Jam satu pagi aku baru sampai di rumah. Karena tadi mampir sebentar untuk membeli nasi kuning di pinggir jalan. Untunglah masih ada yang berjualan di pagi buta. Kalau tidak, aku pasti akan kelaparan dan belum bisa memejamkan mata sampai matahari terbit. Aku berjalan menuju pintu samping dan disambut oleh ibuku yang melipat tangan di depan dada.
Hari sudah cukup larut untuk beristirahat. Sekarang malah disambut oleh raut kemarahan. Ada sedikit rasa kecewa. Mulanya aku ingin berlalu saja dan bergegas untuk mengganti baju lalu mandi. Tapi, tangan ibu keburu menarikku masuk ke kamar.“Ibu sudah peringatkan bukan?” Mendapat pertanyaan tiba-tiba seperti itu membuatku berpikir sejenak. Mulai menerka-nerka peringatan apa yang dimaksud.Setelah belasan kali berkedip, aku baru sadar. Kalau ibuku tengah membahas perihal Dwiyan. Aku sudah cukup lama tidak menemuinya. Walaupun rasanya kangen sekali. Tapi, kehadiran ibu sekarang justru mengingatkanku pada peringatan untuk mengakhiri hubunganku dengan Dwiyan. Aku ingin mengelak dan membahas mengenai hal yang lain. Namun, menghindar bukan gagasan bagus. Karena besok pasti akan ditanyakan lagi. Ditambah lagi, aku terlalu malas membahas masalah yang lalu.“Iya, sudah berulang kali.”Rasanya suasana kamarku yang semula sejuk terasa menyesakkan. Aku bukannya ingin melawan kata-kata ibu. Tapi, pada usiaku sekarang bukan waktunya bermain-main dengan perasaan. Aku memerlukan seseorang yang tahu kekuranganku, namun masih ingin menggenggam tanganku. Bahkan, masih terus berusaha meski pun kerepotan karena tidak mendapat sambutan hangat dari keluargaku.Kulirik telapak tangan ibu yang mengepal. Kedua alisnya menaut seakan tengah berpikir keras. Aku ingin berbicara. Mengatakan semuanya. Apa yang kulihat dari dalam diri Dwiyan hingga sampai sekarang masih mempertahankannya.Ia memang tidak sempurna. Namun kesempurnaan itu terjadi di saat kami berdua bersama. Contohnya, sewaktu aku hanya berani bernyanyi di depannya dengan petikan gitar akustik yang membuat alunan nada di dalam dunia kami. Tidak perlu berkata apa pun, aku bisa mengerti perasaannya dari tatapan mata itu.“Lalu, kenapa sekarang masih melawan? Ibu tidak suka pacarmu itu anak band. Kamu tidak tahu bagaimana pergaulan mereka.”Selama ini jarang sekali aku bisa berbicara empat mata dengan ibuku. Karena lebih sering disibukkan dengan tugas di kantor. Kalau senggang pun ibuku memilih untuk beristirahat lebih awal. Jadinya, selama ini berbagai masalah aku simpan sendiri. Sampai akhirnya ibu mengetahui kalau aku berpacaran. Semua berubah sejak waktu itu.Aku memerlukan seseorang yang dapat kupercaya untuk berbagi. Dan, aku tahu Dwiyan adalah orang tepat. Setiap kali mendapat pemikiran baru mengenai rencana ke depannya. Ia pasti akan menanggapi dengan antusias bahkan selalu memberikan semangat. Mimpi-mimpi yang rasanya sulit terwujud selalu mungkin baginya. Atau, ketika memiliki masalah dengan teman sekolah, Dwiyan adalah tempatku berbagi.Hampir seluruh teman-teman seangkatan dulu mengenalku. Hanya saja untuk menceritakan masalah di rumah atau mengutarakan apa yang kurasakan cukup sulit. Tidak terucap sepatah kata pun ketika aku tiba-tiba menangis di kelas karena mendapat masalah di rumah. Dan mereka memaklumi dengan memelukku erat. Meski pun begitu, aku bahagia mengenal seluruh teman-temanku yang kebanyakan adalah perempuan.