"Boleh saya bicara dengan Anda. Berdua saja," lirih Pak Fudin pada Nyi Baisucen, sesaat setelah dia di pindahkan ke ruang perawatan.Klinik Pak Hanif memang menyediakan ruang rawat inap untuk pasien yang jauh tinggalnya, juga untuk pasien dengan kondisi darurat.Nyi Baisucen jelas saja agak bingung dengan permintaan Pak Fudin. Dipandanginya semua orang yang ada di ruangan itu. Di antaranya, Sari, Bu Midah, Pak Hanif dan Hasan. Nyi Baisucen memandang suaminya cukup lama, seakan minta persetujuan. Pak Hanif mengangguk pelan, lalu keluar dari ruangan itu. Bu Midah, Hasan dan Sari sepertinya mengerti. Mereka juga keluar dari ruangan rawat. Nyi Baisucen mengambil bangku, dan meletakkan di sisi tempat tidur Pak Fudin. "Kenapa Bapak ingin bicara dengan saya?" tanya Nyi Baisucen, setelah tak ada lagi orang lain selain mereka berdua."Ada yang ingin saya ceritakan," ucap Pak Fudin. "Oh ya, apa itu?" hanya Nyi Baisucen tanpa kecurigaan sama sekali. Di dalam pikiran Nyi Baisucen, pasiennya k
"Maaf Nyi. Bagaimana keadaan Paman saya?" ulang Sari. Nyi Baisucen agak gelagapan. Tampak sekali dia berusaha untuk bersikap biasa saja. "Um, tak apa-apa. Penyakitnya akan segera diperiksa suami saya. Saya permisi dulu." Nyi Baisucen langsung saja pergi meninggalkan keluarga Pak Fudin dan suaminya yang merasa heran melihat sikap Nyi Baisucen. Saat sudah berada di balik tembok yang mengarah ke dalam rumahnya, Nyi Baisucen mengintip Sari. Bulir kristal menetes dari sudut matanya. Ada rasa haru menyelinap di hatinya. Ternyata dia mempunyai keponakan yang lain. Keponakan dari bangsa manusia seutuhnya. Sedih pun kini dia rasakan, karena tak dapat mengungkapkan semuanya. Nyi Baisucen harus menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Bukan hanya keselamatan dirinya. Rosa juga pasti akan sedih, kalau tau kenyataan, dia adalah anak yang dibuang. Pak Hanif segera masuk ke ruangan tempat Pak Fudin berada. Diikuti Bu Midah, Sari juga Hasan. Dengan telaten, Pak Hanif memeriksa kondisi Pak Fudin. "Kal
Hasan berulang kali menguap di sepanjang jalan. Dia benar-benar mengantuk. Meskipun tadi sudah tidur beberapa menit, tak bisa juga mengurangi rasa kantuknya. Apalagi tidurnya yang hanya sebentar tadi dihiasi mimpi yang buruk. "Bang, menepi saja dulu, kalau Abang mengantuk. Tak apa kan Bi, daripada bahaya di jalan?" Sari meminta pendapat pada Bu Midah. Wanita paruh baya itu pun terlihat sangat lelah. "Iya, istirahat barang satu jam pun tak apa," sahut Bu Midah."Kita jalan saja terus pelan-pelan. Bahaya berhenti di sini. Lihat saja, kiri kanan hutan sawit dan rambung semua. Juga sepi, padahal masih jam segini," kata Hasan sambil melihat ke arah jam kecil yang ada di atas dashboard mobil. Jarum jam masih menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh menit.Sari menatap jauh ke depan. Memang sangat menyeramkan jalanan yang mereka lalui. Seperti tak ada ujungnya hutan sawit ini. Sejak tadi pun, tak ada kendaraan yang berlalu lalang selain mobil mereka. Penerangan yang ada di jalan pun sang
