Kebanyakan orang bilang kalau wajah kita mirip dengan pasangan berarti tandanya jodoh. Kurasa hal itu tidak berlaku bagi kami. Karena sekarang Dwiyan meminta untuk mengakhiri hubungan yang sudah berjalan selama satu tahun. Aku masih bungkam, tidak ingin menyuarakan pendapat, hanya melihat bagaimana ia terus-menerus berkata kalau semuanya percuma. Aku mengambil gelas berisi soda dingin dan meminumnya perlahan. Mencoba menyejukkan hatiku yang terasa panas.
Ia menyesap kopi hitamnya, lalu memandangku. Saat ini tidak lagi kutemukan pandangan meneduhkan atau kata-kata manis yang menenangkan. Dan juga bagaimana lengan kokohnya biasanya membingkai tubuhku, memberikan kenyamanan. Kafe tempat kami bertemu terletak tidak jauh dari rumahku.Ada perasaan was-was kalau ibu sampai tahu. Letaknya di pinggir jalan Kebo Iwa. Berbeda dengan tempat kami biasanya bertemu, di sini sedikit lebih bising dan ramai pengunjung. Aku cukup menyukai salad yang dijual. Kami duduk pada meja di tengah ruangan. Dengan adanya patung ukiran kayu seorang petani memanggul cangkul.Walaupun menyediakan menu kekinian. Seperti masakan Eropa dan Meksiko. Interior di sini lebih mirip pedesaan. Aku menyukai lukisan sawah yang membentang dan langit biru cerah dipajang di dekat meja kasir –terletak paling pojok kanan. Lagu-lagu yang diputar seluruhnya musisi lokal. Kata pegawai di sini, sengaja dibedakan untuk mengimbangi kemajuan jaman. Agar selalu ingat atas unsur-unsur budaya lokal meski pun menyukai makanan Eropa.“Jadi, bagaimana keputusanmu?” Dwiyan kembali bertanya dengan alis tebal yang bertautan. Aku tahu, ia sudah tidak sabar mendengar langsung jawabanku. Kemarin saat meneleponnya, ibu tiba-tiba masuk ke kamar. Dan akhirnya mengetahui kalau kami masih berpacaran.“Aku nggak bisa memutuskan hubungan kita. Kamu juga pasti tau alasannya,” jawabku tegas. Kalau pun ada masalah, lebih bagus jika menyelesaikannya secara baik-baik. Bukan malah tiba-tiba memutuskan hubungan secara sepihak. Dwiyan bukan pemuda tak memiliki hati yang mampu melakukan semua itu.Tangannya menaruh cangkir kopi dan bersandar pada kursi kayu. Setelah itu, mengeluarkan ponsel qwerty dan memberikannya kepadaku, menunjukkan sebuah pesan singkat.Aku terdiam dengan degupan jantung yang tidak beraturan. Lama aku berpikir. Ibu sudah memperingatinya. Haruskah kami tetap bertahan? Tiba-tiba aku merasa keramaian kafe menjadi sunyi. Aku tidak tahu kalau ibuku menyimpan nomor ponsel Dwiyan.“Kamu lihat, bukan? Bahkan Ibumu masih belum merestui kita, Citra. Apa lagi yang diharapkan?” tanya Dwiyan dengan raut wajah kusut. Setelah diamati dengan baik, aku dapat menemukan kalau wajahnya semakin tirus. Rambut ikal itu juga berantakan. Bahkan, ia tidak mencukur kumisnya.“Aku berharap kamu masih menunggu. Kita pasti bisa melewati ini. Tunggu sampai lulus kuliah dan bekerja. Ibu pasti merestui kita,” jawabku masih kekeh pada keputusan awal. Kalau aku tidak akan pernah melepaskan Dwiyan. Banyak hal yang sudah kami lalui. Termasuk bagaimana sulitnya menjalani hubungan ini.“Bukankah selalu begitu? Kalau menungguku sampai bekerja, perlu waktu lama. Dua tahun nggak singkat, Citra. Kamu mau menghabiskan waktu untuk menunggu yang nggak pasti?” tanyanya dengan sepasang mata yang menatapku intens. Sekarang aku berharap dapat membaca tatapan matanya. Aku yakin Dwiyan tidak akan melepaskanku semudah itu.Dua tahun lalu, aku mengenal Dwiyan Septian karena Pentas Seni yang diadakan sekolahnya. Karena bosan berdiam diri di rumah, apalagi malam minggu. Aku memutuskan untuk menerima ajakan teman menonton. Riuh terdengar dari suara pukulan drum, petikan gitar, gitar listrik, dan tiba-tiba terdengar suara seseorang menyadarkanku. Ia berdiri memegang microphone lalu menyanyikan sebuah lagu yang terasa asing. Sejak hari itu, aku mulai terpikat pada pesonanya. Di atas panggung megah yang disoroti lampu-lampu pada setiap sudut.Meski pun tampil bersama personil lain. Aku hanya mengamatinya. Melihat bagaimana Dwiyan tersenyum ketika bernyanyi atau sesekali menunduk untuk mengajak penonton bernyanyi.