Dua orang wanita cantik tampak sedang duduk berbincang di sebuah taman kecil yang ada di sebuah klinik pengobatan alternatif. Mereka adalah Nyi Baisucen dan Rosa. Sama dengan Sari, Rosa juga merasakan ada suatu kejanggalan dengan perbincangan mereka tadi malam. "Bi, katakan yang sejujurnya. Apa yang sedang Bibi sembunyikan? Kenapa Bibi bilang Sari adalah kemanakan Bibi? Bagaimana hal itu bisa terjadi, sementara Sari itu manusia sejati? Berbeda dengan Bibi." Rosa mencecar Nyi Baisucen dengan pertanyaan yang sejak tadi malam juga menggelayuti hatinya. Nyi Baisucen masih diam dengan pandangan lurus ke depan. Dia sedang memikirkan, bagaimana cara mengawali ceritanya pada Rosa."Kenapa Bibi diam? Apa ada yang sedang Bibi sembunyikan." Rosa menyelidik."Rosa, memang sudah seharusnya kau tau cerita ini. Sejak lama Bibi ingin menceritakan padamu, tapi Bibi tak bisa. Ayahmu melarang siapapun untuk menceritakan kebenaran ini padamu." "Apa maksud Bibi?" tanya Rosa dengan alis menaut. Nyi Bai
Sari terus berusaha berkonsentrasi memanggil Nyi Baisucen. Dia harus tau kebenaran tentang Rosa. Apakah Rosa adalah saudari yang dicarinya selama ini?"Bibi Baisucen." Berulang kali Sari memanggil Nyi Baisucen. Namun Nyi Baisucen tak juga menjawabnya. Sari hampir putus asa. Kenapa bibinya tak menjawab panggilan darinya? Kalau dia ke klinik Pak Hanif, akan memakan waktu yang lama. Hampir setengah hari perjalanan menuju ke sana. Belum lagi perjalanan pulang. Dia tak bisa meninggalkan keluarganya dalam waktu yang lama. Sari mencoba untuk berkonsentrasi lagi. Mungkin tadi bibinya sedang sibuk pikirnya."Bibi Bai. Bibi Bai. Bibi Bai.""Ada apa Sari?" Sari lega, akhirnya Nyi Baisucen menjawab panggilannya. "Bibi bisa Bibi datang lagi? Ada yang hendak Sari bicarakan." "Bibi akan datang malam nanti. Klinik sedang ramai saat ini. Paman Hanif akan curiga." "Baik Bibi. Sari akan menunggu Bibi di taman kota." "Ya, Bibi akan menemuimu di sana." Sari mengakhiri panggilan telepatinya. Dia seg
"San, aku pulang duluan ya. Udah gerimis. Lagian sepi banget," kata Budi sembari menstater sepeda motornya."Ya udah. Aku sebentar lagi lah. Kali aja, masih ada penumpang. Belom dapet setoran buat Bini. Mana si Rehan lagi sakit," sahut Hasan. "Yo, semoga beruntung San. Aku cabut ya." Budi langsung melajukan sepeda motornya. Sekarang Hasan tinggal sendiri di Pangkalan ojek ini. Sudah beberapa hari ini sewa sepi. Sementara Hasan harus memutar otak lebih keras lagi. Memikirkan asap dapur yang harus tetap ngebul. Rumah kontrakan pun sudah menunggak, istrinya juga lagi hamil anak keduanya, ditambah Rehan anak sulungnya, sedang terserang demam. Hasan menyalakan puntung rokoknya yang masih ada setengah lagi. Tadi saat pulang makan, sengaja dia sisakan setengah, karena isi dompetnya tinggal tersisa buat beli bensin. Hasan malas, kalau harus berhutang Rokok di kedai mak Tonah yang cerewetnya kayak ayam mau bertelur. Dia menyandarkan tubuhnya yang letih di dinding pos Ronda yang telah beral
