17.Di balik kematian adikku yang idiotSelamat Jalan, AdikkuAku meraung memeluk tubuh adikku. Kupanggil nama Aida ratusan kali, berharap adikku akan membuka mata dan membalas pelukanku. Air mata mengucur deras dari kedua mata ini hingga bengkak. Dada rasanya bagai ditikam berkali-kali, sakit, sakit banget. "Aidaaaaa!!" Jeritku sekuat tenaga. Kugoyang tubuh Aida yang terkulai, "Bangun, Aida, bangun, huwaaaa," jeritku histeris. Semua orang terdiam. Kupandangi satu-satu manusia di sekelilingku. "Kalian semua pembun*h!" Jeritku. Tanganku menunjuk-nunjuk semua wajah yang tertunduk. Aku mulai kalap, kudatangi satu persatu para tetangga dan warga yang berdiri di ruang tamu rumahku, tempat jasad adikku ditaruh. Kudorong dengan tangan bahu mereka. Tak ada yang melawan, tak ada sepatah kata. Semuanya terdiam menunduk. "Anna, Anna, sudah," Bu RT memeluk tubuhku dari belakang. Kembali aku menangis meraung. Adikku meninggal!Dengan nafas yang tersengal-sengal karena tangis yang mendera, aku
18.Di balik kematian adikku yang idiotBabak kedua kasus Aida Seminggu lebih semenjak kematian Aida. Aku masih belum bisa melupakan. Kenangan tentang adikku hadir di setiap sudut rumah ini. "Akk, pips, pis," Bila tengah malam Aida ingin buang air kecil, dia membangunkan aku dengan bahasa itu. Mengenang Aida membuat perasaanku bagai diaduk-aduk. Kadang tersenyum, tertawa, bahkan menitikkan air mata. "Adikku, kakak kangen," gumamku lirih. Ada perih menyerta saat rasa itu datang, aku rindu Aida ....Aktivitas warga desa sudah kembali seperti semula. Tak ada yang menanyakan tentang Aida, atau bagaimana dia bisa meninggal. Seperti dikomando, semua satu kata, bila Aida meninggal karena bunuh diri. Apalah artinya Aida buat mereka? Adikku hanya lah seorang gadis berkebutuhan khusus, yang ada atau tidak ada, tidak ada artinya buat mereka. Tapi buatku, Aida adalah istimewa. Senyum aida adalah bahagiaku, tawa Aida adalah semangat hidupku. Akan kulakukan apapun untuk Aida, bahkan aku pernah
19.Di balik kematian adikku yang idiotPerempuan yang sama Di rumah terus ternyata membosankan. Selain selalu teringat Aida, dagangan dasterku juga tidak jalan. Sementara hidup terus berjalan, aku butuh uang untuk membiayai hidupku sendiri. Rumahku yang menyendiri dan berjauhan dengan tetangga membuatku seperti terisolasi. Mau keluar-keluar juga nggak ada motor. Sesekali jalan juga sih sama Mas Beni untuk sekedar makan di luar atau menikmati indahnya malam. Apa aku kerja lagi aja, ya? Untuk membunuh sepi. Setidaknya, aku ada kegiatan dari pada cuma tiduran dan makan terus di rumah. Tapi kerja apa? Di kotaku tidak banyak perusahaan atau industri, ini kota kecil, kebanyakan penduduknya bekerja di sawah, ladang dan kebun kopi. Kemarin aja, aku hanya menjadi staff administrasi di sebuah kantor notaris. Huh! Balik lagi ke tempat kerjaku yang dulu aja gimana? Ide bagus sih, aku sudah tahu tugasku dan juga sudah kenal baik dengan karyawan lainnya, nggak perlu adaptasi. Wajah sok galak P
20.Di balik kematian adikku yang idiotPoV AuthorMurka sang Raja Dengan langkah lebar, Baron memasuki ruang pribadi Pak Karto. Lelaki bertubuh gempal itu mendapat panggilan penting dari Bossnya. Di dalam ruangan sudah ada orang lain selain Pak Karto, dia adalah Ferdi. Baron mengenal Ferdi sebagai salah satu anak buah Pak Karto yang paling kejam. Selama ini, kerjaan Ferdi adalah mengurusi para wanita yang ada di rumah besar Pak Karto ini. Berkedok perusahaan jasa pengiriman TKW, sebenarnya bisnis Karto adalah bisnis maksiat. Karto adalah mucikari untuk kalangan atas, yaitu Om-om senang dengan kantong tebal. Perempuan-perempuan di rumahnya adalah para pemuas s*x. Pantesan saja, Karto hanya menampung perempuan yang seksi, cantik dan berkulit putih. Hanya sedikit penduduk desa yang mengetahui bisnis terselubung Karto ini. Mereka tahunya, para perempuan itu sedang menunggu untuk diberangkatkan ke luar negeri, dan rumah Karto adalah penampungan. Kelicikan Karto lainnya adalah, dia mela