“Aku yakin dengan keputusanku. Lagipula semua itu memang terjadi nantinya. Bukan hal nggak pasti. Selama kamu juga berusaha,” jawabku penuh harap. Hanya saja sekarang tergantung dari pemuda di hadapanku.Dwiyan memainkan kedua ibu jari. Kulihat ia menarik napas panjang sebelum mendekat dan menunjukkan sebuah cincin perak kecil polos. Aku masih terdiam. Dwiyan bangkit berdiri, kemudian duduk di sebelahku. Tangannya mengambil telapak tangan kiriku dan memakaikan cincin perak itu di jari manis. Lalu, menunjukkan cincin yang serupa tersemat di jari tangannya. Karena memikirkan masalah kami, aku bahkan tidak menyadarinya.“Aku pasti berusaha. Tadinya ingin membuang cincin ini seandainya kamu lebih memilih mengakhiri hubungan kita. Di luar dugaan, kamu justru ingin berjuang bersama. Terima kasih, Citra,” ucapnya menyunggingkan senyum jahil yang kurindukan.“Bodoh..” gumamku pelan. Aku tidak bisa menahan perasaan haru. Ia memberikan cincin yang begitu indah. Seakan sebuah pembuktian kalau Dwiyan bersungguh-sungguh dengan hubungan yang dijalani.Bulir-bulir air mata membasahi parasku. Membuat beberapa helai rambut menjadi lepek dan menempel di pipi. Aku sudah tidak peduli kalau orang-orang melihat dan menganggap hubungan kami telah kandas. Yang pasti Dwiyan tidak berniat meninggalkanku dan berjanji untuk berjuang demi kemajuan hubungan kami.Melihatku menangis sesenggukan, membuatnya merengkuhku. Menyingkirkan jarak di antara kami. Aku kembali merasakan pelukan sehangat selimut di rumah. Juga aroma parfum yang manis seperti campuran jeruk dan leci. Tepukannya pada punggung mengisyaratkanku berhenti menangis. Tapi, hal itu tidak kuhiraukan. Justru semakin tersedu. Aku sudah ketakutan setengah mati seandainya Dwiyan menyerah dan meninggalkanku.“Sudahlah, aku masih di sini. Tetap bersamamu.”Mendengar itu membuatku sedikit lega. Aku melepaskan diri dan menatap kedua mata sehitam malam miliknya. Dengan bingkai kacamata kotak biru tua, membuatnya terlihat semakin tampan. Aku masih ingat pertama kalinya berkenalan dengan Dwiyan.Padahal aku tidak berkata sedikit pun mengenai ketertarikanku. Namun, teman sekolahku berinisiatif untuk memperkenalkan sesudah mereka manggung –temanku kenal dengan Dwiyan sejak SMP. Di hari aku bertukar nomor ponsel, ia selalu rajin mengirim pesan singkat.“Benar, ya? Jangan lepaskan pegangan tanganmu meski pun banyak alasan yang mendasari untuk meninggalkanku,” ucapku lirih.“Aku berjanji,” jawabnya singkat. Aku dapat melihat kesungguhannya. “Tersenyumlah. Kamu nggak ingin orang-orang berpikir kalau baru saja dicampakkan, bukan?” tanya Dwiyan tersenyum mengejek.Dasar. Ia selalu berhasil membuatku tertawa. Itulah salah satu alasanku mempertahankannya. Tentu saja selain rasa cinta yang terlanjur tumbuh di hati. Perlu waktu setahun untuk menerimanya sebagai kekasih. Awal kami dekat tidak pernah berpikir untuk menjalin kasih. Namun, melihat kegigihan Dwiyan membuatku luluh dan menerima pernyataan cintanya. Aku menghargai perjuangannya,“Lihat? Senyumku bahkan hampir menyentuh mata,” ucapku menunjuk wajah yang sepenuhnya tersenyum. Walau pun merasa aneh jika tersenyum lebar. Berbeda jika bersama keluarga dan kekasihku.Dwiyan mengacak rambutku, lalu kami tertawa sesudahnya. Hal-hal sederhana mampu membuatku tersenyum bahagia. Melupakan sejenak masalah orangtuaku. Dan hanya terfokus pada waktu yang kulewati bersamanya.Aku memang belum tahu yang mungkin terjadi selama seminggu atau satu bulan ke depan. Untuk sekarang aku hanya ingin mendukung keputusannya. Mencoba meraih mimpi yang sulit diwujudkan sendiri, hingga bisa menggapainya bersama-sama.