"Jawab, lo ngapain di sini?!"
Mataku membulat mendengar Jace bersuara kencang padaku. Apalagi kami sedang di lobi gedung perkantoran. Membuat semua mata memandang ke arah kami.
“Gu-gue ngajuin kontrak sponsor buat pensi,” jawabku terbata.
Aku masih tidak mengerti apa yang menyebabkan Jace menjadi sewot seperti ini. Aku yakin dia marah bukan karena melihatku sedang di kantor ayahnya. Matanya sudah merah semenjak dia melangkah dengan tergesa-gesa saat tadi melintasi lobi.
“Udah beres?” Suaranya sedikit melunak, tetapi tidak mengurangi gurat kencang pada rahangnya.
Aku menggeleng pelan menjawab pertanyaanya.
Tiba-tiba dia menarik tanganku dengan kasar. Aku terseok di belakangnya karena Jace berjalan dengan langkah yang cepat sambil menyeretku.
“Lo kenapa Jace? Lo kenapa minum di jam sekolah?” tanyaku ketika kami sudah masuk ke dalam lift.
Jace tidak menjawab. Seorang wanita yang juga bersama kami di lift mencoba menyapa Ja
Aku masih bersimpuh ketika Jace keluar dari lift. Pintu menutup dan lift kembali bergerak naik. Aku belum mampu mencerna maksud ucapan Jace sebelum dia meninggalkanku tadi. Berakhir? Maksudnya kami putus? Tapi kenapa? Aku menggeleng kencang. Dadaku memang sudah bergemuruh semenjak mendengar kalimat putus dari mulut Jace. Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku yang memerlukan penjelasan sampai aku belum bisa memutuskan untuk menangis. Aku menekan tombol angka untuk lantai dasar agar lift kembali turun. Dengan tergesa-gesa, aku segera keluar dari lift begitu bunyi tanda kotak besi ini telah mencapai lantai yang di tuju. Dua orang teknisi dengan papan tanda elevator rusak menyambutku di mulut lift. Mereka memandangku heran ketika melihatku keluar dari sana. “Bukannya tadi ada laporan lift utama rusak?” bisik salah satu dari mereka yang sudah memegang perkakas besi. “Itu katanya Mas Jace yang lapor. Apa dia lagi iseng?” temannya malah balik
Aku menampar Jace di depan teman-temannya. Tidak peduli dia akan terhina atau tidak. Yang penting aku sudah meluapkan kekecewaanku padanya. Sudah dua kali aku menampar orang yang sama. Seseorang yang bahkan namanya ada di dalam daftar orang-orang yang aku doakan. Seseorang yang aku berikan kata cinta dengan tulus. Air mataku tumpah ketika pintu mobil aku tutup dengan kencang. Aku menyalakan mesin dan segera menginjak pedal gas. Kemudian berkendara tanpa tujuan, melewati jalan panjang menuju tempat yang tidak pernah aku lalui sebelumnya. Aku menepikan mobil di bawah sebuah pohon besar yang rantingnya mampu menaungi hampir separuh badan jalan. Entah pohon apa namanya, namun dia memiliki bunga kecil berwarna kuning di setiap ujung rantingnya. Menciptakan siluet yang cantik ketika terkena sinar matahari sore. Suasananya indah. Sangat cocok untuk seorang gadis menyedihkan yang ingin menangis dengan kencang. Sambil menumpahkan rasa sesak yang sudah berhari-hari mencekik le