"Abang bangun, udah azan." Sari mengguncang lembut tubuh Hasan. Hasan hanya menggeliat, membalik badan memunggungi Sari. Wanita manis berlesung pipit itu, tak kehilangan akal. Dia juga berpindah posisi, ke hadapan Hasan yang masih dibuai mimpi. "Bang, bangun. Habis sholat, tidur lah lagi." Sari masih tetap mencoba membangunkan Hasan. "Sebentar lagi." Hasan kembali memunggungi Sari. Sari melengos melihat suaminya yang sangat sukar dibangunkan. Ditinggalkannya suaminya itu, untuk segera menunaikan sholat Subuh. Sepertinya percuma, kalau dia masih memaksa membangunkan Hasan sekarang. Sari sholat sendiri. Meski sudah menjadi kebiasaan, namun di lubuk hatinya. Teringin sangat, sholat diimami Hasan. Jangankan mengimami, bahkan Hasan sholat sendiri pun, bisa dihitung dengan jari.Sudah jam enam lewat. Sari sudah pun selesai memasak. Tapi tak jua Hasan bergeming dari peraduannya. "Bang, udah jam enam lewat." Sari kembali membangunkan Hasan. Sudah menjadi rutinitasnya setiap pagi harus m
"Kenapa kau diam, Sari? Tak mau engkau ke rumah si Fudin? Ada apa rupanya? Cerita sama Mamak. Sini lah duduk, jangan bekerja saja kerjamu. Sudah bersih pun rumah ini." Mamak Hasan mencecar Sari yang sibuk menyapu rumah mertuanya itu. "Mumpung Rehan tidur, Mak," alasan Sari. Sari memang sengaja menghindar dari mertuanya. Kalau hanya untuk membahas tentang dirinya yang malas ke rumah pamannya. Hasan sebenarnya tak begitu ambil pusing. Tapi Sari yang berperasaan sendiri. "Kau masih marah dengan si Fudin, pasal cakapnya yang dulu itu? Sudahlah, tak usah dibawa dendam. Sudah pun lama berlalu. Dulu pun karena memang salah Hasan juga. Sudah buat malu keluarga Pamanmu. Kau kan tau, si Fudin itu termasuk orang terpandang di kampung ini. Wajar saja dia marah. Jangankan orang seperti dia. Kalau Ratna seperti itu pun, pasti Mamak marah." Mamak Hasan terus menyerocos.Sari menghentikan aktifitasnya. Lalu mengambil posisi duduk di sebelah mertuanya yang lebih suka duduk di atas tikar. Dibelainya
"Maaf maaf," katanya agak tergagap dan terengah-engah. Lalu terperangah saat melihat sosok di depannya. "Rosa!" katanya terkejut. Kenapa bisa, Rosa berada di tepian sungai di malam hari begini. "Loh, Bang Hasan! Abang kok di sini?" Pertanyaan yang seharusnya dilontarkan Hasan untuk Rosa, justru Rosa yang bertanya pada Hasan."Abang mancing tadi. Kamu kenapa di sini?""Kalau mancing, mana ikannya? Pancingannya juga gak ada," kata Rosa sengaja tak menjawab pertanyaan Hasan. 'Oh iya, masih disana,' batin Hasan. "Abang tinggal tadi. Abang mau cari cacing untuk umpan." Hasan beralasan. Tentunya dia malu juga, kalau ketahuan lari karena melihat sesuatu yang tak wajar. "Kamu belum jawab pertanyaan Abang tadi. Kenapa malam-malam ke sini?" Hasan bertanya lagi. "Aku mau ke pasar malam, Bang," jawab Rosa. Tentu saja membuat kening Hasan melipat. Dimana ada pasar malam di daerah sini? Pikirnya."Pasar malam? Dimana?" "Itu, disana," jawab Rosa menunjuk ke tempat yang tak jauh dari Hasan mem
Sampai di tempat pancingnya terpacak, alangkah terkejutnya Hasan melihat banyak ikan menggelupur di dekat jorannya. Senyumnya mengembang seketika. Cepat-cepat ditangkapnya ikan-ikan yang menggelupur itu dan memasukkan ke kantong jaring miliknya. Rosa tersenyum puas, melihat pujaan hatinya girang bukan kepalang melihat banyaknya ikan yang bisa dibawa pulang. Hasan sampai terlupa akan keganjilan yang baru saja dirasakannya. Tentang pasar malam, dan juga orang-orang yang ada di sana. Bahkan dia sendiri tak merasa aneh tentang ikan-ikan yang begitu banyak menggelupur di pinggiran sungai, saking senangnya. Akhirnya dia bisa menepati janji pada Rehan. Bahkan ikan ini lebih banyak dari bayangannya. Sampai kantong jaring miliknya penuh sesak dengan ikan sungai. "Rezekiku sedang bagus malam ini." Hasan bergumam pada dirinya sendiri. Senyum bahagia terus mengembang di wajahnya. "Rosa, Abang mau pulang. Kamu mau diantar sekalian?" tanya Hasan pada Rosa yang duduk di atas motornya, menunggu Ha