"Hmm, ternyata abangku ini masih ular rupanya," kata Sanca dengan menyeringai sinis."Hehe." Piton terkekeh pelan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Bagaimana caranya Bang? Kalau kasih saran itu, jangan setengah-setengah," ucap Sanca.Piton tersenyum penuh arti. "Ayah sudah tau, kalau si Hasan itu sudah beristri," kata Piton."Dari mana Ayah tau? Kalau Ayah sudah tau, kenapa Ayah masih saja memberi restu pada Rosa? Sungguh, kasih sayang Ayah pada Rosa, sudah membuatnya kehilangan akal! Bagaimana bisa, ada orang tua yang mengizinkan anaknya menjadi pelakor!" omel Sanca. Dia benar-benar semakin merasa kesal.Padahal dia berpikir, kalau ayahnya tau, kalau laki-laki yang disukai Rosa telah beristri, ayahnya tak akan memberi restu pada Rosa. "Tentunya dari para pengawal yang ditugaskan Ayah menjaga Rosa. Kau tau sendiri bagaimana Rosa kan? Dia bisa selalu mematahkan kata-kata Ayah. Sifat manjanya sama persis dengan anak manusia," terang Piton."Lalu, bagaimana caranya supaya Ros
"Alhamdulillah, sampai juga kita di rumah. Ngeri sangat ular-ular tadi. San, apa tak ada jalan lain ke kampung Banjaran. Bibi takut, ular itu akan menghadang kita lagi," kata Bu Midah lega. Setelah mobil mulai memasuki pekarangan rumahnya. Tampak Aina, putri Pak Fudin keluar dari rumah, dengan tangan dilipat di depan dada. Wajahnya tampak pongah melihat ke arah mobil yang baru akan diparkir Hasan di halaman rumah. Perasaan Sari sangat tak enak, melihat raut wajah sepupunya itu. Sejak kecil, dia dan Aina tak pernah akur. Selalu ada saja hal yang di ributkan Aina, agar Sari selalu dimarahi Bu Midah. Bu Midah lebih dulu keluar dari dalam mobil. "Kemana saja kau Aina? Kau tak tau kan, ayahmu anfal lagi," sapa Bu Midah. Aina melengos dengan bibir ditarik ke bawah, seolah tak menganggap omongan sang Ibu. Gadis manis itu justru mencebik pada ibunya. "Aina kira, Mama tak perlu lagi sama Aina," sindir Aina dengan ekor mata melirik pada Sari yang menyusul turun dari mobil dan mendekati Bu
"Rehan, jadi dibawa?" tanya Bu Zubaedah saat melihat Sari sudah usai menunaikan sholat Subuh. "Jadi Mak," sahut Sari, seraya melipat mukenanya. "Jangan terlalu malam pulangnya. Ada halangan apa tadi malam rupanya?" Bu Zubaedah teringat apa yang dikatakan Sari tadi malam."Saat jalan pulang tadi malam, mobil kami dihadang ular Mak. Besar sekali," cerita Sari sambil bergidik. Dia masih ngeri kalau ingat peristiwa tadi malam. Bu Zubaedah langsung saja cemas mendengar cerita Sari. "Aibaya, yang takutlah Mamak mendengarnya. Kalau begitu, tak usahlah pala kesana Sari. Apalagi bawa Rehan." "Tak apa Mak. Nanti lewat jalan yang lain," kata Sari seraya masuk ke kamarnya."Iyalah, cari jalan yang ramai bilang Hasan. Pasti kalian lewat kebun sawit ya?" tanya Bu Zubaedah dengan suara agak dikuatkan. "Iya Mak. Tak sangka kalau ada ular. Maksud hati lewat jalan itu, biar tak macet," sahut Sari pula. Bu Zubaedah tetap setia menunggu Sari di ruangan tengah rumahnya. Dihidupkannya tivi, mencari s
"Mau lihat Pak Fudin ya?" Basa basi Nyi Baisucen. Tak perlu ditanya, dia sudah tau kalau Sari pasti akan melihat Pak Fudin.Wanita itu bangkit, dari yang semula berjongkok di depan Rehan. "Ya sudah. Saya tinggal dulu ya," kata Nyi Baisucen. "Iya Nyi," ucap Sari. Terus dipandanginya, punggung wanita yang terus jalan menjauh itu. Hatinya selalu saja berdetak tak karuan melihat wanita cantik itu. Ada sesuatu yang lain Sari rasakan, namun dia juga belum mengerti, kenapa."Dek, yok," ajak Hasan. Sari mengikuti langkah kaki Hasan. Aina hanya melengos dengan raut wajah jutek melihat Sari. Rasa benci telah mengakar kuat di hatinya. Padahal Sari tak ada salah apapun padanya. Hanya karena sejak kecil sudah ditanamkan Bu Midah rasa itu, hingga sukar baginya untuk bisa menerima Sari. Padahal justru Bu Midah sekarang sudah menerima Sari. Sari dan Hasan berusaha untuk tak mempedulikan sikap Aina. Tujuan mereka datang, untuk memberi support pada Pak Fudin agar cepat sehat kembali. Mereka langsung
