Sudah setengah jam aku duduk di ruangan teater yang sepi. Sebuah buku favorit yang belum selesai aku baca menemaniku menunggu kelas teater yang jadwalnya molor. Bahkan teman-temanku yang lain belum kelihatan satu pun yang datang.
Suara langkah kaki terdengar dari koridor. Disusul dengan munculnya laki-laki gempal bermata sipit yang sudah sangat aku kenal.
“Kat, Nunggunya di kantin aja, yuk. Yang lainnya juga pada disana.” Harvey berseru ketika melihatku sendirian di kursi kayu panjang tempat biasanya para anggota duduk-duduk.
“Kak, Hasan belum dateng?” tanyaku sambil memperhatikan gerak-gerik Harvey. Dia masuk ke ruangan, menuju sisi berlawanan dengan tempatku duduk. Dia membongkar tas besar berwarna merah dan membawa beberapa kain sifon berwarna-warni.
“Belum. Katanya ban motornya pecah di jalan,” jawabnya sambil tetap melipat kain-kain tadi lalu memasukan ke dalam tas karton besar.
“Gue ke perpustakaan aj
Seperti halnya matahari yang selalu terbit dari timur. Angin yang selalu berhembus tanpa henti. Dan hujan yang akan selalu datang pada musimnya. Roda kehidupanku juga masih bergulir pada jalur yang sudah di tentukan. Aku berlajar dengan giat. Membantu ibuku di restoran miliknya. Dan mengurus pendaftaran sekolah adikku yang baru saja lulus. Jace pun masih aku taruh di rangkaian gerbong yang semestinya. Berkencan hanya pada sabtu sore. Lalu bertemu kembali pada sabtu sore berikutnya. Dia tidak mempersoalkan aku yang selalu menghilang ketika jam istirahat di sekolah. Dia tahu aku harus belajar ekstra keras supaya bisa memenuhi target ibuku. Juara umum di angkatanku. Sesekali kami berbalas pesan ketika menjelang tidur. Dia bertanya apakah ada kemungkinan bumi ini kehilangan gravitasinya, dan apa yang terjadi pada manusia jika itu betul-betul menjadi nyata. Kemudian otakku lelah karena memikirkan hal itu. Lalu terlelap dengan damai setelahnya. “Kat, Kalau
Aku pernah melihat mata yang menyala itu sebelumnya. Saat aku berbincang mesra dengan Zoey dulu, dan dia hanya bisa menyaksikan tanpa bisa berbuat apa-apa karena di sisinya ada Sheryl. Sekarang dia memperlihatkan mata itu lagi. Jace menatapku dengan mata cemburunya. Sebagian hatiku merasa cemas, takut dia berpikir macam-macam tentang Demian yang tiba-tiba datang bersamaku. Namun, sebagian lagi aku merasa senang dicemburui seperti sekarang. Dia terlihat semakin seksi dengan dahi yang berkerut dan alis hitam yang menukik. Menaungi mata gelapnya yang tajam setajam silet. “Jace, udah lama?” sapaku ketika aku dan Demian menginjakkan kaki di teras rumah. “Baru sampai,” jawabnya yang sedang duduk bertumpang kaki dengan kepala yang agak dimiringkan. Seakan dia sedang mempelajari apa yang sedang terjadi di hadapannya sekarang. “Ummp, Kak. Kenalin Ini pacar aku.” Aku menoleh pada Demian di belakangku. Demian langsung bergerak ke depan untuk memberikan t
Aku dan Jace tidak pernah absen untuk saling bertukar pesan. Dia rajin mengirimkan kesehariannya di Amerika lewat poto atau video. Kebanyakan dia berpoto dengan latar rumah sakit tempat kakaknya dirawat, atau di penthouse milik ibunya. Sesekali dia memotret ibunya yang keluar masuk toko barang-barang mewah. Ibunya Jace menawariku untuk dibelikan sesuatu di sana. Namun, aku menolaknya dengan alasan takut di kejar-kejar sama petugas pajak.Tidak ada Jet Lagged yang terjadi dalam komunikasi kami. Jace tetap menyapaku di pagi hari, saat dia hendak keluar untuk makan malam. Lalu dia akan mengucapkan selamat tidur untukku ketika dia bilang matahari baru terbit di sana. Kami sama- sama tertidur di saat yang bersamaan, tetapi di waktu yang berbeda.Seiring dengan itu, Demian menjadi sering berkunjung ke rumahku. Dia membawakan buku-buku contoh soal olimpiade yang sebetulnya sudah lebih dulu dipinjamkan Zoey milik saudaranya yang sekarang kuliah di NTU.
