Pagi-pagi sekali aku datang membawa sebuah tas kanvas putih. Menentengnya berhati-hati, takut kalau isinya bisa saja tumpah dan merepotkanku. Gumpalan-gumpalan awan putih terlihat menyelimuti langit.
Meski pun bisa dibilang pendiam. Aku suka mengamati sekitar. Bagaimana gumpalan awan itu tertiup angin dan menggabungkan diri bersama yang lain. Aku mengambil tempat duduk terdekat dan menunggu kedatangan Dwiyan di kursi taman berpayungkan pohon hijau rindang.Beberapa kali dalam sebulan, baik aku atau Dwiyan berjanji untuk bertemu di tempat ini. Sebuah taman kota yang terletak di pinggir jalan Gatot Subroto. Persis sama dengan taman lain. Terdapat jalan setapak dan pohon-pohon rindang di pinggir jalan.Sayang sekali, aku tidak ingat nama dari tanaman itu. Rumput hijau terbentang luas. Setiap kali ke sini, aku selalu membawa serta rantang plastik dengan berbagai macam lauk. Dulu, kesukaanku terhadap masak bisa dibilang nol persen.Tapi, semenjak berpacaran dengan Dwiyan, aku menjadi semangat untuk belajar memasak. Dulu alasanku memasak hanya karena keadaan. Ibu selalu sibuk dan harus bekerja setiap hari. Itulah mengapa aku yang mengerjakan semua urusan rumah termasuk memasak. Sekarang aku suka menghabiskan waktu bereksperimen dengan memasak resep baru daripada pergi jalan-jalan bersama teman.Tanganku merogoh ponsel flip di dalam saku jins panjang. Berharap kalau Dwiyan menghubungi. Biasanya siapa pun yang sampai duluan pasti memberitahu lokasinya. Tadi sewaktu sampai di sini, langsung mengirimkan pesan singkat kalau menunggu di depan lampu taman. Di tempat anak-anak kecil yang biasanya bersepeda. Sudah tiga puluh menit berlalu, tapi kehadirannya belum bisa dipastikan.Banyak sekali pemikiran datang dan pergi. Meski pun harus kuakui lebih banyak pemikiran buruk jika Dwiyan sengaja melupakan janji karena latihan band sepulang kuliah. Aku mulai kesal karena janji-janji tidak tertepati olehnya. Selalu saja alasan yang sama. Setiap kali meminta maaf, beberapa hari kemudian Dwiyan mengingkari janji yang sama seperti hari jumat lalu.“Sudah lama?”Aku menoleh dan melihat Dwiyan sudah duduk di sebelahku membawa sebuah CD player berwarna perak. Menurut ceritanya pemutar musik ini dimilikinya sejak dua tahun lalu. Saat berulang tahun ke tujuh belas. Bundanya memberikan hadiah pemutar musik karena tahu ketertarikan Dwiyan terhadap musik, lagu, gitar dan hal-hal yang berhubungan dengan itu.“Nggak kok. Aku sampai berakar di sini,” jawabku sedatar mungkin, memasang wajah sangat memaklumi tindakan Dwiyan. Yang selalu melupakan janji kami. Padahal aku sudah mengatakannya seminggu sebelum kami bertemu.Ia malah tertawa kecil mendengarnya. Lalu, menepuk pelan puncak kepalaku. “Kalau itu sih lama, Citra. Maaf, kali ini aku benar-benar mendapat sebuah masalah.”Dwiyan memang suka bercanda. Setiap bertemu pasti selalu ada candaan yang membuatku tertawa lepas. Padahal sebuah perasaan sedih tengah bersarang di hati. Mendengar kalimat barusan kurasa bukanlah candaan. Aku berharap masalah yang dikatakan tidak seburuk pemikiranku.“Kamu ingat lagu yang aku ciptakan?” Ia bertanya dengan wajah teramat sedih.Dua minggu lalu, Dwiyan menunjukkan lagu ciptaannya kepadaku. Yang menurutku tidak biasa. Mereka belum pernah bermain musik dengan lembut karena menyukai musik keras seperti rock. Tapi, petikan gitar akustik, pukulan pada drum yang mengikuti dan suara khas Dwiyan membuat lagu itu terdengar sempurna.“Ya, aku ingat. Memangnya kenapa? Apakah terjadi sesuatu?” tanyaku penuh kecemasan. Aku bahkan takut kalau apa yang kupikirkan benar adanya.Ia tidak langsung menjawab, melainkan menyelipkan sebelah earphone pada telingaku. Detik berikutnya, aku dapat mendengar petikan gitar dan suara seseorang. Bukan suara khas milik Dwiyan. Namun, seorang pria dengan suara beratnya dan sedikit serak. Ada yang diubah. Kata-kata di dalam lagu yang diciptakan oleh Dwiyan adalah beberapa kalimat bahasa inggris dan terdengar manis. Berbeda jauh dari ini. Semuanya adalah bahasa indonesia dengan menyisipkan beberapa ungkapan bahasa inggris yang sulit dimengerti.