Share

PART XXVII

Author: Anna Kuhas
last update Last Updated: 2022-01-10 16:18:21

Pagi hari di hari Senin, aku melenggang menuju kursiku di jajaran paling kanan. Lalu duduk dengan manis sebelum menyiapkan berbagai alat tulis dan buku yang akan aku pakai pagi ini. Tidak banyak yang bisa aku sapa di kelas ini kecuali Yosef. Cowok yang semenjak melihatku masuk ke dalam kelas langsung menyerbuku dengan beberapa pertanyaan.

“Katy, lo beneran di bawa kabur?” Aku menoleh ke arahnya sambil mengerutkan kening.

Beberapa orang yang kebetulan mendengar pertanyaan Yosef juga ikut melirik penasaran padaku.

“Lo kata siapa?” tanyaku dengan suara pelan.

“Zoey yang cerita. Coba bayangin kalo Zoey enggak datang dan menyelamatkan lo. Mungkin lo udah apa-apain sama Jace di tol.”

Aku menaikan kedua alisku dan buru-buru memberikan klarifikasi sebelum cowok ini menyebarkan cerita yang tidak benar. “Heh, jangan sembarangan, deh. Enggak gitu ceritanya.” Entah kenapa aku merasa perlu membela Jace kali ini.

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Dia-lo-gue   PART XXVIII

    Aku berdiri cukup lama di bawah pohon beringin angker ini sambil menahan kecewa setelah kepergian Jace tadi. Bekas luka tusuk di perutnya saja bahkan belum hilang. Kini dia malah menyambut luka baru yang mungkin akan menghiasi bagian tubuhnya yang lain. Membayangkannya saja, rasanya menyesakan dan menbuatku ingin menangisSetelah merasa mataku tidak akan mengeluarkan butiran beningnya, aku segera memutuskan untuk mencari bantuan.Aku berlari ke kantin. Tempat di mana anak klub basket biasa berkumpul. Sesuai dugaanku, aku menemukan cowok yang sedang aku cari di sana.“Rully,” panggilku pada cowok kurus berambut keriting yang sedang bercanda dengan teman-temannya.Diantara anak-anak klub basket yang lain, aku paling sering melihat Jace bersama Rully. Jadi mungkin dia mau membantuku untuk menyelamatkan temannya dari bahaya kali ini.“Lo tahu markasnya Niko?” tanyaku ketika Rully sudah di depanku.Dia mengerutkan ke

    Last Updated : 2022-01-10
  • Dia-lo-gue   PART XXIX

    Aku pernah mendengar seseorang berucap begini, ‘Jangan terlalu sibuk menangkis serangan, terkadang kita tidak sadar, kita bisa saja terjatuh tanpa diserang.’Seperti saat ini, ketika aku sedang duduk dengan canggung di samping cowok tinggi yang dari tadi mengulum senyumnya.“Apa, sih?” tanyaku salah tingkah.Cowok itu mencondongkan badannya ke arahku lalu meniup pelan sejuntai anak rambut yang menghalangi mataku. “Setelah kebanyakan nolak, akhirnya lo sendiri yang menawarkan diri jadi pacar gue.”Senyumnya semakin lebar, lalu terdengar kekehan yang seolah meledek. Menertawakanku yang tidak teguh pada pendirianku sendiri.Aku mengerucutkan bibir. Meneguk es kelapa di depanku lalu menghadap padanya. “Lo yakin enggak akan gabung lagi sama mereka?”“Tinju gue tadi jawabannya.” Dia mengacungkan kepalan tangan yang dihiasi luka yang masih segar.Aku meringis melihat luka i

    Last Updated : 2022-01-11
  • Dia-lo-gue   PART XXX

    Kabar tentang aku yang berpacaran dengan Jace cepat menyebar di sekolah. Menurut rumor yang beredar, kabar itu dihembuskan oleh salah satu anak pemandu sorak yang menyatakan cintanya pada Jace. Katanya, Jace menolak cewek itu dan menyebutkan namaku sebagai alasannya. Di satu sisi, aku merasa bangga dan senang jika kabar tentang Jace menolak cewek pemandu sorak yang sudah pasti cantik itu benar. Namun, aku juga merasa itu akan menjadi bumerang untukku. Aku akan semakin sulit membuat Sheryl kembali menjadi temanku lagi. Sore hari ketika kami hendak pulang sekolah, aku memberanikan diri untuk menemui Sheryl di koridor. Dia sedang berjalan menuju gerbang sekolah sambil bercanda dengan Briya. Setelah beberapa kali menarik napas dalam-dalam, aku memutuskan untuk memanggilnya. “Hai,” sapaku sambil tersenyum pada ke dua cewek di depanku. Mereka berdua menoleh dan langsung berhenti tertawa ketika melihatku berdiri dengan kikuk. “Hei, Kat.” Briya membal

