Share

Bab 6

Author: Nur Avillah
last update Last Updated: 2024-09-21 17:01:24

Ketika Riana melangkah keluar dari kafe, ponselnya bergetar. Ia melihat layar, dan ada pesan dari Dina:

"Bagaimana tadi? Kamu baik-baik saja?"

Riana menghela napas panjang sebelum menjawab, "Sudah selesai. Aku rasa ini benar-benar berakhir."

Tidak butuh waktu lama sebelum Dina membalas, "Akhirnya. Kamu sudah terlalu lama terseret dalam masalah ini. Mau aku jemput?"

"Tidak perlu, aku butuh waktu sendiri," balas Riana, memasukkan ponselnya ke dalam tas. Namun langkahnya belum sempat jauh ketika pintu kafe di belakangnya terbuka dengan keras.

"Riana, tunggu!" Arman keluar, setengah berlari.

Riana menoleh, menatapnya tanpa emosi. "Apa lagi, Arman?"

"Aku nggak bisa biarin kita berakhir seperti ini." Arman mendekat, matanya terlihat penuh putus asa. "Beri aku kesempatan. Aku akan berubah. Demi kita."

"Kamu sudah bilang itu berkali-kali," jawab Riana, suaranya tetap tenang. "Tapi tidak ada yang berubah."

"Tapi kali ini aku serius, Riana!" Arman menyentuh lengan Riana, memohon. "Aku rela melakukan apa saja. Aku bisa ikut terapi, apa pun yang kamu mau. Aku akan perbaiki semua!"

Riana melepaskan tangannya dengan lembut. "Arman, aku nggak bisa hidup terus dalam harapan kosong. Aku sudah terlalu banyak terluka."

"Tapi kamu juga masih sayang sama aku, kan?" Arman bertanya dengan mata yang penuh harap. "Aku bisa lihat itu tadi di kafe. Kamu masih peduli, Riana. Tolong, jangan pergi."

Riana tertawa kecil, pahit. "Ini bukan soal cinta lagi, Arman. Ini soal kepercayaan. Dan kepercayaan itu... sudah hancur."

Arman terdiam, merasakan kata-kata Riana seperti pisau yang menancap dalam. "Aku cuma butuh satu kesempatan lagi, Riana. Satu saja."

"Tidak ada lagi kesempatan, Arman." Riana menatapnya dengan mata yang basah. "Kamu udah buang semuanya. Aku sudah selesai."

Arman memegang kepalanya, frustrasi. "Apa yang harus aku lakukan biar kamu nggak pergi?"

"Tidak ada," Riana berkata tegas. "Kamu harus belajar melepaskan. Sama seperti aku."

Arman tidak bisa berkata-kata. Ia hanya berdiri di sana, menatap Riana seolah-olah baru saja kehilangan segalanya.

Riana menatapnya sejenak sebelum berbalik dan berjalan pergi. Tidak ada lagi kata-kata.

"Riana!" Arman memanggil sekali lagi, kali ini suaranya parau, penuh putus asa. "Aku mohon… jangan tinggalkan aku seperti ini."

Riana berhenti sejenak, punggungnya masih menghadap Arman. "Ini bukan soal meninggalkan, Arman. Ini soal membebaskan diri kita berdua."

"Aku nggak butuh kebebasan!" Arman memotong dengan suara keras. "Aku butuh kamu, Riana. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu!"

Riana menghela napas dalam, menutup matanya. “Lalu kenapa kamu hancurkan semuanya? Kenapa kamu tega khianatin aku kalau kamu nggak bisa hidup tanpaku?"

"Aku bodoh!" Arman berteriak, langkahnya mulai mendekati Riana lagi. "Aku nggak tahu apa yang terjadi saat itu. Aku kehilangan kendali. Tapi aku mau berubah! Aku bisa berubah!"

Riana berbalik, menatap Arman dengan tajam. "Berubah? Kamu bicara soal berubah setelah semua ini hancur? Apa kamu nggak lihat betapa hancurnya aku selama ini?"

