“Zoey?”
Astaga! Kontak darurat. Aku lupa sudah menekan tombol itu dan membuat Zoey meluncur kemari.
Wajah tegang zoey menyambutku dari balik kaca mobil. Dia memandangku dengan penuh kecemasan ketika menemukanku di dalam mobil bersama Jace. Lalu dia melihat ke belakangku dan seketika ekspresinya berubah. Rahangnya mengeras dengan sorot mata yang murka.
“Turun, Lo!” bentaknya dari luar sambil mengacungkan telunjuknya ke arah laki-laki di belakangku.
Aku menoleh ke arah Jace yang juga tampak terkejut. Dia menatapku sesaat sebelum akhirnya menekan tombol untuk membuka kunci pintu di sampingnya.
Klek. Kunci terbuka.
“Kat? Lo baik baik aja?” berondongnya padaku ketika pintu mobil terbuka.
“Gue baik-baik aja.” Aku turun dari mobil dan mencoba menenangkan Zoey. Dia menatapku dari atas sampai bawah. Lalu kembali memastikan dengan meraih kedua lengan atasku.
Zoey berhenti mengecek keadaanku dan mengalihkan padangannya pada laki-l
“Katy!” Aku mendengkus mendengar teriakan ibuku dari lantai bawah. Kenapa dia harus berteriak dan membuat aku terbangun di minggu pagi yang hening ini? “Katy, turun dulu, Nak.” Panggilnya lagi. Aku membuka mataku dengan berat. “Iya.” Dengan sangat malas, aku bangkit dari kasurku. Merapihkan rambut dan menuju wastefel di kamar mandi samping kamarku. Setelah kesadaranku telah sepenuhnya pulih, aku berjalan gontai menuruni tangga. Aku hendak menghampiri ibuku di dapur ketika tiba-tiba melihat ada yang sedang menyeruput kopi di meja makan. “Papa!” Aku berseru dan buru-buru menghampirinya. Senang bisa melihatnya lagi setelah satu bulan dia dinas di Riau. “Apa kabar, Nak?” sapanya sambil merentangkan tangan menyambutku. Aku berhambur padanya dan memeluknya penuh rasa rindu. “Baik, Pah. Kapan sampai rumah?” Aku duduk di samping ayahku yang sedang memakan keripik talas kesukaannya. “Tadi subuh. Papa dapat penerbangan paling ter
Pagi hari di hari Senin, aku melenggang menuju kursiku di jajaran paling kanan. Lalu duduk dengan manis sebelum menyiapkan berbagai alat tulis dan buku yang akan aku pakai pagi ini. Tidak banyak yang bisa aku sapa di kelas ini kecuali Yosef. Cowok yang semenjak melihatku masuk ke dalam kelas langsung menyerbuku dengan beberapa pertanyaan.“Katy, lo beneran di bawa kabur?” Aku menoleh ke arahnya sambil mengerutkan kening.Beberapa orang yang kebetulan mendengar pertanyaan Yosef juga ikut melirik penasaran padaku.“Lo kata siapa?” tanyaku dengan suara pelan.“Zoey yang cerita. Coba bayangin kalo Zoey enggak datang dan menyelamatkan lo. Mungkin lo udah apa-apain sama Jace di tol.”Aku menaikan kedua alisku dan buru-buru memberikan klarifikasi sebelum cowok ini menyebarkan cerita yang tidak benar. “Heh, jangan sembarangan, deh. Enggak gitu ceritanya.” Entah kenapa aku merasa perlu membela Jace kali ini.