***Malam hari setelah bertemu Dwiyan, aku pulang sendirian. Menggunakan sepeda motor matic yang selalu menemani sejak kelas tiga SMA. Aku bisa dibilang agak terlambat mengendarai sepeda motor. Karena perlu waktu lima tahun sejak pertama kali belajar untuk bisa membawanya ke sekolah dan berjalan-jalan bersama temanku. Aku memiliki orangtua yang menjagaku begitu hati-hati. Takut seandainya terluka. Lalu, aku cukup nekat memberitahu Bapak kalau sepeda motornya sudah kubawa ke sekolah. Kemudian, aku mendapatkan surat ijin mengemudi seminggu setelah lulus tes.Tadi Dwiyan ingin mengantar sampai di depan rumah. Tapi, aku takut seseorang akan keluar dan mendapati kami bersama. Kuputuskan untuk pulang sendiri. Walaupun sempat ada pertengkaran kecil karena Dwiyan merasa bertanggung jawab terhadapku. Dulu, ia memang selalu mengantarkan sampai di depan rumah.Karena merasa tidak enak dan takut dengan keselamatanku. Biasanya, aku menghubungi beberapa jam setelah sampai di rumah. Itulah alasan yang membuat perdebatan tadi. Ia menekankan pada setiap kata kalau sudah sampai rumah harus segera menghubunginya.Aku melewati ruang tamu dengan tembok berwarna hijau muda, lukisan peperangan, dan ukiran kayu patung anak kecil persis di sebelah sofa. Kemudian berjalan menuju kamarku –di sebelah kiri di dekat ruang keluarga.Lemari pakaian berada satu meter di depan pintu. Sedangkan tempat tidur berada di sebelah tembok yang berbatasan dengan kamar mandi. Di dekat tempat tidur, aku menaruh meja kecil dan sebuah lampu berbentuk segitiga. Aku suka melihat cahaya hijau itu menyinari gelapnya kamarku. Tidak jauh dari sana ada meja belajar dan berbagai macam jenis buku di rak.Lampu kamar kunyalakan. Melihat warna biru muda dari cat dinding membuat perasaanku terasa lebih nyaman. Setelah menaruh tas ransel di tempat tidur, aku mengambil ponsel dan mengetik sebuah pesan singkat kalau sudah sampai di rumah. Jadi Dwiyan bisa berhenti mencemaskan.Karena sewaktu membuka kotak pesan, sudah ada tiga pesan singkat yang menanyakan keberadaanku dimana. Refleks aku tersenyum simpul. Cukup banyak cinta monyet singgah dan pergi di hati pada masa SMA. Dan kehadiran Dwiyan membuatku bertanya-tanya. Aku tidak pernah jatuh cinta seperti sekarang.Kurebahkan tubuh pada tempat tidur dan menatap langit-langit kamar. Berbagai kenangan berputar di dalam ingatan. Hari-hari yang kulalui bersamanya. Hari kelulusan SMK paling berkesan. Karena di depan seluruh temanku, Dwiyan menyatakan cinta dan memberikan dua belas bunga kertas yang sangat cantik. Alasannya memilih bunga lili kertas agar tidak cepat layu hingga menjadi awet. Seperti hubungan kami berdua yang diharapkan langgeng.Bunga lili kertas berwarna-warni itu kutaruh di dalam vas bening di atas meja rias. Di sebelah kanan pintu kamar. Bersebelahan dengan pintu masuk terdapat bingkai foto kedua orangtuaku yang memeluk bayi mungil dan tersenyum polos. Bayi itu adalah diriku. Sembilan belas tahun lalu. Aku merasa bersalah sekarang. Karena belum bisa menepati janji untuk menjauhi Dwiyan. Aku tahu kalau orangtuaku memiliki alasan kenapa melarangku untuk berpacaran dengannya. Tapi, aku yakin pada keputusan yang telah kupilih.Dwiyan memang bukan dari keluarga yang utuh. Orangtuanya memilih bercerai hingga mereka terpecah sekarang. Kurasa itu bukan alasan tepat meninggalkannya. Aku ingat hari itu hujan deras.Ia menceritakan di telepon bagaimana pertengkaran terakhir orangtuanya berakhir dengan kata cerai –yang mampu didengar oleh seisi rumah. Ada banyak perasaan sedih dirasakan oleh Dwiyan. Ia berbicara seolah-olah dunia telah runtuh. Terdengar rapuh dan kehilangan