"Paman … besok kami hendak pulang ke rumah. Paman baik-baik ya, tetap semangat," kata Sari, saat hanya tinggal dirinya dan Pak Fudin di dalam kamar rawat. Bu Midah dan Aina menunggu di luar. Sementara Hasan membawa Rehan berkeliling klinik agar tak bosan. Hari sudah semakin siang, sebentar lagi sore menjelang, kejenuhan mulai melanda Rehan."Tinggallah untuk beberapa hari, ada hal yang masih belum Paman beritahu. Tunggu sampai Paman sehat betul," pinta Pak Fudin dengan suara parau. Dia takut, pengobatan kali ini pun tak berhasil. Sari harus tau mengenai Nyi Baisucen. Walau Nyi Baisucen belum mengaku pada Pak Fudin, kalau dialah wanita yang menolong kembaran Sari. Tapi Pak Fudin sudah merasa yakin benar. Dia tak bisa lupa wajah wanita itu. "Apalagi yang Sari belum tau, Paman? Katakan saja lah sekarang. Lagi tak ada orang," kata Sari pelan, meski tak berbisik, sambil melirik pintu ruang rawat. Takut kalau tiba-tiba ada yang masuk. Terutama Hasan. Sari belum bercerita pada Hasan, ten
Sari terus berusaha berkonsentrasi memanggil Nyi Baisucen. Dia harus tau kebenaran tentang Rosa. Apakah Rosa adalah saudari yang dicarinya selama ini?"Bibi Baisucen." Berulang kali Sari memanggil Nyi Baisucen. Namun Nyi Baisucen tak juga menjawabnya. Sari hampir putus asa. Kenapa bibinya tak menjawab panggilan darinya? Kalau dia ke klinik Pak Hanif, akan memakan waktu yang lama. Hampir setengah hari perjalanan menuju ke sana. Belum lagi perjalanan pulang. Dia tak bisa meninggalkan keluarganya dalam waktu yang lama. Sari mencoba untuk berkonsentrasi lagi. Mungkin tadi bibinya sedang sibuk pikirnya."Bibi Bai. Bibi Bai. Bibi Bai.""Ada apa Sari?" Sari lega, akhirnya Nyi Baisucen menjawab panggilannya. "Bibi bisa Bibi datang lagi? Ada yang hendak Sari bicarakan." "Bibi akan datang malam nanti. Klinik sedang ramai saat ini. Paman Hanif akan curiga." "Baik Bibi. Sari akan menunggu Bibi di taman kota." "Ya, Bibi akan menemuimu di sana." Sari mengakhiri panggilan telepatinya. Dia seg
Dua orang wanita cantik tampak sedang duduk berbincang di sebuah taman kecil yang ada di sebuah klinik pengobatan alternatif. Mereka adalah Nyi Baisucen dan Rosa. Sama dengan Sari, Rosa juga merasakan ada suatu kejanggalan dengan perbincangan mereka tadi malam. "Bi, katakan yang sejujurnya. Apa yang sedang Bibi sembunyikan? Kenapa Bibi bilang Sari adalah kemanakan Bibi? Bagaimana hal itu bisa terjadi, sementara Sari itu manusia sejati? Berbeda dengan Bibi." Rosa mencecar Nyi Baisucen dengan pertanyaan yang sejak tadi malam juga menggelayuti hatinya. Nyi Baisucen masih diam dengan pandangan lurus ke depan. Dia sedang memikirkan, bagaimana cara mengawali ceritanya pada Rosa."Kenapa Bibi diam? Apa ada yang sedang Bibi sembunyikan." Rosa menyelidik."Rosa, memang sudah seharusnya kau tau cerita ini. Sejak lama Bibi ingin menceritakan padamu, tapi Bibi tak bisa. Ayahmu melarang siapapun untuk menceritakan kebenaran ini padamu." "Apa maksud Bibi?" tanya Rosa dengan alis menaut. Nyi Bai