Aku berdiri cukup lama di bawah pohon beringin angker ini sambil menahan kecewa setelah kepergian Jace tadi. Bekas luka tusuk di perutnya saja bahkan belum hilang. Kini dia malah menyambut luka baru yang mungkin akan menghiasi bagian tubuhnya yang lain. Membayangkannya saja, rasanya menyesakan dan menbuatku ingin menangisSetelah merasa mataku tidak akan mengeluarkan butiran beningnya, aku segera memutuskan untuk mencari bantuan.Aku berlari ke kantin. Tempat di mana anak klub basket biasa berkumpul. Sesuai dugaanku, aku menemukan cowok yang sedang aku cari di sana.“Rully,” panggilku pada cowok kurus berambut keriting yang sedang bercanda dengan teman-temannya.Diantara anak-anak klub basket yang lain, aku paling sering melihat Jace bersama Rully. Jadi mungkin dia mau membantuku untuk menyelamatkan temannya dari bahaya kali ini.“Lo tahu markasnya Niko?” tanyaku ketika Rully sudah di depanku.Dia mengerutkan ke
Aku pernah mendengar seseorang berucap begini, ‘Jangan terlalu sibuk menangkis serangan, terkadang kita tidak sadar, kita bisa saja terjatuh tanpa diserang.’Seperti saat ini, ketika aku sedang duduk dengan canggung di samping cowok tinggi yang dari tadi mengulum senyumnya.“Apa, sih?” tanyaku salah tingkah.Cowok itu mencondongkan badannya ke arahku lalu meniup pelan sejuntai anak rambut yang menghalangi mataku. “Setelah kebanyakan nolak, akhirnya lo sendiri yang menawarkan diri jadi pacar gue.”Senyumnya semakin lebar, lalu terdengar kekehan yang seolah meledek. Menertawakanku yang tidak teguh pada pendirianku sendiri.Aku mengerucutkan bibir. Meneguk es kelapa di depanku lalu menghadap padanya. “Lo yakin enggak akan gabung lagi sama mereka?”“Tinju gue tadi jawabannya.” Dia mengacungkan kepalan tangan yang dihiasi luka yang masih segar.Aku meringis melihat luka i
Kabar tentang aku yang berpacaran dengan Jace cepat menyebar di sekolah. Menurut rumor yang beredar, kabar itu dihembuskan oleh salah satu anak pemandu sorak yang menyatakan cintanya pada Jace. Katanya, Jace menolak cewek itu dan menyebutkan namaku sebagai alasannya. Di satu sisi, aku merasa bangga dan senang jika kabar tentang Jace menolak cewek pemandu sorak yang sudah pasti cantik itu benar. Namun, aku juga merasa itu akan menjadi bumerang untukku. Aku akan semakin sulit membuat Sheryl kembali menjadi temanku lagi. Sore hari ketika kami hendak pulang sekolah, aku memberanikan diri untuk menemui Sheryl di koridor. Dia sedang berjalan menuju gerbang sekolah sambil bercanda dengan Briya. Setelah beberapa kali menarik napas dalam-dalam, aku memutuskan untuk memanggilnya. “Hai,” sapaku sambil tersenyum pada ke dua cewek di depanku. Mereka berdua menoleh dan langsung berhenti tertawa ketika melihatku berdiri dengan kikuk. “Hei, Kat.” Briya membal
Sudah setengah jam aku duduk di ruangan teater yang sepi. Sebuah buku favorit yang belum selesai aku baca menemaniku menunggu kelas teater yang jadwalnya molor. Bahkan teman-temanku yang lain belum kelihatan satu pun yang datang.Suara langkah kaki terdengar dari koridor. Disusul dengan munculnya laki-laki gempal bermata sipit yang sudah sangat aku kenal.“Kat, Nunggunya di kantin aja, yuk. Yang lainnya juga pada disana.” Harvey berseru ketika melihatku sendirian di kursi kayu panjang tempat biasanya para anggota duduk-duduk.“Kak, Hasan belum dateng?” tanyaku sambil memperhatikan gerak-gerik Harvey. Dia masuk ke ruangan, menuju sisi berlawanan dengan tempatku duduk. Dia membongkar tas besar berwarna merah dan membawa beberapa kain sifon berwarna-warni.“Belum. Katanya ban motornya pecah di jalan,” jawabnya sambil tetap melipat kain-kain tadi lalu memasukan ke dalam tas karton besar.“Gue ke perpustakaan aj