“Citra bukannya ingin melawan. Tidak semua anak band seperti yang Ibu katakan. Dwiyan berbeda. Apa Ibu ingin bertemu dengannya?” pertanyaan itu kulontarkan tanpa sengaja. Sejak awal hubungan ini diketahui dan tidak disetujui. Aku belum berani menanyakannya. Takut mendengar jawaban penolakan.“Tetap saja bagi Ibu tindakanmu sekarang adalah bentuk dari perlawanan. Tidak masuk akal rasanya kamu tiba-tiba menyukai anak band. Ibu malas bertemu. Apa ini pengaruh dari teman-temanmu?” tanya Ibu masih dengan alis menaut dan tatapan mata tajam yang membuat perasaanku terasa berat sekali.Aku sayang kepada ibuku dan tidak ingin melawan. Tapi, sekali ini saja aku ingin mendengarkan kata hatiku dan memperjuangkan rasa yang kumiliki. Selama beberapa tahun terakhir, aku selalu menurut sewaktu ibu melarangku berpacaran. Tapi untuk sekarang, aku merasa memerlukan seseorang sebagai tempatku membagi kesedihan dan kebahagiaan yang kurasakan.Berulang kali aku menarik napas dan membuangnya perlahan. Badanku letih sekali. Persendian juga terasa sakit –karena hari ini menangani banyak pembeli. Baik itu di pos premium motor atau pun mobil. Tadi, aku sempat menggantikan teman yang sedang tidak enak badan. Makanya untuk hari ini aku menangani dua pos bergantian. Aku baru sempat beristirahat sore hari. Setelah itu tidak pernah masuk ke dalam kantor untuk meminum air.“Tidak ada hubungannya sama sekali, Bu. Sekarang Citra ingin bersih-bersih dan beristirahat. Rasanya badan seakan remuk.”“Oke. Kali ini Ibu tidak akan membahas lebih jauh lagi. Nanti, kalau ada waktu kita harus membicarakan masalah ini.”Aku mencoba mengalihkan perhatian. Karena jujur saja badanku terasa letih. Ingin segera mandi dan makan. Barulah nanti beristirahat. Untunglah hari ini libur. Jadi tidak perlu bangun terlalu pagi untuk bekerja. Setidaknya, aku akan bangun seperti biasa. Pukul tujuh pagi. Kemudian, mulai membersihkan rumah.Pandanganku masih mengikuti langkah ibu yang berjalan keluar kamar. Lalu, kulihat ibuku mematikan lampu di ruang keluarga. Kudengar suara pintu menutup di sebelah. Aku benar-benar sendirian sekarang. Menatap kedua tanganku yang kulitnya semakin cokelat karena terbakar sinar matahari. Setelah sekian banyak pertimbangan, pada akhirnya aku tetap menuruti permintaan ibuku. Sama halnya dengan bekerja di pompa bensin.Ada ketakutan di dalam diriku. Kalau nantinya menuruti permintaan ibuku untuk mengakhiri hubungan dengan Dwiyan. Aku membutuhkannya sebagai tempat bercerita saat merasa tidak ada yang bisa kulakukan untuk menghilangkan jenuh.Dulu di hari pertama bekerja, aku merasa seakan tengah berada pada dimensi yang tidak kukenali. Orang-orang menatapku. Beberapa saat kemudian, pembeli itu berbicara dengan teman di sebelahnya. Atau, ada beberapa pembeli terlalu terang-terangan mengamati dari atas sampai bawah. Di amati begitu membuatku merasa asing dan sangat tidak nyaman. Namun yang bisa kulakukan cuma membantu senior di pos lain. Jantungku berdegup sangat keras. Sering kali mataku akan berkunang-kunang karenanya.Aku menahannya selama tiga hari. Tidak