Hari-hari berlalu dengan cepat, namun waktu seolah berjalan lambat di hati Riana. Meski ia telah memulai langkah-langkah kecil untuk membangun hidupnya kembali, bayangan masa lalu terus membayangi pikirannya. Setiap kali ia mencoba melangkah maju, selalu ada sesuatu yang menariknya kembali—entah itu pesan dari Arman yang tak kunjung berhenti, atau kenangan-kenangan yang masih melekat erat di setiap sudut rumah.
Riana menghabiskan sebagian besar waktunya di galeri kecil tempat ia bekerja sebagai asisten kurator. Pekerjaan itu memberikan rasa tenang yang tak bisa ia temukan di tempat lain. Dikelilingi oleh karya seni, ia merasa bahwa ia mulai menemukan dirinya kembali, seperti cat yang perlahan melapisi kanvas kosong, menciptakan gambar baru dari reruntuhan masa lalu. Namun, di balik semua itu, ada perasaan yang tak bisa ia singkirkan—apakah ia benar-benar bisa melupakan semuanya? Apakah ia mampu mengampuni Arman, atau apakah dendam masih berkecamuk di dalam hatinya? Suatu sore, ketika Riana sedang menata lukisan baru di galeri, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan dari Arman. Lagi. "Riana, aku benar-benar ingin kita bicara. Bisa kita bertemu? Aku tahu aku salah, tapi aku tidak ingin kita berpisah seperti ini." Riana menatap pesan itu cukup lama, berpikir keras tentang apa yang harus ia lakukan. Ia sudah berulang kali menolak bertemu dengannya, tapi Arman terus bersikeras. Meskipun Riana telah mencoba menutup hati untuknya, bagian kecil di dalam dirinya masih ingin mendengar penjelasan yang lebih lengkap, atau mungkin hanya mencari kelegaan dari pertanyaan yang masih belum terjawab. "Apa kamu baik-baik saja?" suara lembut Dina terdengar dari balik pintu galeri, membuat Riana tersentak dari lamunannya. Dina sudah sering mampir untuk memeriksa kondisi sahabatnya, memastikan bahwa Riana tidak tersesat di dalam kesendiriannya. Riana tersenyum tipis, lalu menyerahkan ponselnya kepada Dina. "Arman lagi." Dina membaca pesan itu dengan alis terangkat, lalu menatap Riana. "Kamu akan menemuinya?" "Aku tidak tahu," Riana menjawab jujur. "Bagian dari diriku ingin pergi dan membalas setiap kata-katanya, menyakitinya seperti dia menyakitiku. Tapi bagian lain... bagian yang lebih lelah... hanya ingin mengakhiri semuanya dengan damai." Dina duduk di samping Riana, menyandarkan tangannya di bahu sahabatnya. "Kamu tidak harus membuat keputusan sekarang. Tapi jika kamu bertemu dengannya, pastikan itu untukmu, bukan untuk dia. Jangan biarkan dia menarikmu kembali ke dalam masa lalu." Riana menatap ke lantai, berpikir keras. Apakah ini keputusan yang benar? Ataukah pertemuan ini hanya akan membawanya lebih dalam ke dalam rasa sakit yang belum sepenuhnya sembuh? Keesokan harinya, Riana duduk di sebuah kafe kecil di pinggiran kota, tempat di mana Arman memintanya untuk bertemu. Kafe itu jauh dari pusat kota, dan suasananya sepi—tempat yang sempurna untuk percakapan berat yang akan segera terjadi. Riana mengenakan pakaian sederhana, namun elegan, dan wajahnya tanpa banyak riasan, mencerminkan keinginannya untuk tetap tegar dan fokus pada percakapan. Pintu kafe berdering ketika Arman masuk. Riana tidak langsung menatapnya, meskipun ia bisa merasakan kehadirannya dari setiap langkah yang terdengar semakin mendekat. Saat Arman duduk di depannya, keheningan sejenak meliputi mereka. Arman tampak berbeda—wajahnya terlihat lebih letih, dengan kantong mata yang gelap dan tatapan kosong yang menggantikan kepercayaan diri yang dulu selalu ada. "Terima kasih sudah mau bertemu denganku," kata Arman, membuka percakapan dengan suara yang terdengar canggung. Riana hanya mengangguk, menunggu dia melanjutkan. Ia tidak ingin memulai, tidak ingin membiarkan Arman memiliki kendali atas percakapan ini. "Aku tahu aku sudah banyak menyakiti kamu," Arman