Matahari sore ini seperti membelah diri menjadi dua. Panasnya mampu membuatku berulang kali minum segelas air putih. Sekarang sudah gelas keempat. Lalu, aku kembali berjalan keluar menuju pos mobil. Barusan aku masuk ke dalam kantor. Untuk menghilangkan dahaga. Di sini terdapat empat pos pengisian bensin. Premium untuk motor, premium dan pertamax untuk mobil adalah tempat paling luas. Dua pos terakhir merupakan solar dan pertamax dex. Setiap pos berdampingan meski pun jaraknya berbeda.
“Sudah mendingan, Citra?” tanya Agus. Ia adalah seorang pegawai pompa bensin yang paling tinggi di antara teman-teman lain. Walaupun memiliki wajah galak. Ia bersedia direpotkan saat awal-awal aku bekerja di sini.“Ya, lumayan,” jawabku tersenyum simpul. Kemudian mengambil tas pinggang tempat uang kembalian. Setiap kali menjaga pos, kami diberikan modal awal sebelum bekerja.Sebuah mobil Honda Jazz menginterupsi pembicaraan kami. Aku tersenyum. Kemudian menghampiri di dekat jendela mobil dan merendahkan tubuh. Seorang pria paruh baya meminta untuk mengisi premium.Ia menyodorkan uang seratus ribu lalu membuka tutup tangki mobil. Aku tidak melihat kehadiran seniorku. Saat menoleh ke tempat parkir, kulihat ia melambaikan tangan –mungkin ingin beristirahat. Di sini, satu-persatu pegawai akan beristirahat secara bergantian. Kecuali pegawai yang bekerja di dalam kantor. Tidak seperti kami operator bensin.“Di mulai dari nol ya, Pak.” Seperti biasa sebuah kalimat singkat itu harus diucapkan ketika tengah mengisi bensin. Awalnya, aku sedikit risih. Tapi, lambat laun semakin terbiasa. Pengendara mobil tidak berkata apa pun dan hanya menoleh pada spion mobil sesekali.Kalau pembeli bensin berada di dalam mobil, aku selalu saja bingung harus melakukan apa. Seringkali aku mengamati angka yang bertambah sewaktu pengisian bensin di mesin. Dimulai dari nol dan seterusnya. Ketika mencapai seratus ribu, aku menggeser kuncian dan menaruh nozzle pada tempatnya. Lalu, menutup tangki bensin. Seulas senyum kusunggingkan.“Terima kasih, Pak.”Setelah mendengarnya, pemilik mobil bergegas pergi tanpa mengatakan apa pun. Kebanyakan orang-orang yang mengisi di pos mobil memang begitu. Tidak mengatakan sepatah kata kecuali nominal dan jenis bensin yang ingin dibeli. Aku juga tidak memusingkan hal itu. Dengan begitu tidak perlu berbasa-basi –hal yang selalu payah kulakukan.Terakhir kali mengajak bicara pembeli adalah saat seorang pemuda meminta mengisi pertamax dex. Aku ditertawakan oleh teman-teman satu shift. Karena menjawab seadanya mengenai perbedaan antara bensin pertamax dengan pertamax dex. Waktu itu, aku menjawab tanpa berpikir panjang.Kalau pertamax warnanya adalah biru dan pertamax dex merah. Satpam yang mendengar langsung tertawa cukup keras, hingga terdengar oleh temanku yang lain. Seharian aku ditertawakan oleh mereka. Dan, pembeli itu hanya melayangkan senyum tipis sebelum pergi dengan motor khas pembalapnya.“Citra, kenapa senyum-senyum sendiri?” tiba-tiba Putra muncul dengan sebuah tas plastik putih. Dari aromanya mampu membuat perutku bergejolak. Tapi, aku masih bisa menahan diri. “Nih,” lanjutnya memberikan bungkusan nasi campur itu.“Ya, tiba-tiba saja teringat kejadian lucu. Aku kan nggak ikutan beli nasi campur.”Rasanya aneh melihat orang-orang yang bekerja di sini bersikap baik. Aku merasa terbebani. Meski pun mereka melakukan itu karena peduli padaku. Hanya saja, aku masih belum terbiasa. Aku bukan orang yang mudah percaya orang lain. Atau, bisa menerima kebaikan hati mereka. Seringkali aku menolak secara halus.Alis tipisnya naik sebelah. Tatapan itu juga kelihatan kurang suka. Lalu, ia mendorongku untuk menjauh dari pos dan mengibaskan tangan seakan mengusir. Walaupun mempunyai tampang sangar seperti preman, hampir semua teman-teman di sini bersikap ramah. Bisa dibilang sangat baik dan menganggapku layaknya keluarga.Aku berjalan menuju ruang loker yang berada satu meter di depan pos pertamax dex. Membuka