benar-benar terbiasa. Hanya sebatas berkomunikasi dengan senior dan pembeli. Kalimat-kalimat yang kuucapkan tidak lebih dari beberapa kata yang sesuai Standar Operasional Pekerja. Contohnya saja, mengucapkan salam atau selalu memulai pengisian bensin dari nol. Banyak reaksi dari pembeli yang kutemukan jika menerapkannya. Ada yang cuma tersenyum. Atau, mengajak bercanda. Pernah suatu ketika seorang pembeli berkata kalau tidak bisakah dimulai dari angka seratus. Aku menanggapi dengan tersenyum dan berucap terima kasih setelah pembeli itu membayar.Suatu hari, kami berkumpul setelah shift berakhir karena membicarakan peraturan baru yang mengharuskan kami untuk memulai shift pagi jam enam. Itu menandakan kalau kami harus berangkat sebelum matahari terbit. Kalau kata senior di sini. Kami bekerja layaknya robot. Aku tidak berkata apa pun dan menyimak apa yang mereka katakan.Padahal sudah dua bulan bekerja di pompa bensin. Tapi, aku belum juga terbiasa suasana di sini atau banyaknya pembeli bensin. Aku tidak mempermasalahkan kulitku yang terbakar sinar mentari, dan seragam yang basah penuh keringat. Karena aku cepat sekali berkeringat apalagi kalau gugup. Tidak dapat dihindari kalau aku merasa gugup setiap kali mengisi bensin. Karena beberapa pembeli iseng menggodaku.Aku membuka sepatu boots dan mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu. Mencoba menghilangkan perasaan yang berkecamuk di dalam dada. Sebuah perasaan sedih dan kecewa secara bersamaan. Dulu setiap kali hendak bekerja, aku sering berpikir kalau seandainya ibu akan menyambutku pulang dengan senyuman. Karena alasanku bersemangat untuk bekerja adalah kedua orangtua. Aku tidak ingin membebani mereka.Selain bekerja. Aku juga ingin melanjutkan kuliah. Tapi, karena jam kerja yang tidak tentu, kurasa hal itu harus tertunda. Kalau pindah ke tempat kerja lain, aku belum benar-benar yakin bisa mengerjakan pekerjaan itu. Bayangkan saja, aku hanya lulusan SMK. Apa yang aku ketahui hanyalah dasar-dasar dari pelajaran akuntansi. Berbeda dengan mereka yang sudah mengenyam pendidikan sarjana. Tentu saja berbeda jauh. Dari segi pengetahuan dan keterampilan.Aku putuskan untuk bergegas mandi. Sepertinya guyuran air dingin mampu mendinginkan kepala dan menghilangkan segala keresahanku. Sebelum nantinya bergegas makan dan tidur karena hari sudah menjelang pagi.Hari sabtu jam tujuh malam. Aku berdiri di pinggir Jalan Melati. Di depan bangunan penyiaran radio kosong dan termakan usia. Dengan dedaunan liar yang tumbuh di temboknya. Rasanya bukan hanya dinginnya malam yang kurasakan. Mungkin saja, ada makhluk-makhluk tak kasat mata yang menemaniku di sini. Tapi, aku menahan diri untuk berada di sini. Aku bukannya ingin uji nyali dengan mengunjungi gedung kosong yang sudah digembok pagarnya. Namun, aku sedang menunggu Dwiyan. Tadi melalui pesan singkat, ia menjelaskan ingin bertemu di sini. Sesekali malam mingguan bukan hal buruk menurutku. Malahan, aku senang mendengarnya ingin bertemu.Aku tidak menghabiskan malam minggu di gedung kosong mengerikan ini. Di sini kami hanya bertemu. Lalu, bersama-sama menuju tempat makan. Lalu lintas di depanku sangat padat. Sesekali mereka melirik dan bersiul. Membuatku ingin cepat-cepat pergi. Bahkan, merutuki dalam hati mengapa Dwiyan menyuruhku menunggu di sini. Padahal, aku tidak memakai pakaian minim. T