Tepat jam delapan malam, setelah aku selesai makan dan mencuci piring, aku akan meluncur ke kamarku dan menunggu telepon berdering. Itu adalah waktunya Jace menghubungiku. Namun, sudah lewat dari tiga puluh menit, handphone-ku masih belum menunjukan tanda-tanda berdering. ’Jace, lagi sibuk atau lagi tidur?’ Isi teks yang aku kirim pada Jace. Sudah satu jam dan tidak ada balasan apa-apa. Aku mencoba menguhubunginya terlebih dahulu. Namun, tidak diangkat. Aku berguling ke kanan dan ke kiri, sesekali duduk di tepi ranjang. Dengan perasaan waswas, menunggu teleponku berdering, atau setidaknya pesan teks yang mengabari kalau dia sedang sibuk dan belum bisa menelponku saat ini. Setengah jam berlalu. Aku tidak tahan untuk tidak menekan ikon hijau ketika nomor Jace sudah aku pilih pada daftar kontak. “Hi, this is Samantha. Jace is drunk and can't talk to you at this time. Just leave a message or whatever. Bye.” Samb
“Demamnya tinggi. Kamu jagain kakakmu sehari ini aja, ya? Mama enggak bisa ninggalin Tante Yanti sendirian di gedung.” Samar-samar, aku mendengar suara ibuku berbicara pada seseorang. Namun, kemudian suara itu kembali menghilang, berganti dengan suara lengkingan seorang wanita. Memanggil-manggil nama Jace. Aku melihat sekeliling. Hanya ada pepohonan besar yang rantingnya saling bertumpang tindih. Daunnya terlampau rimbun sampai mampu menghalangi sinar matahari di atasnya. “Jace, jangan tinggalkan aku.” Suara wanita tadi kembali terdengar. Sekarang gaungnya ada di semua penjuru mata angin. Aku berputar demi mencari dari mana asal suara itu. Aku menemukan Jace sedang berjalan ke arahku. Aku tersenyum lebar ketika dia merentangkan kedua tangannya untuk menyambutku. Namun, langkah Jace terhenti seiring dengan suara wanita yang kembali terdengar memanggil namanya. Ternyata wanita itu ada di belakangnya. “Aku hamil,” ungkapnya dengan derai air mata.
“I love you, Jace.” Sudah sepuluh menit semenjak kalimat itu keluar dari mulutku. Namun, tidak ada satu pun kata yang terucap dari bibir Jace. Dia memilih untuk tetap diam sambil mendesah panjang. Seakan pernyataan cinta yang didengarnya tadi adalah sebuah beban yang teramat berat baginya. Kami duduk bersisian di atas lantai, bersenderkan tepi ranjang yang rendah. Satu kaki Jace lurus ke depan, sedangkan kaki yang lain ditekuk menopang tangan yang terjulur di atasnya. Aku menarik kedua lututku ke dada, dan memeluknya dengan erat. “Kok, bisa lo ada di sini sekarang? Bukannya semalem lo masih di Amerika?” tanyaku memecah kesunyian. Juga untuk mengalihkan rasa kecewa akibat pengabaian Jace atas ucapanku sebelumnya. Jace mencari wajahku yang berada di tepi bahunya. Satu tangannya yang bebas memegang puncak kepalaku dan mengusapnya dengan lembut. “Gue dari kemarin udah ada di Indonesia. Waktu gue nelpon lo, gue udah ada di rumah.” Aku mengu
"Jawab, lo ngapain di sini?!" Mataku membulat mendengar Jace bersuara kencang padaku. Apalagi kami sedang di lobi gedung perkantoran. Membuat semua mata memandang ke arah kami. “Gu-gue ngajuin kontrak sponsor buat pensi,” jawabku terbata. Aku masih tidak mengerti apa yang menyebabkan Jace menjadi sewot seperti ini. Aku yakin dia marah bukan karena melihatku sedang di kantor ayahnya. Matanya sudah merah semenjak dia melangkah dengan tergesa-gesa saat tadi melintasi lobi. “Udah beres?” Suaranya sedikit melunak, tetapi tidak mengurangi gurat kencang pada rahangnya. Aku menggeleng pelan menjawab pertanyaanya. Tiba-tiba dia menarik tanganku dengan kasar. Aku terseok di belakangnya karena Jace berjalan dengan langkah yang cepat sambil menyeretku. “Lo kenapa Jace? Lo kenapa minum di jam sekolah?” tanyaku ketika kami sudah masuk ke dalam lift. Jace tidak menjawab. Seorang wanita yang juga bersama kami di lift mencoba menyapa Ja
