Home / Lain / Di balik Kematian Adikku / Perempuan yang sama

Share

Perempuan yang sama

Author: Henya Firmansyah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

19.Di balik kematian adikku yang idiot

Perempuan yang sama

Di rumah terus ternyata membosankan. Selain selalu teringat Aida, dagangan dasterku juga tidak jalan. Sementara hidup terus berjalan, aku butuh uang untuk membiayai hidupku sendiri.

Rumahku yang menyendiri dan berjauhan dengan tetangga membuatku seperti terisolasi. Mau keluar-keluar juga nggak ada motor. Sesekali jalan juga sih sama Mas Beni untuk sekedar makan di luar atau menikmati indahnya malam.

Apa aku kerja lagi aja, ya? Untuk membunuh sepi. Setidaknya, aku ada kegiatan dari pada cuma tiduran dan makan terus di rumah. Tapi kerja apa? Di kotaku tidak banyak perusahaan atau industri, ini kota kecil, kebanyakan penduduknya bekerja di sawah, ladang dan kebun kopi. Kemarin aja, aku hanya menjadi staff administrasi di sebuah kantor notaris. Huh!

Balik lagi ke tempat kerjaku yang dulu aja gimana? Ide bagus sih, aku sudah tahu tugasku dan juga sudah kenal baik dengan karyawan lainnya, nggak perlu adaptasi. Wajah sok galak P
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Di balik Kematian Adikku    Murka sang Raja

    20.Di balik kematian adikku yang idiotPoV AuthorMurka sang Raja Dengan langkah lebar, Baron memasuki ruang pribadi Pak Karto. Lelaki bertubuh gempal itu mendapat panggilan penting dari Bossnya. Di dalam ruangan sudah ada orang lain selain Pak Karto, dia adalah Ferdi. Baron mengenal Ferdi sebagai salah satu anak buah Pak Karto yang paling kejam. Selama ini, kerjaan Ferdi adalah mengurusi para wanita yang ada di rumah besar Pak Karto ini. Berkedok perusahaan jasa pengiriman TKW, sebenarnya bisnis Karto adalah bisnis maksiat. Karto adalah mucikari untuk kalangan atas, yaitu Om-om senang dengan kantong tebal. Perempuan-perempuan di rumahnya adalah para pemuas s*x. Pantesan saja, Karto hanya menampung perempuan yang seksi, cantik dan berkulit putih. Hanya sedikit penduduk desa yang mengetahui bisnis terselubung Karto ini. Mereka tahunya, para perempuan itu sedang menunggu untuk diberangkatkan ke luar negeri, dan rumah Karto adalah penampungan. Kelicikan Karto lainnya adalah, dia mela

  • Di balik Kematian Adikku    Arogan

    21.Di balik kematian adikku yang idiotArogan Kakiku berlari menyusur koridor rumah sakit milik pemerintah ini. Bapak Mas Beni masih dirawat di UGD. Aku harus segera ke sana, kasihan Mas Beni. Tapi, eitts! Seperti mobil yang mengerem mendadak, kaki ini berhenti berlari seketika. Bagaimana kalau ada ibunya Mas Beni di sana? Pasti beliau tidak berkenan dengan kedatanganku. Duduk di bangku yang ada di sekitar sini, aku berpikir mencari jalan bagaimana bisa bertemu Mas Beni. Huh! Gini nih susahnya cinta tak direstui hehehe, kapan jadiannya?Kuambil ponsel dari tas dan menimangnya sebentar. Gini aja, aku WA Mas Beni, enaknya gimana. [Mas, aku di taman rumah sakit] tulisku. Belum dibaca, masih centang dua abu-abu. Tunggu sebentar mungkin. Ting!Bunyi pesan masuk dan langsung kubaca.[Langsung ke sini aja] balas Mas Beni. Hmm gimana ya, aku nggak berani ....[Ada ibumu?][Ada][Aku nggak berani ke situ, kamu ke sini aja] balasku kemudian. [Ok, tunggu]Hehehe aku tertawa kecil. Mas Beni