melanjutkan, menghindari tatapan Riana. "Dan aku tidak akan menyangkal itu. Aku sudah membuat keputusan yang salah, dan aku tidak akan pernah bisa mengubah apa yang sudah terjadi." Riana masih diam, membiarkan Arman berbicara. Dia tidak ingin memotong, tidak ingin memberikan celah bagi dirinya sendiri untuk menunjukkan kelemahannya. "Aku tahu kita berdua sudah melalui banyak hal. Dan aku benar-benar menyesal. Melati... dia bukan siapa-siapa. Dia hanya distraksi. Aku... aku tersesat, dan aku tidak tahu bagaimana caranya keluar dari itu." "Melati bukan siapa-siapa?" Riana akhirnya berbicara, suaranya tajam. "Arman, bagaimana kamu bisa mengatakan bahwa seseorang yang kamu habiskan begitu banyak waktu dengannya adalah 'bukan siapa-siapa'? Kamu membohongiku, kamu mengkhianatiku, dan sekarang kamu mengatakan semua itu hanya karena kamu tersesat?" Arman terdiam, terlihat bingung dan menyesal. "Aku tidak bisa memberimu alasan yang cukup, Riana. Aku tahu itu. Tapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin memperbaiki kesalahan ini." Riana menatapnya, mencoba memahami apa yang sebenarnya Arman inginkan. Apakah ini hanya penyesalan sesaat? Ataukah dia benar-benar ingin memperbaiki hubungan mereka? "Bagaimana kamu pikir kita bisa memperbaiki semua ini, Arman?" tanya Riana pelan, penuh dengan kebingungan. "Kamu menghancurkan kepercayaan yang aku berikan padamu. Apa yang bisa kita lakukan sekarang?" "Aku tidak tahu," Arman mengaku, wajahnya penuh dengan rasa bersalah. "Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin kita memberikan kesempatan sekali lagi untuk semuanya." Riana menatapnya dalam-dalam, mencari tanda-tanda ketulusan di balik kata-kata itu. Ia ingin percaya bahwa Arman benar-benar menyesal, bahwa ada kemungkinan untuk memperbaiki pernikahan mereka. Tapi luka di hatinya terlalu dalam, dan pengkhianatan itu masih terasa segar, bahkan setelah waktu berlalu. "Kamu tahu," Riana akhirnya berkata, suaranya pelan namun tegas, "aku sudah berpikir panjang tentang ini. Tentang kita. Tentang apa yang terjadi. Dan aku sadar... aku tidak bisa kembali ke masa lalu. Aku tidak bisa melupakan semua yang kamu lakukan. Setiap kali aku menatapmu, yang aku ingat adalah rasa sakit itu. Dan aku tidak tahu apakah aku bisa hidup dengan itu." Arman menundukkan kepalanya, seolah telah menduga bahwa inilah jawaban yang akan ia terima. "Riana, aku... aku mengerti. Tapi tolong, berikan aku kesempatan. Aku bisa berubah. Aku bisa menjadi suami yang lebih baik." "Tapi kenapa sekarang, Arman?" tanya Riana, frustrasi mulai merayap ke dalam suaranya. "Kenapa kamu baru menyadari kesalahanmu setelah semuanya hancur? Kenapa kamu tidak berusaha memperbaikinya sebelum semuanya terlambat?" "Aku tidak tahu," Arman menjawab lirih. "Aku tidak tahu kenapa aku begitu bodoh. Tapi aku tahu aku ingin memperbaikinya sekarang." Riana menghela napas panjang, merasa dadanya sesak oleh berbagai emosi yang berkecamuk. "Arman, aku sudah memberimu kesempatan yang tak terhitung jumlahnya selama bertahun-tahun. Aku sudah mengorbankan banyak hal demi kita. Tapi kali ini, aku harus membuat keputusan untuk diriku sendiri." Air mata mulai mengalir di pipi Arman, sesuatu yang jarang Riana lihat dari pria itu. "Aku mohon, Riana... aku mohon, jangan tinggalkan aku." Riana menatapnya, matanya penuh dengan air mata yang ditahan. "Arman, aku tidak meninggalkanmu. Kamu yang meninggalkanku sejak lama. Kamu hanya tidak menyadarinya." Keheningan panjang mengikuti kata-kata Riana, dan Arman tidak bisa membantah. Riana merasa bahwa inilah akhir dari semua ini—akhir dari cinta mereka, akhir dari pengkhianatan, dan awal dari kebebasan yang telah lama ia cari. Setelah beberapa menit yang tampak seperti seabad, Riana berdiri. Ia menatap Arman sekali lagi, sebelum berkata dengan suara pelan