Ayahku mengantar sampai aku masuk ke dalam gerbang sekolah. Dia berkali-kali mengingatkan bahwa aku harus fokus dan melupakan masalah lain selain materi yang sudah aku persiapkan jauh-jauh hari.Dia menyadari mata sembap dan suaraku yang serak. Namun, dia tidak bertanya lebih lanjut tentang apa yang telah terjadi denganku sampai aku harus menangis semalaman. Lagipula, ayahku juga terlihat tidak dalam kondisi yang bagus. Ada lingkar hitam di bawah matanya, dan berkali-kali dia menghela napas dalam-dalam. Seperti sedang melepaskan keresahan dalam hatinya. Aku menduga, dia habis bertengkar lagi dengan ibuku.”Pah, doakan ya,” ucapku ketika aku hendak keluar dari mobil.Dia menoleh ke arahku lalu tersenyum lembut. “Pasti dong, Kat. Enggak usah diminta juga Papa pasti doakan kamu.”“Nanti kalau aku lolos ke tingkat nasional, Papa juga harus anterin aku kayak gini ya,” pintaku dengan manja.Tangan ayahku terjulur dan m
Aku tidak ingin berlama-lama merayakan hari-hari patah hati. Kegiatanku yang padat seharusnya bisa mempercepat pemulihan luka-luka tak kasat mata di dalam badanku. Aku sudah membuat jadwal secara terperinci. Dari mulai apa yang harus dilakukan ketika bangun pagi, hingga saatnya aku kembali tidur di malam hari. Aku punya banyak rencana. Plan-A, plan-B, plan-C dan seterusnya. Yang akan aku jalankan jika aku tidak sengaja bertemu dengan Jace kelak.Seperti sebuah pepatah klise yang sering aku dengar, kenyataan tidak selalu sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Memang menghindari pertemuan langsung dengan Jace itu sangat mudah. Kami tidak saling bersinggungan dalam kegiatan sekolah. Kelas kami berbeda. Klub ekstrakulikuler kami berbeda. Dan lingkaran pertemanan pun berbeda.Namun, ada bayak hal yang membuatku merasa seperti diikuti bayangannya. Aku merasa seperti selalu berada di bekas jejak langkahnya, dan terperangkap di udara bekasnya bernap
“Katy.” Suara Zoey mengembalikanku dari lamunan panjang. Aku menoleh dan memperhatikan jari-jari tangannya yang memegang kemudi dengan erat. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengajukan pertanyaan yang semenjak kami duduk berdua di dalam mobil, pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. “Kenapa lo mau?” Zoey mengerutkan keningnya. “Apa?” “Ini semua.” Aku melirik tajam ke arahnya. “Lo diminta Jace untuk datang. Dan lo datang dengan senang hati.” “Jace bilang lo dalam masalah dan dia butuh bantuan gue.” “Lo terlalu jauh mencampuri urusan gue.” Nada suaraku meninggi. “Lo itu menantang bahaya, Kat!” “Tapi ini semua enggak ada hubungannya sama lo. Lo bukan siapa-siapa gue lagi.” Zoey menggelengkan kepala. Seolah kecewa dengan apa yang telah aku ucapkan. “Kat, sadar! Lo terlalu tergila-gila sama cowok itu. Sikap lo udah enggak wajar.” Aku membuang pandanganku ke samping. Mencoba menyembunyikan bulir beni
“Gue bisa pulang sendiri,” ucapku pada cowok yang sudah menjinjing tasku di tangannya. “Jangan keras kepala. Pulang sama gue.” Jace berbalik memunggungiku dan mulai melangkah. Aku tidak punya pilihan selain mengkutinya dari belakang. Aku menyerahkan kunci mobil dengan tangan bergetar. Kini aku bersyukur Jace mau mengantarku. Karena dengan keadaan seperti ini, aku tidak akan mampu berkendara dengan benar. Pikiranku melayang pada semua kemungkinan yang bisa saja terjadi pada ayahku. Apa dia mengalami kecelakaan? Atau dia jatuh sakit? Separah apa keadaan ayahku sampai ibuku terdengar histeris di telepon tadi? Semakin aku berpikir, semakin aku kesulitas bernapas. Leherku seperti tercekik sesuatu. Sampai napasku sekarang terdengar tersenggal-senggal. Apalagi ketika bayangan paling buruk tentang ayahku tiba-tiba menghinggapi pikiranku. Aku buru-buru mengerjap dan menarik napas dalam-dalam. Demi menenangkan hatiku yang sudah tidak menentu rasanya.