Seperti halnya matahari yang selalu terbit dari timur. Angin yang selalu berhembus tanpa henti. Dan hujan yang akan selalu datang pada musimnya. Roda kehidupanku juga masih bergulir pada jalur yang sudah di tentukan. Aku berlajar dengan giat. Membantu ibuku di restoran miliknya. Dan mengurus pendaftaran sekolah adikku yang baru saja lulus. Jace pun masih aku taruh di rangkaian gerbong yang semestinya. Berkencan hanya pada sabtu sore. Lalu bertemu kembali pada sabtu sore berikutnya. Dia tidak mempersoalkan aku yang selalu menghilang ketika jam istirahat di sekolah. Dia tahu aku harus belajar ekstra keras supaya bisa memenuhi target ibuku. Juara umum di angkatanku. Sesekali kami berbalas pesan ketika menjelang tidur. Dia bertanya apakah ada kemungkinan bumi ini kehilangan gravitasinya, dan apa yang terjadi pada manusia jika itu betul-betul menjadi nyata. Kemudian otakku lelah karena memikirkan hal itu. Lalu terlelap dengan damai setelahnya. “Kat, Kalau
Aku pernah melihat mata yang menyala itu sebelumnya. Saat aku berbincang mesra dengan Zoey dulu, dan dia hanya bisa menyaksikan tanpa bisa berbuat apa-apa karena di sisinya ada Sheryl. Sekarang dia memperlihatkan mata itu lagi. Jace menatapku dengan mata cemburunya. Sebagian hatiku merasa cemas, takut dia berpikir macam-macam tentang Demian yang tiba-tiba datang bersamaku. Namun, sebagian lagi aku merasa senang dicemburui seperti sekarang. Dia terlihat semakin seksi dengan dahi yang berkerut dan alis hitam yang menukik. Menaungi mata gelapnya yang tajam setajam silet. “Jace, udah lama?” sapaku ketika aku dan Demian menginjakkan kaki di teras rumah. “Baru sampai,” jawabnya yang sedang duduk bertumpang kaki dengan kepala yang agak dimiringkan. Seakan dia sedang mempelajari apa yang sedang terjadi di hadapannya sekarang. “Ummp, Kak. Kenalin Ini pacar aku.” Aku menoleh pada Demian di belakangku. Demian langsung bergerak ke depan untuk memberikan t
Bunyi bip terdengar seiring kartu akses apartemen yang aku tempelkan di sensor lift terbaca oleh sistem. Kemudian kotak besi itu bergerak naik membawaku ke lantai yang mau aku tuju. Ketukan sepatu terdengar menggema di sepanjang koridor yang sepi, membuatku mempercepat langkah menuju unit apartemen milik Jace.Keadaan apartemen yang gelap menyambut kedatanganku, menandakan si pemilik hunian ini sedang tidak berada di sini. Dengan langkah pelan, aku menyusuri ruangan untuk menyalakan semua lampu.Lampu terakhir yang aku nyalakan adalah kamar Jace. Kemudian menghidupkan pendingin udara dan membuka tirai yang sebelumnya menutupi pemandangan kota yang indah. Aku paling suka pemandangan dari sini. Lampu kota yang gemerlap selalu bisa membuatku lebih tenang.Sambil duduk di bench panjang yang empuk. Aku keluarkan handphone dan mengetikan sebuah pesan untuk Jace.Saya: “Aku di apartemenmu.”Aku tidak berharap dia cepat membalas pesanku tadi, tapi ternyata Jace langsung membalasnya.Jace: “Ka
“Teman-teman, ini anggota baru klub kita. Titipan Pak Tedy. Ada yang mau tanya-tanya?”Kalimat yang terdengar setengah hati keluar dari mulut Hiro membuatku ragu untuk memperkenalkan diri. Padahal, rekan-rekannya sudah antusias melingkariku dan Hiro dari semenjak aku masuk ke ruangan ini.“Namanya siapa, teh?” tanya seorang cowok dengan kacamata tebal yang duduk barisan paling kiri.Aku melirik ragu pada Hiro. Maksudnya, mau bertanya apakah aku sudah diijinkan untuk membuka mulut?“Jawab. Kenapa malah liat gue?” ketusnya membuatku gemas ingin menjambak rambut gondrongnya itu.Aku berdehem beberapa kali sebelum membuka suara, “Saya Kaitlyn, dari jurusan Matematika. Panggil aja Katy.”“Hai, Katy. Selamat datang di klub Teknik Digital,” sapa seorang cewek mungil dari barisan paling depan. Padahal aku merasa tidak cukup tinggi dibanding teman-temanku, tetapi ternyata cewek di depanku ini lebih pendek lagi dariku.Mataku mulai memindai sekeliling. Perkiraan, ada sekitar dua puluh orang yan