pintu berlapis kaca itu pelan, dan masuk setelahnya. Bungkusan tadi aku taruh pada meja plastik di sebelah loker. Kemudian, mengambil botol air mineral dan menggeser kursi untuk bersandar pada tembok.Siang ini tumben banyak yang membeli bensin. Mulanya aku ingin berjaga di pos premium untuk motor. Tapi, teman-teman menyuruhku berdiam di pos mobil. Dan, aku menurutinya. Seringkali aku meminta berjaga di pos motor, tetapi mereka pasti menyuruhku untuk berdiam di pos mobil. Kecuali saat pengawas lapangan ikut-ikutan berjaga di sini.Tanganku membuka bungkusan nasi campur yang diberikan Putra tadi. Tidak berbeda dengan menu kemarin. Sepotong telur dadar, tumis sayuran buncis dan orek tempe. Aku tersenyum dibuatnya. Ia selalu tahu kesukaanku.Karena aku merasa tidak enak jika dibelikan makan sore yang mahal. Ini saja sudah sangat bersyukur. Selama satu bulan bekerja seringkali teman-teman lain menunjukkan perhatian semacam ini. Katanya karena umurku paling muda dari yang lain mengingatkan mereka terhadap sosok adik dan anak di rumahnya.“Woy.. Makan sendirian lagi?”Mendengar suara yang familiar, aku menoleh dan mendapati Pande mendorong pintu sambil membawa piring dan gelas plastik –ia sangat tidak suka minum air dalam botol karena menurutnya tidak higienis.“Kamu memanggilku seakan memanggil teman dekat. Apa nggak bisa memanggil namaku?”Bukannya menjawab. Ia justru tertawa dan menepuk-nepuk pundakku, lalu mengambil kursi plastik dan duduk di hadapan. Keanehan sikapnya seringkali kutemui. Sehingga aku memilih untuk mengabaikan. Takutnya ia akan menceritakan banyak hal dan menganggap kami berteman dekat.Aneh. Dari awal bekerja, ia sering menemaniku makan. Padahal sudah ada larangan kalau tidak diperbolehkan makan bersamaan. Pande berulang kali mendapat peringatan dari pengawas lapangan. Tapi tidak dihiraukan dan terus-menerus mengulangnya. Aku juga malas menanyakan kehadirannya sekarang di sini.“Nggak! Aku kebiasaan memanggilmu begitu. Kenapa nggak mau ditemani makan? Padahal aku sampai berulang kali dimarahi.”Aku menautkan kedua alis, lalu mendengus sebal. Memangnya aku pernah memintanya untuk menemaniku? Tidak sama sekali. Setiap kali makan aku terbiasa sendiri. Di rumah juga demikian. Adikku Maha, jarang sekali ada di rumah. Ia biasanya makan di tempat game online. Aku sering memarahinya karena lebih mementingkan permainan yang tidak aku mengerti. Justru, ia balik memarahiku karena menurutnya jika sehabis berpikir keras di sekolah perlu hiburan semacam itu.Perbedaan umurku dan Maha adalah empat tahun. Sehari-hari jarang berbincang. Kecuali ia tengah kelaparan dan memintaku untuk memasakkan sesuatu pagi-pagi buta. Aku akan mengomel dulu sebelum membuatkannya makanan. Meski pun selalu saja disibukkan dengan bermain game online, ia mendapatkan peringkat di kelas. Paling kecil juara tiga.Aku tidak mengerti mengapa perbedaan kami terlalu jauh. Maha jarang sekali belajar. Kecuali, kalau besok ulangan. Tapi, ia selalu mendapatkan nilai sempurna. Sedangkan aku, setiap hari terus-menerus belajar. Namun, tetap saja hasil yang kuterima pas-pasan. Itulah mengapa orangtuaku selalu membandingkan kami. Dan, aku tidak menyukainya. Tentu saja kami berbeda. Baik aku atau Maha mempunyai keahlian masing-masing. Dan juga kesukaan terhadap hal yang berlainan. Seperti kesukaanku pada buku-buku lawas yang masih layak dibaca.“Kalau memang nggak ingin dimarahi, jangan makan berdua. Kamu tentu tahu betapa mengerikannya pengawas ‘kan?” Aku menanyakan sambil menyendokkan nasi. Agar lebih cepat menghabiskan waktu istirahat. Takutnya ada banyak pembeli bensin dan merepotkan senior-seniorku.