“Lagu ini sudah rilis. Bahkan di seluruh Indonesia. Awalnya kukira cuma kebetulan. Namun, panitia lomba mendiskualifikasi karena berpendapat bahwa aku yang menjiplak.”Dwiyan mengakhiri kata-kata itu dengan bernapas dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan. Kurasa ia benar-benar kecewa dan marah. Aku bingung. Orang yang telah menjiplak lagunya tahu dari mana? Tapi, kenapa panitia justru menuduh Dwiyan? Padahal CD lagu telah dikirim dua minggu sebelum lagu yang tengah kudengar sekarang rilis.“Sungguh, aku nggak menyangka. Apa kamu baik-baik saja?” tanyaku ragu. Pasti Dwiyan kecewa. Apalagi ini adalah perlombaan pertama yang diikuti. Aku mengerti kenapa ia merasa kalau semuanya adalah masalah.Dwiyan meraih lengan kiriku. Kemudian menautkan jari-jari kami. “Lagu itu mewakili perasaanku terhadapmu, Citra. Bagaimana terasa ringan dan berat di waktu bersamaan.”Pandangan matanya menatap lurus ke depan. Bahkan, tidak terganggu olehku yang menatap secara terang-terangan. Raut wajah itu begitu terluka. Selama mengenalnya dua tahun lalu, ia mampu menyembunyikan setiap masalah dan rasa sakit yang dirasakannya. Namun sekarang, ia menunjukkan seluruh kekecewaannya.“Aku tahu, Yan.. Kamu juga pernah menceritakannya,” ujarku menimpali. Lalu, menyentuh telapak tangan kami yang tengah bertautan penuh kasih. Aku mengusap punggung tangannya, “Semua pasti berlalu. Sama halnya dengan masalah ini,” lanjutku berusaha meyakinkan.“Ya, semua pasti berlalu. Aku nggak mempermasalahkan dikeluarkan dari lomba. Hanya saja, lagu ini kutulis untuk membahasakan perasaanku. Betapa hari-hari yang kulalui terasa semakin berat jika tidak melihatmu sekali saja.”“Dwiyan..”Aku kehilangan kata-kata. Semua pengakuan Dwiyan baru saja kudengar. Ia bukan sosok pacar yang selalu romantis atau mempunyai banyak waktu menemaniku setiap hari. Tapi, mendengar pengakuannya seperti menyadari sebuah ruang di hatinya yang sama sekali belum tersentuh olehku. Mungkin itulah alasan meski pun sibuk, Dwiyan selalu menyempatkan diri untuk bertemu.“Berulang kali aku menahan perasaan untuk menemuimu di tengah malam. Karena hanya dengan menatap wajahmu bisa menenangkan segala keresahan yang kurasakan. Aku jadi mempunyai tujuan untuk pulang. Ke hati yang selalu menyambutku dengan keramahan.”Seulas senyum aku sunggingkan. Sedikit tidak percaya kalau kata-kata manis itu memang dikatakan oleh Dwiyan. Setelah berpacaran, ia jarang menunjukkan kepeduliannya. Membuatku berpikir kalau mungkin saja Dwiyan mulai bosan. Sekarang semua itu terpatahkan mendengar pengakuannya barusan.“Aku sungguh nggak tau kalau kamu menganggapku demikian,” ucapku menatap kedua matanya yang terluka. Sekarang orang lain memang menjiplak karya pertama Dwiyan, tapi aku yakin dengan kemampuan yang dimilikinya, ia pasti bisa menciptakan lagu lain. “Terima kasih,” lanjutku kemudian mengecup pipi kanannya.Sebuah tindakan berani. Selama satu tahun lebih berpacaran, tidak sekali pun terlintas di benakku untuk melakukan tindakan kecil barusan. Aku menjauhkan wajah dan menatap wajahnya. Ada sebuah keterkejutan terlihat.Beberapa menit kemudian, ia malah tersenyum menggoda. Melihat kesalahan besar yang kulakukan hari ini, aku memilih menunduk. Menahan segala perasaan di dalam rongga dada. Seakan ada segerombolan kuda berlari dan membuatnya terasa berat.“Wah, aku nggak nyangka lho..” ujarnya lalu menepuk pundakku berulang kali. Namun, aku masih tetap menunduk dan menumpukan kedua tangan yang mulai berkeringat.