Aku mendengar suara Jace dari arah kamar ketika pintu depan sudah aku tutup rapat. Pelan-pelan aku melepas jaket dan sepatu, kemudian menggantungnya di tempat biasa aku menaruhnya. Aku mengendap menyebrangi ruang tengah menuju kamar di mana asal dari suara Jace terdengar. Aroma khas Jace langsung menguar bahkan ketika orangnya belum terlihat sama sekali.Punggung Jace yang pertama kali menyambutku. Dia bicara pada sosok yang berada di layar laptop dengan kalimat-kalimat formal. Dari judul berkas yang dia pegang, sepertinya dia sedang ada presentasi bisnis untuk kelas online-nya. Makanya, aku memilih untuk mundur pelan-pelan dan berniat menunggunya selesai di ruang terpisah.Namun aku mendengar Jace memanggil namaku, membuatku menoleh ke arahnya.“Apa?” Aku berbisik, takut lelaki tanpa rambut yang sedang bicara pakai bahasa inggris di seberang sana mendengar suaraku.“Udah aku mute. Enggak perlu bisik-bisik.” Jace terkekeh. Tangan kanannya terangkat dan hendak menggapaiku.Aku belum p
Aku melambaikan tangan pada laki-laki yang sedang berjalan masuk area restoran. Butuh beberapa saat untuk dia menyadari posisiku yang tertutup beberapa pengunjung restoran. Berbanding terbalik jika aku yang harus mencari dia di tengah kerumunan, badannya yang tinggi membuat dia gampang untuk ditemukan.“Nunggu lama?” tayanya ketika sudah berhasil membelah kerumunan dan duduk di seberangku.“Enggak juga. Ini baru mau pesen makan,” jawabku sambil memindai tanda batang yang di pasang di samping meja untuk segera melakukan pemesanan lewat aplikasi.Sambil memilih menu di layar handphone, aku juga sekalian memberi dia waktu untuk diam sejenak sebelum aku tanya kemana saja dia hari ini sampai harus melewatkan beberapa kelas wajib.“Aku udah makan. Pesanin cemilan sama minuman aja, ya,” ujarnya membuatku menaikan satu alis.“Makan di mana?” tanyaku.“Aku abis ketemu Papa, dan makan bareng dia,” jawabnya singkat.Kalimat barusan membuat kedua alisku bersatu. Jace mau menemui ayahnya adalah se
Suara gemericik air dari kamar mandi perlahan membuatku membuka mata. Sesekali terdengar siulan ringan membuatku sedikit tersenyum. Dia pasti sedang dalam suasana hati yang bagus pagi ini.Aku mengedarkan tangan mencari handphone di sepanjang nakas. Setelah menemukannya, aku mengetuk layarnya dan melihat tampilan penanda waktu.“Masih jam enam pagi,” lirihku dengan dahi mengkerut. Kenapa dia sudah bangun bahkan sudah mandi sepagi ini?Tidak berselang lama, pintu kamar mandi terbuka. Sosok cowok tampan yang sudah membuat jari manisku tersemat cincin cantik, melangkah keluar dari kamar mandi. Dia menoleh ke arahku ketika dia sadar aku juga sudah terbangun pagi ini.“Lho? Kamu bangun?” tanyanya sambil mendekat. Tangannya sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berwarna pink milikku.Aku mengangguk. Menarik badanku supaya duduk lebih tinggi dan bersandar pada kepala ranjang. Kamu kenapa udah mandi jam segini? Ini masih jam enam pagi.”Cowok tinggi dengan senyuman paling sempurna i
