Waaa, sudah lama enggak lanjutin. Maaf, author kurang sehat >.< Semoga masih berkenan membaca cerita ini
“Andra? Tentu saja, Pak.” “Kau pecinta pria-pria tampan, ya? Baru beberapa menit yang lalu kau bilang mau menjadi sugar mommy ku,” rajuk Axel terlihat pura-pura. “Pak…,” jawab Hana dengan pandangan datar. ‘Asli Pak Bos menggelikan kalau merajuk begitu.’ “Kenapa kau mencintainya?” tanya Axel lagi, masih tampak penasaran. “Andra pernah menyelamatkanku. Ketika itu aku pulang telat dari kantor, dan melewati gang sepi dekat kosanku. Tiba-tiba ada segerombolan pria, tiga atau empat orang yang coba mengganggu. Mereka semua mabuk.” “Kamu lembur? Kapan?” sela Axel memotong cerita Hana. “Waktu pertama kali menggantikan tugas Mbak Sita jadi sekretaris.” “Ah…,” gumam Axel pelan. Ia merasa bersalah, saat itu ia begitu kesal karena Hana yang menggantikan tugas sekretaris lamanya bekerja sangat lambat. Axel ingat melihat sosok gadis itu yang pulang jam setengah satu malam dari balik jendela ruangannya. ‘Harusnya aku mengantarkannya malam itu,’ sesalnya dalam hati. “Salahku, harusnya aku memi
‘Tapi ada gundukan kok, bersyukur Hana setidaknya ada, enggak seperti kemarin.’ Kembali gadis itu meraba perut dan terus turun hingga di antara dua pahanya. “Huft,” gumam Hana kemudian sembari bangkit dari kasurnya. Ia melihat wajahnya dengan rambut kusut masai. “Hallo diriku,” sapa Hana sembari tersenyum pada pantulan cermin. ‘Kemarin bos ngeliat wajahku begini apa enggak mengumpat dalam hati ya?’ Segera gadis mungil itu bangkit dari kasurnya dan menyambut hari senin dengan perasaan ringan bahagia, hal ini tidak seperti biasanya bagi Hana. Senin merupakan hari yang paling ia kutuk setelah liburan menyenangkan di sabtu dan minggu. Dan, bertemu dengan bosnya merupakan hal yang paling menyebalkan dari semua itu. Namun, semenjak kejadian kemarin. Hana menanggapi hari ini cukup berbeda. Gadis dengan rambut panjang hingga sepunggung itu sekarang berjalan ringan menuju lobi kantornya. Seperti biasa Hana menyapa setiap orang di kantor dengan ramah, hingga seorang lelaki memanggil namanya
Dengan langkah panjang, Hana membawa box yang berisi berkas-berkasnya ke divisi keuangan. Ia masih kesal dengan perlakuan Axel. “Dasar orang kaya sombong! Semoga makanannya asin semua dan kejatuhan cicak,” gumam Hana seraya mengumpat. Akhirnya Hana kembali ke kubikelnya yang sudah dua bulan tak ia tempati. Rasanya sedikit aneh ketika ia mendudukan bokongnya di kursi itu, setelah terbiasa bekerja di meja sekretaris. Tepatnya di sebelah ruang kerja General Manager Harrison Food. Gadis berambut panjang hingga sepinggang itu mengembuskan napas panjang. “Kapan makan-makan? Merayakan kebebasan terlepas dari sang tiran tampan nih, Han?” tanya seorang wanita di awal umur empat puluh tahunnya. Tetangga kubikelnya, Marjeni. Seorang janda beranak tiga. Hana tak menjawab pertanyaan Marjeni. Ia hanya tertegun di tempatnya. ‘Apa ini maksud Pak Bos tentang ‘akan mengembalikan semuanya seperti semula?’” “Hana? Hana? Hana?” panggil Marjeni beberapa kali sebelum akhirnya ia meneriakan nama itu sambi