Aku masih bersimpuh ketika Jace keluar dari lift. Pintu menutup dan lift kembali bergerak naik. Aku belum mampu mencerna maksud ucapan Jace sebelum dia meninggalkanku tadi. Berakhir? Maksudnya kami putus? Tapi kenapa? Aku menggeleng kencang. Dadaku memang sudah bergemuruh semenjak mendengar kalimat putus dari mulut Jace. Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku yang memerlukan penjelasan sampai aku belum bisa memutuskan untuk menangis. Aku menekan tombol angka untuk lantai dasar agar lift kembali turun. Dengan tergesa-gesa, aku segera keluar dari lift begitu bunyi tanda kotak besi ini telah mencapai lantai yang di tuju. Dua orang teknisi dengan papan tanda elevator rusak menyambutku di mulut lift. Mereka memandangku heran ketika melihatku keluar dari sana. “Bukannya tadi ada laporan lift utama rusak?” bisik salah satu dari mereka yang sudah memegang perkakas besi. “Itu katanya Mas Jace yang lapor. Apa dia lagi iseng?” temannya malah balik
“Kaitlyn,” Om Khalid menyapa ketika dia sudah berjarak satu meter di depanku. “Boleh saya bicara denganmu?” Aku mengerjap beberapa saat. Namun buru-buru mengangguk dan menjawab. “Iya, Om. Boleh.” Dengan gerakan pelan nan berwibawa, Om Khalid duduk di kursi bekas Sheryl. Satu kaki ditumpangkan pada kaki lainnya mencoba membuat dirinya nyaman di kursi yang sebetulnya terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar. Tak lama, tangannya bergerak merogoh saku dibalik jasnya, kemudian mengeluarkan amplop putih dari sana Dia mengangsurkan amplop itu padaku sambil berucap, “hadiah kecil dariku.” Sempat mengerutkan dahi karena keheranan, tetapi segera aku terima uluran amplop dari tangan Om Khalid dengan canggung. “Terima kasih.” Mataku menangkap sosok Jace di seberang meja jamuan utama sedang memandang ke arahku penuh curiga. Dahi yang berkerut dengan alis yang menukik tajam memperlihatkan sikap waspada. Mungkin dia khawatir karena melihaku bicara dengan ayahnya tanpa ada yang mendampingi. Dia se
Rencana Tuhan sangat tidak bisa aku tebak. Segala hal menyangkut takdir memang selalu menjadi misteri yang pada akhirnya akan ditunjukan dengan cara-Nya yang paling indah. Hanya tinggal menunggu waktu. Kelahiran, kematian, dan cinta. Itu yang aku yakini sekarang. Ketika dengan sangat mengejutkan, pria yang selalu menjadi pujaan hatiku dari semenjak aku baru mengenal cinta, mempersembahkan cincin bertahtakan berlian ke hadapanku. “Kejutan,” ucapnya dengan senyum yang terukir di bibir. Detak jantungku mungkin sempat berhenti beberapa saat. Mataku tidak bisa lepas dari wajah penuh senyum yang semakin membuat aliran darahku berdesir kecang. Gerakan pelan dari kursi roda yang di dorong ibuku membuat jiwaku kembali ke raga. Setelah beberapa saat terlepas dan berkelana mencari jawaban, apakah ini nyata, atau hanya khayalanku saja? Seperti halnya aku, semua yang hadir pun menunjukan wajah penuh tanya. Yang mereka tahu, malam ini adalah malam pertunangan Khalid Ashad dengan ibuku. Bukan ac