    Last Updated : 2022-01-12
  • Dia-lo-gue   PART XXXI

    Sudah setengah jam aku duduk di ruangan teater yang sepi. Sebuah buku favorit yang belum selesai aku baca menemaniku menunggu kelas teater yang jadwalnya molor. Bahkan teman-temanku yang lain belum kelihatan satu pun yang datang.Suara langkah kaki terdengar dari koridor. Disusul dengan munculnya laki-laki gempal bermata sipit yang sudah sangat aku kenal.“Kat, Nunggunya di kantin aja, yuk. Yang lainnya juga pada disana.” Harvey berseru ketika melihatku sendirian di kursi kayu panjang tempat biasanya para anggota duduk-duduk.“Kak, Hasan belum dateng?” tanyaku sambil memperhatikan gerak-gerik Harvey. Dia masuk ke ruangan, menuju sisi berlawanan dengan tempatku duduk. Dia membongkar tas besar berwarna merah dan membawa beberapa kain sifon berwarna-warni.“Belum. Katanya ban motornya pecah di jalan,” jawabnya sambil tetap melipat kain-kain tadi lalu memasukan ke dalam tas karton besar.“Gue ke perpustakaan aj

    Last Updated : 2022-01-12
  • Dia-lo-gue   PART XXXII

    Seperti halnya matahari yang selalu terbit dari timur. Angin yang selalu berhembus tanpa henti. Dan hujan yang akan selalu datang pada musimnya. Roda kehidupanku juga masih bergulir pada jalur yang sudah di tentukan. Aku berlajar dengan giat. Membantu ibuku di restoran miliknya. Dan mengurus pendaftaran sekolah adikku yang baru saja lulus. Jace pun masih aku taruh di rangkaian gerbong yang semestinya. Berkencan hanya pada sabtu sore. Lalu bertemu kembali pada sabtu sore berikutnya. Dia tidak mempersoalkan aku yang selalu menghilang ketika jam istirahat di sekolah. Dia tahu aku harus belajar ekstra keras supaya bisa memenuhi target ibuku. Juara umum di angkatanku. Sesekali kami berbalas pesan ketika menjelang tidur. Dia bertanya apakah ada kemungkinan bumi ini kehilangan gravitasinya, dan apa yang terjadi pada manusia jika itu betul-betul menjadi nyata. Kemudian otakku lelah karena memikirkan hal itu. Lalu terlelap dengan damai setelahnya. “Kat, Kalau

    Last Updated : 2022-01-13
  • Dia-lo-gue   PART XXXIII

    Aku pernah melihat mata yang menyala itu sebelumnya. Saat aku berbincang mesra dengan Zoey dulu, dan dia hanya bisa menyaksikan tanpa bisa berbuat apa-apa karena di sisinya ada Sheryl. Sekarang dia memperlihatkan mata itu lagi. Jace menatapku dengan mata cemburunya. Sebagian hatiku merasa cemas, takut dia berpikir macam-macam tentang Demian yang tiba-tiba datang bersamaku. Namun, sebagian lagi aku merasa senang dicemburui seperti sekarang. Dia terlihat semakin seksi dengan dahi yang berkerut dan alis hitam yang menukik. Menaungi mata gelapnya yang tajam setajam silet. “Jace, udah lama?” sapaku ketika aku dan Demian menginjakkan kaki di teras rumah. “Baru sampai,” jawabnya yang sedang duduk bertumpang kaki dengan kepala yang agak dimiringkan. Seakan dia sedang mempelajari apa yang sedang terjadi di hadapannya sekarang. “Ummp, Kak. Kenalin Ini pacar aku.” Aku menoleh pada Demian di belakangku. Demian langsung bergerak ke depan untuk memberikan t