Axel memijat pelipis kepala, menahan kemarahannya yang sudah di ubun-ubun. Sudah pukul tiga sore tapi sekretaris barunya ternyata bekerja jauh lebih lambat daripada Hana. Belum lagi isi laporan yang dibuat Zidan salah semua hingga Axel harus bekerja dua kali sebelum mengirimkan berkas-berkas itu ke klien. “Apa semua anak buahku badut?” rutuk Axel sambil mengetuk-ngetuk jemari panjangnya di atas meja. Ia sudah sangat pusing dengan pekerjaan Zidan, Axel jadi sedikit menyesal membuat keputusan terburu-buru pagi ini. Yaitu mengganti Hana. “Hana,” gumam Axel sembari melihat ponselnya yang layarnya mati hidup dari tadi. Menandakan ada telepon masuk. Tidak, sambungan jarak jauh itu bukan dari Hana, melainkan dari kedua orang tua Axel yang dari semalam tak henti-hentinya menghubungi anak semata wayangnya itu, selain itu ada seseorang lagi yang terus menerus menerornya semalam. Axel menelungkupkan kepalanya di atas meja, menggunakan tangannya sebagai bantalan. Entah bagaimana ia ingin berce
“Apa lagi, Dan? Mau tanya pakai ekspedisi apa sekarang? Pakai ekpedisi ikan terbang!” bentak Axel terlihat terganggu dengan kedatangan seseorang lagi di ruangannya. “Saya Hana, Pak,” jawab seorang gadis seraya masuk ke dalam ruangan General Manager. “HANA! Ngapain kamu ke sini?” tanya Axel terkejut, bahkan kursinya sampai mundur sekitar satu meter karena yang sedang mendudukinya melompat kaget. “Saya enggak pernah manggil kamu ke ruangan.” “Oh memang saya enggak dipanggil, Pak. Saya datang sendiri,” jawab Hana. ‘Kok macam jaelangkung, datang tak diantar pulang tak dijemput.’ Gadis itu menelan salivanya sebelum melanjutkan. “Saya mau bertanya, Pak-.” “Saya lagi sibuk. Kamu bicarakan saja sama Zidan, nanti dia yang menyampaikan pada saya,” jawab Axel sambil menunjuk ke arah pintu. Namun, tangannya tanpa sengaja menyenggol mouse yang malah mengklik perintah untuk mengalihkan audio komputer dari headphone ke arah speaker ruangan, dan detik selanjutnya terdengar suara Gong Yoo nyaring
Hana diseret oleh geng sarapannya ke kantin, walau gadis itu masih belum terlalu lapar. Selain itu ia sengaja ingin berhemat hingga tak makan pagi ini. Hana khawatir jika Axel memotong gaji Andra, kekasihnya itu tak punya tempat meminjam uang lagi. Yap, Hana memang sebucin itu, tapi mengakuinya adalah hal yang berbeda. Namun, Zidan yang memiliki misi ‘curhat tentang Raja Neraka’ tentu saja tak terima jika Hana tak mengikuti ‘ritual’ pagi mereka. Apalagi selama dua bulan ini mereka menjadi pendengar setia curhatan Hana seputar Raja Neraka. “Bos elu tuh ya! Perasaan gue sih reinkarnasi Roro Jonggrang. Ngasih tugas tuh berasa buat seribu candi dan harus selesai sebelum fajar. Masa dia minta gue rangkum penjualan kripik jamur dari seluruh Indonesia dalam lima tahun terakhir ini?” keluh Zidan. Hana langsung mencibir. “Dulu ya aku tuh ngeluh begini katamu ‘lebai’.” “Ya maaf, Han. Gue enggak tahu aja si Raja Neraka permintaannya mustahil bin gak masuk akal.” “Sebenarnya enggak mustahil
Mereka masih berada di kantin kantor saat ini. Kantin itu sebenarnya tidak cocok disebut ‘kantin’ karena interiornya yang nyaris menyamai sebuah cafe. Bahkan makanan yang terhidang juga kualitas terbaik, selayaknya restoran berbintang. Selain itu, tempat makan ini juga terbuka untuk umum karena letaknya ada di lantai bawah kantor yang menghadap jalan, tapi untuk pengunjung yang merupakan pegawai kantor tentu saja mendapat potongan harga hingga bisa dikatakan harga menu di cafe ini cukup terjangkau. “Jangan-jangan Pak Axel menunjuk gue menjadi sekretaris karena naksir gue kali ya?” gumam Zidan penuh percaya diri tak mempedulikan sanggahan Hana. Jennie langsung menoyor kepala Zidan. “Mikir dong, Dan. Logikanya kalau Pak Axel itu naksir Pak Andra terus akhirnya terjun ke kamu, kejauhan kali turun seleranya.” Zidan manyun sambil mengelus-elus jidatnya. “Mbak Jennie kasar deh.” “Terus Bapak naksir balik enggak?” tanya Elira sambil merapatkan tubuhnya ke arah Andra. “Aku masih doyan wan