Dengan bantuan Sheryl, aku menjalankan kursi roda menuju barisan kursi paling kanan. Ada panggung kecil setinggi lima belas sentimeter yang nampak cantik, dihiasi bunga chamomile dan hortensia di sepanjang garis tepiannya. Di kiri panggung disediakan jalur khusus kursi roda untuk naik. Mungkin ibuku menginginkan aku menemaninya di sana. Namun, aku rasa itu tidak bisa aku wujudkan Untuk bisa hadir di sini saja, aku harus menarik napas berkali-kali. Melepaskan segala perasaan sesak agar bisa tersenyum lebar untuk ibuku secara tulus. Aku senang jika ibuku bisa berbahagia. Seberat apa pun nanti, aku pasti bisa menerima keluargaku yang baru dengan dada seluas samudera. “Lo udah siap?” Suara serak adikku terdengar dari arah belakang. Aku terkejut melihat penampilannya yang rapi dan wangi. Apalagi melihat dia tersenyum lebar tanpa beban. “Lo di sini?” tanyaku masih tidak percaya. Maksudku, selain aku dan Jace, Aiden adalah orang yang paling membenci rencana pertunangan ini. Dia merasa ib
“Cantik banget sih, temen gue. Senyum dong.” Sheryl mengusap anak rambut yang masih mencuat nakal lalu menyelipkannya ke belakang telingaku. Sebagai sentuhan terakhir, dia menjepitkan hiasan rambut kecil berbentuk kupu-kupu di kepala bagian kiri. “Selesai,” gumamnya nampak puas akan hasil karyanya yang terpantul pada cermin di depan kami. “Makasih, Sher. Gue jadi menghemat anggaran make up artist,” gurauku diselingi senyum tipis di bibir. “Sama-sama, Sayang.” Sheryl meremas pelan kedua bahuku dari belakang. Lalu memutar kursi penunjang aktifitas yang aku duduki ini menjadi saling berhadapan. “Lo baik-baik aja, kan?” Aku mengangguk meyakinkannya. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Aku hanya perlu menebar senyum pada semua yang hadir. Setidaknya untuk malam ini saja. Sheryl menghela napasnya dalam-dalam dan menatapku dengan mata sendu. Namun, buru-buru dia bergeleng dan merubah lengkungan bibirnya menjadi tarikan ke atas. “Eh, udah latihan jalan belum hari ini?” “Udah tadi pagi. Ta
Aku mengerjap. Gejolak menyakitkan dari bagian atas perut memaksaku untuk membuka mata. Namun, terlalu silau. Sinar-sinar itu terlalu menyakiti mataku. Lalu dorongan kuat itu kembali mendera perutku. Seolah isinya sedang diaduk dan sebentar lagi akan meledak melewati kerongkongan.Aku mengerang dengan lemah sambil mencoba membuka mataku lagi. Semoga kali ini sinar itu tidak terlalu menusuk bola mata.“Kat?”Ah, suara Aiden. Untunglah ada orang di sampingku. Cahaya putih yang menyelusup melewati bulu mataku menampilkan siluet sosok yang familar. Aku kembali mengerjap berharap bayangan buram itu bisa segera menjadi jelas.Bau antiseptik, cairan infus yang menggantung, dan selang oksigen di hidung menjelaskan bahwa aku sedang di rumah sakit. Tentu saja. Aku habis tertabrak mobil.Ingatan tentang bagaimana aku harus berakhir di rumah sakit ini membuat kepalaku diserang rasa nyeri yang hebat. Jeritan klakson dan decitan ban yang kencang kembali berdengung di telinga. Duniaku berputar kenca
Jace's POV Suara orang berdebat di luar ruangan membuatku jengah. Pertengkaran konyol, saling tuduh dan menyalahkan tak berkesudahan. Beberapa kali suster mengingatkan untuk mereka tetap tenang, tetapi para manusia yang rata-rata berumur hampir setengah abad itu tetap saja bersitegang. Di ujung ruangan, pria muda dengan wajah dan raut serupa dengan kakaknya sedang tertunduk lesu. Sama denganku yang tengah di rundung gelisah, dia pun tampak terganggu dengan ucapan-ucapan tidak masuk akal yang selalu menjadi perdebatan para orang tua di luar sana. “Nyokap lo bikin rusuh,” ucapnya ketika pria muda itu mendongak ke arahku. Aku terkekeh pelan. Tidak ada yang lucu. Hanya kekehan pengganti rasa getir yang sedang menggelayuti dadaku sekarang. “Sorry enggak ngabarin lo semalam. Gue terlalu ketakutan dan lupa ngasi tahu keluarganya,” sesalku mengingat Aiden yang baru mengetahui berita ini saat Katy sudah selesai menjalani operasi darurat. Aiden menegakkan punggung. Melepaskan napas panjang
