Hari itu hujan turun lagi, seperti langit turut berduka atas apa yang terjadi dalam kehidupan Riana. Ia menatap jendela, menyaksikan butir-butir air yang jatuh dengan cepat, memantul di permukaan kaca. Hatinya bergemuruh, penuh dengan emosi yang bercampur aduk—marah, sedih, dan yang paling menyakitkan, pengkhianatan. Hujan seperti mengiringi langkah-langkahnya, seakan alam paham betul bahwa badai besar sedang menanti di depan.
Sore itu, Dina duduk di seberang Riana di sebuah kafe kecil di tengah kota. Dina menatap sahabatnya dengan penuh perhatian, mencoba membaca ekspresi Riana yang dari tadi hanya diam, menundukkan kepala sambil menatap cangkir kopi di tangannya. Dina tahu bahwa dalam diri Riana, ada ribuan pertanyaan yang ingin keluar, tetapi tertahan oleh ketakutan dan rasa sakit yang terus menggerogotinya. "Jadi, apa rencanamu sekarang?" Dina akhirnya memecah kesunyian, suaranya pelan tapi penuh pengertian. Riana mengangkat kepalanya, menatap sahabatnya dengan mata yang masih sembab. "Aku sudah tahu siapa wanita itu." Dina terkejut, tetapi ia tidak menunjukkan ekspresi berlebihan. "Siapa dia?" Riana menarik napas panjang sebelum menjawab, seolah menyusun kata-kata yang paling tepat. "Dia namanya Melati. Dia rekan kerja Arman di kantor." Dina terdiam, lalu mengangguk pelan. "Bagaimana kamu tahu?" "Aku... aku membaca pesan-pesannya," kata Riana, suaranya serak. "Mereka sudah bertemu beberapa kali, dan aku... aku tahu mereka akan bertemu lagi besok." Dina menarik napas dalam-dalam. "Dan kamu berencana untuk menemuinya?" Riana tidak segera menjawab. Ia mengaduk kopinya yang sudah dingin, berpikir keras. Setiap detik yang berlalu semakin menegaskan rasa sakit yang menggerogoti hatinya. "Aku harus tahu yang sebenarnya. Aku harus melihatnya dengan mata kepala sendiri. Aku sudah terlalu lama dibutakan." Mata Dina menatap Riana dengan penuh simpati. "Riana, kamu yakin ini langkah yang ingin kamu ambil? Menemui mereka berdua bisa sangat berat." "Aku tidak punya pilihan, Dina," jawab Riana pelan. "Selama ini, aku terus menebak-nebak, menyakiti diri sendiri dengan ketidakpastian. Tapi sekarang, aku ingin tahu kebenaran, betapapun menyakitkannya. Aku harus tahu apakah pernikahan ini benar-benar sudah berakhir." Esok harinya, Riana berangkat dengan tekad bulat. Ia mengenakan pakaian yang rapi, memoles wajahnya dengan sedikit riasan, bukan untuk menyenangkan siapa pun, tapi untuk memberikan kekuatan pada dirinya sendiri. Ini bukan pertemuan biasa; ini adalah perang batin yang akan menentukan langkah hidupnya ke depan. Dengan tangan yang gemetar, ia memarkir mobilnya di depan sebuah kafe yang tampak tenang di ujung jalan. Melalui jendela, ia melihat Arman duduk di salah satu meja sudut, tepat di dekat jendela. Dan di depannya, Melati, wanita yang telah mengganggu hidupnya, sedang tertawa kecil sambil memainkan cangkir kopi di tangannya. Riana mengamati mereka dari kejauhan. Jantungnya berdebar kencang, namun ada ketenangan yang aneh di dalam dirinya. Melihat mereka bersama, tidak ada lagi keraguan. Inilah kenyataan yang harus ia hadapi. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum keluar dari mobil dan berjalan menuju kafe. Setiap langkah terasa berat, seakan-akan dunia bergerak dalam gerak lambat. Ketika ia mendorong pintu kafe, suara lonceng kecil di atas pintu terdengar nyaring, membuat Arman menoleh. Seketika, ekspresi di wajahnya berubah, dari terkejut menjadi panik. "Riana?" ucap Arman pelan, berdiri dengan kaku di tempatnya. Melati yang duduk di depannya terdiam, wajahnya berubah pucat begitu menyadari siapa yang baru saja masuk. Riana berdiri di sana, hanya beberapa meter dari mereka, dengan tatapan yang dingin namun tajam. Tak ada kata yang terucap dari bibirnya, tapi atmosfer di sekitar mereka seolah membeku. "Jadi, ini