"Bang mandilah dulu. Sudah mau azan Subuh. Sudah sholat, baru tidur lagi," kata Sari pada Hasan yang langsung tidur menelungkup setelah menunaikan hasratnya. "Abang ngantuk, udah gak tahan lagi," sahut Hasan dengan suara yang nyaris tak terdengar. Dia sudah hampir kehilangan kesadarannya, karena kantuk berat yang mendera kedua matanya. "Sebentar saja. Mandilah dulu, biar sedikit segar mata Abang." Sari tetap merayu, namun hanya dibalas dengan dengkuran halus yang keluar dari mulut Hasan. Sari hanya bisa menggeleng melihat tingkah suaminya. Entah kapan hidayah akan datang pada suaminya itu. Suara azan mulai dikumandangkan. Sari bergegas menuju ke kamar mandi, untuk membersihkan dirinya dari hadats besar. Dan segera menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Dia tetap tak lupa mendoakan dan memohonkan hidayah buat Hasan. Sari membagi ikan-ikan yang dibawa Hasan ke dalam beberapa kantong plastik. Dia berniat ingin berbagi rezeki pada jiran tetangga kiri kanannya. Sebelum dia m
Sari terus berusaha berkonsentrasi memanggil Nyi Baisucen. Dia harus tau kebenaran tentang Rosa. Apakah Rosa adalah saudari yang dicarinya selama ini?"Bibi Baisucen." Berulang kali Sari memanggil Nyi Baisucen. Namun Nyi Baisucen tak juga menjawabnya. Sari hampir putus asa. Kenapa bibinya tak menjawab panggilan darinya? Kalau dia ke klinik Pak Hanif, akan memakan waktu yang lama. Hampir setengah hari perjalanan menuju ke sana. Belum lagi perjalanan pulang. Dia tak bisa meninggalkan keluarganya dalam waktu yang lama. Sari mencoba untuk berkonsentrasi lagi. Mungkin tadi bibinya sedang sibuk pikirnya."Bibi Bai. Bibi Bai. Bibi Bai.""Ada apa Sari?" Sari lega, akhirnya Nyi Baisucen menjawab panggilannya. "Bibi bisa Bibi datang lagi? Ada yang hendak Sari bicarakan." "Bibi akan datang malam nanti. Klinik sedang ramai saat ini. Paman Hanif akan curiga." "Baik Bibi. Sari akan menunggu Bibi di taman kota." "Ya, Bibi akan menemuimu di sana." Sari mengakhiri panggilan telepatinya. Dia seg
Dua orang wanita cantik tampak sedang duduk berbincang di sebuah taman kecil yang ada di sebuah klinik pengobatan alternatif. Mereka adalah Nyi Baisucen dan Rosa. Sama dengan Sari, Rosa juga merasakan ada suatu kejanggalan dengan perbincangan mereka tadi malam. "Bi, katakan yang sejujurnya. Apa yang sedang Bibi sembunyikan? Kenapa Bibi bilang Sari adalah kemanakan Bibi? Bagaimana hal itu bisa terjadi, sementara Sari itu manusia sejati? Berbeda dengan Bibi." Rosa mencecar Nyi Baisucen dengan pertanyaan yang sejak tadi malam juga menggelayuti hatinya. Nyi Baisucen masih diam dengan pandangan lurus ke depan. Dia sedang memikirkan, bagaimana cara mengawali ceritanya pada Rosa."Kenapa Bibi diam? Apa ada yang sedang Bibi sembunyikan." Rosa menyelidik."Rosa, memang sudah seharusnya kau tau cerita ini. Sejak lama Bibi ingin menceritakan padamu, tapi Bibi tak bisa. Ayahmu melarang siapapun untuk menceritakan kebenaran ini padamu." "Apa maksud Bibi?" tanya Rosa dengan alis menaut. Nyi Bai
