"Hallo," "Woi, Lu dimana sih?" Suara Aryo dari balik telpon. "Gue disini, diklinik." "Klinik-klinik, dimana? Gue nyari nggak ketemu." Suara agak riuh terdengar di sambungan telepon. "Eh, rame amat. Lu dimana?" "Korea. Nonton konser. Dah tau gue juga diklinik. Gue diruangan Citra." "Oh." "Eh, cepetan Lu kesini! Abah, Roby sama siapa itu, dah ada disini. Elu kemana sih? Untung aja tadi Ambu nyamperin gue, kalo enggak gue kaya orang nggak guna di ruang tunggu." "Hahahaha. Sory deh, gue tadi ada urusan penting." "Ngeles Lu." "Eh, sepatu gue dibawain nggak sama Roby?" "Iya, dibawain kok. Cepetan Lu kesini! Gue tunggu." Tut. Tut. Tut. Panggilan terputus. Danu segera menuju ruang perawatan Citra. "Assalamu'alaikum," sapa Danu membuka pintu ruang rawat Citra. "Wa'alaikum salam." Danu disambut hangat oleh seluruh keluarga Abah Hasan. Roby dan Aryo juga ada disana. "Darimana Mas?" tanya Abah Hasan. "Ada urusan sedikit, Bah." Danu tersenyum ia berdiri di dekat ranjang rawat Cit
"Eh, kenapa Lu bengong? Makan di kaki lima emang nggak nguras kantong," ucap Roby kakinya diselonjorkan. Aryo berjalan kearah pemilik warung kaki lima lalu membayar semua makanan dan minuman yang mereka santap. "Bu, berapa semuanya?" tanya Aryo. "Apa saja yang dipesan, Mas?" "Mie ayam 2, bakso 1, es tehnya 3, sama kerupuk 3 bungkus," sebut Aryo. "Dua puluh, sepuluh, lima belas, enam ribu. Semuanya lima puluh satu, Mas. Bayar lima puluh ribu saja." Aryo menyerahkan selembar uang seratus ribu. Pemilik warung menerima uang dari Aryo lalu memberi kembalian lima puluh ribu. "Makasih ya, Mas." Pemilik warung tersenyum. "Sama-sama, Bu." Aryo segera kembali ke meja lesehan lalu memberikan uang pecahan Lima puluh ribu kepada Danu. "Nih, kembaliannya," kata Aryo. "Masih ada kembaliannya?" tanya Danu tak percaya. "Iyalah, Lu pikir makan di kaki lima kaya makan di resto? Ya enggak lah. Lebih murah, enak, kenyang juga," ucap Aryo. Danu masih melongo menerima uang kembalian dari Aryo.
"Iya, Bi. Sebentar lagi saya keluar," ucap Danu dari dalam kamarnya. "Baik, Den." Danu masih tetap berdiri ditepi jendela kamarnya memandang deras hujan yang turun dimalam itu sambil menyilangkan tangan ke dada. "Ya Allah, beri aku petunjuk untuk semua ini. Hariku semakin berkurang, dua hari telah berlalu. Apakah aku sanggup menjalani semua ini? Sedang belum apa-apa saja aku sudah tepar tadi disawah." Danu bergelut dengan pikirannya sendiri. "Ah, aku pasrah apa yang akan terjadi esok." Danu memutuskan untuk turun menemui kedua sahabatnya di meja makan. "Bi, Pak Kasno sama bibi sudah makan?" Danu menarik kursi lalu duduk. "Belum, Den. Nanti kita makan dibelakang saja, seperti biasa," Bi Surti menuang air minum untuk Danu. "Ini kawan-kawan saya kemana? Mereka sudah makan?" tanya Danu lagi. "Mereka mandi, Den. Tadi sudah bibi ambilkan baju ganti untuk mereka," jawab Bi Surti. Ia berdiri di samping meja makan. "Panggil semuanya kesini ya, Bi. Kita makan malam sama-sama. Mumpung