semangat. Bahkan, tidak dapat melarikan diri.Aku merasa menyesal karena saat itu tidak berada di sampingnya. Meminjamkan bahu untuk tempat bersandar dan menampung kesedihan yang selalu disembunyikan. Keesokan harinya, Dwiyan mendapat berita kalau hasil tes ujian universitasnya buruk. Dan gagal masuk jurusan yang diinginkan.Aku memeluknya, mencoba menghibur. Lalu, membuat beberapa lelucon yang sama sekali tidak lucu. Menjelaskan kalau masih ada tempat kuliah lain yang ada jurusan sastra inggris. Namun, mendengar jawaban darinya membuatku terdiam.Ia harus masuk ke universitas negeri karena dana yang dimiliki ayahnya tidak cukup untuk membayar kuliah di universitas swasta. Akhirnya, aku membujuknya mencoba jurusan lain. Mungkin saja impiannya untuk mempelajari sastra inggris di bangku kuliah bisa diwujudkan saat mendapatkan pekerjaan tetap.Kabar bahagia kudengar seminggu kemudian. Ia diterima di fakultas pertanian. Memang bukan jurusan yang mudah untuk dimengerti. Tapi, Dwiyan bilang benar-benar bersyukur karena bisa meringankan beban orangtuanya.Selain itu, ia berterima kasih padaku. Karena telah menemani dan memberikan semangat. Kalau Dwiyan mencoba mengikuti ujian lain pasti berhasil. Aku percaya selama Dwiyan berusaha bisa mendapatkan hasil terbaik.Waktu itu aku membuatkannya bekal makanan sebelum mengikuti tes tulis. Hal yang bisa kulakukan adalah menyemangati setiap usaha yang dikerjakannya. Seperti sekarang, aku percaya kalau suatu hari nanti kami tidak perlu berpacaran secara sembunyi-sembunyi dan mendapatkan restu dari orangtuaku.Pagi-pagi sekali aku datang membawa sebuah tas kanvas putih. Menentengnya berhati-hati, takut kalau isinya bisa saja tumpah dan merepotkanku. Gumpalan-gumpalan awan putih terlihat menyelimuti langit. Meski pun bisa dibilang pendiam. Aku suka mengamati sekitar. Bagaimana gumpalan awan itu tertiup angin dan menggabungkan diri bersama yang lain. Aku mengambil tempat duduk terdekat dan menunggu kedatangan Dwiyan di kursi taman berpayungkan pohon hijau rindang.Beberapa kali dalam sebulan, baik aku atau Dwiyan berjanji untuk bertemu di tempat ini. Sebuah taman kota yang terletak di pinggir jalan Gatot Subroto. Persis sama dengan taman lain. Terdapat jalan setapak dan pohon-pohon rindang di pinggir jalan. Sayang sekali, aku tidak ingat nama dari tanaman itu. Rumput hijau terbentang luas. Setiap kali ke sini, aku selalu membawa serta rantang plastik dengan berbagai macam lauk. Dulu, kesukaanku terhadap masak bisa dibilang nol persen. Tapi, semenjak berpacaran dengan Dwiyan, aku menjad
Sore hari telah menjelang dengan goresan oranye dan biru membelah langit. Suara-suara sekumpulan burung terbang di langit pun terdengar hingga membuat decakan kagum dariku. Berulang kali, aku menggumamkan kata indah. Kemudian mengendap-ngendap masuk ke kamar dan menyalakan radio. Sepuluh detik sudah berlalu. Berulang kali aku menghitung di dalam hati. Takut seandainya ibu datang dan menanyakan kenapa lama sekali pergi. Dari pagi keluar rumah dan baru sekarang sampai. Tadi, sepulangnya bertemu Dwiyan, aku menyempatkan diri untuk berteduh di rumah sahabatku, Yanti. Siang hari tadi hujan tiba-tiba turun.Karena sudah terlanjur mampir, aku bercerita banyak sekali padanya. Bagaimana pagi hari tadi aku mendapatkan berita buruk dari Dwiyan. Atau, alasan yang kukatakan kepada ibu. Kalau aku bertemu dengannya. Yanti merupakan sahabatku sejak masuk SMP. Setiap kali mendapatkan masalah atau memerlukan bantuan. Ia dengan senang hati membantu.“Sejak kapan Citra datang?” Mendengar sebaris pert