namun penuh keyakinan, "Aku akan melanjutkan hidupku, Arman. Dan aku harap kamu juga bisa melakukan hal yang sama." Dengan langkah pasti, Riana berjalan keluar dari kafe itu, meninggalkan Arman yang masih terdiam di kursinya. Di luar, angin malam yang dingin menyentuh wajahnya, namun Riana merasa lebih ringan daripada sebelumnya. Ia tahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik, meskipun rasa sakit masih akan bertahan untuk beberapa waktu.Ketika Riana melangkah keluar dari kafe, ponselnya bergetar. Ia melihat layar, dan ada pesan dari Dina: "Bagaimana tadi? Kamu baik-baik saja?"Riana menghela napas panjang sebelum menjawab, "Sudah selesai. Aku rasa ini benar-benar berakhir."Tidak butuh waktu lama sebelum Dina membalas, "Akhirnya. Kamu sudah terlalu lama terseret dalam masalah ini. Mau aku jemput?""Tidak perlu, aku butuh waktu sendiri," balas Riana, memasukkan ponselnya ke dalam tas. Namun langkahnya belum sempat jauh ketika pintu kafe di belakangnya terbuka dengan keras."Riana, tunggu!" Arman keluar, setengah berlari. Riana menoleh, menatapnya tanpa emosi. "Apa lagi, Arman?""Aku nggak bisa biarin kita berakhir seperti ini." Arman mendekat, matanya terlihat penuh putus asa. "Beri aku kesempatan. Aku akan berubah. Demi kita.""Kamu sudah bilang itu berkali-kali," jawab Riana, suaranya tetap tenang. "Tapi tidak ada yang berubah.""Tapi kali ini aku serius, Riana!" Arman menyentuh lengan Riana, memohon. "Aku rela me
Malam itu, hujan turun deras membasahi jendela kamar, seakan menggambarkan suasana hati Riana yang kelabu. Di luar, kilat sesekali menyambar, menerangi langit yang gelap, tapi di dalam kamar, hanya ada kesunyian yang terasa mencekam. Arman belum pulang, lagi. Riana menatap jam dinding, jarum-jarumnya bergerak lambat, seolah mengejeknya dengan waktu yang tak kunjung memberi jawaban. Di meja makan, piring-piring yang tertata rapi kini sudah dingin. Makan malam yang disiapkannya dengan penuh cinta tadi sore kini tampak seperti hiasan tak berarti. Riana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. Tapi pikiran-pikirannya terus berputar, menebak-nebak alasan mengapa Arman semakin sering pulang larut. "Ini hanya pekerjaan," bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan dirinya. "Arman sibuk dengan proyek baru. Itu saja." Tapi bayangan pesan singkat yang tak sengaja ia temukan di ponsel Arman beberapa hari lalu terus menghantuinya. Pesan singkat itu hanya berbun
Pagi menjelang tanpa Arman di sisi Riana. Suara jam dinding berdetak dengan ritme lambat, seolah mengingatkan Riana akan kesunyian yang semakin menyesakkan hatinya. Ia terbangun dengan kepala yang terasa berat, matanya sembab karena tangisan yang tak kunjung berhenti semalam. Kepastian yang ia minta, akhirnya ia dapatkan. Namun, bukannya jawaban yang menenangkan, kepastian itu menghancurkan segala harapan yang pernah ia miliki tentang cinta mereka. Arman tidak secara eksplisit mengatakan bahwa ia berselingkuh, tetapi kehadiran wanita lain yang menjadi tempat curhatnya sudah cukup untuk membunuh setiap sisa kepercayaan dalam hati Riana. Riana menatap dirinya di cermin kamar mandi. Wajah yang dulu penuh dengan harapan dan cinta kini berubah. Matanya redup, seperti nyala lilin yang nyaris padam. Ia bertanya-tanya, bagaimana semua bisa berubah secepat ini? Di mana pria yang dulu mencintainya dengan sepenuh hati? Hari itu, Riana memutuskan untuk tidak berdiam diri lagi. Ia tidak bisa