Arman terdiam, bibirnya bergetar, tapi tidak ada kata yang keluar.

"Aku sudah kasih kamu banyak kesempatan," lanjut Riana, suaranya mulai gemetar. "Bahkan saat aku tahu soal Melati, aku tetap bertahan. Aku pikir kamu bisa berubah. Tapi setiap kali, kamu selalu kecewakan aku."

"Kali ini beda, Riana," Arman berusaha, suaranya melemah. "Aku sadar, aku terlalu egois selama ini. Tapi aku bisa perbaiki semuanya."

Riana menggeleng, air mata mulai jatuh di pipinya. "Kamu nggak ngerti, Arman. Kamu nggak bisa perbaiki semuanya dengan kata-kata. Yang hancur di antara kita... lebih dari sekadar hubungan. Ini soal hati. Dan hatiku... sudah terlalu sakit."

Arman tampak semakin lemah, seolah semua tenaga keluar dari tubuhnya. "Aku cuma butuh waktu, Riana…"

"Berapa banyak waktu lagi yang kamu butuhkan, Arman?" Riana menantangnya. "Aku sudah habiskan bertahun-tahun mencoba memperbaiki apa yang kamu rusak. Tapi sekarang, aku nggak punya waktu lagi buat itu."

Arman menarik napas panjang, matanya terlihat putus asa. "Tolong... aku mohon..."

Riana menunduk, mencoba menahan tangis yang semakin mendesak. "Kamu harus berhenti meminta, Arman. Karena tidak ada yang tersisa untuk diberikan."

"Aku nggak bisa terima ini," gumam Arman pelan. "Aku nggak bisa…"

Riana menatapnya dengan pandangan penuh kesedihan. "Kamu harus terima, Arman. Untuk kita berdua. Karena kalau kamu terus begini, kita nggak akan pernah bisa maju."

Arman menatap tanah, tangannya mengepal, berusaha menahan emosi yang berkecamuk. "Aku... aku benar-benar kehilangan kamu, ya?"

Riana mengangguk pelan, akhirnya berkata dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Kamu sudah kehilangan aku sejak lama, Arman."

Dengan kata-kata itu, Riana berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Arman yang hanya bisa terdiam di belakangnya, menghadapi kenyataan yang tak bisa dihindari.

Arman berdiri terpaku, menatap punggung Riana yang semakin menjauh. Tangannya gemetar, tinjunya mengepal di sisi tubuhnya. Satu kata, satu kalimat pun tak sanggup lagi ia ucapkan.

"Riana!" suaranya melemah, nyaris tenggelam dalam angin malam yang dingin.

Riana terus berjalan, tak ada tanda-tanda akan berbalik. Langkahnya mantap, seperti seseorang yang akhirnya menemukan kebebasannya sendiri.

Arman terjatuh di bangku trotoar, kedua tangannya menutupi wajah. Segala emosi berputar dalam dirinya—penyesalan, marah pada diri sendiri, dan rasa kehilangan yang begitu dalam.

Ponsel di saku Arman bergetar. Ia hampir tak peduli, tapi akhirnya melihat layarnya.

**Melati**. Nama itu muncul, seperti mimpi buruk yang tak pernah usai.

"Arman? Kamu di mana?" suara Melati terdengar dari seberang telepon ketika ia mengangkatnya dengan gemetar.

"Jangan telepon aku lagi," jawab Arman dengan suara serak.

"Apa maksudmu?" tanya Melati, bingung. "Aku pikir—"

"Kita sudah selesai. Semua ini... semua ini kesalahanku. Dan aku nggak akan terus bohong lagi."

Suara di seberang terdiam, lalu Melati berbisik, "Arman... jangan begini..."

"Sudah cukup, Melati," potong Arman dengan tegas, meskipun suaranya pecah. "Aku sudah kehilangan Riana. Aku nggak mau terus kehilangan diriku sendiri."

Telepon itu terputus begitu saja, tanpa jawaban lebih lanjut dari Melati. Arman menatap ponselnya untuk beberapa saat, lalu melemparkannya ke tanah dengan frustrasi.