Bulan Oktober tiba dengan cepat. Sudah lima bulan aku bekerja di pompa bensin. Sekarang, aku sudah hafal nama teman-teman operator bensin. Bahkan, berteman baik dengan mereka semua. Selain aku yang bekerja di sini. Ada seorang lagi gadis yang bernama Dian. Ia terpaut dua tahun lebih tua dariku. Dian menceritakan kalau pergi dari tanah kelahirannya karena masalah ekonomi. Gadis itu berasal dari Banyuwangi. Kulitnya sawo matang –karena terbakar sinar matahari- dengan kantong mata yang lumayan tebal. Menurut ceritanya, ia sudah bekerja selama setahun. Dan belum pulang kampung sama sekali.Sekarang giliranku berjaga dengannya di pos mobil. Dibandingkan aku, Dian memiliki tinggi lebih rendah. Juga memiliki tubuh lebih ramping. Kalau aku biasanya tidak menjaga pola makan. Apalagi kalau lapar di pagi buta. Aku akan membeli makanan apa saja. Asalkan bisa mengganjal perutku yang keroncongan. Dian terlihat berjalan menuju ke arahku, lalu memberikan uang seratus ribu.“Kamu ada tukaran uang?
Aku melangkah menuju ruang loker dan berpamitan istirahat duluan kepada Ngurah. Yang disapa hanya tersenyum. Lalu, kembali mengisi bensin. Di saat seperti sekarang, waktu itu terasa sangat berharga. Bagi operator bensin seperti kami. Karena hanya memiliki beberapa menit untuk beristirahat. Itulah mengapa waktu sangat berharga di sini. Karena pembeli terus saja berdatangan. Kecuali menjelang larut malam.Setelah sampai di pintu depan ruang loker. Aku mendorong pelan dan menyangga dengan balok kayu. Setelah itu aku mengambil kursi kayu untuk bersandar pada tembok. Dan, membuka kotak makanan yang kubawa. Menunya sangat menggugah selera. Selain nasi yang porsinya cukup untuk membuatku kekenyangan. Ada juga ayam sisit pedas, mi goreng dengan banyaknya sayuran, separuh telur asin, dan satu tusuk sate lilit. Melihatnya saja sudah bisa membuatku merasakan lapar berkali lipat.Aku meminum air mineral melalui botol dan menyuapkan satu sendok makan penuh nasi dan lauk. Aku tersenyum simpul. Me
Aku memeluk kedua lutut. Hatiku masih hancur berantakan. Sebuah perasaan aneh menghinggapi dalam rongga dada. Kecewa, sedih, dan berat pada waktu bersamaan. Aku masih memandangi langit yang kelam dari balik jendela. Suara serangga malam terdengar. Lebih banyak suara kucing dan anjing yang tengah berkejar-kejaran. Mungkin aku tengah berhalusinasi. Entahlah, aku juga bingung untuk menjabarkannya.Tubuhku masih bersandar pada lemari kayu di depan kasur. Melihat jarum jam yang terus menerus bergerak dan menambah angka setiap lima menit berlalu. Jam setengah dua belas. Aku tidak ingin mengistirahatkan tubuhku. Membuat pemikiran-pemikiran baru mengacaukanku. Seperti, mengirimkan pesan singkat kepada Dwiyan. Berkata kalau pesan singkat yang kukirimkan kemarin hanya sebuah salah paham kecil. Aku terlalu kalut. Bingung. Dan tidak tahu harus bercerita mulai dari mana.Hari dimana aku tidak sengaja mendengar percakapan itu dua hari lalu. Membuat rasa takut yang hampir membuatku limbung kar