“Kaitlyn,” Om Khalid menyapa ketika dia sudah berjarak satu meter di depanku. “Boleh saya bicara denganmu?” Aku mengerjap beberapa saat. Namun buru-buru mengangguk dan menjawab. “Iya, Om. Boleh.” Dengan gerakan pelan nan berwibawa, Om Khalid duduk di kursi bekas Sheryl. Satu kaki ditumpangkan pada kaki lainnya mencoba membuat dirinya nyaman di kursi yang sebetulnya terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar. Tak lama, tangannya bergerak merogoh saku dibalik jasnya, kemudian mengeluarkan amplop putih dari sana Dia mengangsurkan amplop itu padaku sambil berucap, “hadiah kecil dariku.” Sempat mengerutkan dahi karena keheranan, tetapi segera aku terima uluran amplop dari tangan Om Khalid dengan canggung. “Terima kasih.” Mataku menangkap sosok Jace di seberang meja jamuan utama sedang memandang ke arahku penuh curiga. Dahi yang berkerut dengan alis yang menukik tajam memperlihatkan sikap waspada. Mungkin dia khawatir karena melihaku bicara dengan ayahnya tanpa ada yang mendampingi. Dia se
Rencana Tuhan sangat tidak bisa aku tebak. Segala hal menyangkut takdir memang selalu menjadi misteri yang pada akhirnya akan ditunjukan dengan cara-Nya yang paling indah. Hanya tinggal menunggu waktu. Kelahiran, kematian, dan cinta. Itu yang aku yakini sekarang. Ketika dengan sangat mengejutkan, pria yang selalu menjadi pujaan hatiku dari semenjak aku baru mengenal cinta, mempersembahkan cincin bertahtakan berlian ke hadapanku. “Kejutan,” ucapnya dengan senyum yang terukir di bibir. Detak jantungku mungkin sempat berhenti beberapa saat. Mataku tidak bisa lepas dari wajah penuh senyum yang semakin membuat aliran darahku berdesir kecang. Gerakan pelan dari kursi roda yang di dorong ibuku membuat jiwaku kembali ke raga. Setelah beberapa saat terlepas dan berkelana mencari jawaban, apakah ini nyata, atau hanya khayalanku saja? Seperti halnya aku, semua yang hadir pun menunjukan wajah penuh tanya. Yang mereka tahu, malam ini adalah malam pertunangan Khalid Ashad dengan ibuku. Bukan ac
Dengan bantuan Sheryl, aku menjalankan kursi roda menuju barisan kursi paling kanan. Ada panggung kecil setinggi lima belas sentimeter yang nampak cantik, dihiasi bunga chamomile dan hortensia di sepanjang garis tepiannya. Di kiri panggung disediakan jalur khusus kursi roda untuk naik. Mungkin ibuku menginginkan aku menemaninya di sana. Namun, aku rasa itu tidak bisa aku wujudkan Untuk bisa hadir di sini saja, aku harus menarik napas berkali-kali. Melepaskan segala perasaan sesak agar bisa tersenyum lebar untuk ibuku secara tulus. Aku senang jika ibuku bisa berbahagia. Seberat apa pun nanti, aku pasti bisa menerima keluargaku yang baru dengan dada seluas samudera. “Lo udah siap?” Suara serak adikku terdengar dari arah belakang. Aku terkejut melihat penampilannya yang rapi dan wangi. Apalagi melihat dia tersenyum lebar tanpa beban. “Lo di sini?” tanyaku masih tidak percaya. Maksudku, selain aku dan Jace, Aiden adalah orang yang paling membenci rencana pertunangan ini. Dia merasa ib
“Cantik banget sih, temen gue. Senyum dong.” Sheryl mengusap anak rambut yang masih mencuat nakal lalu menyelipkannya ke belakang telingaku. Sebagai sentuhan terakhir, dia menjepitkan hiasan rambut kecil berbentuk kupu-kupu di kepala bagian kiri. “Selesai,” gumamnya nampak puas akan hasil karyanya yang terpantul pada cermin di depan kami. “Makasih, Sher. Gue jadi menghemat anggaran make up artist,” gurauku diselingi senyum tipis di bibir. “Sama-sama, Sayang.” Sheryl meremas pelan kedua bahuku dari belakang. Lalu memutar kursi penunjang aktifitas yang aku duduki ini menjadi saling berhadapan. “Lo baik-baik aja, kan?” Aku mengangguk meyakinkannya. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Aku hanya perlu menebar senyum pada semua yang hadir. Setidaknya untuk malam ini saja. Sheryl menghela napasnya dalam-dalam dan menatapku dengan mata sendu. Namun, buru-buru dia bergeleng dan merubah lengkungan bibirnya menjadi tarikan ke atas. “Eh, udah latihan jalan belum hari ini?” “Udah tadi pagi. Ta