“Tau kok. Makanya kita harus buru-buru menyelesaikan istirahat.”Ia menjelaskan seakan-akan kalau sampai itu yang terjadi adalah kesalahanku. Padahal aku bisa saja beristirahat selama tiga puluh menit –seperti perjanjian di dalam kontrak kerja. Kehadirannya mungkin membuatku berada dalam masalah. Harus menyelesaikan waktu makan menjadi kurang dari lima belas menit. Dari sekian banyak operator bensin yang bekerja di SPBU ini. Aku paling tidak menyukai sikapnya.Bukan karena kulit kecokelatan terbakar sinar matahari. Atau hidung mancung seperti pinokio. Tetapi, setiap kali ada waktu luang. Ia akan mengganggu dengan menanyakan banyak hal yang menurutku bersifat pribadi. Contohnya saja seperti dimana tempat tinggalku.Untuk seorang gadis yang terbiasa sendiri di rumah. Hal itu sangat membahayakan. Meski pun tingkat kejahatan di kota Denpasar bisa dibilang cukup sedikit. Aku tidak berani mengambil resiko dengan memberitahukan tempat tinggalku terhadap orang yang baru kukenal. Walaupun ia adalah rekan kerja. Teman sekolah saja hanya segelintir tahu dimana tempat tinggalku.“Kenapa diam?” Tangan Pande menyenggol pundak dan membuatku menatap matanya yang sayu.Kurasa karena ia sering bergadang. Selama mendengar celotehannya mengenai banyak hal, cuma satu yang aku ingat. Kalau rumahnya berada di Gianyar. Kira-kira perlu waktu satu jam lebih untuk mencapai tempat kerja. Aku sempat heran mengapa ia mau bekerja di sini. Padahal rumahnya sangat jauh. Aku takut ia salah paham, sehingga tidak pernah sekali pun menanyakan alasannya bekerja.“Karena aku nggak ingin mengatakan apapun,” jawabku singkat. Lalu, ia hanya tersenyum lebar dan menunjukkan kedua lesung pipit pada wajahnya.Aku benci ekspresi wajahnya. Seperti tidak ada beban sama sekali. Dan hal itu tidak dapat kulakukan sampai sekarang. Jauh di lubuk hati, aku menginginkan itu.Kalau aku bisa dekat dan berbaur bersama teman kerja. Aku jarang berbicara dengan mereka. Hanya sesekali saat mereka bertanya. Kemudian, aku akan terdiam lagi. Jujur saja. Berada di tempat kerja yang penuh dengan pria, membuatku merasa sedikit canggung. Walaupun ada satu lagi operator bensin seorang gadis. Karena cuma ada kami, makanya jarang bertemu. Karena berbeda shift dengannya.Aku dan Pande makan di dalam keheningan. Setiap kali berdebat, selalu saja kesunyian menyergap kami sesudahnya. Aku akan kembali mengunyah dalam diam sambil sesekali memikirkan hal-hal yang terjadi di hidupku. Keluarga, keinginan untuk kuliah, dan Dwiyan. Dari sekian banyak masalah yang kuhadapi. Yang terberat adalah memikirkan jalan keluar dari hubungan ini. Aku tidak menemukan kemajuan setelah satu setengah tahun berpacaran. Bahkan, frekuensi untuk bertemu semakin jarang karena seringkali aku mendapat shift sampai tengah malam.Shift siang berakhir tepat jam sebelas malam. Sesudahnya, kami harus menghitung total uang dari berjualan bensin bersama-sama. Belum lagi kalau ada selisih, pengawas lapangan akan mencoba untuk memeriksa tas compact yang kami bawa. Memastikan kalau tidak ada selembar pun uang tersimpan.Jika belum juga ketemu, kami harus mengganti jumlah kekurangan dari uang yang harusnya disetorkan. Karena semua adalah tanggung jawab bersama. Itulah alasan mengapa setiap seminggu sekali, aku pasti tiba di rumah pukul satu pagi. Karena harus menghitung jumlah uang yang disetorkan dan biasanya aku akan mampir sebentar untuk membeli makan.“Aku duluan ya.”Aku menoleh dan mendapati Pande sudah memakai topi merah khas pompa bensin. Kemudian, merapikan peralatan makan yang sudah dicuci dengan menaruh di lokernya. Karena merasa cukup lelah, aku mengangguk kecil. Lalu, kembali menyendokkan nasi terakhir. Sebelum menghabiskan air mineral di botol.Rasanya aku ingin mengeluh. Tapi, aku tidak mempunyai kewenangan untuk itu. Bapak seringkali marah-marah mendapatiku ketiduran di sofa ruang keluarga sepulang kerja –setiap mendapat shift pagi, aku sampai di rumah pukul dua siang. Aku sudah mengatakan dengan sopan kalau aku lelah bekerja dan ingin beristirahat. Namun, sebuah jawaban menyakitkan selalu dilontarkan.Karenanya aku pasti terbangun dengan kesadaran yang tersisa sambil berjalan untuk mengambil sapu. Lalu, membersihkan rumah. Seharian bekerja selama delapan jam cukup membuat letih. Karena setiap kali bekerja