“Apa sih?” tanyaku dengan wajah memberengut yang tertutup helaian rambut panjang. Aku masih belum berani memandang Dwiyan. Karena aku benar-benar yakin kalau ia nanti meledekku habis-habisan.“Nggak apa kok. Kenapa masih menunduk? Sini, lihat aku..” ucapnya menggoda. Sekarang, jemarinya justru mencoba menggelitiki pinggang. Membuatku terpaksa memegangi tangan hingga pandangan kami kembali bertemu.“Nih, sudah kan?” tanyaku menahan rasa malu yang sejak tadi masih kurasakan. Kenapa hari ini Dwiyan iseng sekali? Padahal ia paham sifatku. Jika didesak pasti menjadi bertambah gugup.Ia tertawa keras sekali. Sampai orang lain yang melintas memperhatikan. Tapi, aku tidak keberatan menjadi tontonan di sini. Asalkan bisa melihat tawa bahagianya. Raut wajahnya berubah sumringah seakan menggodaku saja bisa mengembalikan semangatnya. Beberapa kali aku bertanya apa yang ia sukai dariku. Dan sebaris kalimat itu membuatku bertanya-tanya.“Kamu memang sup ayamku.”Ya, kata-kata itu lagi dilontarkannya. Aku masih belum paham maksud sup ayam dari kalimat barusan. Setiap kali menanyakannya, ia selalu saja memicu pertengkaran kecil. Dan, aku pasti mendiamkannya seharian. Mengabaikan telepon dan pesan singkat yang dikirimkan setiap menit. Benar-benar menyebalkan setiap kali mengingatnya.“Tuh, kan. Kamu ngomong seperti itu lagi,” gerutuku menekuk kedua tangan. Aku penasaran cukup lama mengartikan maksud kata-kata Dwiyan. Justru melihatku ngambek, ia malah menarik hidung mancungku dan mengacak rambut.“Memangnya kenapa?” tanya Dwiyan dengan nada terheran. “Aku akan memberitahukan artinya jika kita benar-benar putus,” lanjutnya tersenyum jahil.Apakah ia bercanda? Bagaimana mungkin berpikiran kalau kami nantinya putus? Sedikit pun pikiran itu tidak ada di dalam benakku. Aku takut berandai-andai kalau kami pergi ke jalan masing-masing. Tanpa menengok ke belakang dan menemukan raut penyesalan. Membayangkannya saja membuat perasaanku tidak enak.“Bercandamu keterlaluan, Dwiyan. Aku nggak pernah membayangkan kalau kita putus. Meski pun nggak ada hal yang mustahil di dunia ini. Namun, sebisa mungkin aku pasti mempertahankanmu. Perasaan kita,” jelasku panjang lebar.Tiba-tiba saja perasaanku dihujani rasa ketakutan teramat sangat. Gelombangnya jauh lebih besar dari sebelumnya. Aku bahkan tidak tahu apakah masih bisa tersenyum jika ia berpaling dan meninggalkanku demi gadis lain. Banyak sekali pemikiran-pemikiran buruk berseliweran di dalam pikiran. Aku berusaha mengenyahkan dengan memikirkan hal lain yang membuatku kembali tersenyum. Seperti menangkap jelas raut wajah pemuda di sebelahku.“Maaf, aku hanya ingin sedikit menghibur,” terangnya. Kemudian mengambil rantang yang kubawa dan tersenyum lebar. “Aku lapar. Bagaimana kalau kita mulai memakannya?”Aku menyikut perutnya lalu tertawa bersama. Dwiyan membuka tutup rantang dan menaruhnya di pangkuan. Ia tersenyum menghirup aroma dari masakanku. Kalau menurutku, ayam sisit pedas yang kubuat cukup untuk membuatnya terkagum.Dengan warna merah terang dari sambal yang tercampur pada ayam. Atau, sedikit perasan air jeruk nipis untuk menambah aroma dari masakan. Ia bahkan sudah menyendokkan satu sendok makan penuh ayam sisit dan mengunyah dengan terburu-buru.“Enak..” gumamnya dengan senyuman khas anak kecil yang berhasil mendapatkan permen setelah merengek. Kurang lebih begitu ekspresinya sekarang.“Tentu saja enak, aku yang membuatnya..” jawabku percaya diri. Padahal untuk membuat masakan enak ini perlu waktu lama belajar. Beberapa kali kegagalan. Di mana hanya terasa pedas atau sangat asin. Menurut perhitunganku, ini sudah kelima kalinya mencoba. Sejak pertama mempelajari resep ayam sisit pedas.“Iya aja deh. Biar cepat.”