  • Di balik Kematian Adikku    Penculikan

    22.Di balik kematian adikku yang idiotPenculikan Kembali bekerja membuatku bersemangat, artinya ada kegiatan dalam keseharianku. Bangun pagi, bersihin rumah sebentar, bikin sarapan untuk diri sendiri, dan berangkat kerja. Terkadang bareng Mas Beni, terkadang jalan kaki dulu sampai tugu desa lalu nyegat angkot. Dua bulan sudah Aida meninggal, kehidupan di desa mulai berjalan normal. Mereka sudah mulai berani menyapaku, bahkan membeli sisa-sisa dagangan daster yang ada di rumah. Anak buah Pak Karto terkadang masih terlihat memantau rumahku tapi, aku tidak peduli. Mengiklaskan ternyata membuat perasaanku legowo. Aku hanya berpikir yang baik-baik saja untuk Aida. Adikku sudah bersama bapak dan ibu, aku tidak perlu khawatir. Masalah keadilan yang tidak pernah kudapatkan untuk Aida, biar lah kupasrahkan kepada Allah. Semua perbuatan entah itu baik atau buruk akan ada balasannya, aku percaya Tuhan Maha adil. Pun untuk Pak Karto, Iwan dan sekutunya, Allah akan tetap bekerja dengan kuasa

  • Di balik Kematian Adikku    Dijual

    23.Di balik kematian adikku yang idiotDijual Itu kek suaranya Pak Karto! Nafasku memburu, ternyata dia biang kerok semua ini. Apa maunya dia? Aku sudah tidak mengusik kasus Aida tapi, kenapa dia masih terus memburuku?"Uuh, uuuh, uuuh!" Mulutku bersuara meski tidak keluar, benda yang menyumpal mulutku tidak bisa kukeluarkan, sial! Jadi mataku ditutup, mulutku di sumpal dan tanganku diikat, bagus! Kerjaan bandit Mafia Karto. Tapi, aku masih ada kaki yang tidak diikat, bisa aku jadikan senjata bila terpaksa. Diam tapi mengawasi, meski gelap tapi aku berusaha merasakan suasana di dalam mobil ini. Kurasa ada lima nyawa di sini yaitu supir, Pak Karto yang duduk di samping kursi kemudi, dua lelaki yang mengapitku dan aku sendiri di tengah. Uugh uughKembali aku bersuara, badanku bergerak-gerak berusaha melepaskan diri. Tanganku menyikut ke kanan kiri membuat suasana heboh. "DIAM!"Plakk!Aaahh!Seseorang telah menampar pipiku, refleks aku mengangkat kedua kaki dan kutendangkan ke depa

  • Di balik Kematian Adikku    Kabur

    24.Di balik kematian adikku yang idiotMelarikan diri "Lepaskan, Anna!" "Mas Beni?" Kulepaskan tangannya. "Ssstt!" Mas Beni menutup mulutku. Pelan dia menutup pintu kembali. "Cepat kita pergi dari sini, Ann!" Setengah badan Mas Beni keluar, kepalanya tengak-tengok di luar kamar. "Cepat, mumpung aman!" Menarik tanganku, Mas Beni mengajakku meninggalkan kamar, lelaki itu berjalan ke sisi kiri. Sampai di sebuah teras, Mas Beni mengajakku melintasi sebuah taman. "Lewat sini, Anna, injek aja," katanya. Mengikuti Mas Beni, aku pun menginjak-injak rumput dan tanaman di taman itu. Berlari berdua sampai lah kita pada tembok tinggi samping rumah. Berjalan miring, badan kami menempel di dinding. Mas Beni berhenti lalu mengintip. "Ada apa, Mas?" Tanyaku. Mas Beni berpaling padaku," ada penjaga gerbang," jawabnya. Duh, gimana, ya?"Mas, aku mau lihat," kataku. Mas Beni bergeser, aku menjulurkan sedikit kepala agar bisa melihat situasi. Halaman parkir yang luas, taman rumput hijau dan ja