wanita yang telah membuat kamu lupa pada istrimu?" kata Riana akhirnya, suaranya tenang namun mengandung kemarahan yang tak terbantahkan. Arman terlihat gelisah. Ia menatap Riana, kemudian Melati, sebelum mencoba berbicara. "Riana, aku bisa jelaskan—" "Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan, Arman," potong Riana, suaranya tetap stabil. "Aku sudah melihat semuanya. Aku hanya ingin mendengarnya langsung darimu. Apa ini semua? Apa aku sudah benar-benar tidak ada artinya lagi buatmu?" Melati tampak ingin berbicara, tetapi Riana mengangkat tangan, menghentikannya sebelum ia bisa membuka mulut. "Aku tidak ingin mendengar apapun darimu. Ini antara aku dan suamiku." Riana menatap Arman, mencoba mencari sisa-sisa pria yang pernah ia cintai dengan seluruh hatinya. Namun, apa yang ia temukan hanyalah seorang pria yang terjebak dalam kebohongan dan pengkhianatan. Arman menundukkan kepala, tampak kebingungan dan tertekan. "Aku minta maaf, Riana," kata Arman pelan. "Ini... ini semua salahku." "Salahmu?" Riana tersenyum getir. "Kamu bilang ini salahmu, tapi kamu tidak melakukan apa pun untuk menghentikannya. Kamu membiarkan semuanya berjalan seperti ini, sementara aku menunggu di rumah, bertanya-tanya apakah kamu masih mencintaiku." Air mata mulai mengalir di pipi Riana, tapi ia tetap berdiri dengan tegap. "Aku ingin tahu satu hal, Arman. Apa kamu pernah memikirkan aku? Apa kamu pernah merasakan sakit yang aku rasakan saat aku tahu kamu memilih orang lain daripada aku?" Arman terdiam, tidak mampu menjawab. Diamnya adalah jawaban yang paling menyakitkan bagi Riana. Melati, yang dari tadi hanya duduk diam, akhirnya angkat bicara. "Riana, aku tidak pernah berniat merusak rumah tangga kalian. Aku... kami hanya dekat karena pekerjaan, dan semua ini hanya kebetulan." "Kebetulan?" Riana menoleh padanya, matanya berkilat penuh amarah. "Kamu pikir perselingkuhan itu kebetulan? Kamu pikir mengirim pesan bahwa kamu merindukan suami orang lain adalah kebetulan? Jangan menganggapku bodoh, Melati. Kamu tahu persis apa yang kamu lakukan." Melati terdiam, tidak mampu membalas kata-kata Riana. Sementara itu, Arman tetap terdiam, seperti pria yang telah kehilangan kendali atas semua situasi. Riana mengusap air matanya, mengambil napas panjang sebelum melanjutkan. "Aku akan pergi, Arman. Aku sudah selesai dengan semua ini. Aku sudah cukup bersabar, sudah cukup berharap. Dan sekarang, aku sudah cukup kuat untuk membiarkan semuanya pergi." Arman membuka mulut, seolah ingin menghentikannya, tetapi Riana mengangkat tangan. "Jangan. Jangan coba-coba menghentikan aku sekarang. Kamu telah membuat pilihanmu. Dan sekarang, aku membuat pilihanku." Dengan langkah mantap, Riana berbalik dan berjalan keluar dari kafe, meninggalkan Arman dan Melati terdiam dalam kebisuan mereka sendiri. Begitu keluar, Riana merasakan angin dingin menyentuh wajahnya, membawa serta rasa sakit yang perlahan mulai memudar. Ia tahu bahwa perjalanannya belum selesai, bahwa luka ini tidak akan sembuh dalam semalam. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Riana merasakan kebebasan. Tidak ada lagi kebohongan. Tidak ada lagi keraguan. Hanya ada kebenaran yang telah terungkap, seburuk apapun itu. Riana berjalan menuju mobilnya dengan hati yang masih penuh luka, tetapi ada tekad baru yang mengalir dalam dirinya.Dua minggu telah berlalu sejak Riana meninggalkan Arman di kafe itu. Sejak hari itu, hidupnya terasa seperti berjalan di atas kepingan kaca—setiap langkah yang diambilnya terasa menyakitkan, namun setiap pecahan kecil yang terinjak memaksanya untuk terus maju, perlahan-lahan menyatukan potongan-potongan dirinya yang hancur. Rumah yang dulu penuh dengan kenangan manis kini terasa hampa. Setiap sudutnya mengingatkan Riana pada cinta yang pernah ada, namun kini hanya ada bayangan masa lalu yang terus menghantui. Foto pernikahan mereka yang masih tergantung di dinding terasa seperti ejekan, pengingat akan janji-janji yang tak pernah ditepati. Riana memutuskan untuk tidak tinggal diam. Selama bertahun-tahun, ia mengorbankan banyak hal demi pernikahannya. Cintanya pada Arman membuatnya lupa akan dirinya sendiri. Namun, sekarang segalanya telah berubah. Kali ini, Riana memilih untuk merawat luka-lukanya sendiri, tanpa lagi berharap pada orang lain untuk menyembuhkannya. Sore itu, ketika