“Jahat, kan memang benar kalau masakanku enak..” jawabku membela diri. Padahal aku lebih semangat belajar memasak karena dia.Seringkali Dwiyan bercerita, kalau sepulang kuliah tidak ada makanan tersaji di dapur. Karena kakaknya sibuk bekerja, begitu pula ayahnya. Maka hal yang dapat ia lakukan hanya menyeduh mie dalam gelas.Aku pasti mengomel satu jam penuh kalau sering memakan mie tidak sehat sama sekali. Lalu, aku mulai sering memasak makanan sehat. Dan, masakan yang berhasil selalu kubawa untuk berbagi dengan sahabatku –itulah alasan yang kulontarkan kepada Ibu setiap kali ditanya.“Hahaha, iya memang enak kok. Terima kasih, Citra.” Setelah mengucapkannya, Dwiyan kembali menyendokkan nasi dan ayam sisit juga sayur cah kangkung yang pedasnya cukup untuk membuatku berurai air mata. Karena aku sama sekali tidak menyukai makanan pedas. Padahal, hampir seluruhnya masakan Bali itu rasanya pedas. Aku lebih suka makanan yang manis seperti semur ayam kecap.“Sama-sama, Dwiyan. Ah ya, kenapa kamu suka sekali makanan pedas?” tanyaku keheranan. Aku juga sering menanyakan ini. Dan ia tidak menjawab apa pun dan hanya tersenyum.“Karena makanan pedas itu enak,” jawabnya singkat.Biasanya Dwiyan akan menjawab singkat dari setiap pertanyaan yang kulontarkan. Dan, ia lebih banyak diam. Alasannya tidak menawariku makan arena aku sudah lebih dahulu makan sebelum membawa bekal ke sini. Tentu saja bukan masakan pedas yang kumakan.Ia sudah tahu itu sejak pertama kali membawakannya makanan. Aku tidak mungkin memberikan masakan gagal, karena itulah aku selalu mencoba sedikit untuk memastikan kalau rasanya enak.Aku memandangi wajah Dwiyan sewaktu menikmati tiap sendok dari masakanku. Ia terlihat sangat menyukai menu yang kubawakan hari ini. Sudah sangat lama ia tidak memakan masakan bundanya. Apalagi bertemu. Berbulan-bulan Dwiyan menghindari Bunda. Bukan karena kesal, melainkan masih belum bisa menerima alasan kenapa meninggalkan ayahnya.“Nggak semua makanan pedas itu enak. Kamu kan dari Yogyakarta, biasanya orang-orang di sana memakan gudeg. Gudeg itu manis. Memangnya kamu nggak suka masakan manis?”Dwiyan menaruh sendok makan lalu berpikir untuk beberapa menit. “Nggak terlalu. Apalagi jika rasanya terlalu manis. Ya, aku memang orang Yogyakarta tapi lebih suka makanan pedas. Lalu, kamu gadis Bali malah nggak bisa makan pedas.”“Haha, benar juga sih. Mungkin tergantung selera masing-masing orang.”Apa yang dikatakan oleh Dwiyan ada benarnya. Aku yang asli orang Bali tidak menyukai makanan pedas. Walaupun Ibu sering memasak ayam betutu super pedas atau ikan cakalang bumbu sambal matah. Aku masih mengamatinya makan dengan lahap. Sebenarnya, hatiku tidak benar-benar tenang. Masih memikirkan masalah hubungan kami ke depannya. Seperti sedang bertaruh hal tidak pasti namun aku mempercayakan semua kepada Dwiyan. Ia pasti berusaha. Aku yakin.Sore hari telah menjelang dengan goresan oranye dan biru membelah langit. Suara-suara sekumpulan burung terbang di langit pun terdengar hingga membuat decakan kagum dariku. Berulang kali, aku menggumamkan kata indah. Kemudian mengendap-ngendap masuk ke kamar dan menyalakan radio. Sepuluh detik sudah berlalu. Berulang kali aku menghitung di dalam hati. Takut seandainya ibu datang dan menanyakan kenapa lama sekali pergi. Dari pagi keluar rumah dan baru sekarang sampai. Tadi, sepulangnya bertemu Dwiyan, aku menyempatkan diri untuk berteduh di rumah sahabatku, Yanti. Siang hari tadi hujan tiba-tiba turun.Karena sudah terlanjur mampir, aku bercerita banyak sekali padanya. Bagaimana pagi hari tadi aku mendapatkan berita buruk dari Dwiyan. Atau, alasan yang kukatakan kepada ibu. Kalau aku bertemu dengannya. Yanti merupakan sahabatku sejak masuk SMP. Setiap kali mendapatkan masalah atau memerlukan bantuan. Ia dengan senang hati membantu.“Sejak kapan Citra datang?” Mendengar sebaris pert