"Tunggu, jangan pulang dulu!" Danu mencegah kepergian Aryo.Ia bangkit dari tempat tidur lalu menuju laci almari dekat spring bednya, membuka laci kemudian mengambil dompetnya. Danu menarik 3 lembaran uang pecahan seratus ribu lalu meletakkan dompet itu pada tempatnya. Danu berbalik ke arah Aryo. "Nih, buat Lu." Danu mengulurkan dua lembar uang pecahan seratus ribu untuk Aryo. "Lho, uang apa ini?" tanya Aryo heran melihat Danu memberinya uang. "Udah, terima aja. Anggap ini rejeki buat Elu," jawab Danu tersenyum. "Iya, tapi ..." "Gini deh, anggap ini bonus buat Lu karena udah nemenin gue kemarin. Oke?" Aryo melongo menerima dua lembar uang pecahan seratus ribu dari sahabatnya. "Si Roby gimana?" tanya Aryo memastikan akpakah Roby juga mendapat uang yang sama seperti dia. "Roby nanti juga dapet, tapi nggak sama kayak Elu. Dia gue kasih selembar aja." "Oh iya, sebelum pulang sarapan dulu deh, walaupun cuma pake roti, ya." Danu mencari ponselnya di atas spring bed. "Yok kebawah,
POV Danu Aku baru saja selesai mandi dan berganti pakaian saat pintu kamarku dibuka tanpa diketuk, untung saja celana santai pendek warna cokelat favorit ku ini sudah kupakai, tinggal memakai baju saja. "Aaaaaaaa!" Hany nyelonong masuk kamarku sambil teriak, entah apa yang membuat ia histeris. Aku sendiri memunggungi Hany saat ia masuk kamar jadi terkejut sampai melompat, baju kaos yang ku pegang jatuh di lantai. "Hei, ngapain sih teriak-teriak?" tanyaku kesal pada Hany ku hampiri dia. Gadis model dengan busana kurang bahan itu menggigit jemarinya. Pintu kamar masih terbuka, "Lain kali kalo mau masuk kamar ngetuk dulu kek, salam kek, atau apalah. Untung aja gue nggak lagi telanjang," ucapku kesal. Hany masih diam, matanya terpejam sambil kadang ngintip sedikit seperti sedang melihat sesuatu yang mengerikan. "Hei, ngapain sih? Gue bukan hantu tau," ucapku kesal sekali.Tiba-tiba mama muncul di ambang pintu wajahnya nampak panik kelap-kelip seperti lampu disco. "Ada apa Hany?"
POV DANUKok Hany santuy gitu ya? Aneh, padahal kemarin-kemarin ngebet banget minta jadian sama aku. Ah, biarin aja deh. Bagus malahan dia nggak ngerecokin terus. "Han, Lo nggak nyesel tau gue dijodohin?" Kucoba menelisik jauh perasaan si modeling ini. "Em, gimana ya? Sebenernya agak gimana gitu, tapi ... its oke ... kalo Om Herlambang udah ngejodohin Elo, gue fine, deh," jawab Hany bernada sedikit menyesal. Oh, jadi sebenarnya dia ngarep juga. Eh, tapi ini beneran apa cuma pura-pura aja? "Duh, Hany. Tante jadi nggak enak deh, sama kamu," ucap mama kini mama kelihatan mengusap lembut tangan Hany. Wajah mama seperti menahan kekecewaan. Kuamati seluruh ekspresi orang yang ada dimeja makan ini. Wajah Papa datar-datar aja terkesan tanpa ekspresi mendengar jawaban Hany barusan. Aku tau, pasti papa nggak 'kan setuju kalo aku berjodoh dengan Hany, 'mungkin, sih' ah ... terserah deh, yang penting aku harus fokus aja ke misi cinta Zahra. Ku lahap segera isi piring makanku, bibi meman
Aku berjalan melarikan diri dari meja makan menuju samping rumah, mendekati kolam renang. Diluar udara terasa panas menyengat. Hem, enakan di dalam rumah, adem. Ku urungkan niat untuk keluar rumah, aku berjalan lagi lalu berhenti di ruang keluarga. Merebahkan diri di sofa empuk, sambil benda kecil dalam kepalaku ini memproses apa yang harus kulakukan. Ting! Aha, aku punya ide! Hari ini mending menjelajah dunia maya aja, mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang dunia pertanian. Ah, ngapa nggak kepikiran dari tadi coba? B*g* di formalin. Segera kuraih ponsel di saku celana, lalu mulai misi menjelajah dunia maya. Ku ketik kata kunci di kolom pencarian elektronik ini, setelah itu ponsel meloading proses pencarian. Tak lama muncul beberapa pilihan judul di layar, aku scroll pelan-pelan sambil ku klik salah satu judul dan muncul informasi dari judul yang ku pilih. Ah, banyak banget sih tulisan ini. Membaca, kegiatan paling malas untuk ku lakukan. Ku lewatkan begitu saja halaman y