kami tidak diijinkan untuk duduk. Melainkan harus berdiri mengisi bensin. Menurut manajer di sini, itu merupakan pertimbangan perusahaan. Bahkan ada CCTV di setiap pos dan memastikan kami bekerja maksimal. Tidak mencuri-curi waktu untuk duduk.Padahal bagi seorang gadis, pekerjaan ini termasuk berat. Tentunya selain mengangkat nozzle yang beratnya sampai dua kilo. Ada beberapa yang mengatakan kalau pekerjaan sebagai operator bensin cukup berbahaya, karena terlalu sering menghirup bau menyengat dari bensin. Seorang pembeli mengingatkanku. Meski pun aku hanya berkata terima kasih karena telah mengingatkan. Kadang-kadang, aku kepikiran juga dengan permasalahan itu.Dengan satu tarikan napas panjang, aku bangkit berdiri, kemudian berjalan menuju pintu keluar. Menutup pintu pada ruang loker dan memakai topiku. Setibanya di luar, aku melihat banyak sekali antrian kendaraan. Lalu, setengah berlari menuju pos mobil. Sudah waktunya untuk berkonsentrasi bekerja.Jam satu pagi aku baru sampai di rumah. Karena tadi mampir sebentar untuk membeli nasi kuning di pinggir jalan. Untunglah masih ada yang berjualan di pagi buta. Kalau tidak, aku pasti akan kelaparan dan belum bisa memejamkan mata sampai matahari terbit. Aku berjalan menuju pintu samping dan disambut oleh ibuku yang melipat tangan di depan dada. Hari sudah cukup larut untuk beristirahat. Sekarang malah disambut oleh raut kemarahan. Ada sedikit rasa kecewa. Mulanya aku ingin berlalu saja dan bergegas untuk mengganti baju lalu mandi. Tapi, tangan ibu keburu menarikku masuk ke kamar.“Ibu sudah peringatkan bukan?” Mendapat pertanyaan tiba-tiba seperti itu membuatku berpikir sejenak. Mulai menerka-nerka peringatan apa yang dimaksud.Setelah belasan kali berkedip, aku baru sadar. Kalau ibuku tengah membahas perihal Dwiyan. Aku sudah cukup lama tidak menemuinya. Walaupun rasanya kangen sekali. Tapi, kehadiran ibu sekarang justru mengingatkanku pada peringatan untuk mengakhiri hubunganku
Hari sabtu jam tujuh malam. Aku berdiri di pinggir Jalan Melati. Di depan bangunan penyiaran radio kosong dan termakan usia. Dengan dedaunan liar yang tumbuh di temboknya. Rasanya bukan hanya dinginnya malam yang kurasakan. Mungkin saja, ada makhluk-makhluk tak kasat mata yang menemaniku di sini. Tapi, aku menahan diri untuk berada di sini. Aku bukannya ingin uji nyali dengan mengunjungi gedung kosong yang sudah digembok pagarnya. Namun, aku sedang menunggu Dwiyan. Tadi melalui pesan singkat, ia menjelaskan ingin bertemu di sini. Sesekali malam mingguan bukan hal buruk menurutku. Malahan, aku senang mendengarnya ingin bertemu.Aku tidak menghabiskan malam minggu di gedung kosong mengerikan ini. Di sini kami hanya bertemu. Lalu, bersama-sama menuju tempat makan. Lalu lintas di depanku sangat padat. Sesekali mereka melirik dan bersiul. Membuatku ingin cepat-cepat pergi. Bahkan, merutuki dalam hati mengapa Dwiyan menyuruhku menunggu di sini. Padahal, aku tidak memakai pakaian minim. T
Bulan Oktober tiba dengan cepat. Sudah lima bulan aku bekerja di pompa bensin. Sekarang, aku sudah hafal nama teman-teman operator bensin. Bahkan, berteman baik dengan mereka semua. Selain aku yang bekerja di sini. Ada seorang lagi gadis yang bernama Dian. Ia terpaut dua tahun lebih tua dariku. Dian menceritakan kalau pergi dari tanah kelahirannya karena masalah ekonomi. Gadis itu berasal dari Banyuwangi. Kulitnya sawo matang –karena terbakar sinar matahari- dengan kantong mata yang lumayan tebal. Menurut ceritanya, ia sudah bekerja selama setahun. Dan belum pulang kampung sama sekali.Sekarang giliranku berjaga dengannya di pos mobil. Dibandingkan aku, Dian memiliki tinggi lebih rendah. Juga memiliki tubuh lebih ramping. Kalau aku biasanya tidak menjaga pola makan. Apalagi kalau lapar di pagi buta. Aku akan membeli makanan apa saja. Asalkan bisa mengganjal perutku yang keroncongan. Dian terlihat berjalan menuju ke arahku, lalu memberikan uang seratus ribu.“Kamu ada tukaran uang?