**

Sementara itu, Riana melangkah semakin jauh, menjauh dari segala beban yang selama ini menggantung di hatinya. Angin malam menyapu wajahnya, membawa kesejukan yang terasa baru. Ponselnya kembali bergetar di dalam tas, dan kali ini ia melihat nama Dina muncul.

_"Aku di dekat sini. Kamu di mana?"_

Riana menarik napas panjang, akhirnya membalas, _"Di taman dekat kafe. Butuh waktu sebentar."_

Tidak butuh waktu lama sebelum Dina muncul, berlari kecil mendekati Riana. "Riana, kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan wajah penuh khawatir.

Riana tersenyum tipis, meskipun matanya masih sembab. "Aku sudah memutuskan, Din. Semuanya sudah selesai."

Dina meraih tangan Riana, menggenggamnya erat. "Kamu kuat. Aku tahu ini berat, tapi kamu sudah melakukan yang terbaik."

Riana menatap temannya sejenak, matanya berkaca-kaca lagi. "Aku nggak tahu apa ini keputusan yang benar. Tapi aku nggak bisa lagi tinggal dalam bayangan masa lalu."

"Itu keputusan yang paling benar," jawab Dina dengan tegas. "Kamu berhak bahagia, Riana. Dan kamu nggak akan pernah bisa bahagia kalau terus terseret oleh masa lalu."

Riana mengangguk, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan lagi. "Aku nggak pernah merasa begini kosong, tapi di sisi lain... aku juga merasa bebas."

Dina tersenyum, mengusap lembut punggung Riana. "Dan dari sini, kamu bisa mulai mengisi kembali hidupmu. Dengan hal-hal yang lebih baik, tanpa beban."

Riana menarik napas panjang, lalu menatap ke langit malam yang mulai cerah oleh bintang-bintang. "Mungkin... ini saatnya aku menemukan diriku yang baru."

Dina merangkul bahu Riana erat, memberikan dukungan yang tak terucapkan. Mereka berdua berjalan meninggalkan taman.

Related chapters

  • Di Balik Topeng Pengkhianatan   Bab 1:

    Malam itu, hujan turun deras membasahi jendela kamar, seakan menggambarkan suasana hati Riana yang kelabu. Di luar, kilat sesekali menyambar, menerangi langit yang gelap, tapi di dalam kamar, hanya ada kesunyian yang terasa mencekam. Arman belum pulang, lagi. Riana menatap jam dinding, jarum-jarumnya bergerak lambat, seolah mengejeknya dengan waktu yang tak kunjung memberi jawaban. Di meja makan, piring-piring yang tertata rapi kini sudah dingin. Makan malam yang disiapkannya dengan penuh cinta tadi sore kini tampak seperti hiasan tak berarti. Riana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. Tapi pikiran-pikirannya terus berputar, menebak-nebak alasan mengapa Arman semakin sering pulang larut. "Ini hanya pekerjaan," bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan dirinya. "Arman sibuk dengan proyek baru. Itu saja." Tapi bayangan pesan singkat yang tak sengaja ia temukan di ponsel Arman beberapa hari lalu terus menghantuinya. Pesan singkat itu hanya berbun

    Last Updated : 2024-08-20
  • Di Balik Topeng Pengkhianatan   Bab 2:

    Pagi menjelang tanpa Arman di sisi Riana. Suara jam dinding berdetak dengan ritme lambat, seolah mengingatkan Riana akan kesunyian yang semakin menyesakkan hatinya. Ia terbangun dengan kepala yang terasa berat, matanya sembab karena tangisan yang tak kunjung berhenti semalam. Kepastian yang ia minta, akhirnya ia dapatkan. Namun, bukannya jawaban yang menenangkan, kepastian itu menghancurkan segala harapan yang pernah ia miliki tentang cinta mereka. Arman tidak secara eksplisit mengatakan bahwa ia berselingkuh, tetapi kehadiran wanita lain yang menjadi tempat curhatnya sudah cukup untuk membunuh setiap sisa kepercayaan dalam hati Riana. Riana menatap dirinya di cermin kamar mandi. Wajah yang dulu penuh dengan harapan dan cinta kini berubah. Matanya redup, seperti nyala lilin yang nyaris padam. Ia bertanya-tanya, bagaimana semua bisa berubah secepat ini? Di mana pria yang dulu mencintainya dengan sepenuh hati? Hari itu, Riana memutuskan untuk tidak berdiam diri lagi. Ia tidak bisa