POV DANU Kepalaku lama-lama pusing memikirkan apa langkah yang akan ku ambil untuk melanjutkan misi ini, mana sekarang sudah hari ke 118 lagi, dan hari ini sama sekali nggak ada kegiatan untuk survei atau apalah. "Argh, gimana ini, apa yang harus ku perbuat?" Memegangi kepala lalu menyapukan tangan ke wajah. "Kok bisa buntu begini, sih langkahku?" Aku merebahkan diri di spring bed sambil memandang langit-langit kamar. Dilangit kamar malah nampak bayangan Zahra menoleh lalu melempar senyum kemudian menunduk dalam bayangan dia mengenakan hijab merah. Ah, cantik sekali, bak adegan sinetron FTV langsung terputar olomatis lagu Band Wali. 🎶Dia gadis berkerudung merah hatiku tergoda tergugah tak cuma parasnya yang indah dia baik dia Sholeha🎶 Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri menatap langit-langit kamar yang ada bayangan Zahra disana, cukup lama aku terlena oleh bayangan semu Zahra yang tercipta dari kekuatan ilusi magic sebuah rasa yaitu "Cinta" hingga akhirnya ku tersadar oleh s
Mau tak mau Danu harus menimba air sumur untuk mengisi bak mandinya. Beberapa kali ia menimba air membuatnya berkeringat, maklum saja dia tak pernah susah selama ini. Usai mengisi bak air, Danu beristirahat sejenak sambil mengusap peluh yang mengucur di dahinya. "Capek nya ngisi bak air mandi. Coba aja di kamar mandi kamarku, tinggal puter langsung mancur," keluhnya lirih. Ia duduk sejenak di teras dapur sambil melepas kaosnya. Danu berpikir sejenak. "Baju ini kalo kotor mau nggak mau, aku yang nyuci juga," pikirnya. Danu menepuk jidatnya. "Sib, nasib! Gini amat sih, mana semuanya masih manual," gerutunya dalam hati. Tiba-tiba ada yang menepuk punggungnya dari belakang. "Katanya mau mandi, kok masih duduk disini?" Suara Pak Husen mengejutkan Danu. Ia spontan menoleh. "Eh, Bapak. Kaget saya." Danu mengusap dadanya yang putih mulus. "Kenapa belum mandi juga?" "Anu, Pak ... saya istirahat dulu, capek nimba air," ungkap Danu nyengir kuda. Pak Husen tertawa mendengar ungkapan Danu.
"Ayo masuk, Mas Danu," ajak Pak Husen. "Baik, Pakde, Simbah," Danu bingung hendak memangil dengan sebutan apa. Pak Husen menyunggingkan senyuman lalu menepuk pundak Danu. "Le, nggak usah takut, gugup, ataupun bingung. Panggil saya Bapak, atau Pak'e dan istri saya panggil saja Simbok atau Mbok'e, karena mulai hari ini, kamu sepenuhnya menjadi tanggung jawab kami disini." Laki-laki setengah abad itu berbicara dengan santai dan mantap, penuh karismatik. "Le, ayo barang-barangnya dibawa masuk ke kamarmu, sudah Simbok siapkan," Ibu Aminah keluar memanggil Danu. Danu menoleh kepada ibu Aminah, wanita berbusana khas Jawa itu berusaha menarik koper Danu, namun Danu langsung refleks membantunya. "Biar saya aja, Mbok ... ini berat," ucap Danu meraih kopernya. Pak Husen menatap istrinya dan pemuda kota itu sambil mesem ngguyu. Danu dan Ibu Aminah berjalan menuju sebuah kamar yang sudah dipersiapkan oleh ibu Aminah. "Ini kamarmu, Le. Bajunya bisa dimasukkan ke lemari sini," ucap wanita it