    Last Updated : 2022-01-15
  • Dia-lo-gue   PART XXXIV

    Aku dan Jace tidak pernah absen untuk saling bertukar pesan. Dia rajin mengirimkan kesehariannya di Amerika lewat poto atau video. Kebanyakan dia berpoto dengan latar rumah sakit tempat kakaknya dirawat, atau di penthouse milik ibunya. Sesekali dia memotret ibunya yang keluar masuk toko barang-barang mewah. Ibunya Jace menawariku untuk dibelikan sesuatu di sana. Namun, aku menolaknya dengan alasan takut di kejar-kejar sama petugas pajak.Tidak ada Jet Lagged yang terjadi dalam komunikasi kami. Jace tetap menyapaku di pagi hari, saat dia hendak keluar untuk makan malam. Lalu dia akan mengucapkan selamat tidur untukku ketika dia bilang matahari baru terbit di sana. Kami sama- sama tertidur di saat yang bersamaan, tetapi di waktu yang berbeda.Seiring dengan itu, Demian menjadi sering berkunjung ke rumahku. Dia membawakan buku-buku contoh soal olimpiade yang sebetulnya sudah lebih dulu dipinjamkan Zoey milik saudaranya yang sekarang kuliah di NTU.

    Last Updated : 2022-01-16
  • Dia-lo-gue   PART XXXV

    Tepat jam delapan malam, setelah aku selesai makan dan mencuci piring, aku akan meluncur ke kamarku dan menunggu telepon berdering. Itu adalah waktunya Jace menghubungiku. Namun, sudah lewat dari tiga puluh menit, handphone­-ku masih belum menunjukan tanda-tanda berdering. ’Jace, lagi sibuk atau lagi tidur?’ Isi teks yang aku kirim pada Jace. Sudah satu jam dan tidak ada balasan apa-apa. Aku mencoba menguhubunginya terlebih dahulu. Namun, tidak diangkat. Aku berguling ke kanan dan ke kiri, sesekali duduk di tepi ranjang. Dengan perasaan waswas, menunggu teleponku berdering, atau setidaknya pesan teks yang mengabari kalau dia sedang sibuk dan belum bisa menelponku saat ini. Setengah jam berlalu. Aku tidak tahan untuk tidak menekan ikon hijau ketika nomor Jace sudah aku pilih pada daftar kontak. “Hi, this is Samantha. Jace is drunk and can't talk to you at this time. Just leave a message or whatever. Bye.” Samb

    Last Updated : 2022-01-17

Latest chapter

  • Dia-lo-gue   PART LXXVIII

    “Kaitlyn,” Om Khalid menyapa ketika dia sudah berjarak satu meter di depanku. “Boleh saya bicara denganmu?” Aku mengerjap beberapa saat. Namun buru-buru mengangguk dan menjawab. “Iya, Om. Boleh.” Dengan gerakan pelan nan berwibawa, Om Khalid duduk di kursi bekas Sheryl. Satu kaki ditumpangkan pada kaki lainnya mencoba membuat dirinya nyaman di kursi yang sebetulnya terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar. Tak lama, tangannya bergerak merogoh saku dibalik jasnya, kemudian mengeluarkan amplop putih dari sana Dia mengangsurkan amplop itu padaku sambil berucap, “hadiah kecil dariku.” Sempat mengerutkan dahi karena keheranan, tetapi segera aku terima uluran amplop dari tangan Om Khalid dengan canggung. “Terima kasih.” Mataku menangkap sosok Jace di seberang meja jamuan utama sedang memandang ke arahku penuh curiga. Dahi yang berkerut dengan alis yang menukik tajam memperlihatkan sikap waspada. Mungkin dia khawatir karena melihaku bicara dengan ayahnya tanpa ada yang mendampingi. Dia se

  • Dia-lo-gue   PART LXXVII

    Rencana Tuhan sangat tidak bisa aku tebak. Segala hal menyangkut takdir memang selalu menjadi misteri yang pada akhirnya akan ditunjukan dengan cara-Nya yang paling indah. Hanya tinggal menunggu waktu. Kelahiran, kematian, dan cinta. Itu yang aku yakini sekarang. Ketika dengan sangat mengejutkan, pria yang selalu menjadi pujaan hatiku dari semenjak aku baru mengenal cinta, mempersembahkan cincin bertahtakan berlian ke hadapanku. “Kejutan,” ucapnya dengan senyum yang terukir di bibir. Detak jantungku mungkin sempat berhenti beberapa saat. Mataku tidak bisa lepas dari wajah penuh senyum yang semakin membuat aliran darahku berdesir kecang. Gerakan pelan dari kursi roda yang di dorong ibuku membuat jiwaku kembali ke raga. Setelah beberapa saat terlepas dan berkelana mencari jawaban, apakah ini nyata, atau hanya khayalanku saja? Seperti halnya aku, semua yang hadir pun menunjukan wajah penuh tanya. Yang mereka tahu, malam ini adalah malam pertunangan Khalid Ashad dengan ibuku. Bukan ac