“Mana sekretaris kamu!” jerit Salia marah sembari menghentak-hentakan kakinya ke lantai. Zidan langsung terlonjak di tempatnya karena merasa terpanggil. ‘Hari kedua gini amat nasib jadi sekretaris Raja Neraka,’ keluhnya dalam hati. “Sa-saya,” ucap Zidan sambil menongolkan kepalanya dari balik pintu dengan takut-takut. “Kamu ngapain di sini,” gumam Axel lemah melihat lelaki tambun yang tiba-tiba nyengir dan masuk ke dalam ruang kerjanya. “Kamu-,” ucap Salia sambil menunjuk Zidan. “Saya sekretarisnya, Mbak Salia,” jawab Zidan masih memberikan senyum pasta gigi. “Tidak mungkin! Mas Axel suka dengan lelaki!” jerit gadis berambut ungu itu histeris. “Dan ia bahkan- tidak Mas! Kenapa kau tega! Mas! Ayo kembali ke jalan yang benar!” sorak Salia sambil berlari ke arah Axel dan mengguncang-guncangkan tubuh kekar lelaki itu. Axel menarik napas berat. ‘Kenapa wanita ini suka sekali drama, dan apa yang sedang terjadi sekarang?’ Lelaki bersurai coklat gelap itu menghempaskan tangan Salia. “
“Pagi!” Hana menyapa teman-temannya dengan ceria di depan cafetaria. Gadis berkulit putih itu seakan lupa apa yang terjadi dengannya kemarin. Tampaknya Axel yang menghibur Hana semalaman cukup mampu membuat gadis itu berhenti ketakutan.“Hana! Sini kumpul!” panggil Jennie yang langsung melambai-lambaikan tangannya di salah satu pojok favorit mereka di kantin kantor. Seperti biasa mereka melakukan ritual pagi hari, apalagi kalau bukan sarapan bareng.Hana langsung memesan teh kembang telang di kasir sebelum berjalan ke tempat teman-temannya berada.“Eh kamu kok jarang sarapan sih, Han? Beberapa hari terakhir ini aku lihat? Diet ya?” tanya Jennie perhatian, sesaat sebelum Hana merebahkan bokongnya di kursi.“Eh, ah iya.” Hana terlihat bingung menjawabnya. Jennie dan teman-temannya saja yang tidak tahu kalau setiap pagi ia selalu sarapan tepat jam enam bersama bos besar perusahaan ini. Axel memang setertib itu kalau urusan makan. ‘Tapi kenapa ia malah makan steak malam-malam denganku k
“Siapa yang mereka maksud dengan pedagang bakso boraks! Tuduhan macam apa itu!” teriak Axel kesal. Selama ini, pria itu bahkan selalu menghindari makan daging yang dicampur tepung yang dibentuk bulat itu. Hal itu semata-mata agar tubuhnya tetap atletis. Bagaimana mungkin sekarang seseorang membuatkannya skandal dengan pedagang bakso? Sudah begitu pedagang bakso borak pula!“Aku akan menuntut media ini karena telah menyebarkan hoax,” geram Axel. Tapi belum sempat ia membuka kunci ponsel pintarnya. Sebuah video diputar dalam acara gosip itu.Tampak Salia yang sedang berjalan di selasar apartemen yang sangat Axel hafal sekali karena itulah jalan yang selalu ia lewati setiap pulang dan pergi dari apartemennya.Sampai pada adegan Salia membeberkan bahwa dirinya sedang menuju kediaman tunangannya membuat Axel mengumpat pelan. "Sialan! Aku bahkan sama sekali tidak ada niat untuk melanjutkan hubungan ini."Video yang masih terputar di ponsel Hana pun berlanjut dengan adegan Salia mengetuk pin