Danu masih bertanya-tanya mengapa Pak tua, dihadapannya ini seperti bisa melihat masadepan. Sepertinya beliau bukan orang sembarangan. "Tidak usah bingung. Ayo istirahat lagi." Pak Husen bangkit dari duduknya lantas berlalu meninggalkan Danu. Danu termenung menelaah setiap ucapan laki-laki setengah abad itu. "Ah, sudahlah. Mungkin memang beliau punya kelebihan. Lebih baik aku tidur saja." Danu memutuskan untuk tidur lagi. ***Adzan Subuh berkumandang, Danu terbangun dari istirahat malamnya, ia segera menuju kamar mandi yang terletak diluar rumah. Suasana masih gelap, lagi-lagi Danu harus menimba air. "Sudah bangun, Mas," Suara wanita mengejutkan Danu. Danu berjingkat mendengar suara itu. "Eh, Ibu. Iya, saya sudah bangun. Mau solat subuh," ucap Danu kepada wanita itu. Ia membawa sebuah periuk berisi beras. Ia menunggu Danu selesai menimba air, lantas iapun menimba air hendak mencuci beras. Danu mengamati kegiatan bundenya Pak Kasno itu sambil berwudhu. Pak Husen datang dari ar
Adzan Maghrib berkumandang. Lagi, Danu meminta menepi lagi di sebuah masjid dan menunaikan shalat berjamaah. Usai shalat Danu berdo'a. "Ya Allah, kumohon, berilah aku kemudahan untuk menjalani semua ini, bimbinglah aku menuju apa yang ingin ku capai, tuntun aku dalam menjalani semua ini, hanya kepadaMu aku memohon pertolongan." Danu khusyu sekali berdo'a. Pak Kasno dan Papanya menunggu Danu selesai berdo'a, lalu mereka melanjutkan lagi perjalanan mereka. Perut keroncongan membuat mereka menepi kembali mencari tempat istirahat dan makan malam di sebuah warung kaki lima. Pak Herlambang tak kikuk saat diajak makan di kaki lima, benar-benar sosok yang patut di contoh. Penampilan Pak Herlambang yang sederhana, meskipun ia bisa dibilang sultan, namun ia tak malu ataupun gengsi makan di kaki lima. "Masih jauh enggak, Pak?" Danu bertanya perihal jarak yang hendak ditempuh sesaat usai menikmati santap malam."Mungkin sekitar jam sembilan malam, kita baru sampai, Den." Pak Kasno menjawab sam
Sementara itu, Pak Herlambang dan Danu masing-masing menyiapkan diri. Danu bersiap dengan apa-apa yang ia perlukan. Sementara itu, papanya menyiapkan sejumlah uang yang akan diserahkan kepada pakdenya Pak Kasno. Danu menghampiri Bi Surti yang sedang menyiapkan baju-baju nya dikamar."Bi, banyakin celana pendek, sama kaos, ya," pinta Danu. "Iya, Den. Tapi kenapa harus bawa baju jelek si, Den? Emang mau nggarap proyek apa selama 3 bulan?" Bi Surti yang penasaran akhirnya bertanya. "Nggarap proyek cinta, Bi." Danu terkekeh sendiri. "Proyek Cinta? Apa ada?" Bi Surti bermain dengan pikirannya sendiri. Danu membawa serta gitar kesayangannya, tak lupa ia membawa perlengkapan yang ia butuhkan. Setelah semua baju dan perlengkapan terkemas rapi, Danu segera menggiring kopernya turun kelantai bawah, Bi Surti mengekor dibelakang Danu. "Bi, jangan bilang-bilang sama mama, ya ... kalo saya pergi selama tiga bulan," ucap Danu berpesan kepada ART-nya. "Beres, Den. Aman pokonya. Yang penting Ad
Danu menghentikan suapan makan siangnya lalu meraih gelas berisi air mineral. "Masa harus ganti hape segala, Pak?" Danu setengah protes. Pak Kasno menghela nafas lalu menjelaskan alasannya. "Begini, Den, di desa tempat tinggal pakde saya itu, rata-rata pemuda-pemudi nya dari kalangan menengah kebawah. Nah, kalo mereka lihat pemuda seperti Aden, wah bisa jadi Aden nggak bakalan jadi nanem padi, Aden jadi selebriti dadakan di kampung." Pak Kasno memberi penjelasan. "Kenapa bisa begitu, Pak?" Danu penasaran tentang keterangan Pak Kasno. "Mungkin yang pak Kasno maksud itu sebaiknya kamu menyamar menjadi umumnya seperti muda-mudi di kampung itu," Pak Herlambang ikut menjelaskan sambil mengupas jeruk untuk cuci mulut. Danu hening, berpikir sejenak. "Hem, jungkir balik beneran ini mah. Tapi mau gimana lagi, demi Zahra," batin Danu. "Okelah kalo begitu. Nanti kita sambil berangkat ke desa pakdenya Pak Kasno sambil beli ponsel baru saja, sekalian ganti nomor juga, biar aku tenang. Soal
