20.Di balik kematian adikku yang idiotPoV AuthorMurka sang Raja Dengan langkah lebar, Baron memasuki ruang pribadi Pak Karto. Lelaki bertubuh gempal itu mendapat panggilan penting dari Bossnya. Di dalam ruangan sudah ada orang lain selain Pak Karto, dia adalah Ferdi. Baron mengenal Ferdi sebagai salah satu anak buah Pak Karto yang paling kejam. Selama ini, kerjaan Ferdi adalah mengurusi para wanita yang ada di rumah besar Pak Karto ini. Berkedok perusahaan jasa pengiriman TKW, sebenarnya bisnis Karto adalah bisnis maksiat. Karto adalah mucikari untuk kalangan atas, yaitu Om-om senang dengan kantong tebal. Perempuan-perempuan di rumahnya adalah para pemuas s*x. Pantesan saja, Karto hanya menampung perempuan yang seksi, cantik dan berkulit putih. Hanya sedikit penduduk desa yang mengetahui bisnis terselubung Karto ini. Mereka tahunya, para perempuan itu sedang menunggu untuk diberangkatkan ke luar negeri, dan rumah Karto adalah penampungan. Kelicikan Karto lainnya adalah, dia mela
21.Di balik kematian adikku yang idiotArogan Kakiku berlari menyusur koridor rumah sakit milik pemerintah ini. Bapak Mas Beni masih dirawat di UGD. Aku harus segera ke sana, kasihan Mas Beni. Tapi, eitts! Seperti mobil yang mengerem mendadak, kaki ini berhenti berlari seketika. Bagaimana kalau ada ibunya Mas Beni di sana? Pasti beliau tidak berkenan dengan kedatanganku. Duduk di bangku yang ada di sekitar sini, aku berpikir mencari jalan bagaimana bisa bertemu Mas Beni. Huh! Gini nih susahnya cinta tak direstui hehehe, kapan jadiannya?Kuambil ponsel dari tas dan menimangnya sebentar. Gini aja, aku WA Mas Beni, enaknya gimana. [Mas, aku di taman rumah sakit] tulisku. Belum dibaca, masih centang dua abu-abu. Tunggu sebentar mungkin. Ting!Bunyi pesan masuk dan langsung kubaca.[Langsung ke sini aja] balas Mas Beni. Hmm gimana ya, aku nggak berani ....[Ada ibumu?][Ada][Aku nggak berani ke situ, kamu ke sini aja] balasku kemudian. [Ok, tunggu]Hehehe aku tertawa kecil. Mas Beni
22.Di balik kematian adikku yang idiotPenculikan Kembali bekerja membuatku bersemangat, artinya ada kegiatan dalam keseharianku. Bangun pagi, bersihin rumah sebentar, bikin sarapan untuk diri sendiri, dan berangkat kerja. Terkadang bareng Mas Beni, terkadang jalan kaki dulu sampai tugu desa lalu nyegat angkot. Dua bulan sudah Aida meninggal, kehidupan di desa mulai berjalan normal. Mereka sudah mulai berani menyapaku, bahkan membeli sisa-sisa dagangan daster yang ada di rumah. Anak buah Pak Karto terkadang masih terlihat memantau rumahku tapi, aku tidak peduli. Mengiklaskan ternyata membuat perasaanku legowo. Aku hanya berpikir yang baik-baik saja untuk Aida. Adikku sudah bersama bapak dan ibu, aku tidak perlu khawatir. Masalah keadilan yang tidak pernah kudapatkan untuk Aida, biar lah kupasrahkan kepada Allah. Semua perbuatan entah itu baik atau buruk akan ada balasannya, aku percaya Tuhan Maha adil. Pun untuk Pak Karto, Iwan dan sekutunya, Allah akan tetap bekerja dengan kuasa
23.Di balik kematian adikku yang idiotDijual Itu kek suaranya Pak Karto! Nafasku memburu, ternyata dia biang kerok semua ini. Apa maunya dia? Aku sudah tidak mengusik kasus Aida tapi, kenapa dia masih terus memburuku?"Uuh, uuuh, uuuh!" Mulutku bersuara meski tidak keluar, benda yang menyumpal mulutku tidak bisa kukeluarkan, sial! Jadi mataku ditutup, mulutku di sumpal dan tanganku diikat, bagus! Kerjaan bandit Mafia Karto. Tapi, aku masih ada kaki yang tidak diikat, bisa aku jadikan senjata bila terpaksa. Diam tapi mengawasi, meski gelap tapi aku berusaha merasakan suasana di dalam mobil ini. Kurasa ada lima nyawa di sini yaitu supir, Pak Karto yang duduk di samping kursi kemudi, dua lelaki yang mengapitku dan aku sendiri di tengah. Uugh uughKembali aku bersuara, badanku bergerak-gerak berusaha melepaskan diri. Tanganku menyikut ke kanan kiri membuat suasana heboh. "DIAM!"Plakk!Aaahh!Seseorang telah menampar pipiku, refleks aku mengangkat kedua kaki dan kutendangkan ke depa