Matahari sore ini seperti membelah diri menjadi dua. Panasnya mampu membuatku berulang kali minum segelas air putih. Sekarang sudah gelas keempat. Lalu, aku kembali berjalan keluar menuju pos mobil. Barusan aku masuk ke dalam kantor. Untuk menghilangkan dahaga. Di sini terdapat empat pos pengisian bensin. Premium untuk motor, premium dan pertamax untuk mobil adalah tempat paling luas. Dua pos terakhir merupakan solar dan pertamax dex. Setiap pos berdampingan meski pun jaraknya berbeda.“Sudah mendingan, Citra?” tanya Agus. Ia adalah seorang pegawai pompa bensin yang paling tinggi di antara teman-teman lain. Walaupun memiliki wajah galak. Ia bersedia direpotkan saat awal-awal aku bekerja di sini.“Ya, lumayan,” jawabku tersenyum simpul. Kemudian mengambil tas pinggang tempat uang kembalian. Setiap kali menjaga pos, kami diberikan modal awal sebelum bekerja.Sebuah mobil Honda Jazz menginterupsi pembicaraan kami. Aku tersenyum. Kemudian menghampiri di dekat jendela mobil dan merendah
Jam satu pagi aku baru sampai di rumah. Karena tadi mampir sebentar untuk membeli nasi kuning di pinggir jalan. Untunglah masih ada yang berjualan di pagi buta. Kalau tidak, aku pasti akan kelaparan dan belum bisa memejamkan mata sampai matahari terbit. Aku berjalan menuju pintu samping dan disambut oleh ibuku yang melipat tangan di depan dada. Hari sudah cukup larut untuk beristirahat. Sekarang malah disambut oleh raut kemarahan. Ada sedikit rasa kecewa. Mulanya aku ingin berlalu saja dan bergegas untuk mengganti baju lalu mandi. Tapi, tangan ibu keburu menarikku masuk ke kamar.“Ibu sudah peringatkan bukan?” Mendapat pertanyaan tiba-tiba seperti itu membuatku berpikir sejenak. Mulai menerka-nerka peringatan apa yang dimaksud.Setelah belasan kali berkedip, aku baru sadar. Kalau ibuku tengah membahas perihal Dwiyan. Aku sudah cukup lama tidak menemuinya. Walaupun rasanya kangen sekali. Tapi, kehadiran ibu sekarang justru mengingatkanku pada peringatan untuk mengakhiri hubunganku
Hari sabtu jam tujuh malam. Aku berdiri di pinggir Jalan Melati. Di depan bangunan penyiaran radio kosong dan termakan usia. Dengan dedaunan liar yang tumbuh di temboknya. Rasanya bukan hanya dinginnya malam yang kurasakan. Mungkin saja, ada makhluk-makhluk tak kasat mata yang menemaniku di sini. Tapi, aku menahan diri untuk berada di sini. Aku bukannya ingin uji nyali dengan mengunjungi gedung kosong yang sudah digembok pagarnya. Namun, aku sedang menunggu Dwiyan. Tadi melalui pesan singkat, ia menjelaskan ingin bertemu di sini. Sesekali malam mingguan bukan hal buruk menurutku. Malahan, aku senang mendengarnya ingin bertemu.Aku tidak menghabiskan malam minggu di gedung kosong mengerikan ini. Di sini kami hanya bertemu. Lalu, bersama-sama menuju tempat makan. Lalu lintas di depanku sangat padat. Sesekali mereka melirik dan bersiul. Membuatku ingin cepat-cepat pergi. Bahkan, merutuki dalam hati mengapa Dwiyan menyuruhku menunggu di sini. Padahal, aku tidak memakai pakaian minim. T
Bulan Oktober tiba dengan cepat. Sudah lima bulan aku bekerja di pompa bensin. Sekarang, aku sudah hafal nama teman-teman operator bensin. Bahkan, berteman baik dengan mereka semua. Selain aku yang bekerja di sini. Ada seorang lagi gadis yang bernama Dian. Ia terpaut dua tahun lebih tua dariku. Dian menceritakan kalau pergi dari tanah kelahirannya karena masalah ekonomi. Gadis itu berasal dari Banyuwangi. Kulitnya sawo matang –karena terbakar sinar matahari- dengan kantong mata yang lumayan tebal. Menurut ceritanya, ia sudah bekerja selama setahun. Dan belum pulang kampung sama sekali.Sekarang giliranku berjaga dengannya di pos mobil. Dibandingkan aku, Dian memiliki tinggi lebih rendah. Juga memiliki tubuh lebih ramping. Kalau aku biasanya tidak menjaga pola makan. Apalagi kalau lapar di pagi buta. Aku akan membeli makanan apa saja. Asalkan bisa mengganjal perutku yang keroncongan. Dian terlihat berjalan menuju ke arahku, lalu memberikan uang seratus ribu.“Kamu ada tukaran uang?