Matahari sore ini seperti membelah diri menjadi dua. Panasnya mampu membuatku berulang kali minum segelas air putih. Sekarang sudah gelas keempat. Lalu, aku kembali berjalan keluar menuju pos mobil. Barusan aku masuk ke dalam kantor. Untuk menghilangkan dahaga. Di sini terdapat empat pos pengisian bensin. Premium untuk motor, premium dan pertamax untuk mobil adalah tempat paling luas. Dua pos terakhir merupakan solar dan pertamax dex. Setiap pos berdampingan meski pun jaraknya berbeda.“Sudah mendingan, Citra?” tanya Agus. Ia adalah seorang pegawai pompa bensin yang paling tinggi di antara teman-teman lain. Walaupun memiliki wajah galak. Ia bersedia direpotkan saat awal-awal aku bekerja di sini.“Ya, lumayan,” jawabku tersenyum simpul. Kemudian mengambil tas pinggang tempat uang kembalian. Setiap kali menjaga pos, kami diberikan modal awal sebelum bekerja.Sebuah mobil Honda Jazz menginterupsi pembicaraan kami. Aku tersenyum. Kemudian menghampiri di dekat jendela mobil dan merendah
Jam satu pagi aku baru sampai di rumah. Karena tadi mampir sebentar untuk membeli nasi kuning di pinggir jalan. Untunglah masih ada yang berjualan di pagi buta. Kalau tidak, aku pasti akan kelaparan dan belum bisa memejamkan mata sampai matahari terbit. Aku berjalan menuju pintu samping dan disambut oleh ibuku yang melipat tangan di depan dada. Hari sudah cukup larut untuk beristirahat. Sekarang malah disambut oleh raut kemarahan. Ada sedikit rasa kecewa. Mulanya aku ingin berlalu saja dan bergegas untuk mengganti baju lalu mandi. Tapi, tangan ibu keburu menarikku masuk ke kamar.“Ibu sudah peringatkan bukan?” Mendapat pertanyaan tiba-tiba seperti itu membuatku berpikir sejenak. Mulai menerka-nerka peringatan apa yang dimaksud.Setelah belasan kali berkedip, aku baru sadar. Kalau ibuku tengah membahas perihal Dwiyan. Aku sudah cukup lama tidak menemuinya. Walaupun rasanya kangen sekali. Tapi, kehadiran ibu sekarang justru mengingatkanku pada peringatan untuk mengakhiri hubunganku
Hari sabtu jam tujuh malam. Aku berdiri di pinggir Jalan Melati. Di depan bangunan penyiaran radio kosong dan termakan usia. Dengan dedaunan liar yang tumbuh di temboknya. Rasanya bukan hanya dinginnya malam yang kurasakan. Mungkin saja, ada makhluk-makhluk tak kasat mata yang menemaniku di sini. Tapi, aku menahan diri untuk berada di sini. Aku bukannya ingin uji nyali dengan mengunjungi gedung kosong yang sudah digembok pagarnya. Namun, aku sedang menunggu Dwiyan. Tadi melalui pesan singkat, ia menjelaskan ingin bertemu di sini. Sesekali malam mingguan bukan hal buruk menurutku. Malahan, aku senang mendengarnya ingin bertemu.Aku tidak menghabiskan malam minggu di gedung kosong mengerikan ini. Di sini kami hanya bertemu. Lalu, bersama-sama menuju tempat makan. Lalu lintas di depanku sangat padat. Sesekali mereka melirik dan bersiul. Membuatku ingin cepat-cepat pergi. Bahkan, merutuki dalam hati mengapa Dwiyan menyuruhku menunggu di sini. Padahal, aku tidak memakai pakaian minim. T
Bulan Oktober tiba dengan cepat. Sudah lima bulan aku bekerja di pompa bensin. Sekarang, aku sudah hafal nama teman-teman operator bensin. Bahkan, berteman baik dengan mereka semua. Selain aku yang bekerja di sini. Ada seorang lagi gadis yang bernama Dian. Ia terpaut dua tahun lebih tua dariku. Dian menceritakan kalau pergi dari tanah kelahirannya karena masalah ekonomi. Gadis itu berasal dari Banyuwangi. Kulitnya sawo matang –karena terbakar sinar matahari- dengan kantong mata yang lumayan tebal. Menurut ceritanya, ia sudah bekerja selama setahun. Dan belum pulang kampung sama sekali.Sekarang giliranku berjaga dengannya di pos mobil. Dibandingkan aku, Dian memiliki tinggi lebih rendah. Juga memiliki tubuh lebih ramping. Kalau aku biasanya tidak menjaga pola makan. Apalagi kalau lapar di pagi buta. Aku akan membeli makanan apa saja. Asalkan bisa mengganjal perutku yang keroncongan. Dian terlihat berjalan menuju ke arahku, lalu memberikan uang seratus ribu.“Kamu ada tukaran uang?