  • Dia-lo-gue   PART LXXVI

    Dengan bantuan Sheryl, aku menjalankan kursi roda menuju barisan kursi paling kanan. Ada panggung kecil setinggi lima belas sentimeter yang nampak cantik, dihiasi bunga chamomile dan hortensia di sepanjang garis tepiannya. Di kiri panggung disediakan jalur khusus kursi roda untuk naik. Mungkin ibuku menginginkan aku menemaninya di sana. Namun, aku rasa itu tidak bisa aku wujudkan Untuk bisa hadir di sini saja, aku harus menarik napas berkali-kali. Melepaskan segala perasaan sesak agar bisa tersenyum lebar untuk ibuku secara tulus. Aku senang jika ibuku bisa berbahagia. Seberat apa pun nanti, aku pasti bisa menerima keluargaku yang baru dengan dada seluas samudera. “Lo udah siap?” Suara serak adikku terdengar dari arah belakang. Aku terkejut melihat penampilannya yang rapi dan wangi. Apalagi melihat dia tersenyum lebar tanpa beban. “Lo di sini?” tanyaku masih tidak percaya. Maksudku, selain aku dan Jace, Aiden adalah orang yang paling membenci rencana pertunangan ini. Dia merasa ib

  • Dia-lo-gue   PART LXXV

    “Cantik banget sih, temen gue. Senyum dong.” Sheryl mengusap anak rambut yang masih mencuat nakal lalu menyelipkannya ke belakang telingaku. Sebagai sentuhan terakhir, dia menjepitkan hiasan rambut kecil berbentuk kupu-kupu di kepala bagian kiri. “Selesai,” gumamnya nampak puas akan hasil karyanya yang terpantul pada cermin di depan kami. “Makasih, Sher. Gue jadi menghemat anggaran make up artist,” gurauku diselingi senyum tipis di bibir. “Sama-sama, Sayang.” Sheryl meremas pelan kedua bahuku dari belakang. Lalu memutar kursi penunjang aktifitas yang aku duduki ini menjadi saling berhadapan. “Lo baik-baik aja, kan?” Aku mengangguk meyakinkannya. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Aku hanya perlu menebar senyum pada semua yang hadir. Setidaknya untuk malam ini saja. Sheryl menghela napasnya dalam-dalam dan menatapku dengan mata sendu. Namun, buru-buru dia bergeleng dan merubah lengkungan bibirnya menjadi tarikan ke atas. “Eh, udah latihan jalan belum hari ini?” “Udah tadi pagi. Ta

  • Dia-lo-gue   PART LXXIV

    Aku mengerjap. Gejolak menyakitkan dari bagian atas perut memaksaku untuk membuka mata. Namun, terlalu silau. Sinar-sinar itu terlalu menyakiti mataku. Lalu dorongan kuat itu kembali mendera perutku. Seolah isinya sedang diaduk dan sebentar lagi akan meledak melewati kerongkongan.Aku mengerang dengan lemah sambil mencoba membuka mataku lagi. Semoga kali ini sinar itu tidak terlalu menusuk bola mata.“Kat?”Ah, suara Aiden. Untunglah ada orang di sampingku. Cahaya putih yang menyelusup melewati bulu mataku menampilkan siluet sosok yang familar. Aku kembali mengerjap berharap bayangan buram itu bisa segera menjadi jelas.Bau antiseptik, cairan infus yang menggantung, dan selang oksigen di hidung menjelaskan bahwa aku sedang di rumah sakit. Tentu saja. Aku habis tertabrak mobil.Ingatan tentang bagaimana aku harus berakhir di rumah sakit ini membuat kepalaku diserang rasa nyeri yang hebat. Jeritan klakson dan decitan ban yang kencang kembali berdengung di telinga. Duniaku berputar kenca

  • Dia-lo-gue   PART LXXIII (Special POV)