Aku tidak ingat berapa lama telah tertidur. Terakhir kali yang kuingat hanyalah beberapa macam memori random. Kelulusan pada masa SMK. Pertama kali bertemu Dwiyan di pentas seni yang penuh sesak. Terakhir, sebuah ingatan yang seharusnya sudah kulupakan. Karena mampu membuatku gemetaran dan melupakan segalanya. Hari dimana teman di pompa bensin berencana untuk memperkosaku. Mataku berkedip berulang kali. Menyesuaikan cahaya dalam ruangan untuk membiasakan diri. Meskipun tidak melihat kaca. Aku yakin kalau mataku bengkak.Gemercik suara hujan turun mulai terdengar. Berikutnya, tetesan air membasahi tanah dan membuat aroma lembab yang kusukai. Kapan pun turun hujan, aku selalu suka memandanginya. Bagaimana tetesan air datang bersamaan. Membuat apa pun yang tersentuh olehnya menjadi basah. Bahkan bisa membuat suhu tubuh manusia menjadi kedinginan. Aku sering kehujanan. Bukan karena datangnya tiba-tiba. Namun, aku suka berdiri di tengah hujan deras dan merentangkan tangan. Menerka-nerka
Ruanganku sekarang menjadi sepi. Hanya ada ibuku dan aku di dalam. Aku merasa kebingungan dengan apa yang terjadi sehingga berbaring di tempat tidur. Memainkan selimut lalu kembali menunduk. Ibuku menatap ke luar pintu. Seperti sedang menunggu seseorang datang. Benar saja. Tidak berselang lama datang seorang dokter wanita muda berambut pendek yang mempunyai raut wajah ramah. Seorang suster berkulit sawo matang tiba-tiba berada di belakang. Membawa nampan berisi obat-obatan, kapas, dan sebuah suntikan.“Selamat malam, Citra. Saya Dokter Cindy.”Dokter itu menyapa dengan ramah. Mengambil sebuah tempat duduk. Lalu, mengamati perilaku dariku. Ibuku memperhatikan dalam diam.“Kamu pasti kebingungan kan?” tanya Dokter itu. Masih dengan ramah dan bersabar menghadapi sikapku. Dokter itu memberikan sebuah mainan anak kecil padaku. Sebuah pigura tokoh kartun yang terkenal, Spongebob. Ketika menggerakkannya akan terdengar suara khas tawa renyah.Aku terdiam untuk beberapa saat. Memandang
Siang hari begitu terik. Kalau tidak memakai pendingin ruangan, aku sudah pasti tidak betah berada di dalam ruang tertutup. Untunglah, kamar rawat ini pintunya terbuka lebar. Jadi tidak akan merasa seperti terpanggang di dalam oven. Seorang pemuda bernama Maha, duduk lesehan beralaskan tikar bambu yang dibawa dari rumah. Ia juga membawa sebuah bantal empuk yang diberikan padaku.Maha terlihat mengamati wajahku, kemudian mengusapnya dengan ibu jari. Entahlah, aku merasa kalau dekat dengan pemuda yang bernama Maha ini. Tadi ia sempat bercerita kalau kami adalah saudara kandung.Ia berkata tidak tega kalau harus mengabaikanku da berjanji akan berdiam di rumah nantinya. Entah untuk menemaniku berbincang atau menjadi teman curhat untukku. Memang terdengar aneh. Namun, aku merasa perlu beradaptasi.“Kamu siapa?” tanyaku memandang dengan ragu. Lalu, menautkan kedua alis. Aku mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk bersila. Jemariku saling bertautan. Tetapi, tiba-tiba pandanganku te