Aku melangkah menuju ruang loker dan berpamitan istirahat duluan kepada Ngurah. Yang disapa hanya tersenyum. Lalu, kembali mengisi bensin. Di saat seperti sekarang, waktu itu terasa sangat berharga. Bagi operator bensin seperti kami. Karena hanya memiliki beberapa menit untuk beristirahat. Itulah mengapa waktu sangat berharga di sini. Karena pembeli terus saja berdatangan. Kecuali menjelang larut malam.Setelah sampai di pintu depan ruang loker. Aku mendorong pelan dan menyangga dengan balok kayu. Setelah itu aku mengambil kursi kayu untuk bersandar pada tembok. Dan, membuka kotak makanan yang kubawa. Menunya sangat menggugah selera. Selain nasi yang porsinya cukup untuk membuatku kekenyangan. Ada juga ayam sisit pedas, mi goreng dengan banyaknya sayuran, separuh telur asin, dan satu tusuk sate lilit. Melihatnya saja sudah bisa membuatku merasakan lapar berkali lipat.Aku meminum air mineral melalui botol dan menyuapkan satu sendok makan penuh nasi dan lauk. Aku tersenyum simpul. Me
Aku memeluk kedua lutut. Hatiku masih hancur berantakan. Sebuah perasaan aneh menghinggapi dalam rongga dada. Kecewa, sedih, dan berat pada waktu bersamaan. Aku masih memandangi langit yang kelam dari balik jendela. Suara serangga malam terdengar. Lebih banyak suara kucing dan anjing yang tengah berkejar-kejaran. Mungkin aku tengah berhalusinasi. Entahlah, aku juga bingung untuk menjabarkannya.Tubuhku masih bersandar pada lemari kayu di depan kasur. Melihat jarum jam yang terus menerus bergerak dan menambah angka setiap lima menit berlalu. Jam setengah dua belas. Aku tidak ingin mengistirahatkan tubuhku. Membuat pemikiran-pemikiran baru mengacaukanku. Seperti, mengirimkan pesan singkat kepada Dwiyan. Berkata kalau pesan singkat yang kukirimkan kemarin hanya sebuah salah paham kecil. Aku terlalu kalut. Bingung. Dan tidak tahu harus bercerita mulai dari mana.Hari dimana aku tidak sengaja mendengar percakapan itu dua hari lalu. Membuat rasa takut yang hampir membuatku limbung kar
Aku tidak ingat berapa lama telah tertidur. Terakhir kali yang kuingat hanyalah beberapa macam memori random. Kelulusan pada masa SMK. Pertama kali bertemu Dwiyan di pentas seni yang penuh sesak. Terakhir, sebuah ingatan yang seharusnya sudah kulupakan. Karena mampu membuatku gemetaran dan melupakan segalanya. Hari dimana teman di pompa bensin berencana untuk memperkosaku. Mataku berkedip berulang kali. Menyesuaikan cahaya dalam ruangan untuk membiasakan diri. Meskipun tidak melihat kaca. Aku yakin kalau mataku bengkak.Gemercik suara hujan turun mulai terdengar. Berikutnya, tetesan air membasahi tanah dan membuat aroma lembab yang kusukai. Kapan pun turun hujan, aku selalu suka memandanginya. Bagaimana tetesan air datang bersamaan. Membuat apa pun yang tersentuh olehnya menjadi basah. Bahkan bisa membuat suhu tubuh manusia menjadi kedinginan. Aku sering kehujanan. Bukan karena datangnya tiba-tiba. Namun, aku suka berdiri di tengah hujan deras dan merentangkan tangan. Menerka-nerka
Ruanganku sekarang menjadi sepi. Hanya ada ibuku dan aku di dalam. Aku merasa kebingungan dengan apa yang terjadi sehingga berbaring di tempat tidur. Memainkan selimut lalu kembali menunduk. Ibuku menatap ke luar pintu. Seperti sedang menunggu seseorang datang. Benar saja. Tidak berselang lama datang seorang dokter wanita muda berambut pendek yang mempunyai raut wajah ramah. Seorang suster berkulit sawo matang tiba-tiba berada di belakang. Membawa nampan berisi obat-obatan, kapas, dan sebuah suntikan.“Selamat malam, Citra. Saya Dokter Cindy.”Dokter itu menyapa dengan ramah. Mengambil sebuah tempat duduk. Lalu, mengamati perilaku dariku. Ibuku memperhatikan dalam diam.“Kamu pasti kebingungan kan?” tanya Dokter itu. Masih dengan ramah dan bersabar menghadapi sikapku. Dokter itu memberikan sebuah mainan anak kecil padaku. Sebuah pigura tokoh kartun yang terkenal, Spongebob. Ketika menggerakkannya akan terdengar suara khas tawa renyah.Aku terdiam untuk beberapa saat. Memandang