Hana langsung membanting pintu apartemen Axel hingga menutup, segera gadis itu juga mengunci rapat akses keluar masuk kediamannya sekarang. Hal itu sontak membuat gadis berambut ungu yang berada di balik pintu itu semakin murka dan menggedor-gedor dengan ganas. Terdengar suara teriakan-teriakan Salia. Gadis yang berprofesi sebagai artis itu kemudian menghadap kamera dengan wajah yang basah karena air mata. “Aku diselingkuhi, guys. Ini salahku kah? Ah, tentu saja salahku. Apa kalian melihat wanita itu? Aku atau dia yang lebih cantik menurut kalian?” Salia membaca komentar-komentar yang berseliweran di layar media sosialnya. “Ah aku seperti malaikat menurut kalian, dan wanita barusan seperti pedagang bakso boraks. Kita tidak boleh seperti itu, para KUMIS. Jangan body shaming walau dia lebih jelek, pendek, bulat seperti tahu bulat digoreng dadakan kita tidak boleh menjudge seseorang.” “Ah malaikat sepertiku kenapa diselingkuhi kata kalian? Mungkin aku tidak lebih baik dari gadis itu,”
“Hai guys! Para KUMIS ngapain nih di malam ini? Sudah makan belum? Di temenin siapa? Sendirian dong, kalau ada yang nemenin Salia sedih nih,” ucap gadis berparas cantik dengan tinggi semampai pada sebuah benda pipih yang dipegang oleh seorang wanita yang mengikutinya sejak tadi. “Mundur,” Salia memberikan kode pada asistennya itu dengan tatapan mata. Tapi Ratna -si asisten tak mengerti-. Gadis berambut ungu kembali tersenyum pada kamera. “Sebentar teman-teman ada yang meminta tanda tangan nih,” ucapnya padahal mereka ada di parkiran mobil yang sepi dan tak ada seorang pun kecuali mereka berdua. “Jangan terlalu dekat! Aku enggak mau hidungku terlihat besar! Dan pakai filter untuk panas terik, kalau filter yang ini membuatku terlihat pucat karena ini khusus filter saat cuaca turun hujan dan di tempat yang sedikit pencahayaan. Gimana sih? Masa setting filter saja enggak bisa! Terus kalau ada orang lain, alihkan kameranya biar enggak kena filter! Jadi enggak kelihatan aku pakai filter! D
"APA!" jerit Hana yang langsung otomatis berdiri. Ia bahkan menyenggol es timunnya hingga jatuh mengenai Zidan."Hana elu ah bar bar betul!" protes Zidan yang bajunya terkena tumpahan es timun."Sama siapa Kak Zidan?" tanya Elira yang dari raut mukanya juga tak kalah terkejutnya dengan Hana."Sama… emak gue!" jawab Zidan yang langsung mendapat hadiah berupa toyoran kepala dari Jennie sebagai reaksi atas jawaban Zidan itu."Kamu yang benar saja! Sudah buat kaget tahu!" cecar janda beranak tiga itu."Ish becanda, Mbak. Raja Neraka sudah nikah sama Salia itu sudah pasti, siapa lagi? Kita tinggal tunggu saja mereka go publik. Paling sebentar lagi.""Kenapa mereka belum umumin tapi ya?" tanya Elira sembari melirik penasaran ke arah Hana. "Apa ada hati yang harus dijaga?""Oh tentu! Sebagai seorang artis, Salia kan punya banyak penggemar. Mungkin menunggu momentum yang tepat biar para fans tidak kecewa terlalu berat," jawab Zidan terkesan bijaksana. Zidan sebagai salah satu admin fanbase t
“Dia tidak ada kaitan dengan hal ini,” geram Axel dengan tatapan tajam. Zidan saja yang berada di samping pria tampan itu bergidik ketakutan.“Luar biasa, kau yang ku kenal selalu hati-hati sekarang malah kecolongan seperti ini,” ucap Gerrard kemudian tertawa meremehkan. “Aku akan tetap mengusut hal ini Axel, kau terlalu cepat sepuluh tahun untuk menggurui ku hanya karena ibuku berpihak padamu.”“Bukankah kau sudah melihat sendiri laporan keuangan itu? Bersih!”Gerrard menaikkan sebelah alisnya. “Hanya ada satu syarat Axel agar aku tidak lagi membahas hal ini. Kau tahu kan bagaimana aku mengusut sesuatu hingga aku mendapatkan apa yang aku inginkan? Lubang semut pun akan ku gali.”“Bahkan lubang pantat pun akan kau masuki jika perlu,” ejek Axel. Zidan nyaris tertawa saat mendengar bosnya membalas perkataan Gerrard seperti itu.Axel kemudian menyerahkan laporan keuangan itu ke pangkuan Zidan. “Kembalikan pada tempatnya,” perintah Axel, hal itu sekaligus sebuah bentuk pengusiran halus pa