Aku melangkah menuju ruang loker dan berpamitan istirahat duluan kepada Ngurah. Yang disapa hanya tersenyum. Lalu, kembali mengisi bensin. Di saat seperti sekarang, waktu itu terasa sangat berharga. Bagi operator bensin seperti kami. Karena hanya memiliki beberapa menit untuk beristirahat. Itulah mengapa waktu sangat berharga di sini. Karena pembeli terus saja berdatangan. Kecuali menjelang larut malam.Setelah sampai di pintu depan ruang loker. Aku mendorong pelan dan menyangga dengan balok kayu. Setelah itu aku mengambil kursi kayu untuk bersandar pada tembok. Dan, membuka kotak makanan yang kubawa. Menunya sangat menggugah selera. Selain nasi yang porsinya cukup untuk membuatku kekenyangan. Ada juga ayam sisit pedas, mi goreng dengan banyaknya sayuran, separuh telur asin, dan satu tusuk sate lilit. Melihatnya saja sudah bisa membuatku merasakan lapar berkali lipat.Aku meminum air mineral melalui botol dan menyuapkan satu sendok makan penuh nasi dan lauk. Aku tersenyum simpul. Me
Aku memeluk kedua lutut. Hatiku masih hancur berantakan. Sebuah perasaan aneh menghinggapi dalam rongga dada. Kecewa, sedih, dan berat pada waktu bersamaan. Aku masih memandangi langit yang kelam dari balik jendela. Suara serangga malam terdengar. Lebih banyak suara kucing dan anjing yang tengah berkejar-kejaran. Mungkin aku tengah berhalusinasi. Entahlah, aku juga bingung untuk menjabarkannya.Tubuhku masih bersandar pada lemari kayu di depan kasur. Melihat jarum jam yang terus menerus bergerak dan menambah angka setiap lima menit berlalu. Jam setengah dua belas. Aku tidak ingin mengistirahatkan tubuhku. Membuat pemikiran-pemikiran baru mengacaukanku. Seperti, mengirimkan pesan singkat kepada Dwiyan. Berkata kalau pesan singkat yang kukirimkan kemarin hanya sebuah salah paham kecil. Aku terlalu kalut. Bingung. Dan tidak tahu harus bercerita mulai dari mana.Hari dimana aku tidak sengaja mendengar percakapan itu dua hari lalu. Membuat rasa takut yang hampir membuatku limbung kar
Aku tidak ingat berapa lama telah tertidur. Terakhir kali yang kuingat hanyalah beberapa macam memori random. Kelulusan pada masa SMK. Pertama kali bertemu Dwiyan di pentas seni yang penuh sesak. Terakhir, sebuah ingatan yang seharusnya sudah kulupakan. Karena mampu membuatku gemetaran dan melupakan segalanya. Hari dimana teman di pompa bensin berencana untuk memperkosaku. Mataku berkedip berulang kali. Menyesuaikan cahaya dalam ruangan untuk membiasakan diri. Meskipun tidak melihat kaca. Aku yakin kalau mataku bengkak.Gemercik suara hujan turun mulai terdengar. Berikutnya, tetesan air membasahi tanah dan membuat aroma lembab yang kusukai. Kapan pun turun hujan, aku selalu suka memandanginya. Bagaimana tetesan air datang bersamaan. Membuat apa pun yang tersentuh olehnya menjadi basah. Bahkan bisa membuat suhu tubuh manusia menjadi kedinginan. Aku sering kehujanan. Bukan karena datangnya tiba-tiba. Namun, aku suka berdiri di tengah hujan deras dan merentangkan tangan. Menerka-nerka
Sore harinya setelah pulang kerja, aku dan Kak Panggih menghadiri pertunangan Yanti yang dirayakan hanya mengundang keluarga dan teman dekat. Sebelum berangkat ke sini aku sudah meminta ijin kepada Yanti untuk mengajak kekasihku. Karena sebelum mengenalkan kepada keluargaku, aku ingin supaya Yanti terlebih dahulu bertemu Kak Panggih. Supaya mereka bisa menjadi dekat. Kurasa momen ini adalah saat yang tepat.Aku datang tanpa memakai riasan wajah yang mencolok. Hanya memakai foundation cream yang tipis dan bedak tabur. Sentuhan akhir adalah lipstik berwarna merah muda. Untuk pakaian aku memakai dress sebatas lutut berwarna krem yang senada dengan heels. Sedangkan, Kak Panggih memakai kemeja berwarna biru langit dan celana jeans hitam. Rumah Yanti hanya dipenuhi oleh sanak keluarganya. Beberapa saudara dari ibunya yang mengenalku. Atau, teman SMP kami yang sama-sama telah beranjak dewasa. Ada raut wajah keheranan dari mereka. Mungkin enggan menanyakan perihal pria yang aku ajak kali i