Keesokan harinya, aku pun diperbolehkan pulang. Meskipun sebelumnya harus diperiksa dan mengisi soal kuisioner yang menentukan perilaku. Sejak awal mengingat semuanya, aku tidak menanyakan apa pun. Dan mengikuti apa yang dianjurkan dokter. Termasuk meminum obat secara rutin. Namun, setelah dinyatakan membaik, nafsu makanku telah membaik, sehingga membuat ibuku terlihat senang. Karena aku sudah bisa makan seperti biasa, tanpa harus disuapi apalagi dipaksa.Tadi pagi aku meminta untuk sarapan nasi campur yang dijual pedagang. Setelah itu meminum obatku tanpa harus di suruh. Aku sekarang sedang memandangi layar ponsel. Bermain game yang baru saja aku unduh. Maha sudah sejak pagi berangkat ke sekolah. Jadi, aku hanya berdua bersama ibuki.Sosok ibuku terlihat sibuk dengan layar laptop. Beberapa kali terdengar mengangkat telepon dari klien. Sedangkan, aku duduk diam sambil sesekali mengamati sekitar. Perasaanku jauh lebih membaik sekarang. Terutama setelah kemarin dokter datang dan menan
Sore harinya setelah pulang kerja, aku dan Kak Panggih menghadiri pertunangan Yanti yang dirayakan hanya mengundang keluarga dan teman dekat. Sebelum berangkat ke sini aku sudah meminta ijin kepada Yanti untuk mengajak kekasihku. Karena sebelum mengenalkan kepada keluargaku, aku ingin supaya Yanti terlebih dahulu bertemu Kak Panggih. Supaya mereka bisa menjadi dekat. Kurasa momen ini adalah saat yang tepat.Aku datang tanpa memakai riasan wajah yang mencolok. Hanya memakai foundation cream yang tipis dan bedak tabur. Sentuhan akhir adalah lipstik berwarna merah muda. Untuk pakaian aku memakai dress sebatas lutut berwarna krem yang senada dengan heels. Sedangkan, Kak Panggih memakai kemeja berwarna biru langit dan celana jeans hitam. Rumah Yanti hanya dipenuhi oleh sanak keluarganya. Beberapa saudara dari ibunya yang mengenalku. Atau, teman SMP kami yang sama-sama telah beranjak dewasa. Ada raut wajah keheranan dari mereka. Mungkin enggan menanyakan perihal pria yang aku ajak kali i
Setelah bertemu dengan Yanti, aku pulang cukup malam. Aku baru saja memarkirkan sepeda motorku. Membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam rumah. Pada saat melewati dapur, kulihat Maha sedang makan. Kemudian, mendekatinya yang melambaikan tangan. “Kenapa Maha?” tanyaku saat berada di sampingnya. “Duduk dulu, Kak Citra..” pinta Maha. Kali ini ia berhenti makan, dan mengusap bibirnya dengan tisu. Untuk beberapa detik, ia pun memandang penuh tanya kepadaku. “Ada apa? Tumben wajahmu sampai serius begitu,” tanyaku lagi. Karena Maha sama sekali tidak menjawabku. Entahlah. Sepertinya ada yang membuat pandangan mata Maha terlihat begitu berbeda. Aku memahami pribadinya dengan baik. Kalau sudah seperti ini, pasti ada hal yang ingin dibicarakan. Dibandingkan kedua orangtuaku, Maha lebih memilihku untuk menceritakan segala permasalahan yang dimilikinya. Sama seperti dulu. “Maha ingin menanyakan pendapat Kak Citra..” ucapnya menggantung kalimatnya. Terlihat beberapa kali berpikir, “Kaya
Sudah enam hari berlalu sejak terakhir kali berbicara dengan Yanti melalui sambungan telepon, sahabatku menyampaikan berita membahagiakan. Kalau ia akan segera bertunangan dengan Rangga. Karena acara besok begitu penting baginya, tadi pagi ia buru-buru menghubungiku dan mengajak untuk bertemu saat pulang kerja. Takutnya akan sulit bertemu karena mempersiapkan segala hal yang diperlukan setelah pertunangan. Biasanya kedua keluarga akan membicarakan pernikahan yang diadakan dalam beberapa bulan ke depan.Untungnya hari ini aku bisa pulang pada jam kerja normal. Dalam satu minggu, aku bisa dua atau tiga kali lembur kerja. Karena mengerjakan beberapa laporan harian yang jumlahnya cukup banyak. Apalagi kalau pengisian mesin ATM di hari jumat. Orang-orang terbiasa mengambil uang di mesin ATM sebelum weekend. Kali ini kami bertemu di salah satu Mal terkenal di Denpasar Timur, Ramayana Mal. Barang-barang yang dijual di sini bisa dibilang tidak terlalu mahal. Baik itu makanan yang dijual pa