24.Di balik kematian adikku yang idiotMelarikan diri "Lepaskan, Anna!" "Mas Beni?" Kulepaskan tangannya. "Ssstt!" Mas Beni menutup mulutku. Pelan dia menutup pintu kembali. "Cepat kita pergi dari sini, Ann!" Setengah badan Mas Beni keluar, kepalanya tengak-tengok di luar kamar. "Cepat, mumpung aman!" Menarik tanganku, Mas Beni mengajakku meninggalkan kamar, lelaki itu berjalan ke sisi kiri. Sampai di sebuah teras, Mas Beni mengajakku melintasi sebuah taman. "Lewat sini, Anna, injek aja," katanya. Mengikuti Mas Beni, aku pun menginjak-injak rumput dan tanaman di taman itu. Berlari berdua sampai lah kita pada tembok tinggi samping rumah. Berjalan miring, badan kami menempel di dinding. Mas Beni berhenti lalu mengintip. "Ada apa, Mas?" Tanyaku. Mas Beni berpaling padaku," ada penjaga gerbang," jawabnya. Duh, gimana, ya?"Mas, aku mau lihat," kataku. Mas Beni bergeser, aku menjulurkan sedikit kepala agar bisa melihat situasi. Halaman parkir yang luas, taman rumput hijau dan ja
25.Di balik kematian adikku yang idiotAku yang baru Masuk nggak,ya? Sedikit bimbang ... Huh! Menarik nafas dalam lalu membuangnya kasar, kubulatkan tekat untuk masuk menemui perempuan di dalam toko. Bismillah aja semoga lancar dan ada pekerjaan untukku. Hawa sejuk AC menerpa saat kudorong pintu kaca. Berjalan pelan aku mendekati perempuan yang duduk di balik konter mesin kasir. Perempuan berkulit putih dan berkacamata itu tidak menyadari kedatanganku, dia sedang sibuk dengan gadgetnya. "Malam, Cie," sapaku. "Aaah!" Perempuan itu menjerit tertahan, saking kagetnya dia sampai berdiri melompat dari kursi. "Mau apa, kau?!" Tanyanya curiga. Mata sipitnya melebar. Dia melihatku dari bawah sampai atas lalu melepas kacamata dari wajahnya. Tentu saja dia takut melihatku. Aku sendiri merasa penampilanku saat ini benar-benar ancur. Tiga hari tidak mandi, tidak gosok gigi, tidak ganti pakaian, rambut awut-awutan, wajah kusut, kotor, dan apa lagi, ya? Pokoknya lebih parah dari gembel. "M
26.Di balik kematian adikku yang idiotPindah Menjalani Minggu-Minggu pertama dengan perasaan was-was. Kadang saking paniknya, aku mencurigai customer adalah mata-mata Karto, segitunya. Iya! Aku masih takut bila mereka masih mengintai, mengejar bahkan menangkapku. Seperti mengalami trauma, sering kali di malam hari aku terjaga dengan nafas tersengal dan peluh di dahi dan pelipis. Aku bermimpi dikejar banyak orang. Terkadang aku juga menangis sendirian bila teringat Aida atau Mas Beni, dua orang istimewa dalam hidupku. Adik kesayanganku dan lelaki baik yang sudah berkorban nyawa untukku. Aku mulai mengenal dan menghafal jalan di kota ini. Kusebut ini kota lewat, artinya kota yang hanya dilewati oleh mereka yang sedang dalam perjalanan jauh atau luar kota. Kebanyakan pula yang berbelanja di toko Cik Debby adalah mereka yang sedang dalam perjalanan. Mereka membeli minuman, makanan kecil, roti, atau barang lainnya. Penduduk di sini tidak banyak, mereka saling mengenal. Toko Cik Debby t
27.Di balik kematian adikku yang idiotSaatnya membuka hati Melihat seorang berseragam Polisi tiba-tiba aku merasa emosional, dalam arti perasaanku ingin mengadu, melapor, kedzaliman yang pernah menimpa adikku. Rasanya saat ini juga aku ingin melapor pada Rangga kalau adikku yang berkebutuhan khusus telah diperko sa dan dibun uh oleh orang yang berkuasa, yang hartanya bisa melepaskan dirinya dari jeratan hukum. Rasanya ingin membuka kembali kasus Aida. Memenjarakan Karto adalah keinginanku yang nomor satu! Sayang, aku tak punya kekuatan untuk menangkis tajamnya pedang Pak Karto justru aku yang berdarah-darah terkena sabetan pedang. "Ann, sudah sampai, tuh," Vina menoleh ke belakang. Mobil merapat di pinggir jalan raya. Sengaja tidak masuk parkiran Superindu biar nggak usah muter.Ah ya! Kami sudah sampai di depan Superindu pusat perbelanjaan modern yang terbesar di kota ini. "Makasih, ya!" Ucapku sembari menutup pintu. Rangga dan Vina melambaikan tangan kemudian kembali meluncur k