"Siapa yang datang pagi buta begini?" tanya Nyi Baisucen pada Sari, pandangannya tak lepas dari Honda HR V warna silver yang sedang parkir di pekarangan rumah Sari."Itu mobil Bang Hasan, Bi. Ada apa ya?" Sari pun bertanya-tanya. Hasan turun lebih dulu, baru disusul oleh Rosa. Nyi Baisucen terkesiap melihat keduanya. Matanya tak bisa berkedip sama sekali. "Siapa yang bersama dengan Hasan, Sari?" Dia bertanya, untuk memastikan dugaannya tak salah. "Itulah istri kedua Bang Hasan, Rosa namanya." Nyi Baisucen terperangah, tak percaya mendengar hal yang diungkapkan Sari. Nyi Baisucen terduduk lemas. 'Berarti, orang yang telah kudukung untuk menikahi Rosa adalah Hasan' batinnya.Penyesalan segera menyergap kalbu Nyi Baisucen. Kenapa dulu dia tak menyelidiki terlebih dahulu, siapa laki-laki yang dicintai Rosa? Sayangnya dia tak hadir pada saat Rosa menikah, hingga dia tak juga mengenal suami Rosa. Apalagi sudah sangat lama Rosa dan Nyi Baisucen tak lagi bertemu."Bibi!" Rosa sangat terk
Rosa langsung membawa Hasan ke rumah ayahnya, setelah sebelumnya memanipulasi penglihatan Hasan. Sehingga yang tampak di pandangan Hasan adalah sebuah rumah yang mewah juga megah, dengan banyak security yang berjaga di setiap sisinya, baik diluar maupun di dalam. Security itu langsung membuka pintu rumah tatkala melihat kehadiran Rosa beserta suaminya. Sampai di dalam Rosa berpapasan dengan Sanca yang melihatnya dengan sinis. "Mau apa kesini, tengah malam begini?" sinis Sanca. ''Aku mau bertemu Ayah." Rosa tak lagi memperdulikan Sanca, dia langsung berjalan melenggang tanpa peduli dengan tatapaan tak suka Sanca pada Hasan.Apalagi Rosa melihat wajah Hasan kian memerah karena suhu tubuhnya semakin meningkat. Rosa menggandeng tangan Hasan yang panas untuk mempercepat langkah kakinya. Tak dipedulikan rasa terbakar di telapak tangannya.Rosa langsung menuju ke kamar Tuan Anaconda, sempat dia juga berpapasan dengan Panglima Derik di depan pintu kamar Tuan Anaconda. Walaupun Panglima Der
Hasan merasa sangat gelisah malam ini, tubuhnya terasa panas. Dia senantiasa merasa kegerahan, hingga bajunya basah karena keringat. Berulang kali dia mengganti posisi tidurnya tapi tak membantu juga untuk mengurangi rasa gerah yang sedang menderanya. Rosa merasa tempat tidurnya terus berderit sejak tadi. Dia membuka matanya, lantas melihat suaminya yang tidur dengan gelisah. Alisnya menaut melihat suaminya yang bertingkah aneh."Kenapa Bang?" tanyanya pada suaminya, lantas duduk di atas ranjangnya.Dicepolnya asal rambutnya yang ikal mayang itu, hingga menampakkan dengan jelas lehernya yang jenjang."Gerah," jawab Hasan sambil mengipasi tubuhnya dengan baju sendiri. Rosa melihat ac di kamarnya, ac nya hidup. Tak ada masalah dengan itu. Gadis cantik itu bangkit, untuk memeriksa kondisi suaminya. "Astaga! Badan Abang panas sekali!" pekiknya ketika punggung tangannya ditempelkan ke dahi Hasan. Hasan duduk, dibukanya baju yang telah basah oleh keringat. Namun tak juga mengurangi rasa
Aina duduk di hadapan seorang laki-laki paruh baya yang penampilannya tampak biasa saja. Siapa yang sangka kalau orang yang berada di depannya itu adalah seorang Dukun yang dikenal cukup handal dalam memuaskan semua kliennya.Aina mengenalnya dari rekomendasi seorang rekannya yang sudah tau jam terbang si Dukun."Ini Ki, fotonya." Aina menyerahkan dua lembar foto ke tangan laki-laki itu. Laki-laki yang dipanggil Aki melihat foto itu dengan seksama. Tadinya dia duduk dengan santai sambil bersandar di sandaran sofanya. Tapi ketika melihat kedua foto itu, matanya membulat sempurna."Ada apa Ki?" tanya Aina yang melihat perubahan pada ekspresi Dukun itu. "Ini sulit dipercaya," gumam Dukun itu. "Kenapa emangnya Ki?" Aina semakin bingung melihat sikap Dukun itu. "Ini, siapa perempuan ini?" Dukun itu bertanya seraya menunjuk wajah Rosa."Dia istri kedua si Hasan, Ki. Orang yang mau saya hancurkan. Ini Ki." Aina menunjuk wajah Hasan dan Sari."Saya ingin menghancurkan keduanya Ki. Mereka