Siang hari begitu terik. Kalau tidak memakai pendingin ruangan, aku sudah pasti tidak betah berada di dalam ruang tertutup. Untunglah, kamar rawat ini pintunya terbuka lebar. Jadi tidak akan merasa seperti terpanggang di dalam oven. Seorang pemuda bernama Maha, duduk lesehan beralaskan tikar bambu yang dibawa dari rumah. Ia juga membawa sebuah bantal empuk yang diberikan padaku.Maha terlihat mengamati wajahku, kemudian mengusapnya dengan ibu jari. Entahlah, aku merasa kalau dekat dengan pemuda yang bernama Maha ini. Tadi ia sempat bercerita kalau kami adalah saudara kandung.Ia berkata tidak tega kalau harus mengabaikanku da berjanji akan berdiam di rumah nantinya. Entah untuk menemaniku berbincang atau menjadi teman curhat untukku. Memang terdengar aneh. Namun, aku merasa perlu beradaptasi.“Kamu siapa?” tanyaku memandang dengan ragu. Lalu, menautkan kedua alis. Aku mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk bersila. Jemariku saling bertautan. Tetapi, tiba-tiba pandanganku te
Sore harinya setelah pulang kerja, aku dan Kak Panggih menghadiri pertunangan Yanti yang dirayakan hanya mengundang keluarga dan teman dekat. Sebelum berangkat ke sini aku sudah meminta ijin kepada Yanti untuk mengajak kekasihku. Karena sebelum mengenalkan kepada keluargaku, aku ingin supaya Yanti terlebih dahulu bertemu Kak Panggih. Supaya mereka bisa menjadi dekat. Kurasa momen ini adalah saat yang tepat.Aku datang tanpa memakai riasan wajah yang mencolok. Hanya memakai foundation cream yang tipis dan bedak tabur. Sentuhan akhir adalah lipstik berwarna merah muda. Untuk pakaian aku memakai dress sebatas lutut berwarna krem yang senada dengan heels. Sedangkan, Kak Panggih memakai kemeja berwarna biru langit dan celana jeans hitam. Rumah Yanti hanya dipenuhi oleh sanak keluarganya. Beberapa saudara dari ibunya yang mengenalku. Atau, teman SMP kami yang sama-sama telah beranjak dewasa. Ada raut wajah keheranan dari mereka. Mungkin enggan menanyakan perihal pria yang aku ajak kali i
Setelah bertemu dengan Yanti, aku pulang cukup malam. Aku baru saja memarkirkan sepeda motorku. Membuka pintu dan berjalan masuk ke dalam rumah. Pada saat melewati dapur, kulihat Maha sedang makan. Kemudian, mendekatinya yang melambaikan tangan. “Kenapa Maha?” tanyaku saat berada di sampingnya. “Duduk dulu, Kak Citra..” pinta Maha. Kali ini ia berhenti makan, dan mengusap bibirnya dengan tisu. Untuk beberapa detik, ia pun memandang penuh tanya kepadaku. “Ada apa? Tumben wajahmu sampai serius begitu,” tanyaku lagi. Karena Maha sama sekali tidak menjawabku. Entahlah. Sepertinya ada yang membuat pandangan mata Maha terlihat begitu berbeda. Aku memahami pribadinya dengan baik. Kalau sudah seperti ini, pasti ada hal yang ingin dibicarakan. Dibandingkan kedua orangtuaku, Maha lebih memilihku untuk menceritakan segala permasalahan yang dimilikinya. Sama seperti dulu. “Maha ingin menanyakan pendapat Kak Citra..” ucapnya menggantung kalimatnya. Terlihat beberapa kali berpikir, “Kaya