    Last Updated : 2024-08-20
  • Di Balik Topeng Pengkhianatan   Bab 3:

    Hari itu hujan turun lagi, seperti langit turut berduka atas apa yang terjadi dalam kehidupan Riana. Ia menatap jendela, menyaksikan butir-butir air yang jatuh dengan cepat, memantul di permukaan kaca. Hatinya bergemuruh, penuh dengan emosi yang bercampur aduk—marah, sedih, dan yang paling menyakitkan, pengkhianatan. Hujan seperti mengiringi langkah-langkahnya, seakan alam paham betul bahwa badai besar sedang menanti di depan. Sore itu, Dina duduk di seberang Riana di sebuah kafe kecil di tengah kota. Dina menatap sahabatnya dengan penuh perhatian, mencoba membaca ekspresi Riana yang dari tadi hanya diam, menundukkan kepala sambil menatap cangkir kopi di tangannya. Dina tahu bahwa dalam diri Riana, ada ribuan pertanyaan yang ingin keluar, tetapi tertahan oleh ketakutan dan rasa sakit yang terus menggerogotinya. "Jadi, apa rencanamu sekarang?" Dina akhirnya memecah kesunyian, suaranya pelan tapi penuh pengertian. Riana mengangkat kepalanya, menatap sahabatnya dengan mata yang masi

    Last Updated : 2024-08-20
  • Di Balik Topeng Pengkhianatan   Bab 4:

    Dua minggu telah berlalu sejak Riana meninggalkan Arman di kafe itu. Sejak hari itu, hidupnya terasa seperti berjalan di atas kepingan kaca—setiap langkah yang diambilnya terasa menyakitkan, namun setiap pecahan kecil yang terinjak memaksanya untuk terus maju, perlahan-lahan menyatukan potongan-potongan dirinya yang hancur. Rumah yang dulu penuh dengan kenangan manis kini terasa hampa. Setiap sudutnya mengingatkan Riana pada cinta yang pernah ada, namun kini hanya ada bayangan masa lalu yang terus menghantui. Foto pernikahan mereka yang masih tergantung di dinding terasa seperti ejekan, pengingat akan janji-janji yang tak pernah ditepati. Riana memutuskan untuk tidak tinggal diam. Selama bertahun-tahun, ia mengorbankan banyak hal demi pernikahannya. Cintanya pada Arman membuatnya lupa akan dirinya sendiri. Namun, sekarang segalanya telah berubah. Kali ini, Riana memilih untuk merawat luka-lukanya sendiri, tanpa lagi berharap pada orang lain untuk menyembuhkannya. Sore itu, ketika

    Last Updated : 2024-08-20
  • Di Balik Topeng Pengkhianatan   Bab 5:

    Hari-hari berlalu dengan cepat, namun waktu seolah berjalan lambat di hati Riana. Meski ia telah memulai langkah-langkah kecil untuk membangun hidupnya kembali, bayangan masa lalu terus membayangi pikirannya. Setiap kali ia mencoba melangkah maju, selalu ada sesuatu yang menariknya kembali—entah itu pesan dari Arman yang tak kunjung berhenti, atau kenangan-kenangan yang masih melekat erat di setiap sudut rumah. Riana menghabiskan sebagian besar waktunya di galeri kecil tempat ia bekerja sebagai asisten kurator. Pekerjaan itu memberikan rasa tenang yang tak bisa ia temukan di tempat lain. Dikelilingi oleh karya seni, ia merasa bahwa ia mulai menemukan dirinya kembali, seperti cat yang perlahan melapisi kanvas kosong, menciptakan gambar baru dari reruntuhan masa lalu. Namun, di balik semua itu, ada perasaan yang tak bisa ia singkirkan—apakah ia benar-benar bisa melupakan semuanya? Apakah ia mampu mengampuni Arman, atau apakah dendam masih berkecamuk di dalam hatinya? Suatu sore, keti