  • Di balik Kematian Adikku    Aku yang Baru

    25.Di balik kematian adikku yang idiotAku yang baru Masuk nggak,ya? Sedikit bimbang ... Huh! Menarik nafas dalam lalu membuangnya kasar, kubulatkan tekat untuk masuk menemui perempuan di dalam toko. Bismillah aja semoga lancar dan ada pekerjaan untukku. Hawa sejuk AC menerpa saat kudorong pintu kaca. Berjalan pelan aku mendekati perempuan yang duduk di balik konter mesin kasir. Perempuan berkulit putih dan berkacamata itu tidak menyadari kedatanganku, dia sedang sibuk dengan gadgetnya. "Malam, Cie," sapaku. "Aaah!" Perempuan itu menjerit tertahan, saking kagetnya dia sampai berdiri melompat dari kursi. "Mau apa, kau?!" Tanyanya curiga. Mata sipitnya melebar. Dia melihatku dari bawah sampai atas lalu melepas kacamata dari wajahnya. Tentu saja dia takut melihatku. Aku sendiri merasa penampilanku saat ini benar-benar ancur. Tiga hari tidak mandi, tidak gosok gigi, tidak ganti pakaian, rambut awut-awutan, wajah kusut, kotor, dan apa lagi, ya? Pokoknya lebih parah dari gembel. "M

  • Di balik Kematian Adikku    Pindah

    26.Di balik kematian adikku yang idiotPindah Menjalani Minggu-Minggu pertama dengan perasaan was-was. Kadang saking paniknya, aku mencurigai customer adalah mata-mata Karto, segitunya. Iya! Aku masih takut bila mereka masih mengintai, mengejar bahkan menangkapku. Seperti mengalami trauma, sering kali di malam hari aku terjaga dengan nafas tersengal dan peluh di dahi dan pelipis. Aku bermimpi dikejar banyak orang. Terkadang aku juga menangis sendirian bila teringat Aida atau Mas Beni, dua orang istimewa dalam hidupku. Adik kesayanganku dan lelaki baik yang sudah berkorban nyawa untukku. Aku mulai mengenal dan menghafal jalan di kota ini. Kusebut ini kota lewat, artinya kota yang hanya dilewati oleh mereka yang sedang dalam perjalanan jauh atau luar kota. Kebanyakan pula yang berbelanja di toko Cik Debby adalah mereka yang sedang dalam perjalanan. Mereka membeli minuman, makanan kecil, roti, atau barang lainnya. Penduduk di sini tidak banyak, mereka saling mengenal. Toko Cik Debby t

  • Di balik Kematian Adikku    Membuka Hati

    27.Di balik kematian adikku yang idiotSaatnya membuka hati Melihat seorang berseragam Polisi tiba-tiba aku merasa emosional, dalam arti perasaanku ingin mengadu, melapor, kedzaliman yang pernah menimpa adikku. Rasanya saat ini juga aku ingin melapor pada Rangga kalau adikku yang berkebutuhan khusus telah diperko sa dan dibun uh oleh orang yang berkuasa, yang hartanya bisa melepaskan dirinya dari jeratan hukum. Rasanya ingin membuka kembali kasus Aida. Memenjarakan Karto adalah keinginanku yang nomor satu! Sayang, aku tak punya kekuatan untuk menangkis tajamnya pedang Pak Karto justru aku yang berdarah-darah terkena sabetan pedang. "Ann, sudah sampai, tuh," Vina menoleh ke belakang. Mobil merapat di pinggir jalan raya. Sengaja tidak masuk parkiran Superindu biar nggak usah muter.Ah ya! Kami sudah sampai di depan Superindu pusat perbelanjaan modern yang terbesar di kota ini. "Makasih, ya!" Ucapku sembari menutup pintu. Rangga dan Vina melambaikan tangan kemudian kembali meluncur k