Sudah enam hari berlalu sejak terakhir kali berbicara dengan Yanti melalui sambungan telepon, sahabatku menyampaikan berita membahagiakan. Kalau ia akan segera bertunangan dengan Rangga. Karena acara besok begitu penting baginya, tadi pagi ia buru-buru menghubungiku dan mengajak untuk bertemu saat pulang kerja. Takutnya akan sulit bertemu karena mempersiapkan segala hal yang diperlukan setelah pertunangan. Biasanya kedua keluarga akan membicarakan pernikahan yang diadakan dalam beberapa bulan ke depan.Untungnya hari ini aku bisa pulang pada jam kerja normal. Dalam satu minggu, aku bisa dua atau tiga kali lembur kerja. Karena mengerjakan beberapa laporan harian yang jumlahnya cukup banyak. Apalagi kalau pengisian mesin ATM di hari jumat. Orang-orang terbiasa mengambil uang di mesin ATM sebelum weekend. Kali ini kami bertemu di salah satu Mal terkenal di Denpasar Timur, Ramayana Mal. Barang-barang yang dijual di sini bisa dibilang tidak terlalu mahal. Baik itu makanan yang dijual pa
Hari-hari berlalu dengan cepat. Sama seperti hal yang telah kulewati. Bisa dibilang setiap hari aku bertemu dengan Kak Panggih dan membicarakan banyak hal. Mengenai pekerjaan di kantor, atau perihal hubungan kami. Kak Panggih menjelaskan kalau orangtuanya ingin berbicara denganku minggu depan. Tentu saja mendengar hal itu membuatku merasa bahagia sekaligus khawatir. Aku tidak tahu tanggapan orangtuanya mengenai diriku. Apakah akan menyukaiku atau tidak? Yang pasti Kak Panggih sudah berusaha untuk memperjuangkan hubungan kami. Tiba-tiba aku kembali teringat dengan Dwiyan. Sejak pertemuan terakhir, ia memblokir semua media sosial milikku. Begitu juga nomor ponselku. Sejujurnya aku merasa sedikit bersalah. Karena aku yang memutuskan secara sepihak sebelumnya. Namun, kalau dipikirkan lagi, Dwiyan sama sekali tidak mencoba untuk mempertahankan hubungan yang terjalin. Sehingga aku pun pada akhirnya menyerah. Walaupun hubungan yang kujalani dengan Kak Panggih belum diketahui oleh orangtu
Aku baru saja selesai mandi dan sedang berpakaian. Tindakan nekat tadi masih terbayang olehku. Untungnya saja Kak Panggih menyelesaikannya dengan cepat. Kalau tidak, mungkin akan diketahui oleh pegawai lainnya. Aku memegangi pipiku yang terasa panas. Baru kali ini aku melakukan hal yang bisa dibilang cukup berani. Jam sepuluh malam aku baru sampai di rumah, lalu bergegas mandi. Untung saja orangtuaku sudah tidur. Karena sejak awal kedatanganku, pintu kamar tertutup rapat. Kecuali kamar Maha yang setengah terbuka. Biasanya jam segini adikku masih disibukkan dengan tugas sekolahnya. Tadi aku sempat mendengar suaranya samar-samar. Namun, aku buru-buru memasuki kamarku untuk bergegas mandi. Aku terpaku memandang pantulan tubuhku pada cermin. Masih terbayang jelas pengalaman pertama yang kurasakan. Bagaimana Kak Panggih menyusuri tiap lekuk tubuhku. Memberikan sentuhan yang membuatku terlena dan terasa sedikit menyakitkan. Bahkan, jantungku berdebar kencang hanya dengan membayangkan ke