    Last Updated : 2024-08-20

Latest chapter

  • Di Balik Topeng Pengkhianatan   Bab 6

    Ketika Riana melangkah keluar dari kafe, ponselnya bergetar. Ia melihat layar, dan ada pesan dari Dina: "Bagaimana tadi? Kamu baik-baik saja?"Riana menghela napas panjang sebelum menjawab, "Sudah selesai. Aku rasa ini benar-benar berakhir."Tidak butuh waktu lama sebelum Dina membalas, "Akhirnya. Kamu sudah terlalu lama terseret dalam masalah ini. Mau aku jemput?""Tidak perlu, aku butuh waktu sendiri," balas Riana, memasukkan ponselnya ke dalam tas. Namun langkahnya belum sempat jauh ketika pintu kafe di belakangnya terbuka dengan keras."Riana, tunggu!" Arman keluar, setengah berlari. Riana menoleh, menatapnya tanpa emosi. "Apa lagi, Arman?""Aku nggak bisa biarin kita berakhir seperti ini." Arman mendekat, matanya terlihat penuh putus asa. "Beri aku kesempatan. Aku akan berubah. Demi kita.""Kamu sudah bilang itu berkali-kali," jawab Riana, suaranya tetap tenang. "Tapi tidak ada yang berubah.""Tapi kali ini aku serius, Riana!" Arman menyentuh lengan Riana, memohon. "Aku rela me

  • Di Balik Topeng Pengkhianatan   Bab 5:

    Hari-hari berlalu dengan cepat, namun waktu seolah berjalan lambat di hati Riana. Meski ia telah memulai langkah-langkah kecil untuk membangun hidupnya kembali, bayangan masa lalu terus membayangi pikirannya. Setiap kali ia mencoba melangkah maju, selalu ada sesuatu yang menariknya kembali—entah itu pesan dari Arman yang tak kunjung berhenti, atau kenangan-kenangan yang masih melekat erat di setiap sudut rumah. Riana menghabiskan sebagian besar waktunya di galeri kecil tempat ia bekerja sebagai asisten kurator. Pekerjaan itu memberikan rasa tenang yang tak bisa ia temukan di tempat lain. Dikelilingi oleh karya seni, ia merasa bahwa ia mulai menemukan dirinya kembali, seperti cat yang perlahan melapisi kanvas kosong, menciptakan gambar baru dari reruntuhan masa lalu. Namun, di balik semua itu, ada perasaan yang tak bisa ia singkirkan—apakah ia benar-benar bisa melupakan semuanya? Apakah ia mampu mengampuni Arman, atau apakah dendam masih berkecamuk di dalam hatinya? Suatu sore, keti

  • Di Balik Topeng Pengkhianatan   Bab 4:

    Dua minggu telah berlalu sejak Riana meninggalkan Arman di kafe itu. Sejak hari itu, hidupnya terasa seperti berjalan di atas kepingan kaca—setiap langkah yang diambilnya terasa menyakitkan, namun setiap pecahan kecil yang terinjak memaksanya untuk terus maju, perlahan-lahan menyatukan potongan-potongan dirinya yang hancur. Rumah yang dulu penuh dengan kenangan manis kini terasa hampa. Setiap sudutnya mengingatkan Riana pada cinta yang pernah ada, namun kini hanya ada bayangan masa lalu yang terus menghantui. Foto pernikahan mereka yang masih tergantung di dinding terasa seperti ejekan, pengingat akan janji-janji yang tak pernah ditepati. Riana memutuskan untuk tidak tinggal diam. Selama bertahun-tahun, ia mengorbankan banyak hal demi pernikahannya. Cintanya pada Arman membuatnya lupa akan dirinya sendiri. Namun, sekarang segalanya telah berubah. Kali ini, Riana memilih untuk merawat luka-lukanya sendiri, tanpa lagi berharap pada orang lain untuk menyembuhkannya. Sore itu, ketika