"Sari, bisa kau temani aku ke toko Hasan? Aku juga ingin berkenalan dengan istri keduanya." Aina sudah mendapatkan foto Sari dan semua yang ada di rumahnya. Kini tinggal foto Hasan dan madu Sari.Permintaan Aina cukup mengundang tanya di hati Sari. Untuk apa Aina ingin berkenalan dengan Rosa?"Tak apa kan kalau aku ingin berkenalan dengan istri Hasan. Siapa tau, suatu hari nanti aku bersama dengan kawan-kawanku bertandang ke toko itu untuk membeli baju, jadi bisa diskon," kata Aina dibarengi dengan tertawa yang palsu, seolah Aina bisa mendengar kata hati Sari."Oh, boleh saja. Paman dan Bibi, mau ikut juga ke toko Bang Hasan?" tanya Sari. Beberapa tahun ini, Pak Fudin dan Bu Midah sudah sering datang ke rumah Sari dan sudah tau toko Hasan juga istri keduanya. Namun masih saja Pak Fudin belum bisa menerima kehidupan berpoligami yang dijalankan keponakannya itu. Hingga membuatnya sedikit enggan kalau harus sering bermanis-manis dengan Hasan. Dia tak marah karena Sari. "Kalian sajalah.
"Emak mau kemana?" tanya Sari pada Rasidah yang ingin menuruni anak tangga. "Mau nasi," jawab Rasidah dengan wajah merajuk seperti anak kecil."Sebentar lagi ya Mak." Sari mencoba menahan Rasidah.Tapi Rasidah malah menepiskan tangan Sari. Wanita setengah baya yang terkadang sifatnya seperti anak kecil itu, tak peduli akan larangan Sari. Dia terus saja turun ke bawah. Sari menghentikan langkah kakinya tak berniat menyusul Rasidah. Akhirnya Sari hanya memperhatikannya dari atas saja. Denyut di punggungnya masih terasa, Sari meringis sambil mencoba merana bagian punggungnya.Bersamaan dengan itu, dia merasa mendengar suara Nyi Baisucen. "Kau dimana Sari?" Sari mencoba berkonsentrasi lagi. Mungkin dengan mengirimkan sinyal telepati, bibinya akan tau keberadaannya. Namun Sari merasa semua cukup aman, jadi dia tak perlu meminta bibinya untuk datang. Mungkin karena dia merasa cemas dengan kedatangan Ayah Rosa maka tanda lahirnya berdenyut."Bibi, Sari di rumah Bang Hasan." Suara batin Sa
Tuan Anaconda sekali lagi memanggil Rosa dengan suara yang lebih kuat, "ROSA!" "I–iya Ayah," jawab Rosa gugup. Hasan segera mengajak Rehan dan Rasidah naik ke atas lagi. Namun Rasidah justru menolak, dia masih memegang paha ayam goreng yang sangat pesat terasa baginya. "Mamak bawa aja ayamnya semua. Makan di atas," bujuk Hasan. Akhirnya Rasidah mau juga. Rosa harap-harap cemas. Setelah melihat Hasan, Rehan dan Rasidah hampir sampai di lantai dua rumah mereka. Baru Rosa membuka pintu rukonya. "Kenapa lama sekali!" hardik Tuan Anaconda. "Tadi kuncinya susah dibuka Ayah," alasan Rosa."Kenapa Ayah datang malam-malam kesini?" tanya Rosa. "Apa harus ada alasan untuk bertandang ke rumah anak sendiri?" tanya Tuan Anaconda. Tuan Anaconda menyapu seluruh sudut ruko dengan matanya. Dia berjalan perlahan melihat setiap bagian sudut ruko Rosa yang banyak dihiasi manekin-manekin cantik yang dipakaikan baju contoh. "Mana suamimu?" "A–ada Yah. Di–atas." Rosa sangat gugup, takut kalau ayahn