Hari itu hujan turun lagi, seperti langit turut berduka atas apa yang terjadi dalam kehidupan Riana. Ia menatap jendela, menyaksikan butir-butir air yang jatuh dengan cepat, memantul di permukaan kaca. Hatinya bergemuruh, penuh dengan emosi yang bercampur aduk—marah, sedih, dan yang paling menyakitkan, pengkhianatan. Hujan seperti mengiringi langkah-langkahnya, seakan alam paham betul bahwa badai besar sedang menanti di depan. Sore itu, Dina duduk di seberang Riana di sebuah kafe kecil di tengah kota. Dina menatap sahabatnya dengan penuh perhatian, mencoba membaca ekspresi Riana yang dari tadi hanya diam, menundukkan kepala sambil menatap cangkir kopi di tangannya. Dina tahu bahwa dalam diri Riana, ada ribuan pertanyaan yang ingin keluar, tetapi tertahan oleh ketakutan dan rasa sakit yang terus menggerogotinya. "Jadi, apa rencanamu sekarang?" Dina akhirnya memecah kesunyian, suaranya pelan tapi penuh pengertian. Riana mengangkat kepalanya, menatap sahabatnya dengan mata yang masi
Dua minggu telah berlalu sejak Riana meninggalkan Arman di kafe itu. Sejak hari itu, hidupnya terasa seperti berjalan di atas kepingan kaca—setiap langkah yang diambilnya terasa menyakitkan, namun setiap pecahan kecil yang terinjak memaksanya untuk terus maju, perlahan-lahan menyatukan potongan-potongan dirinya yang hancur. Rumah yang dulu penuh dengan kenangan manis kini terasa hampa. Setiap sudutnya mengingatkan Riana pada cinta yang pernah ada, namun kini hanya ada bayangan masa lalu yang terus menghantui. Foto pernikahan mereka yang masih tergantung di dinding terasa seperti ejekan, pengingat akan janji-janji yang tak pernah ditepati. Riana memutuskan untuk tidak tinggal diam. Selama bertahun-tahun, ia mengorbankan banyak hal demi pernikahannya. Cintanya pada Arman membuatnya lupa akan dirinya sendiri. Namun, sekarang segalanya telah berubah. Kali ini, Riana memilih untuk merawat luka-lukanya sendiri, tanpa lagi berharap pada orang lain untuk menyembuhkannya. Sore itu, ketika
Ketika Riana melangkah keluar dari kafe, ponselnya bergetar. Ia melihat layar, dan ada pesan dari Dina: "Bagaimana tadi? Kamu baik-baik saja?"Riana menghela napas panjang sebelum menjawab, "Sudah selesai. Aku rasa ini benar-benar berakhir."Tidak butuh waktu lama sebelum Dina membalas, "Akhirnya. Kamu sudah terlalu lama terseret dalam masalah ini. Mau aku jemput?""Tidak perlu, aku butuh waktu sendiri," balas Riana, memasukkan ponselnya ke dalam tas. Namun langkahnya belum sempat jauh ketika pintu kafe di belakangnya terbuka dengan keras."Riana, tunggu!" Arman keluar, setengah berlari. Riana menoleh, menatapnya tanpa emosi. "Apa lagi, Arman?""Aku nggak bisa biarin kita berakhir seperti ini." Arman mendekat, matanya terlihat penuh putus asa. "Beri aku kesempatan. Aku akan berubah. Demi kita.""Kamu sudah bilang itu berkali-kali," jawab Riana, suaranya tetap tenang. "Tapi tidak ada yang berubah.""Tapi kali ini aku serius, Riana!" Arman menyentuh lengan Riana, memohon. "Aku rela me
Hari-hari berlalu dengan cepat, namun waktu seolah berjalan lambat di hati Riana. Meski ia telah memulai langkah-langkah kecil untuk membangun hidupnya kembali, bayangan masa lalu terus membayangi pikirannya. Setiap kali ia mencoba melangkah maju, selalu ada sesuatu yang menariknya kembali—entah itu pesan dari Arman yang tak kunjung berhenti, atau kenangan-kenangan yang masih melekat erat di setiap sudut rumah. Riana menghabiskan sebagian besar waktunya di galeri kecil tempat ia bekerja sebagai asisten kurator. Pekerjaan itu memberikan rasa tenang yang tak bisa ia temukan di tempat lain. Dikelilingi oleh karya seni, ia merasa bahwa ia mulai menemukan dirinya kembali, seperti cat yang perlahan melapisi kanvas kosong, menciptakan gambar baru dari reruntuhan masa lalu. Namun, di balik semua itu, ada perasaan yang tak bisa ia singkirkan—apakah ia benar-benar bisa melupakan semuanya? Apakah ia mampu mengampuni Arman, atau apakah dendam masih berkecamuk di dalam hatinya? Suatu sore, keti