21.Di balik kematian adikku yang idiotArogan Kakiku berlari menyusur koridor rumah sakit milik pemerintah ini. Bapak Mas Beni masih dirawat di UGD. Aku harus segera ke sana, kasihan Mas Beni. Tapi, eitts! Seperti mobil yang mengerem mendadak, kaki ini berhenti berlari seketika. Bagaimana kalau ada ibunya Mas Beni di sana? Pasti beliau tidak berkenan dengan kedatanganku. Duduk di bangku yang ada di sekitar sini, aku berpikir mencari jalan bagaimana bisa bertemu Mas Beni. Huh! Gini nih susahnya cinta tak direstui hehehe, kapan jadiannya?Kuambil ponsel dari tas dan menimangnya sebentar. Gini aja, aku WA Mas Beni, enaknya gimana. [Mas, aku di taman rumah sakit] tulisku. Belum dibaca, masih centang dua abu-abu. Tunggu sebentar mungkin. Ting!Bunyi pesan masuk dan langsung kubaca.[Langsung ke sini aja] balas Mas Beni. Hmm gimana ya, aku nggak berani ....[Ada ibumu?][Ada][Aku nggak berani ke situ, kamu ke sini aja] balasku kemudian. [Ok, tunggu]Hehehe aku tertawa kecil. Mas Beni
22.Di balik kematian adikku yang idiotPenculikan Kembali bekerja membuatku bersemangat, artinya ada kegiatan dalam keseharianku. Bangun pagi, bersihin rumah sebentar, bikin sarapan untuk diri sendiri, dan berangkat kerja. Terkadang bareng Mas Beni, terkadang jalan kaki dulu sampai tugu desa lalu nyegat angkot. Dua bulan sudah Aida meninggal, kehidupan di desa mulai berjalan normal. Mereka sudah mulai berani menyapaku, bahkan membeli sisa-sisa dagangan daster yang ada di rumah. Anak buah Pak Karto terkadang masih terlihat memantau rumahku tapi, aku tidak peduli. Mengiklaskan ternyata membuat perasaanku legowo. Aku hanya berpikir yang baik-baik saja untuk Aida. Adikku sudah bersama bapak dan ibu, aku tidak perlu khawatir. Masalah keadilan yang tidak pernah kudapatkan untuk Aida, biar lah kupasrahkan kepada Allah. Semua perbuatan entah itu baik atau buruk akan ada balasannya, aku percaya Tuhan Maha adil. Pun untuk Pak Karto, Iwan dan sekutunya, Allah akan tetap bekerja dengan kuasa
23.Di balik kematian adikku yang idiotDijual Itu kek suaranya Pak Karto! Nafasku memburu, ternyata dia biang kerok semua ini. Apa maunya dia? Aku sudah tidak mengusik kasus Aida tapi, kenapa dia masih terus memburuku?"Uuh, uuuh, uuuh!" Mulutku bersuara meski tidak keluar, benda yang menyumpal mulutku tidak bisa kukeluarkan, sial! Jadi mataku ditutup, mulutku di sumpal dan tanganku diikat, bagus! Kerjaan bandit Mafia Karto. Tapi, aku masih ada kaki yang tidak diikat, bisa aku jadikan senjata bila terpaksa. Diam tapi mengawasi, meski gelap tapi aku berusaha merasakan suasana di dalam mobil ini. Kurasa ada lima nyawa di sini yaitu supir, Pak Karto yang duduk di samping kursi kemudi, dua lelaki yang mengapitku dan aku sendiri di tengah. Uugh uughKembali aku bersuara, badanku bergerak-gerak berusaha melepaskan diri. Tanganku menyikut ke kanan kiri membuat suasana heboh. "DIAM!"Plakk!Aaahh!Seseorang telah menampar pipiku, refleks aku mengangkat kedua kaki dan kutendangkan ke depa
24.Di balik kematian adikku yang idiotMelarikan diri "Lepaskan, Anna!" "Mas Beni?" Kulepaskan tangannya. "Ssstt!" Mas Beni menutup mulutku. Pelan dia menutup pintu kembali. "Cepat kita pergi dari sini, Ann!" Setengah badan Mas Beni keluar, kepalanya tengak-tengok di luar kamar. "Cepat, mumpung aman!" Menarik tanganku, Mas Beni mengajakku meninggalkan kamar, lelaki itu berjalan ke sisi kiri. Sampai di sebuah teras, Mas Beni mengajakku melintasi sebuah taman. "Lewat sini, Anna, injek aja," katanya. Mengikuti Mas Beni, aku pun menginjak-injak rumput dan tanaman di taman itu. Berlari berdua sampai lah kita pada tembok tinggi samping rumah. Berjalan miring, badan kami menempel di dinding. Mas Beni berhenti lalu mengintip. "Ada apa, Mas?" Tanyaku. Mas Beni berpaling padaku," ada penjaga gerbang," jawabnya. Duh, gimana, ya?"Mas, aku mau lihat," kataku. Mas Beni bergeser, aku menjulurkan sedikit kepala agar bisa melihat situasi. Halaman parkir yang luas, taman rumput hijau dan ja