Danu berpikir sejenak, "Wah, sepertinya ini jawaban atas do'aku, secepat ini ku mendapat jalan keluar, sungguh Allah Maha tahu apa yang aku butuhkan." Danu mengulas senyum menanggapi sang Papa. "Danu si, mau-mau aja, Pa. Yang penting bisa segera menanam padi. Waktunya makin sempit. Mumpung mama lagi liburan juga, jadi Danu bisa aman dari mama." Danu antusias dan sumringah. "Nah, maka dari itu, mumpung mamamu masih liburan, sebaiknya kita segera menuju desa tempat tinggal pakdenya Pak Kasno, biar kamu bisa segera menjalankan misimu," usul Pak Herlambang. "Wah, Papa briliant banget. Danu setuju, Pa. Kapan kita berangkat? Kalo bisa secepatnya, ya" Danu memohon kepada sang Papa. Pak Herlambang tertawa melihat putranya begitu semangat. "Ya sudah, kapan maumu berangkat kesana?" tanya Pak Herlambang sambil menepuk pundak putranya. Danu berpikir sejenak sambil menghitung hari yang tersisa. "Kalo bisa hari ini, Pa. Waktuku tekor terus kalo diundur-undur," Danu menoleh papanya. Pak Herl
Perjalanan pulang hari ini sungguh membawa oleh-oleh rasa gembira tiada tara dihati seorang Danu Herlambang, wajahnya nampak berbinar apalagi setelah berpamitan dengan Simbah Danu memperoleh do'a terbaik dari kakeknya Zahra. Ditambah pula dengan iringan senyuman manis Bidadari hatinya membuat Danu semakin melambung ke angkasa cinta. "Hati-hati dijalan, Mas. Kalo sudah sampai segera kabari, ya," ucap si Bidadari berjilbab coklat susu. "Insyaallah, Zahra akan segera ku kabari," ucap Danu sambil masuk ke mobil yang sudah ia keluarkan dari garasi milik Simbah Zahra sebelumnya. Lambaian tangan keluarga Zahra mengiringi kepergian Danu. Laki-laki itu dimabuk asmara lagi, asanya mengembara jauh di pulau bunga cinta. Benih asmara dihatinya makin hari makin tumbuh subur meskipun nyatanya cinta yang ia miliki belum berbalas. Ia hanya yakin bila Zahra itu benar-benar jodohnya Allah pasti akan mempermudah untuk menuju halal. ***** Danu sampai di istana Keluarga Herlambang, tepat ba'da Dzuhur.
"Ah, benar dia Zahra," batin Danu. Ia berjalan mendekat. "Ehem, boleh aku bantu?" sapa Danu dari jarak 2 meter. Zahra terperanjat, lalu menoleh sumber suara. "Eh, Mas Danu. Nggak usah, Mas. Ini sudah mau selesai," tolak Zahra halus, ia menundukkan pandangannya."Ini, sayuran apa namanya?" Danu mencoba mengajak Zahra ngobrol sambil sesekali mencuri pandang ke wajah ayu bidadarinya. "Ini, namanya daun singkong, Mas," jawab Zahra seperlunya. Danu manggut-manggut sok paham, padahal ia sama sekali tak mengetahui sayuran itu. Yang ia tahu hanya sayuran yang sering dimasak oleh asisten rumah tangganya dirumah. "Permisi, Mas. Ini sudah cukup, Zahra masuk duluan, mau masak sayur ini," pamit Zahra berlalu sambil menundukkan pandangannya berjalan membelakangi Danu menuju kedapur. Tangan Danu berusaha menahan agar Zahra tak pergi. Namun, yah hanya sebatas gerakan tak menyentuh sedikitpun tubuh Zahra, bahkan bayangannya juga. Danu menurunkan perlahan tangannya yang hendak meraih Zahra. "Hh