Aku melangkah menuju ruang loker dan berpamitan istirahat duluan kepada Ngurah. Yang disapa hanya tersenyum. Lalu, kembali mengisi bensin. Di saat seperti sekarang, waktu itu terasa sangat berharga. Bagi operator bensin seperti kami. Karena hanya memiliki beberapa menit untuk beristirahat. Itulah mengapa waktu sangat berharga di sini. Karena pembeli terus saja berdatangan. Kecuali menjelang larut malam.Setelah sampai di pintu depan ruang loker. Aku mendorong pelan dan menyangga dengan balok kayu. Setelah itu aku mengambil kursi kayu untuk bersandar pada tembok. Dan, membuka kotak makanan yang kubawa. Menunya sangat menggugah selera. Selain nasi yang porsinya cukup untuk membuatku kekenyangan. Ada juga ayam sisit pedas, mi goreng dengan banyaknya sayuran, separuh telur asin, dan satu tusuk sate lilit. Melihatnya saja sudah bisa membuatku merasakan lapar berkali lipat.Aku meminum air mineral melalui botol dan menyuapkan satu sendok makan penuh nasi dan lauk. Aku tersenyum simpul. Me
Aku memeluk kedua lutut. Hatiku masih hancur berantakan. Sebuah perasaan aneh menghinggapi dalam rongga dada. Kecewa, sedih, dan berat pada waktu bersamaan. Aku masih memandangi langit yang kelam dari balik jendela. Suara serangga malam terdengar. Lebih banyak suara kucing dan anjing yang tengah berkejar-kejaran. Mungkin aku tengah berhalusinasi. Entahlah, aku juga bingung untuk menjabarkannya.Tubuhku masih bersandar pada lemari kayu di depan kasur. Melihat jarum jam yang terus menerus bergerak dan menambah angka setiap lima menit berlalu. Jam setengah dua belas. Aku tidak ingin mengistirahatkan tubuhku. Membuat pemikiran-pemikiran baru mengacaukanku. Seperti, mengirimkan pesan singkat kepada Dwiyan. Berkata kalau pesan singkat yang kukirimkan kemarin hanya sebuah salah paham kecil. Aku terlalu kalut. Bingung. Dan tidak tahu harus bercerita mulai dari mana.Hari dimana aku tidak sengaja mendengar percakapan itu dua hari lalu. Membuat rasa takut yang hampir membuatku limbung kar
Sore harinya setelah pulang kerja, aku dan Kak Panggih menghadiri pertunangan Yanti yang dirayakan hanya mengundang keluarga dan teman dekat. Sebelum berangkat ke sini aku sudah meminta ijin kepada Yanti untuk mengajak kekasihku. Karena sebelum mengenalkan kepada keluargaku, aku ingin supaya Yanti terlebih dahulu bertemu Kak Panggih. Supaya mereka bisa menjadi dekat. Kurasa momen ini adalah saat yang tepat.Aku datang tanpa memakai riasan wajah yang mencolok. Hanya memakai foundation cream yang tipis dan bedak tabur. Sentuhan akhir adalah lipstik berwarna merah muda. Untuk pakaian aku memakai dress sebatas lutut berwarna krem yang senada dengan heels. Sedangkan, Kak Panggih memakai kemeja berwarna biru langit dan celana jeans hitam. Rumah Yanti hanya dipenuhi oleh sanak keluarganya. Beberapa saudara dari ibunya yang mengenalku. Atau, teman SMP kami yang sama-sama telah beranjak dewasa. Ada raut wajah keheranan dari mereka. Mungkin enggan menanyakan perihal pria yang aku ajak kali i
Setelah bertemu dengan Yanti, aku pulang cukup malam. Aku baru saja memarkirkan sepeda motorku. Membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam rumah. Pada saat melewati dapur, kulihat Maha sedang makan. Kemudian, mendekatinya yang melambaikan tangan. “Kenapa Maha?” tanyaku saat berada di sampingnya. “Duduk dulu, Kak Citra..” pinta Maha. Kali ini ia berhenti makan, dan mengusap bibirnya dengan tisu. Untuk beberapa detik, ia pun memandang penuh tanya kepadaku. “Ada apa? Tumben wajahmu sampai serius begitu,” tanyaku lagi. Karena Maha sama sekali tidak menjawabku. Entahlah. Sepertinya ada yang membuat pandangan mata Maha terlihat begitu berbeda. Aku memahami pribadinya dengan baik. Kalau sudah seperti ini, pasti ada hal yang ingin dibicarakan. Dibandingkan kedua orangtuaku, Maha lebih memilihku untuk menceritakan segala permasalahan yang dimilikinya. Sama seperti dulu. “Maha ingin menanyakan pendapat Kak Citra..” ucapnya menggantung kalimatnya. Terlihat beberapa kali berpikir, “Kaya