“Katy!” Aku mendengar Alex berteriak, menghentikan langkahku yang masih saja mengejar mobil Jace tanpa melihat keadaan sekeliling. “Lo mau ngapain?” Tanganku di tarik dengan kencang membuatku tersentak ke bahu jalan. Aku menoleh dan baru menyadari aku berlari terlalu ke tengah. Membuatku hampir tersenggol mobil yang sedang melaju dari arah belakang. “Alex, tolongin gue. Susul dia.” Aku merengek. Entahlah, hanya ini yang bisa aku pikirkan sekarang. Aku terlalu takut dia kembali menghilang. Alex mengembuskan napas dengan kasar lalu menggerakan kepalanya ke belakang. Memintaku untuk segera naik ke atas skuternya. “Naik.” Tidak sulit untuk mengejar mobil Jace yang tidak mungkin memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tiba di persimpangan, dia harus berhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah. “Jace!!” Aku mengetuk kaca mobilnya ketika posisiku sudah berada tepat di samping mobilnya. Sekilas, aku melihat raut terkejut dari wajah Jace. Namun, Dia tidak sempat membuka kaca mobil
Aku mematung memandangi mobil Jace yang menjauh. Meninggalkanku dengan kebingungan atas tuduhan yang di layangkan padaku, tanpa pernah menanyakan kebenarannya terlebih dahulu.Aku mengerjap demi menahan butiran air yang hendak meluncur dari sudut mata. Menghela napas beberapa kali, lalu segera membuka layar handphone. Mencoba mencari tahu penyebab sikap Jace yang berubah drastis seperti ini.Sebuah pesan dari nomor baru dengan waktu kirim paling kini telah terbuka. Aku usap layar demi menampilkan isi pesan itu.‘Kat, ini gue Alex. Gue dapet nomor lo dari Arula. Makasi ya udah nemenin gue malam tadi. Maaf gue enggak anterin lo pulang. Istirahat yang cukup. Lo pasti kelelahan.’Aku menelan ludah sambil meremas handphone dalam gegaman. Pantas saja Jace semarah ini. Siapa pun yang membaca kalimat di dalam teks tadi tentu akan berpikir negatif tentang apa yang telah terjadi semalam.Aku harus segera menjelaskan semuanya sebelum dia memutuskan untuk menjauhiku lagi. Aku tidak bisa membiarka
“I love you, Kat.” Tunggu, apa itu? Badanku menegang. Terkejut dan sedikit ragu dengan apa yang baru saja aku dengar. Apa Jace baru saja mengucapkannya? Tiga kata yang selalu aku tunggu itu benar-benar keluar dari mulutnya? Aku menegakan punggung dan melepas penyatuan bibir kami. Berbalik dengan cepat dan menatap netranya yang sendu. “Apa Jace?” Jace tidak menjawab. Dia masih memandangku seolah aku adalah barang berharga yang baru saja dia dapatkan setelah sekian lama mencari. Mata itu jelas menyorotkan kekagumannya padaku. “I love you,” ulangnya dengan suara yang dalam. Jauh lebih seksi dari suara mana pun yang pernah di dengar telingaku “You said that?” Jace mengangguk. Jarinya menyentuh daguku dan mengusap pelan di sana. Matanya yang terbiasa menyorotkan ambisi sekarang berubah teduh. Sendu dan mendamba. Sekali lagi, dia menyatukan kembali dua bibir yang terlalu lama merindu. Keharuan memenuhi dadaku. Aku seperti sedang disiram air pegunungan yang segar setelah sekian lama t