"Siapa yang datang pagi buta begini?" tanya Nyi Baisucen pada Sari, pandangannya tak lepas dari Honda HR V warna silver yang sedang parkir di pekarangan rumah Sari."Itu mobil Bang Hasan, Bi. Ada apa ya?" Sari pun bertanya-tanya. Hasan turun lebih dulu, baru disusul oleh Rosa. Nyi Baisucen terkesiap melihat keduanya. Matanya tak bisa berkedip sama sekali. "Siapa yang bersama dengan Hasan, Sari?" Dia bertanya, untuk memastikan dugaannya tak salah. "Itulah istri kedua Bang Hasan, Rosa namanya." Nyi Baisucen terperangah, tak percaya mendengar hal yang diungkapkan Sari. Nyi Baisucen terduduk lemas. 'Berarti, orang yang telah kudukung untuk menikahi Rosa adalah Hasan' batinnya.Penyesalan segera menyergap kalbu Nyi Baisucen. Kenapa dulu dia tak menyelidiki terlebih dahulu, siapa laki-laki yang dicintai Rosa? Sayangnya dia tak hadir pada saat Rosa menikah, hingga dia tak juga mengenal suami Rosa. Apalagi sudah sangat lama Rosa dan Nyi Baisucen tak lagi bertemu."Bibi!" Rosa sangat terk
Rosa langsung membawa Hasan ke rumah ayahnya, setelah sebelumnya memanipulasi penglihatan Hasan. Sehingga yang tampak di pandangan Hasan adalah sebuah rumah yang mewah juga megah, dengan banyak security yang berjaga di setiap sisinya, baik diluar maupun di dalam. Security itu langsung membuka pintu rumah tatkala melihat kehadiran Rosa beserta suaminya. Sampai di dalam Rosa berpapasan dengan Sanca yang melihatnya dengan sinis. "Mau apa kesini, tengah malam begini?" sinis Sanca. ''Aku mau bertemu Ayah." Rosa tak lagi memperdulikan Sanca, dia langsung berjalan melenggang tanpa peduli dengan tatapaan tak suka Sanca pada Hasan.Apalagi Rosa melihat wajah Hasan kian memerah karena suhu tubuhnya semakin meningkat. Rosa menggandeng tangan Hasan yang panas untuk mempercepat langkah kakinya. Tak dipedulikan rasa terbakar di telapak tangannya.Rosa langsung menuju ke kamar Tuan Anaconda, sempat dia juga berpapasan dengan Panglima Derik di depan pintu kamar Tuan Anaconda. Walaupun Panglima Der
Hasan merasa sangat gelisah malam ini, tubuhnya terasa panas. Dia senantiasa merasa kegerahan, hingga bajunya basah karena keringat. Berulang kali dia mengganti posisi tidurnya tapi tak membantu juga untuk mengurangi rasa gerah yang sedang menderanya. Rosa merasa tempat tidurnya terus berderit sejak tadi. Dia membuka matanya, lantas melihat suaminya yang tidur dengan gelisah. Alisnya menaut melihat suaminya yang bertingkah aneh."Kenapa Bang?" tanyanya pada suaminya, lantas duduk di atas ranjangnya.Dicepolnya asal rambutnya yang ikal mayang itu, hingga menampakkan dengan jelas lehernya yang jenjang."Gerah," jawab Hasan sambil mengipasi tubuhnya dengan baju sendiri. Rosa melihat ac di kamarnya, ac nya hidup. Tak ada masalah dengan itu. Gadis cantik itu bangkit, untuk memeriksa kondisi suaminya. "Astaga! Badan Abang panas sekali!" pekiknya ketika punggung tangannya ditempelkan ke dahi Hasan. Hasan duduk, dibukanya baju yang telah basah oleh keringat. Namun tak juga mengurangi rasa
Aina duduk di hadapan seorang laki-laki paruh baya yang penampilannya tampak biasa saja. Siapa yang sangka kalau orang yang berada di depannya itu adalah seorang Dukun yang dikenal cukup handal dalam memuaskan semua kliennya.Aina mengenalnya dari rekomendasi seorang rekannya yang sudah tau jam terbang si Dukun."Ini Ki, fotonya." Aina menyerahkan dua lembar foto ke tangan laki-laki itu. Laki-laki yang dipanggil Aki melihat foto itu dengan seksama. Tadinya dia duduk dengan santai sambil bersandar di sandaran sofanya. Tapi ketika melihat kedua foto itu, matanya membulat sempurna."Ada apa Ki?" tanya Aina yang melihat perubahan pada ekspresi Dukun itu. "Ini sulit dipercaya," gumam Dukun itu. "Kenapa emangnya Ki?" Aina semakin bingung melihat sikap Dukun itu. "Ini, siapa perempuan ini?" Dukun itu bertanya seraya menunjuk wajah Rosa."Dia istri kedua si Hasan, Ki. Orang yang mau saya hancurkan. Ini Ki." Aina menunjuk wajah Hasan dan Sari."Saya ingin menghancurkan keduanya Ki. Mereka