Latest chapter

  • Di balik Kematian Adikku    End. Menemukan Keadilan

    32.Di balik kematian adikku yang idiotMenemukan KeadilanEnd episode Tidak seperti waktu lalu, penduduk desa sudah berubah sekarang. Persis seperti yang diceritakan Mas Beni mereka memperlakukan dan menyambut kedatanganku dengan baik. Setelah sekian lama, akhirnya aku menginjakkan kaki lagi di kampung halamanku. "Selamat datang, Anna," Begitu kata Bu RT saat menyambut kedatanganku. Bu RT tidak sendiri tapi, disertai dengan ibu-ibu yang lain. Merey memelukku satu persatu bahkan ada yang meneteskan air mata. "Kami minta maaf, Anna,""Kami sudah ikut mendzalimi anak yatim-piatu," sesal mereka. "Sekarang kami mendukungmu untuk mencari keadilan,""Betul! Kami mendukungmu melawan kebiadaban Karto dan keluarganya!" "Setuju!" Bibirku tersenyum tapi, air mata ini mengalir. Dadaku sesak tapi, bukan kesal. Aku menangis terharu. Orang-orang akhirnya menyadari, aku dan adikku adalah korban kekejaman Pak Karto. Lima tahun berlalu dan kini aku merasa punya kekuatan untuk bangkit, untuk melaw

  • Di balik Kematian Adikku    Kesaksian yang membuka kedok

    31.Di balik kematian adikku yang idiotKesaksian (PoV Author)1. Pak Kaji HasanSiang itu matahari bersinar terik, jam menunjukkan sekitar pukul dua siang. Kaji Hasan tengah berjalan di tengah kebun kopi miliknya. Meski sebagai pemilik Pak Kaji sesekali memang mengecek sendiri kebun miliknya. Bukan tanpa alasan. Khusus kebun kopi yang ini memang harus mendapat perhatian khusus karena bersebelahan dan berbatasan langsung dengan kebun kopi milik Pak Karto, yang dikenal sebagai orang yang paling licik dan kejam di desa. Sering para penggarap kebun melaporkan kehilangan buah kopi yang siap panen. Usut punya usut pencurinya adalah anak buah Pak Karto. Pasti Bossnya yang menyuruh kalau tidak mana berani mereka. Pak Kaji bukan diam saja. Beberapa kali ia juga komplain ke Pak Karto langsung tapi, jawabannya tidak memuaskan. Mau dilaporkan Polisi juga percuma, Pak Karto seperti kebal hukum. Ada oknum di kepolisian sini yang menjadi beking bisnisnya.Masalah batas tanah juga sering menjadi s

  • Di balik Kematian Adikku    Membelot

    30.Di balik kematian adikku yang idiotPoV AuthorMembelot Warga desa melawan"Kita harus melawan!""Benar!""Pak Karto sudah kelewatan menindas kita!" "Bagaimana caranya kita melawan?""Kita harus bersatu dan menyusun rencana.""Setuju!""Setuju!"Itu adalah penggalan seruan warga desa Peteng saat mengadakan rapat sembunyi-sembunyi. Para pemuka desa yang selama ini diam tiba-tiba bersuara. Mereka menginginkan perubahan, terutama menyingkirkan dominasi arogan Pak Karto. "Pertama, kita harus membebaskan warga yang terjerat praktek lintah darat Pak Karto," Beni sebagai motor penggerak sudah menyusun rencana, tinggal meng- implementasi-kan saja. "Tapi, itu butuh dana yang tidak sedikit mengingat bunga yang diterapkan Pak Karto tinggi dan mencekik," ucap salah seorang warga. "Saya sudah pikirkan, karena itu saya hadirkan Bapak Kaji Hasan di sini. Sebagai orang terpandang di desa, mungkin Pak Kaji bisa menolong para warga." Beni menoleh pada Bapaknya yang juga hadir dalam rapat desa t