  • Di Balik Topeng Pengkhianatan   Bab 3:

    Hari itu hujan turun lagi, seperti langit turut berduka atas apa yang terjadi dalam kehidupan Riana. Ia menatap jendela, menyaksikan butir-butir air yang jatuh dengan cepat, memantul di permukaan kaca. Hatinya bergemuruh, penuh dengan emosi yang bercampur aduk—marah, sedih, dan yang paling menyakitkan, pengkhianatan. Hujan seperti mengiringi langkah-langkahnya, seakan alam paham betul bahwa badai besar sedang menanti di depan. Sore itu, Dina duduk di seberang Riana di sebuah kafe kecil di tengah kota. Dina menatap sahabatnya dengan penuh perhatian, mencoba membaca ekspresi Riana yang dari tadi hanya diam, menundukkan kepala sambil menatap cangkir kopi di tangannya. Dina tahu bahwa dalam diri Riana, ada ribuan pertanyaan yang ingin keluar, tetapi tertahan oleh ketakutan dan rasa sakit yang terus menggerogotinya. "Jadi, apa rencanamu sekarang?" Dina akhirnya memecah kesunyian, suaranya pelan tapi penuh pengertian. Riana mengangkat kepalanya, menatap sahabatnya dengan mata yang masi

  • Di Balik Topeng Pengkhianatan   Bab 2:

    Pagi menjelang tanpa Arman di sisi Riana. Suara jam dinding berdetak dengan ritme lambat, seolah mengingatkan Riana akan kesunyian yang semakin menyesakkan hatinya. Ia terbangun dengan kepala yang terasa berat, matanya sembab karena tangisan yang tak kunjung berhenti semalam. Kepastian yang ia minta, akhirnya ia dapatkan. Namun, bukannya jawaban yang menenangkan, kepastian itu menghancurkan segala harapan yang pernah ia miliki tentang cinta mereka. Arman tidak secara eksplisit mengatakan bahwa ia berselingkuh, tetapi kehadiran wanita lain yang menjadi tempat curhatnya sudah cukup untuk membunuh setiap sisa kepercayaan dalam hati Riana. Riana menatap dirinya di cermin kamar mandi. Wajah yang dulu penuh dengan harapan dan cinta kini berubah. Matanya redup, seperti nyala lilin yang nyaris padam. Ia bertanya-tanya, bagaimana semua bisa berubah secepat ini? Di mana pria yang dulu mencintainya dengan sepenuh hati? Hari itu, Riana memutuskan untuk tidak berdiam diri lagi. Ia tidak bisa

  • Di Balik Topeng Pengkhianatan   Bab 1:

    Malam itu, hujan turun deras membasahi jendela kamar, seakan menggambarkan suasana hati Riana yang kelabu. Di luar, kilat sesekali menyambar, menerangi langit yang gelap, tapi di dalam kamar, hanya ada kesunyian yang terasa mencekam. Arman belum pulang, lagi. Riana menatap jam dinding, jarum-jarumnya bergerak lambat, seolah mengejeknya dengan waktu yang tak kunjung memberi jawaban. Di meja makan, piring-piring yang tertata rapi kini sudah dingin. Makan malam yang disiapkannya dengan penuh cinta tadi sore kini tampak seperti hiasan tak berarti. Riana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. Tapi pikiran-pikirannya terus berputar, menebak-nebak alasan mengapa Arman semakin sering pulang larut. "Ini hanya pekerjaan," bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan dirinya. "Arman sibuk dengan proyek baru. Itu saja." Tapi bayangan pesan singkat yang tak sengaja ia temukan di ponsel Arman beberapa hari lalu terus menghantuinya. Pesan singkat itu hanya berbun

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status