Hari kedua setelah ayahku tiada, rumah menjadi sangat sepi. Om Aldrin terbang ke Palembang tadi siang. Tante Lisa –Istri om Aldrin, dan Maura sudah kembali ke Bandung. Hanya sesekali Tante Yanti menjenguk ibuku sambil membawakan makanan untuk kami bertiga. Malam menjadi semakin hening ketika kami bertiga sama-sama mengurung diri di kamar masing-masing. Ibuku masih sering terlihat di dapur dan di meja makan. Namun, Aiden sama sekali belum aku temui semenjak kemarin. Aku melintasi ruang keluarga yang sepi. Memandangi poto-poto ayahku yang terpampang di dinding ruangan. Di sudut ruangan ada miniatur bola dunia. Di pajang di atas meja kecil samping televisi. Itu bola dunia pemberian ayahku waktu aku berulang tahun kesepuluh. Aku mengatakan padanya bahwa aku ingin menjadi astronot. Aku ingin menjelajahi ruang angkasa. Namun, dia bilang berkeliling dunia saja terlebih dahulu. Bisa jadi bumi yang selama ini aku pijak lebih menarik ketimbang langit di atas sana. Seperti hidu
“Keuangan pensi?” Aku mengulang perkataan Vania tadi. Dia mengangguk padaku dan menyuruhku untuk segera mengikutinya ke ruangan Kepala Sekolah. Aku menurut dan mengekor di belakangnya. Di ruangan Kepala Sekolah, sudah berkumpul beberapa panitia pensi, anggota OSIS, Pak Badrun dan wali kelasku. “Duduk, Kaitlyn.” Kepala sekolah memepersilakanku dengan senyuman di bibirnya, berbeda dengan yang lain. Mereka terlihat serius dan nampak sedikit cemas. “Eh, Kat. Begini ...,” Pak Badrun memulai pembicaraan dengan sedikit senyuman yang dipaksakan. “Kami sebelumnya meminta maaf sudah memanggilmu saat kamu masih dalam masa berkabung. Tapi ada hal yang harus segera diluruskan sebelum ini semua menjadi berlarut-larut.” Firasatku mulai tidak enak mendengar kalimat pembuka dari Pak Badrun ini. “Iya, Pak. Enggak apa-apa.” “Jadi, kemarin setelah acara pensi selesai, kepanitian pensi me-review ulang masalah laporan keuangan. Doni menggantikan ka
Bunyi bip terdengar seiring kartu akses apartemen yang aku tempelkan di sensor lift terbaca oleh sistem. Kemudian kotak besi itu bergerak naik membawaku ke lantai yang mau aku tuju. Ketukan sepatu terdengar menggema di sepanjang koridor yang sepi, membuatku mempercepat langkah menuju unit apartemen milik Jace.Keadaan apartemen yang gelap menyambut kedatanganku, menandakan si pemilik hunian ini sedang tidak berada di sini. Dengan langkah pelan, aku menyusuri ruangan untuk menyalakan semua lampu.Lampu terakhir yang aku nyalakan adalah kamar Jace. Kemudian menghidupkan pendingin udara dan membuka tirai yang sebelumnya menutupi pemandangan kota yang indah. Aku paling suka pemandangan dari sini. Lampu kota yang gemerlap selalu bisa membuatku lebih tenang.Sambil duduk di bench panjang yang empuk. Aku keluarkan handphone dan mengetikan sebuah pesan untuk Jace.Saya: “Aku di apartemenmu.”Aku tidak berharap dia cepat membalas pesanku tadi, tapi ternyata Jace langsung membalasnya.Jace: “Ka
“Teman-teman, ini anggota baru klub kita. Titipan Pak Tedy. Ada yang mau tanya-tanya?”Kalimat yang terdengar setengah hati keluar dari mulut Hiro membuatku ragu untuk memperkenalkan diri. Padahal, rekan-rekannya sudah antusias melingkariku dan Hiro dari semenjak aku masuk ke ruangan ini.“Namanya siapa, teh?” tanya seorang cowok dengan kacamata tebal yang duduk barisan paling kiri.Aku melirik ragu pada Hiro. Maksudnya, mau bertanya apakah aku sudah diijinkan untuk membuka mulut?“Jawab. Kenapa malah liat gue?” ketusnya membuatku gemas ingin menjambak rambut gondrongnya itu.Aku berdehem beberapa kali sebelum membuka suara, “Saya Kaitlyn, dari jurusan Matematika. Panggil aja Katy.”“Hai, Katy. Selamat datang di klub Teknik Digital,” sapa seorang cewek mungil dari barisan paling depan. Padahal aku merasa tidak cukup tinggi dibanding teman-temanku, tetapi ternyata cewek di depanku ini lebih pendek lagi dariku.Mataku mulai memindai sekeliling. Perkiraan, ada sekitar dua puluh orang yan