    Jace's POV Suara orang berdebat di luar ruangan membuatku jengah. Pertengkaran konyol, saling tuduh dan menyalahkan tak berkesudahan. Beberapa kali suster mengingatkan untuk mereka tetap tenang, tetapi para manusia yang rata-rata berumur hampir setengah abad itu tetap saja bersitegang. Di ujung ruangan, pria muda dengan wajah dan raut serupa dengan kakaknya sedang tertunduk lesu. Sama denganku yang tengah di rundung gelisah, dia pun tampak terganggu dengan ucapan-ucapan tidak masuk akal yang selalu menjadi perdebatan para orang tua di luar sana. “Nyokap lo bikin rusuh,” ucapnya ketika pria muda itu mendongak ke arahku. Aku terkekeh pelan. Tidak ada yang lucu. Hanya kekehan pengganti rasa getir yang sedang menggelayuti dadaku sekarang. “Sorry enggak ngabarin lo semalam. Gue terlalu ketakutan dan lupa ngasi tahu keluarganya,” sesalku mengingat Aiden yang baru mengetahui berita ini saat Katy sudah selesai menjalani operasi darurat. Aiden menegakkan punggung. Melepaskan napas panjang

  • Dia-lo-gue   PART LXXII

    “Katy!” Aku mendengar Alex berteriak, menghentikan langkahku yang masih saja mengejar mobil Jace tanpa melihat keadaan sekeliling. “Lo mau ngapain?” Tanganku di tarik dengan kencang membuatku tersentak ke bahu jalan. Aku menoleh dan baru menyadari aku berlari terlalu ke tengah. Membuatku hampir tersenggol mobil yang sedang melaju dari arah belakang. “Alex, tolongin gue. Susul dia.” Aku merengek. Entahlah, hanya ini yang bisa aku pikirkan sekarang. Aku terlalu takut dia kembali menghilang. Alex mengembuskan napas dengan kasar lalu menggerakan kepalanya ke belakang. Memintaku untuk segera naik ke atas skuternya. “Naik.” Tidak sulit untuk mengejar mobil Jace yang tidak mungkin memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tiba di persimpangan, dia harus berhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah. “Jace!!” Aku mengetuk kaca mobilnya ketika posisiku sudah berada tepat di samping mobilnya. Sekilas, aku melihat raut terkejut dari wajah Jace. Namun, Dia tidak sempat membuka kaca mobil

  • Dia-lo-gue   PART LXXI

    Aku mematung memandangi mobil Jace yang menjauh. Meninggalkanku dengan kebingungan atas tuduhan yang di layangkan padaku, tanpa pernah menanyakan kebenarannya terlebih dahulu.Aku mengerjap demi menahan butiran air yang hendak meluncur dari sudut mata. Menghela napas beberapa kali, lalu segera membuka layar handphone. Mencoba mencari tahu penyebab sikap Jace yang berubah drastis seperti ini.Sebuah pesan dari nomor baru dengan waktu kirim paling kini telah terbuka. Aku usap layar demi menampilkan isi pesan itu.‘Kat, ini gue Alex. Gue dapet nomor lo dari Arula. Makasi ya udah nemenin gue malam tadi. Maaf gue enggak anterin lo pulang. Istirahat yang cukup. Lo pasti kelelahan.’Aku menelan ludah sambil meremas handphone dalam gegaman. Pantas saja Jace semarah ini. Siapa pun yang membaca kalimat di dalam teks tadi tentu akan berpikir negatif tentang apa yang telah terjadi semalam.Aku harus segera menjelaskan semuanya sebelum dia memutuskan untuk menjauhiku lagi. Aku tidak bisa membiarka

  • Dia-lo-gue   PART LXX

    “I love you, Kat.” Tunggu, apa itu? Badanku menegang. Terkejut dan sedikit ragu dengan apa yang baru saja aku dengar. Apa Jace baru saja mengucapkannya? Tiga kata yang selalu aku tunggu itu benar-benar keluar dari mulutnya? Aku menegakan punggung dan melepas penyatuan bibir kami. Berbalik dengan cepat dan menatap netranya yang sendu. “Apa Jace?” Jace tidak menjawab. Dia masih memandangku seolah aku adalah barang berharga yang baru saja dia dapatkan setelah sekian lama mencari. Mata itu jelas menyorotkan kekagumannya padaku. “I love you,” ulangnya dengan suara yang dalam. Jauh lebih seksi dari suara mana pun yang pernah di dengar telingaku “You said that?” Jace mengangguk. Jarinya menyentuh daguku dan mengusap pelan di sana. Matanya yang terbiasa menyorotkan ambisi sekarang berubah teduh. Sendu dan mendamba. Sekali lagi, dia menyatukan kembali dua bibir yang terlalu lama merindu. Keharuan memenuhi dadaku. Aku seperti sedang disiram air pegunungan yang segar setelah sekian lama t

DMCA.com Protection Status