Setelah bertemu dengan Yanti, aku pulang cukup malam. Aku baru saja memarkirkan sepeda motorku. Membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam rumah. Pada saat melewati dapur, kulihat Maha sedang makan. Kemudian, mendekatinya yang melambaikan tangan. “Kenapa Maha?” tanyaku saat berada di sampingnya. “Duduk dulu, Kak Citra..” pinta Maha. Kali ini ia berhenti makan, dan mengusap bibirnya dengan tisu. Untuk beberapa detik, ia pun memandang penuh tanya kepadaku. “Ada apa? Tumben wajahmu sampai serius begitu,” tanyaku lagi. Karena Maha sama sekali tidak menjawabku. Entahlah. Sepertinya ada yang membuat pandangan mata Maha terlihat begitu berbeda. Aku memahami pribadinya dengan baik. Kalau sudah seperti ini, pasti ada hal yang ingin dibicarakan. Dibandingkan kedua orangtuaku, Maha lebih memilihku untuk menceritakan segala permasalahan yang dimilikinya. Sama seperti dulu. “Maha ingin menanyakan pendapat Kak Citra..” ucapnya menggantung kalimatnya. Terlihat beberapa kali berpikir, “Kaya
Sudah enam hari berlalu sejak terakhir kali berbicara dengan Yanti melalui sambungan telepon, sahabatku menyampaikan berita membahagiakan. Kalau ia akan segera bertunangan dengan Rangga. Karena acara besok begitu penting baginya, tadi pagi ia buru-buru menghubungiku dan mengajak untuk bertemu saat pulang kerja. Takutnya akan sulit bertemu karena mempersiapkan segala hal yang diperlukan setelah pertunangan. Biasanya kedua keluarga akan membicarakan pernikahan yang diadakan dalam beberapa bulan ke depan.Untungnya hari ini aku bisa pulang pada jam kerja normal. Dalam satu minggu, aku bisa dua atau tiga kali lembur kerja. Karena mengerjakan beberapa laporan harian yang jumlahnya cukup banyak. Apalagi kalau pengisian mesin ATM di hari jumat. Orang-orang terbiasa mengambil uang di mesin ATM sebelum weekend. Kali ini kami bertemu di salah satu Mal terkenal di Denpasar Timur, Ramayana Mal. Barang-barang yang dijual di sini bisa dibilang tidak terlalu mahal. Baik itu makanan yang dijual pa
Hari-hari berlalu dengan cepat. Sama seperti hal yang telah kulewati. Bisa dibilang setiap hari aku bertemu dengan Kak Panggih dan membicarakan banyak hal. Mengenai pekerjaan di kantor, atau perihal hubungan kami. Kak Panggih menjelaskan kalau orangtuanya ingin berbicara denganku minggu depan. Tentu saja mendengar hal itu membuatku merasa bahagia sekaligus khawatir. Aku tidak tahu tanggapan orangtuanya mengenai diriku. Apakah akan menyukaiku atau tidak? Yang pasti Kak Panggih sudah berusaha untuk memperjuangkan hubungan kami. Tiba-tiba aku kembali teringat dengan Dwiyan. Sejak pertemuan terakhir, ia memblokir semua media sosial milikku. Begitu juga nomor ponselku. Sejujurnya aku merasa sedikit bersalah. Karena aku yang memutuskan secara sepihak sebelumnya. Namun, kalau dipikirkan lagi, Dwiyan sama sekali tidak mencoba untuk mempertahankan hubungan yang terjalin. Sehingga aku pun pada akhirnya menyerah. Walaupun hubungan yang kujalani dengan Kak Panggih belum diketahui oleh orangtu
Aku baru saja selesai mandi dan sedang berpakaian. Tindakan nekat tadi masih terbayang olehku. Untungnya saja Kak Panggih menyelesaikannya dengan cepat. Kalau tidak, mungkin akan diketahui oleh pegawai lainnya. Aku memegangi pipiku yang terasa panas. Baru kali ini aku melakukan hal yang bisa dibilang cukup berani. Jam sepuluh malam aku baru sampai di rumah, lalu bergegas mandi. Untung saja orangtuaku sudah tidur. Karena sejak awal kedatanganku, pintu kamar tertutup rapat. Kecuali kamar Maha yang setengah terbuka. Biasanya jam segini adikku masih disibukkan dengan tugas sekolahnya. Tadi aku sempat mendengar suaranya samar-samar. Namun, aku buru-buru memasuki kamarku untuk bergegas mandi. Aku terpaku memandang pantulan tubuhku pada cermin. Masih terbayang jelas pengalaman pertama yang kurasakan. Bagaimana Kak Panggih menyusuri tiap lekuk tubuhku. Memberikan sentuhan yang membuatku terlena dan terasa sedikit menyakitkan. Bahkan, jantungku berdebar kencang hanya dengan membayangkan ke