“Bapak tahu kan maksud kiasan itu,” bantah Hana kesal. “Kamu pikir saya suka sama siapapun bahkan kambing? Wah, saya tersinggung jika kamu berkata seperti itu Han!” “Ya, menurut Bapak, apa lebihnya saya yang membuat Bapak tertarik? Enggak ada kan?” tanya Hana dengan kesal menatap bosnya. “Jadi kamu kambing?” Zidan yang dari tadi ingin masuk ke ruangan Axel jadi menarik ulur niatnya karena mendengar Hana dan Axel di dalam teriak-teriak perkara kambing. ‘Ini mau akikahan apa bagaimana? Kenapa bahas kambing sampai segitunya?’ “Permisi Pak,” ucap Zidan akhirnya memberanikan diri untuk masuk. “Ada Pak-.” “Kambing! Siapa suruh kamu masuk?” hardik Axel yang malah melemparkan kemarahan pada Zidan. Ah, bukan. Ia juga kesal sedari tadi pada lelaki tambun yang merupakan sekretarisnya itu. “Ma-maaf, Pak,” ucap Zidan ketakutan sambil tertunduk-tunduk. “Ada tamu, Pak.” “Kenapa enggak bilang dari tadi!” ucap Axel dengan nada ketus. ‘Yeu, belum juga gue ngomong sudah dipanggil kambing, bias
“Kita ngapain semalam?” Tampak lipatan di antara kedua alis Axel sebelum laki-laki itu tersenyum samar. “Menurut kamu ngapain?” "Saya nanya. Kenapa malah Bapak balik nanya?" Hati Hana sudah dongkol maksimal kali ini. Ia lupa lelaki lawan bicaranya merupakan bos besar, kreditur, juga suami sahnya. "Bukannya kamu sudah bisa simpulin sendiri kita ngapain semalam? Bahkan kamu kan sudah cerita dengan leluasa masalah ranjang sama rekan kerja." "Maksudnya?" Hana kebingungan. "Tadi saya dengar kamu bahas masalah ini sama Zidan, bahkan dia juga ngasih testimoni buat kamu kan? Kamu bisa naikin nafsu dia," jelas Axel. “Enggak nyangka saja sih pembahasan karyawan perusahaan ini semenjijikan itu, bahkan bisa membahas masalah ranjang dengan santai. Yah walau kamu hanya wanita yang menikah di atas kertas tapi kenapa itu menjijikan sekali, ya. Apa kamu biasa membahas hal itu dengan lelaki?” Suasana langsung hening dan canggung sesaat setelah Axel berkata seperti itu. Mereka berdua masih menatap d
Zidan langsung berlari panik ke tempat Axel berada. Kemudian pemandangan pria tambun itu tampak sangat menyedihkan dimarahi sebegitu rupa oleh General Manager Harrison Food. Sembari tertunduk-tunduk Zidan dengan langkah gontai mengikuti Axel, sedangkan lelaki itu menatap Hana dengan tatapan tajam sebelum berpaling naik ke ruangannya yang berada di lantai atas. “Raja Neraka kenapa dah? Makin hari makin serem saja,” celetuk Jennie sambil bergidik. “Dia enggak marah sama kita juga kan? Tatapannya membunuh banget tadi.” Hana menggeleng menjawab pertanyaan Jennie. ‘Kenapa ia harus marah sama kita? Tepatnya aku? Aku enggak salah kan? Apa semalam aku yang malah memaksanya meniduriku? Lagipula ini kan karena minuman dari Nenek? Masa aku yang salah? Itu kan Neneknya!' Hana menggeram kesal karena pikirannya sibuk dengan berbagai macam pertanyaan. Akhirnya ia memutuskan akan berbicara dengan Axel sesegera mungkin, karena hanya lelaki itu yang bisa menjawab segala pertanyaan di kepalanya. “Mau