"Sari, bisa kau temani aku ke toko Hasan? Aku juga ingin berkenalan dengan istri keduanya." Aina sudah mendapatkan foto Sari dan semua yang ada di rumahnya. Kini tinggal foto Hasan dan madu Sari.Permintaan Aina cukup mengundang tanya di hati Sari. Untuk apa Aina ingin berkenalan dengan Rosa?"Tak apa kan kalau aku ingin berkenalan dengan istri Hasan. Siapa tau, suatu hari nanti aku bersama dengan kawan-kawanku bertandang ke toko itu untuk membeli baju, jadi bisa diskon," kata Aina dibarengi dengan tertawa yang palsu, seolah Aina bisa mendengar kata hati Sari."Oh, boleh saja. Paman dan Bibi, mau ikut juga ke toko Bang Hasan?" tanya Sari. Beberapa tahun ini, Pak Fudin dan Bu Midah sudah sering datang ke rumah Sari dan sudah tau toko Hasan juga istri keduanya. Namun masih saja Pak Fudin belum bisa menerima kehidupan berpoligami yang dijalankan keponakannya itu. Hingga membuatnya sedikit enggan kalau harus sering bermanis-manis dengan Hasan. Dia tak marah karena Sari. "Kalian sajalah.
"Emak mau kemana?" tanya Sari pada Rasidah yang ingin menuruni anak tangga. "Mau nasi," jawab Rasidah dengan wajah merajuk seperti anak kecil."Sebentar lagi ya Mak." Sari mencoba menahan Rasidah.Tapi Rasidah malah menepiskan tangan Sari. Wanita setengah baya yang terkadang sifatnya seperti anak kecil itu, tak peduli akan larangan Sari. Dia terus saja turun ke bawah. Sari menghentikan langkah kakinya tak berniat menyusul Rasidah. Akhirnya Sari hanya memperhatikannya dari atas saja. Denyut di punggungnya masih terasa, Sari meringis sambil mencoba merana bagian punggungnya.Bersamaan dengan itu, dia merasa mendengar suara Nyi Baisucen. "Kau dimana Sari?" Sari mencoba berkonsentrasi lagi. Mungkin dengan mengirimkan sinyal telepati, bibinya akan tau keberadaannya. Namun Sari merasa semua cukup aman, jadi dia tak perlu meminta bibinya untuk datang. Mungkin karena dia merasa cemas dengan kedatangan Ayah Rosa maka tanda lahirnya berdenyut."Bibi, Sari di rumah Bang Hasan." Suara batin Sa
Tuan Anaconda sekali lagi memanggil Rosa dengan suara yang lebih kuat, "ROSA!" "I–iya Ayah," jawab Rosa gugup. Hasan segera mengajak Rehan dan Rasidah naik ke atas lagi. Namun Rasidah justru menolak, dia masih memegang paha ayam goreng yang sangat pesat terasa baginya. "Mamak bawa aja ayamnya semua. Makan di atas," bujuk Hasan. Akhirnya Rasidah mau juga. Rosa harap-harap cemas. Setelah melihat Hasan, Rehan dan Rasidah hampir sampai di lantai dua rumah mereka. Baru Rosa membuka pintu rukonya. "Kenapa lama sekali!" hardik Tuan Anaconda. "Tadi kuncinya susah dibuka Ayah," alasan Rosa."Kenapa Ayah datang malam-malam kesini?" tanya Rosa. "Apa harus ada alasan untuk bertandang ke rumah anak sendiri?" tanya Tuan Anaconda. Tuan Anaconda menyapu seluruh sudut ruko dengan matanya. Dia berjalan perlahan melihat setiap bagian sudut ruko Rosa yang banyak dihiasi manekin-manekin cantik yang dipakaikan baju contoh. "Mana suamimu?" "A–ada Yah. Di–atas." Rosa sangat gugup, takut kalau ayahn