Hari-hari berlalu dengan cepat. Sama seperti hal yang telah kulewati. Bisa dibilang setiap hari aku bertemu dengan Kak Panggih dan membicarakan banyak hal. Mengenai pekerjaan di kantor, atau perihal hubungan kami. Kak Panggih menjelaskan kalau orangtuanya ingin berbicara denganku minggu depan. Tentu saja mendengar hal itu membuatku merasa bahagia sekaligus khawatir. Aku tidak tahu tanggapan orangtuanya mengenai diriku. Apakah akan menyukaiku atau tidak? Yang pasti Kak Panggih sudah berusaha untuk memperjuangkan hubungan kami. Tiba-tiba aku kembali teringat dengan Dwiyan. Sejak pertemuan terakhir, ia memblokir semua media sosial milikku. Begitu juga nomor ponselku. Sejujurnya aku merasa sedikit bersalah. Karena aku yang memutuskan secara sepihak sebelumnya. Namun, kalau dipikirkan lagi, Dwiyan sama sekali tidak mencoba untuk mempertahankan hubungan yang terjalin. Sehingga aku pun pada akhirnya menyerah. Walaupun hubungan yang kujalani dengan Kak Panggih belum diketahui oleh orangtu
Aku baru saja selesai mandi dan sedang berpakaian. Tindakan nekat tadi masih terbayang olehku. Untungnya saja Kak Panggih menyelesaikannya dengan cepat. Kalau tidak, mungkin akan diketahui oleh pegawai lainnya. Aku memegangi pipiku yang terasa panas. Baru kali ini aku melakukan hal yang bisa dibilang cukup berani. Jam sepuluh malam aku baru sampai di rumah, lalu bergegas mandi. Untung saja orangtuaku sudah tidur. Karena sejak awal kedatanganku, pintu kamar tertutup rapat. Kecuali kamar Maha yang setengah terbuka. Biasanya jam segini adikku masih disibukkan dengan tugas sekolahnya. Tadi aku sempat mendengar suaranya samar-samar. Namun, aku buru-buru memasuki kamarku untuk bergegas mandi. Aku terpaku memandang pantulan tubuhku pada cermin. Masih terbayang jelas pengalaman pertama yang kurasakan. Bagaimana Kak Panggih menyusuri tiap lekuk tubuhku. Memberikan sentuhan yang membuatku terlena dan terasa sedikit menyakitkan. Bahkan, jantungku berdebar kencang hanya dengan membayangkan ke
Karena menghabiskan waktu sampai satu jam lebih untuk beristirahat, aku pun terpaksa harus lembur kerja hari ini. Seperti biasa, aku baru saja selesai mengirimkan pesan kepada ibuku kalau akan pulang sedikit malam. Untung saja Kak Sugeng membantu sebagian pekerjaanku, sehingga aku hanya perlu menyelesaikan laporan harian dan bulanan. Hari ini atasanku tidak masuk kerja. Kalau tidak, aku pasti sudah mendapatkan masalah. Aku jadi merasa tidak enak. Mungkin lain kali aku harus menolak ajakan Kak Panggih ke kosnya dalam waktu dekat. Bekas percintaan tadi siang masih jelas terasa. Kewanitaanku terasa perih. Baru kali ini aku merasa benar-benar berdebar hanya dengan memikirkan hal yang telah terjadi. Di saat aku sedang sibuk menginput data pada komputer, aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Lalu, aku pun menoleh dan mendapati Kak Panggih berdiri di hadapanku dengan senyuman lebar.“Kerjaan Kak Panggih sudah selesai?” tanyaku sambil tersenyum malu-malu. Mengingat kejadian t