Sudah enam hari berlalu sejak terakhir kali berbicara dengan Yanti melalui sambungan telepon, sahabatku menyampaikan berita membahagiakan. Kalau ia akan segera bertunangan dengan Rangga. Karena acara besok begitu penting baginya, tadi pagi ia buru-buru menghubungiku dan mengajak untuk bertemu saat pulang kerja. Takutnya akan sulit bertemu karena mempersiapkan segala hal yang diperlukan setelah pertunangan. Biasanya kedua keluarga akan membicarakan pernikahan yang diadakan dalam beberapa bulan ke depan.Untungnya hari ini aku bisa pulang pada jam kerja normal. Dalam satu minggu, aku bisa dua atau tiga kali lembur kerja. Karena mengerjakan beberapa laporan harian yang jumlahnya cukup banyak. Apalagi kalau pengisian mesin ATM di hari jumat. Orang-orang terbiasa mengambil uang di mesin ATM sebelum weekend. Kali ini kami bertemu di salah satu Mal terkenal di Denpasar Timur, Ramayana Mal. Barang-barang yang dijual di sini bisa dibilang tidak terlalu mahal. Baik itu makanan yang dijual pa
Hari-hari berlalu dengan cepat. Sama seperti hal yang telah kulewati. Bisa dibilang setiap hari aku bertemu dengan Kak Panggih dan membicarakan banyak hal. Mengenai pekerjaan di kantor, atau perihal hubungan kami. Kak Panggih menjelaskan kalau orangtuanya ingin berbicara denganku minggu depan. Tentu saja mendengar hal itu membuatku merasa bahagia sekaligus khawatir. Aku tidak tahu tanggapan orangtuanya mengenai diriku. Apakah akan menyukaiku atau tidak? Yang pasti Kak Panggih sudah berusaha untuk memperjuangkan hubungan kami. Tiba-tiba aku kembali teringat dengan Dwiyan. Sejak pertemuan terakhir, ia memblokir semua media sosial milikku. Begitu juga nomor ponselku. Sejujurnya aku merasa sedikit bersalah. Karena aku yang memutuskan secara sepihak sebelumnya. Namun, kalau dipikirkan lagi, Dwiyan sama sekali tidak mencoba untuk mempertahankan hubungan yang terjalin. Sehingga aku pun pada akhirnya menyerah. Walaupun hubungan yang kujalani dengan Kak Panggih belum diketahui oleh orangtu
Aku baru saja selesai mandi dan sedang berpakaian. Tindakan nekat tadi masih terbayang olehku. Untungnya saja Kak Panggih menyelesaikannya dengan cepat. Kalau tidak, mungkin akan diketahui oleh pegawai lainnya. Aku memegangi pipiku yang terasa panas. Baru kali ini aku melakukan hal yang bisa dibilang cukup berani. Jam sepuluh malam aku baru sampai di rumah, lalu bergegas mandi. Untung saja orangtuaku sudah tidur. Karena sejak awal kedatanganku, pintu kamar tertutup rapat. Kecuali kamar Maha yang setengah terbuka. Biasanya jam segini adikku masih disibukkan dengan tugas sekolahnya. Tadi aku sempat mendengar suaranya samar-samar. Namun, aku buru-buru memasuki kamarku untuk bergegas mandi. Aku terpaku memandang pantulan tubuhku pada cermin. Masih terbayang jelas pengalaman pertama yang kurasakan. Bagaimana Kak Panggih menyusuri tiap lekuk tubuhku. Memberikan sentuhan yang membuatku terlena dan terasa sedikit menyakitkan. Bahkan, jantungku berdebar kencang hanya dengan membayangkan ke