Karena menghabiskan waktu sampai satu jam lebih untuk beristirahat, aku pun terpaksa harus lembur kerja hari ini. Seperti biasa, aku baru saja selesai mengirimkan pesan kepada ibuku kalau akan pulang sedikit malam. Untung saja Kak Sugeng membantu sebagian pekerjaanku, sehingga aku hanya perlu menyelesaikan laporan harian dan bulanan. Hari ini atasanku tidak masuk kerja. Kalau tidak, aku pasti sudah mendapatkan masalah. Aku jadi merasa tidak enak. Mungkin lain kali aku harus menolak ajakan Kak Panggih ke kosnya dalam waktu dekat. Bekas percintaan tadi siang masih jelas terasa. Kewanitaanku terasa perih. Baru kali ini aku merasa benar-benar berdebar hanya dengan memikirkan hal yang telah terjadi. Di saat aku sedang sibuk menginput data pada komputer, aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Lalu, aku pun menoleh dan mendapati Kak Panggih berdiri di hadapanku dengan senyuman lebar.“Kerjaan Kak Panggih sudah selesai?” tanyaku sambil tersenyum malu-malu. Mengingat kejadian t
Aku masih memejamkan mata dan meremas sprei gemas. Napasku masih memburu. Karena jilatan dan hisapan dari bibir Kak Panggih. Melihatku yang semakin melebarkan kedua kakiku, membuat Kak Panggih tersenyum genit.“Mmhh.. Geli Kak..” desahku pelan. Mencoba untuk mengontrol suaraku. Takutnya akan ada yang mendengar. “Tapi, enak kan?” tanya Kak Panggih terdengar menggodaku.“Iya..” jawabku malu-malu.“Sini, cobain yang lebih enak, Dik..”Kak Panggih pun bangkit berdiri. Kemudian, menarik tanganku untuk ikutan berdiri. Kali ini ia menanggalkan seluruh pakaian yang masih menempel di tubuhku. Setelah itu, Kak Panggih melepaskan kaos miliknya. Sehingga kami benar-benar telanjang bulat.Melihatku yang malu-malu, Kak Panggih justru merangkul pinggangku. Mendekatkan wajahnya dan kembali menciumi bibirku. Tangan kanannya pun meremas dadaku. Aku bisa merasakan kebanggaan miliknya yang tegang berulang kali menyentuh kewanitaanku yang basah. Aku membalas ciuman panas itu, bahkan karena terbaw
Siang ini, tidak biasanya Kak Panggih mengajakku untuk makan siang bersama. Awalnya aku berpikir kalau Kak Panggih akan mengajak makan di luar. Justru sebaliknya. Kami sekarang duduk berhadapan sambil menikmati nasi rendang. Tadi, sebelum ke kos Kak Panggih, kami mampir ke rumah makan padang dan memesan dua porsi nasi rendang.Selain sayur nangka yang gurih, rendangnya pun empuk dan sedikit pedas. Sedangkan untuk nasinya benar-benar pulen. Aku suka rasa unik dari sambal hijaunya. Terkesan cukup pedas dan gurih. Kombinasi yang benar-benar pas.Biasanya kalau sedang makan, Kak Panggih suka membicarakan banyak hal. Tumben hari ini tidak banyak bicara. Padahal tadi bilang ingin mengatakan sesuatu. Sekitar tiga puluh menit berlalu. Aku dan Kak Panggih pun telah menyelesaikan makan. Setelah itu merapikan sampahnya. Kak Panggih terlihat mengambil piring kotor, gelas, dan sendok yang tadi kami gunakan. Aku pun kembali duduk bersandar pada tembok. Sambil memperhatikan punggung bidang Kak
Hari rabu, jam delapan malam, setelah pulang kerja, aku pun seperti biasa harus kontrol ke Dokter Psikiater. Karena obatku hanya tinggal beberapa tablet untuk seminggu. Sudah lima belas menit aku menunggu di lantai tiga. Ada beberapa pasien dari ruangan dokter yang lain terlihat menunggu di bangku kayu sebelahku. Di hadapanku adalah ruang praktik Dokter Gigi. Dan, ruangan di pojok sebelah kanan di dekat tangga adalah praktik Dokter Spesialis Anak.Aku menumpukan kedua telapak tangan di pangkuanku. Tanpa sadar, aku tersenyum tipis. Akhir-akhir ini banyak hal-hal terjadi di luar dugaan. Salah satunya adalah kebahagiaan yang kurasakan karena suasana hangat di keluargaku.Selain itu hubunganku dengan Kak Panggih pun membaik. Meskipun aku belum mengenal orangtuanya. Mungkin kalau ada kesempatan, aku berniat untuk mengenal orangtua Kak Pak Panggih.Hanya saja, aku belum sempat menceritakan perihal penyakitku kepada kekasihku. Ada perasaan takut kalau Kak Panggih tidak dapat menerima kead