  • Di balik Kematian Adikku    Bertemu

    29.Di balik kematian adikku yang idiotBertemu kembaliPoV Author on Besok sorenya Rangga dan Beni menepati janji, dengan mobil Rangga, kedua lelaki dewasa itu meluncur menuju rumah kost cewek di jalan Teratai menjemput bidadari masing-masing. Sepanjang perjalanan, Beni lebih banyak diam. Lima tahun berlalu, baru saat ini dia akan berkencan dengan perempuan, bukan kencan ding, hanya perkenalan biasa. Nervous? Pastinya. Pernah dulu saat tahun pertama Anna menghilang, Beni sempat merasa hidupnya hampa. Rasa bersalah menghantui hingga Beni menjadi lebih banyak menghabiskan waktu dengan menyendiri. Tapi, semangatnya kembali datang saat dia mendengar kalau penduduk desa mulai mengadakan perlawanan terhadap Pak Karto. Beni bertekad menyelesaikan kuliahnya kemudian menuntaskan cita-cita menjadi Aparat penegak hukum. Alhamdulillah, dia menjadi seorang perwira Polisi. "Ini kos-kosannya, kita sudah sampai," Rangga menarik tuas hand rem. Beni menatap rumah model kuno dengan cat putih dan jen

  • Di balik Kematian Adikku    Beni Selamat

    28.Di balik kematian adikku yang idiotPoV Author Beni Selamat!"Lari, Anna!" Beni terus berteriak menyuruh Anna untuk berlari dari tempat itu, sesekali dia melihat ke teman perempuannya itu. Bughh!Sebuah pukulan telak mendarat di rahang lelaki muda itu, Beni terhuyung. Tidak! Dia tidak mau menyerah meski tahu akan kalah, bagaimana pun caranya, dia harus menahan kedua orang jahat ini. "Cepat lari, Ann!" Teriaknya lagi sembari menghindar, darah segar muncrat dari mulutnya, perih terasa mengiris pipi. Dillihatnya Anna yang tampak kebingungan antara berlari dan menolongnya. Ciatt!Beni memberikan tendangan pada seseorang yang paling dekat dengannya, orang itu terhuyung mundur dua langkah, sayang datang lagi seorang lelaki berbadan besar juga. Sial! Sekarang tiga orang mengeroyok Beni. Anna memutuskan untuk berlari meninggalkan Beni. Gadis itu tahu, temannya tidak akan menang meski dia membantunya. Tatapan terakhir Anna menambah kekuatan diri Beni. Lelaki muda itu terus berkelahi m

  • Di balik Kematian Adikku    Membuka Hati

    27.Di balik kematian adikku yang idiotSaatnya membuka hati Melihat seorang berseragam Polisi tiba-tiba aku merasa emosional, dalam arti perasaanku ingin mengadu, melapor, kedzaliman yang pernah menimpa adikku. Rasanya saat ini juga aku ingin melapor pada Rangga kalau adikku yang berkebutuhan khusus telah diperko sa dan dibun uh oleh orang yang berkuasa, yang hartanya bisa melepaskan dirinya dari jeratan hukum. Rasanya ingin membuka kembali kasus Aida. Memenjarakan Karto adalah keinginanku yang nomor satu! Sayang, aku tak punya kekuatan untuk menangkis tajamnya pedang Pak Karto justru aku yang berdarah-darah terkena sabetan pedang. "Ann, sudah sampai, tuh," Vina menoleh ke belakang. Mobil merapat di pinggir jalan raya. Sengaja tidak masuk parkiran Superindu biar nggak usah muter.Ah ya! Kami sudah sampai di depan Superindu pusat perbelanjaan modern yang terbesar di kota ini. "Makasih, ya!" Ucapku sembari menutup pintu. Rangga dan Vina melambaikan tangan kemudian kembali meluncur k