Karena menghabiskan waktu sampai satu jam lebih untuk beristirahat, aku pun terpaksa harus lembur kerja hari ini. Seperti biasa, aku baru saja selesai mengirimkan pesan kepada ibuku kalau akan pulang sedikit malam. Untung saja Kak Sugeng membantu sebagian pekerjaanku, sehingga aku hanya perlu menyelesaikan laporan harian dan bulanan. Hari ini atasanku tidak masuk kerja. Kalau tidak, aku pasti sudah mendapatkan masalah. Aku jadi merasa tidak enak. Mungkin lain kali aku harus menolak ajakan Kak Panggih ke kosnya dalam waktu dekat. Bekas percintaan tadi siang masih jelas terasa. Kewanitaanku terasa perih. Baru kali ini aku merasa benar-benar berdebar hanya dengan memikirkan hal yang telah terjadi. Di saat aku sedang sibuk menginput data pada komputer, aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Lalu, aku pun menoleh dan mendapati Kak Panggih berdiri di hadapanku dengan senyuman lebar.“Kerjaan Kak Panggih sudah selesai?” tanyaku sambil tersenyum malu-malu. Mengingat kejadian t
Aku masih memejamkan mata dan meremas sprei gemas. Napasku masih memburu. Karena jilatan dan hisapan dari bibir Kak Panggih. Melihatku yang semakin melebarkan kedua kakiku, membuat Kak Panggih tersenyum genit.“Mmhh.. Geli Kak..” desahku pelan. Mencoba untuk mengontrol suaraku. Takutnya akan ada yang mendengar. “Tapi, enak kan?” tanya Kak Panggih terdengar menggodaku.“Iya..” jawabku malu-malu.“Sini, cobain yang lebih enak, Dik..”Kak Panggih pun bangkit berdiri. Kemudian, menarik tanganku untuk ikutan berdiri. Kali ini ia menanggalkan seluruh pakaian yang masih menempel di tubuhku. Setelah itu, Kak Panggih melepaskan kaos miliknya. Sehingga kami benar-benar telanjang bulat.Melihatku yang malu-malu, Kak Panggih justru merangkul pinggangku. Mendekatkan wajahnya dan kembali menciumi bibirku. Tangan kanannya pun meremas dadaku. Aku bisa merasakan kebanggaan miliknya yang tegang berulang kali menyentuh kewanitaanku yang basah. Aku membalas ciuman panas itu, bahkan karena terbaw
Siang ini, tidak biasanya Kak Panggih mengajakku untuk makan siang bersama. Awalnya aku berpikir kalau Kak Panggih akan mengajak makan di luar. Justru sebaliknya. Kami sekarang duduk berhadapan sambil menikmati nasi rendang. Tadi, sebelum ke kos Kak Panggih, kami mampir ke rumah makan padang dan memesan dua porsi nasi rendang.Selain sayur nangka yang gurih, rendangnya pun empuk dan sedikit pedas. Sedangkan untuk nasinya benar-benar pulen. Aku suka rasa unik dari sambal hijaunya. Terkesan cukup pedas dan gurih. Kombinasi yang benar-benar pas.Biasanya kalau sedang makan, Kak Panggih suka membicarakan banyak hal. Tumben hari ini tidak banyak bicara. Padahal tadi bilang ingin mengatakan sesuatu. Sekitar tiga puluh menit berlalu. Aku dan Kak Panggih pun telah menyelesaikan makan. Setelah itu merapikan sampahnya. Kak Panggih terlihat mengambil piring kotor, gelas, dan sendok yang tadi kami gunakan. Aku pun kembali duduk bersandar pada tembok. Sambil memperhatikan punggung bidang Kak
Hari rabu, jam delapan malam, setelah pulang kerja, aku pun seperti biasa harus kontrol ke Dokter Psikiater. Karena obatku hanya tinggal beberapa tablet untuk seminggu. Sudah lima belas menit aku menunggu di lantai tiga. Ada beberapa pasien dari ruangan dokter yang lain terlihat menunggu di bangku kayu sebelahku. Di hadapanku adalah ruang praktik Dokter Gigi. Dan, ruangan di pojok sebelah kanan di dekat tangga adalah praktik Dokter Spesialis Anak.Aku menumpukan kedua telapak tangan di pangkuanku. Tanpa sadar, aku tersenyum tipis. Akhir-akhir ini banyak hal-hal terjadi di luar dugaan. Salah satunya adalah kebahagiaan yang kurasakan karena suasana hangat di keluargaku.Selain itu hubunganku dengan Kak Panggih pun membaik. Meskipun aku belum mengenal orangtuanya. Mungkin kalau ada kesempatan, aku berniat untuk mengenal orangtua Kak Pak Panggih.Hanya saja, aku belum sempat menceritakan perihal penyakitku kepada kekasihku. Ada perasaan takut kalau Kak Panggih tidak dapat menerima kead