Aku masih memejamkan mata dan meremas sprei gemas. Napasku masih memburu. Karena jilatan dan hisapan dari bibir Kak Panggih. Melihatku yang semakin melebarkan kedua kakiku, membuat Kak Panggih tersenyum genit.“Mmhh.. Geli Kak..” desahku pelan. Mencoba untuk mengontrol suaraku. Takutnya akan ada yang mendengar. “Tapi, enak kan?” tanya Kak Panggih terdengar menggodaku.“Iya..” jawabku malu-malu.“Sini, cobain yang lebih enak, Dik..”Kak Panggih pun bangkit berdiri. Kemudian, menarik tanganku untuk ikutan berdiri. Kali ini ia menanggalkan seluruh pakaian yang masih menempel di tubuhku. Setelah itu, Kak Panggih melepaskan kaos miliknya. Sehingga kami benar-benar telanjang bulat.Melihatku yang malu-malu, Kak Panggih justru merangkul pinggangku. Mendekatkan wajahnya dan kembali menciumi bibirku. Tangan kanannya pun meremas dadaku. Aku bisa merasakan kebanggaan miliknya yang tegang berulang kali menyentuh kewanitaanku yang basah. Aku membalas ciuman panas itu, bahkan karena terbaw
Siang ini, tidak biasanya Kak Panggih mengajakku untuk makan siang bersama. Awalnya aku berpikir kalau Kak Panggih akan mengajak makan di luar. Justru sebaliknya. Kami sekarang duduk berhadapan sambil menikmati nasi rendang. Tadi, sebelum ke kos Kak Panggih, kami mampir ke rumah makan padang dan memesan dua porsi nasi rendang.Selain sayur nangka yang gurih, rendangnya pun empuk dan sedikit pedas. Sedangkan untuk nasinya benar-benar pulen. Aku suka rasa unik dari sambal hijaunya. Terkesan cukup pedas dan gurih. Kombinasi yang benar-benar pas.Biasanya kalau sedang makan, Kak Panggih suka membicarakan banyak hal. Tumben hari ini tidak banyak bicara. Padahal tadi bilang ingin mengatakan sesuatu. Sekitar tiga puluh menit berlalu. Aku dan Kak Panggih pun telah menyelesaikan makan. Setelah itu merapikan sampahnya. Kak Panggih terlihat mengambil piring kotor, gelas, dan sendok yang tadi kami gunakan. Aku pun kembali duduk bersandar pada tembok. Sambil memperhatikan punggung bidang Kak
Hari rabu, jam delapan malam, setelah pulang kerja, aku pun seperti biasa harus kontrol ke Dokter Psikiater. Karena obatku hanya tinggal beberapa tablet untuk seminggu. Sudah lima belas menit aku menunggu di lantai tiga. Ada beberapa pasien dari ruangan dokter yang lain terlihat menunggu di bangku kayu sebelahku. Di hadapanku adalah ruang praktik Dokter Gigi. Dan, ruangan di pojok sebelah kanan di dekat tangga adalah praktik Dokter Spesialis Anak.Aku menumpukan kedua telapak tangan di pangkuanku. Tanpa sadar, aku tersenyum tipis. Akhir-akhir ini banyak hal-hal terjadi di luar dugaan. Salah satunya adalah kebahagiaan yang kurasakan karena suasana hangat di keluargaku.Selain itu hubunganku dengan Kak Panggih pun membaik. Meskipun aku belum mengenal orangtuanya. Mungkin kalau ada kesempatan, aku berniat untuk mengenal orangtua Kak Pak Panggih.Hanya saja, aku belum sempat menceritakan perihal penyakitku kepada kekasihku. Ada perasaan takut kalau Kak Panggih tidak dapat menerima kead