  • Di balik Kematian Adikku    Pindah

    26.Di balik kematian adikku yang idiotPindah Menjalani Minggu-Minggu pertama dengan perasaan was-was. Kadang saking paniknya, aku mencurigai customer adalah mata-mata Karto, segitunya. Iya! Aku masih takut bila mereka masih mengintai, mengejar bahkan menangkapku. Seperti mengalami trauma, sering kali di malam hari aku terjaga dengan nafas tersengal dan peluh di dahi dan pelipis. Aku bermimpi dikejar banyak orang. Terkadang aku juga menangis sendirian bila teringat Aida atau Mas Beni, dua orang istimewa dalam hidupku. Adik kesayanganku dan lelaki baik yang sudah berkorban nyawa untukku. Aku mulai mengenal dan menghafal jalan di kota ini. Kusebut ini kota lewat, artinya kota yang hanya dilewati oleh mereka yang sedang dalam perjalanan jauh atau luar kota. Kebanyakan pula yang berbelanja di toko Cik Debby adalah mereka yang sedang dalam perjalanan. Mereka membeli minuman, makanan kecil, roti, atau barang lainnya. Penduduk di sini tidak banyak, mereka saling mengenal. Toko Cik Debby t

  • Di balik Kematian Adikku    Aku yang Baru

    25.Di balik kematian adikku yang idiotAku yang baru Masuk nggak,ya? Sedikit bimbang ... Huh! Menarik nafas dalam lalu membuangnya kasar, kubulatkan tekat untuk masuk menemui perempuan di dalam toko. Bismillah aja semoga lancar dan ada pekerjaan untukku. Hawa sejuk AC menerpa saat kudorong pintu kaca. Berjalan pelan aku mendekati perempuan yang duduk di balik konter mesin kasir. Perempuan berkulit putih dan berkacamata itu tidak menyadari kedatanganku, dia sedang sibuk dengan gadgetnya. "Malam, Cie," sapaku. "Aaah!" Perempuan itu menjerit tertahan, saking kagetnya dia sampai berdiri melompat dari kursi. "Mau apa, kau?!" Tanyanya curiga. Mata sipitnya melebar. Dia melihatku dari bawah sampai atas lalu melepas kacamata dari wajahnya. Tentu saja dia takut melihatku. Aku sendiri merasa penampilanku saat ini benar-benar ancur. Tiga hari tidak mandi, tidak gosok gigi, tidak ganti pakaian, rambut awut-awutan, wajah kusut, kotor, dan apa lagi, ya? Pokoknya lebih parah dari gembel. "M

  • Di balik Kematian Adikku    Kabur

    24.Di balik kematian adikku yang idiotMelarikan diri "Lepaskan, Anna!" "Mas Beni?" Kulepaskan tangannya. "Ssstt!" Mas Beni menutup mulutku. Pelan dia menutup pintu kembali. "Cepat kita pergi dari sini, Ann!" Setengah badan Mas Beni keluar, kepalanya tengak-tengok di luar kamar. "Cepat, mumpung aman!" Menarik tanganku, Mas Beni mengajakku meninggalkan kamar, lelaki itu berjalan ke sisi kiri. Sampai di sebuah teras, Mas Beni mengajakku melintasi sebuah taman. "Lewat sini, Anna, injek aja," katanya. Mengikuti Mas Beni, aku pun menginjak-injak rumput dan tanaman di taman itu. Berlari berdua sampai lah kita pada tembok tinggi samping rumah. Berjalan miring, badan kami menempel di dinding. Mas Beni berhenti lalu mengintip. "Ada apa, Mas?" Tanyaku. Mas Beni berpaling padaku," ada penjaga gerbang," jawabnya. Duh, gimana, ya?"Mas, aku mau lihat," kataku. Mas Beni bergeser, aku menjulurkan sedikit kepala agar bisa melihat situasi. Halaman parkir yang luas, taman rumput hijau dan ja

DMCA.com Protection Status