Dua minggu telah berlalu sejak Riana meninggalkan Arman di kafe itu. Sejak hari itu, hidupnya terasa seperti berjalan di atas kepingan kaca—setiap langkah yang diambilnya terasa menyakitkan, namun setiap pecahan kecil yang terinjak memaksanya untuk terus maju, perlahan-lahan menyatukan potongan-potongan dirinya yang hancur. Rumah yang dulu penuh dengan kenangan manis kini terasa hampa. Setiap sudutnya mengingatkan Riana pada cinta yang pernah ada, namun kini hanya ada bayangan masa lalu yang terus menghantui. Foto pernikahan mereka yang masih tergantung di dinding terasa seperti ejekan, pengingat akan janji-janji yang tak pernah ditepati. Riana memutuskan untuk tidak tinggal diam. Selama bertahun-tahun, ia mengorbankan banyak hal demi pernikahannya. Cintanya pada Arman membuatnya lupa akan dirinya sendiri. Namun, sekarang segalanya telah berubah. Kali ini, Riana memilih untuk merawat luka-lukanya sendiri, tanpa lagi berharap pada orang lain untuk menyembuhkannya. Sore itu, ketika
Hari itu hujan turun lagi, seperti langit turut berduka atas apa yang terjadi dalam kehidupan Riana. Ia menatap jendela, menyaksikan butir-butir air yang jatuh dengan cepat, memantul di permukaan kaca. Hatinya bergemuruh, penuh dengan emosi yang bercampur aduk—marah, sedih, dan yang paling menyakitkan, pengkhianatan. Hujan seperti mengiringi langkah-langkahnya, seakan alam paham betul bahwa badai besar sedang menanti di depan. Sore itu, Dina duduk di seberang Riana di sebuah kafe kecil di tengah kota. Dina menatap sahabatnya dengan penuh perhatian, mencoba membaca ekspresi Riana yang dari tadi hanya diam, menundukkan kepala sambil menatap cangkir kopi di tangannya. Dina tahu bahwa dalam diri Riana, ada ribuan pertanyaan yang ingin keluar, tetapi tertahan oleh ketakutan dan rasa sakit yang terus menggerogotinya. "Jadi, apa rencanamu sekarang?" Dina akhirnya memecah kesunyian, suaranya pelan tapi penuh pengertian. Riana mengangkat kepalanya, menatap sahabatnya dengan mata yang masi
Pagi menjelang tanpa Arman di sisi Riana. Suara jam dinding berdetak dengan ritme lambat, seolah mengingatkan Riana akan kesunyian yang semakin menyesakkan hatinya. Ia terbangun dengan kepala yang terasa berat, matanya sembab karena tangisan yang tak kunjung berhenti semalam. Kepastian yang ia minta, akhirnya ia dapatkan. Namun, bukannya jawaban yang menenangkan, kepastian itu menghancurkan segala harapan yang pernah ia miliki tentang cinta mereka. Arman tidak secara eksplisit mengatakan bahwa ia berselingkuh, tetapi kehadiran wanita lain yang menjadi tempat curhatnya sudah cukup untuk membunuh setiap sisa kepercayaan dalam hati Riana. Riana menatap dirinya di cermin kamar mandi. Wajah yang dulu penuh dengan harapan dan cinta kini berubah. Matanya redup, seperti nyala lilin yang nyaris padam. Ia bertanya-tanya, bagaimana semua bisa berubah secepat ini? Di mana pria yang dulu mencintainya dengan sepenuh hati? Hari itu, Riana memutuskan untuk tidak berdiam diri lagi. Ia tidak bisa
Malam itu, hujan turun deras membasahi jendela kamar, seakan menggambarkan suasana hati Riana yang kelabu. Di luar, kilat sesekali menyambar, menerangi langit yang gelap, tapi di dalam kamar, hanya ada kesunyian yang terasa mencekam. Arman belum pulang, lagi. Riana menatap jam dinding, jarum-jarumnya bergerak lambat, seolah mengejeknya dengan waktu yang tak kunjung memberi jawaban. Di meja makan, piring-piring yang tertata rapi kini sudah dingin. Makan malam yang disiapkannya dengan penuh cinta tadi sore kini tampak seperti hiasan tak berarti. Riana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. Tapi pikiran-pikirannya terus berputar, menebak-nebak alasan mengapa Arman semakin sering pulang larut. "Ini hanya pekerjaan," bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan dirinya. "Arman sibuk dengan proyek baru. Itu saja." Tapi bayangan pesan singkat yang tak sengaja ia temukan di ponsel Arman beberapa hari lalu terus menghantuinya. Pesan singkat itu hanya berbun