Karena menghabiskan waktu sampai satu jam lebih untuk beristirahat, aku pun terpaksa harus lembur kerja hari ini. Seperti biasa, aku baru saja selesai mengirimkan pesan kepada ibuku kalau akan pulang sedikit malam. Untung saja Kak Sugeng membantu sebagian pekerjaanku, sehingga aku hanya perlu menyelesaikan laporan harian dan bulanan. Hari ini atasanku tidak masuk kerja. Kalau tidak, aku pasti sudah mendapatkan masalah. Aku jadi merasa tidak enak. Mungkin lain kali aku harus menolak ajakan Kak Panggih ke kosnya dalam waktu dekat. Bekas percintaan tadi siang masih jelas terasa. Kewanitaanku terasa perih. Baru kali ini aku merasa benar-benar berdebar hanya dengan memikirkan hal yang telah terjadi. Di saat aku sedang sibuk menginput data pada komputer, aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Lalu, aku pun menoleh dan mendapati Kak Panggih berdiri di hadapanku dengan senyuman lebar.“Kerjaan Kak Panggih sudah selesai?” tanyaku sambil tersenyum malu-malu. Mengingat kejadian t
Aku masih memejamkan mata dan meremas sprei gemas. Napasku masih memburu. Karena jilatan dan hisapan dari bibir Kak Panggih. Melihatku yang semakin melebarkan kedua kakiku, membuat Kak Panggih tersenyum genit.“Mmhh.. Geli Kak..” desahku pelan. Mencoba untuk mengontrol suaraku. Takutnya akan ada yang mendengar. “Tapi, enak kan?” tanya Kak Panggih terdengar menggodaku.“Iya..” jawabku malu-malu.“Sini, cobain yang lebih enak, Dik..”Kak Panggih pun bangkit berdiri. Kemudian, menarik tanganku untuk ikutan berdiri. Kali ini ia menanggalkan seluruh pakaian yang masih menempel di tubuhku. Setelah itu, Kak Panggih melepaskan kaos miliknya. Sehingga kami benar-benar telanjang bulat.Melihatku yang malu-malu, Kak Panggih justru merangkul pinggangku. Mendekatkan wajahnya dan kembali menciumi bibirku. Tangan kanannya pun meremas dadaku. Aku bisa merasakan kebanggaan miliknya yang tegang berulang kali menyentuh kewanitaanku yang basah. Aku membalas ciuman panas itu, bahkan karena terbaw
Siang ini, tidak biasanya Kak Panggih mengajakku untuk makan siang bersama. Awalnya aku berpikir kalau Kak Panggih akan mengajak makan di luar. Justru sebaliknya. Kami sekarang duduk berhadapan sambil menikmati nasi rendang. Tadi, sebelum ke kos Kak Panggih, kami mampir ke rumah makan padang dan memesan dua porsi nasi rendang.Selain sayur nangka yang gurih, rendangnya pun empuk dan sedikit pedas. Sedangkan untuk nasinya benar-benar pulen. Aku suka rasa unik dari sambal hijaunya. Terkesan cukup pedas dan gurih. Kombinasi yang benar-benar pas.Biasanya kalau sedang makan, Kak Panggih suka membicarakan banyak hal. Tumben hari ini tidak banyak bicara. Padahal tadi bilang ingin mengatakan sesuatu. Sekitar tiga puluh menit berlalu. Aku dan Kak Panggih pun telah menyelesaikan makan. Setelah itu merapikan sampahnya. Kak Panggih terlihat mengambil piring kotor, gelas, dan sendok yang tadi kami gunakan. Aku pun kembali duduk bersandar pada tembok. Sambil memperhatikan punggung bidang Kak
Hari rabu, jam delapan malam, setelah pulang kerja, aku pun seperti biasa harus kontrol ke Dokter Psikiater. Karena obatku hanya tinggal beberapa tablet untuk seminggu. Sudah lima belas menit aku menunggu di lantai tiga. Ada beberapa pasien dari ruangan dokter yang lain terlihat menunggu di bangku kayu sebelahku. Di hadapanku adalah ruang praktik Dokter Gigi. Dan, ruangan di pojok sebelah kanan di dekat tangga adalah praktik Dokter Spesialis Anak.Aku menumpukan kedua telapak tangan di pangkuanku. Tanpa sadar, aku tersenyum tipis. Akhir-akhir ini banyak hal-hal terjadi di luar dugaan. Salah satunya adalah kebahagiaan yang kurasakan karena suasana hangat di keluargaku.Selain itu hubunganku dengan Kak Panggih pun membaik. Meskipun aku belum mengenal orangtuanya. Mungkin kalau ada kesempatan, aku berniat untuk mengenal orangtua Kak Pak Panggih.Hanya saja, aku belum sempat menceritakan perihal penyakitku kepada kekasihku. Ada perasaan takut kalau Kak Panggih tidak dapat menerima kead