Aku mendengar suara Jace dari arah kamar ketika pintu depan sudah aku tutup rapat. Pelan-pelan aku melepas jaket dan sepatu, kemudian menggantungnya di tempat biasa aku menaruhnya. Aku mengendap menyebrangi ruang tengah menuju kamar di mana asal dari suara Jace terdengar. Aroma khas Jace langsung menguar bahkan ketika orangnya belum terlihat sama sekali.Punggung Jace yang pertama kali menyambutku. Dia bicara pada sosok yang berada di layar laptop dengan kalimat-kalimat formal. Dari judul berkas yang dia pegang, sepertinya dia sedang ada presentasi bisnis untuk kelas online-nya. Makanya, aku memilih untuk mundur pelan-pelan dan berniat menunggunya selesai di ruang terpisah.Namun aku mendengar Jace memanggil namaku, membuatku menoleh ke arahnya.“Apa?” Aku berbisik, takut lelaki tanpa rambut yang sedang bicara pakai bahasa inggris di seberang sana mendengar suaraku.“Udah aku mute. Enggak perlu bisik-bisik.” Jace terkekeh. Tangan kanannya terangkat dan hendak menggapaiku.Aku belum p
Aku melambaikan tangan pada laki-laki yang sedang berjalan masuk area restoran. Butuh beberapa saat untuk dia menyadari posisiku yang tertutup beberapa pengunjung restoran. Berbanding terbalik jika aku yang harus mencari dia di tengah kerumunan, badannya yang tinggi membuat dia gampang untuk ditemukan.“Nunggu lama?” tayanya ketika sudah berhasil membelah kerumunan dan duduk di seberangku.“Enggak juga. Ini baru mau pesen makan,” jawabku sambil memindai tanda batang yang di pasang di samping meja untuk segera melakukan pemesanan lewat aplikasi.Sambil memilih menu di layar handphone, aku juga sekalian memberi dia waktu untuk diam sejenak sebelum aku tanya kemana saja dia hari ini sampai harus melewatkan beberapa kelas wajib.“Aku udah makan. Pesanin cemilan sama minuman aja, ya,” ujarnya membuatku menaikan satu alis.“Makan di mana?” tanyaku.“Aku abis ketemu Papa, dan makan bareng dia,” jawabnya singkat.Kalimat barusan membuat kedua alisku bersatu. Jace mau menemui ayahnya adalah se
Suara gemericik air dari kamar mandi perlahan membuatku membuka mata. Sesekali terdengar siulan ringan membuatku sedikit tersenyum. Dia pasti sedang dalam suasana hati yang bagus pagi ini.Aku mengedarkan tangan mencari handphone di sepanjang nakas. Setelah menemukannya, aku mengetuk layarnya dan melihat tampilan penanda waktu.“Masih jam enam pagi,” lirihku dengan dahi mengkerut. Kenapa dia sudah bangun bahkan sudah mandi sepagi ini?Tidak berselang lama, pintu kamar mandi terbuka. Sosok cowok tampan yang sudah membuat jari manisku tersemat cincin cantik, melangkah keluar dari kamar mandi. Dia menoleh ke arahku ketika dia sadar aku juga sudah terbangun pagi ini.“Lho? Kamu bangun?” tanyanya sambil mendekat. Tangannya sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berwarna pink milikku.Aku mengangguk. Menarik badanku supaya duduk lebih tinggi dan bersandar pada kepala ranjang. Kamu kenapa udah mandi jam segini? Ini masih jam enam pagi.”Cowok tinggi dengan senyuman paling sempurna i
