapanku, dan aroma napasnya beradu dengan deru napasku sendiri. Gadis cantik ini … sekarang sempurna menjadi milikku.Ia bergerak sesaat, mengernyit, tapi lalu tertidur kembali. Baru aku akan ikut melanjutkan tidur, ponselku berdering keras. Ah, sial. Kenapa tidak aku silent saja kemarin?Terpaksa aku bangkit, memakai kaos asal, dan turun dari ranjang saat mendapati nomor manajerku tertera di layar.“Halo, apa? Ganggu suasana aja lo.”“Suasana apa, geblek? Lo pulang sekarang juga ke Jakarta. Beresin masalah yang udah lo buat.” Suara manajerku terdengar garang dari seberang sana.“Males, ah. Gue kan udah bilang, cuti sebulan. Gue udah persiapin semuanya dari jauh-jauh hari. Lo gila, ya?”“Elo yang gila! Gue kira lo mau liburan, jadi gue izinin. Tapi lo nyolong calon istri orang, lo kira itu ngg
WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca. *** Radi menghampiriku yang tengah menatap pemandangan malam di luar cottage. Di tangannya, ada sebuah botol dan dua gelas kaca. Ia meletakkannya di gazebo tempatku duduk. Aku mengernyit. “Itu apa?” Ia tersenyum. “Anggur. Dikit kok, alkoholnya. Udara lagi dingin, nih.” Lelaki itu tampak meneliti padaku, sebelum kemudian berkata, “Bajumu nggak terlalu tipis? Aku ambilin jaket, ya?” Memang, aku tidak bersiap-siap untuk cuaca dingin di daerah dekat pantai begini. Jadi hanya membawa baju seadanya, tidak ada mantel maupun jaket. Yang ada hanya kardigan dan blazer nonformal. Radi baru akan beranjak ketika aku menahan tangannya. Alisnya naik menatapku. “Aku nggak dingin, kok. Nggak papa, kardigan ini aja cukup,” kataku, lalu melirik pada botol anggur yang tergeletak di sebelahku. “Tapi kamu … sejak kapan k
“Uhuk! Uhuk! Iya, nih, tiba-tiba gue nggak enak badan pas bangun tidur. Maaf ya, Mbak. Iya, iya, gue kirimin brief buat unggahan hari ini. Udah gue siapin semalem.”“Eh? Nggak. Gue nggak bisa tidur semalem, jadi daripada bingung mau ngapain, mending gue kerjain aja, kan?”Aku menahan senyum mendengar alibi yang dituturkan Andini pada rekan kerjanya. Ia masih meminta maaf dua kali lagi sebelum akhirnya menutup telepon. Kudengar helaan napas beratnya. Kami ada di dalam mobil yang kukemudikan sendiri. Gusti kusuruh langsung datang ke lokasi shooting dengan alasan aku ingin berduaan saja dengan Andina, padahal sebenarnya aku hanya ingin menjaga rahasia ini.“Kak, aku nggak bisa jadi orang galak.” Tiba-tiba Andini bicara, membuatku menoleh dan mendapati wajahnya terlipat. Terlihat jelas bahwa ia khawatir sekaligus bimbang. Perasaannya pasti campur aduk karena urusan hilangnya saudari kembarnya ini.“D
Pekerjaanku selesai tepat ketika asar tiba. Aku meregangkan tangan lega. Mbak Aldila tampak sudah mematikan perangkatnya juga, sementara Andre masih berkutat dengan eror di website.“Gue pulang duluan ya,” kataku setelah memastikan semua data tersimpan dan mematikan komputer.Mbak Aldila menoleh, lalu mengangguk. “Lo naik mobil, kan?” tanyanya.“Iya. Mau bareng?”Ia menengok sejenak pada Andre, kemudian menjawab, “Nggak, deh. Gue nemenin Andre dulu aja. Kesian tuh anak ntar dilalerin kalo nggak ada yang nungguin.”Aku tertawa kecil. “Ndre, lo denger gak?”Andre yang sedari tadi sangat fokus dengan komputernya langsung mengangkat kepala dengan wajah bingung. “Hah? Kenapa? Sori, gue fokus banget. Banyak bug-nya nih.”Geleng-geleng kepala, aku menyahut, “Ya udah. Gue mau balik dulu. Lo nggak usah buru-buru, Mbak Aldila mau nungguin katanya.&rd
“Riza! Riza!” Suara teriakan membuyarkan lamunanku. Mataku spontan berpindah menatap orang-orang di sekelilingku, yang ternyata kini tengah memperhatikanku.Saat menatap kamerawan yang mengambil gambarku kali ini, ia tampak frustrasi. “Lo kenapa, sih? Nggak kayak biasanya lho. Nggak fokus banget.” Sementara kru lighting yang kukenal bernama Mas Anjar tertawa meledek, “Paling kepikiran calon istrinya, tuh, masih pengen uwu-uwu!”Aku mengusap rambut, membuat stylist cewek yang berdiri tak jauh dari kamerawan berseru. “Jangan dipegang-pegang lagi! Nanti kacau tatanannya!”Menghela napas pelan, akhirnya aku memanggil manajerku. Ia mendekat, membawakan minum. Usai menenggak beberapa tegukan, aku kembali berdiri di depan kamera yang sudah menunggu untuk merekam video iklan.“Oke, siap ya?”Aku mengacungkan jempol.“Satu … dua … tiga.” Kamerawan