“Kaitlyn,” Om Khalid menyapa ketika dia sudah berjarak satu meter di depanku. “Boleh saya bicara denganmu?” Aku mengerjap beberapa saat. Namun buru-buru mengangguk dan menjawab. “Iya, Om. Boleh.” Dengan gerakan pelan nan berwibawa, Om Khalid duduk di kursi bekas Sheryl. Satu kaki ditumpangkan pada kaki lainnya mencoba membuat dirinya nyaman di kursi yang sebetulnya terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar. Tak lama, tangannya bergerak merogoh saku dibalik jasnya, kemudian mengeluarkan amplop putih dari sana Dia mengangsurkan amplop itu padaku sambil berucap, “hadiah kecil dariku.” Sempat mengerutkan dahi karena keheranan, tetapi segera aku terima uluran amplop dari tangan Om Khalid dengan canggung. “Terima kasih.” Mataku menangkap sosok Jace di seberang meja jamuan utama sedang memandang ke arahku penuh curiga. Dahi yang berkerut dengan alis yang menukik tajam memperlihatkan sikap waspada. Mungkin dia khawatir karena melihaku bicara dengan ayahnya tanpa ada yang mendampingi. Dia se
Rencana Tuhan sangat tidak bisa aku tebak. Segala hal menyangkut takdir memang selalu menjadi misteri yang pada akhirnya akan ditunjukan dengan cara-Nya yang paling indah. Hanya tinggal menunggu waktu. Kelahiran, kematian, dan cinta. Itu yang aku yakini sekarang. Ketika dengan sangat mengejutkan, pria yang selalu menjadi pujaan hatiku dari semenjak aku baru mengenal cinta, mempersembahkan cincin bertahtakan berlian ke hadapanku. “Kejutan,” ucapnya dengan senyum yang terukir di bibir. Detak jantungku mungkin sempat berhenti beberapa saat. Mataku tidak bisa lepas dari wajah penuh senyum yang semakin membuat aliran darahku berdesir kecang. Gerakan pelan dari kursi roda yang di dorong ibuku membuat jiwaku kembali ke raga. Setelah beberapa saat terlepas dan berkelana mencari jawaban, apakah ini nyata, atau hanya khayalanku saja? Seperti halnya aku, semua yang hadir pun menunjukan wajah penuh tanya. Yang mereka tahu, malam ini adalah malam pertunangan Khalid Ashad dengan ibuku. Bukan ac
Dengan bantuan Sheryl, aku menjalankan kursi roda menuju barisan kursi paling kanan. Ada panggung kecil setinggi lima belas sentimeter yang nampak cantik, dihiasi bunga chamomile dan hortensia di sepanjang garis tepiannya. Di kiri panggung disediakan jalur khusus kursi roda untuk naik. Mungkin ibuku menginginkan aku menemaninya di sana. Namun, aku rasa itu tidak bisa aku wujudkan Untuk bisa hadir di sini saja, aku harus menarik napas berkali-kali. Melepaskan segala perasaan sesak agar bisa tersenyum lebar untuk ibuku secara tulus. Aku senang jika ibuku bisa berbahagia. Seberat apa pun nanti, aku pasti bisa menerima keluargaku yang baru dengan dada seluas samudera. “Lo udah siap?” Suara serak adikku terdengar dari arah belakang. Aku terkejut melihat penampilannya yang rapi dan wangi. Apalagi melihat dia tersenyum lebar tanpa beban. “Lo di sini?” tanyaku masih tidak percaya. Maksudku, selain aku dan Jace, Aiden adalah orang yang paling membenci rencana pertunangan ini. Dia merasa ib
“Cantik banget sih, temen gue. Senyum dong.” Sheryl mengusap anak rambut yang masih mencuat nakal lalu menyelipkannya ke belakang telingaku. Sebagai sentuhan terakhir, dia menjepitkan hiasan rambut kecil berbentuk kupu-kupu di kepala bagian kiri. “Selesai,” gumamnya nampak puas akan hasil karyanya yang terpantul pada cermin di depan kami. “Makasih, Sher. Gue jadi menghemat anggaran make up artist,” gurauku diselingi senyum tipis di bibir. “Sama-sama, Sayang.” Sheryl meremas pelan kedua bahuku dari belakang. Lalu memutar kursi penunjang aktifitas yang aku duduki ini menjadi saling berhadapan. “Lo baik-baik aja, kan?” Aku mengangguk meyakinkannya. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Aku hanya perlu menebar senyum pada semua yang hadir. Setidaknya untuk malam ini saja. Sheryl menghela napasnya dalam-dalam dan menatapku dengan mata sendu. Namun, buru-buru dia bergeleng dan merubah lengkungan bibirnya menjadi tarikan ke atas. “Eh, udah latihan jalan belum hari ini?” “Udah tadi pagi. Ta