Hari-hari berlalu dengan cepat, namun waktu seolah berjalan lambat di hati Riana. Meski ia telah memulai langkah-langkah kecil untuk membangun hidupnya kembali, bayangan masa lalu terus membayangi pikirannya. Setiap kali ia mencoba melangkah maju, selalu ada sesuatu yang menariknya kembali—entah itu pesan dari Arman yang tak kunjung berhenti, atau kenangan-kenangan yang masih melekat erat di setiap sudut rumah. Riana menghabiskan sebagian besar waktunya di galeri kecil tempat ia bekerja sebagai asisten kurator. Pekerjaan itu memberikan rasa tenang yang tak bisa ia temukan di tempat lain. Dikelilingi oleh karya seni, ia merasa bahwa ia mulai menemukan dirinya kembali, seperti cat yang perlahan melapisi kanvas kosong, menciptakan gambar baru dari reruntuhan masa lalu. Namun, di balik semua itu, ada perasaan yang tak bisa ia singkirkan—apakah ia benar-benar bisa melupakan semuanya? Apakah ia mampu mengampuni Arman, atau apakah dendam masih berkecamuk di dalam hatinya? Suatu sore, keti
Ketika Riana melangkah keluar dari kafe, ponselnya bergetar. Ia melihat layar, dan ada pesan dari Dina: "Bagaimana tadi? Kamu baik-baik saja?"Riana menghela napas panjang sebelum menjawab, "Sudah selesai. Aku rasa ini benar-benar berakhir."Tidak butuh waktu lama sebelum Dina membalas, "Akhirnya. Kamu sudah terlalu lama terseret dalam masalah ini. Mau aku jemput?""Tidak perlu, aku butuh waktu sendiri," balas Riana, memasukkan ponselnya ke dalam tas. Namun langkahnya belum sempat jauh ketika pintu kafe di belakangnya terbuka dengan keras."Riana, tunggu!" Arman keluar, setengah berlari. Riana menoleh, menatapnya tanpa emosi. "Apa lagi, Arman?""Aku nggak bisa biarin kita berakhir seperti ini." Arman mendekat, matanya terlihat penuh putus asa. "Beri aku kesempatan. Aku akan berubah. Demi kita.""Kamu sudah bilang itu berkali-kali," jawab Riana, suaranya tetap tenang. "Tapi tidak ada yang berubah.""Tapi kali ini aku serius, Riana!" Arman menyentuh lengan Riana, memohon. "Aku rela me
Malam itu, hujan turun deras membasahi jendela kamar, seakan menggambarkan suasana hati Riana yang kelabu. Di luar, kilat sesekali menyambar, menerangi langit yang gelap, tapi di dalam kamar, hanya ada kesunyian yang terasa mencekam. Arman belum pulang, lagi. Riana menatap jam dinding, jarum-jarumnya bergerak lambat, seolah mengejeknya dengan waktu yang tak kunjung memberi jawaban. Di meja makan, piring-piring yang tertata rapi kini sudah dingin. Makan malam yang disiapkannya dengan penuh cinta tadi sore kini tampak seperti hiasan tak berarti. Riana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. Tapi pikiran-pikirannya terus berputar, menebak-nebak alasan mengapa Arman semakin sering pulang larut. "Ini hanya pekerjaan," bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan dirinya. "Arman sibuk dengan proyek baru. Itu saja." Tapi bayangan pesan singkat yang tak sengaja ia temukan di ponsel Arman beberapa hari lalu terus menghantuinya. Pesan singkat itu hanya berbun
Pagi menjelang tanpa Arman di sisi Riana. Suara jam dinding berdetak dengan ritme lambat, seolah mengingatkan Riana akan kesunyian yang semakin menyesakkan hatinya. Ia terbangun dengan kepala yang terasa berat, matanya sembab karena tangisan yang tak kunjung berhenti semalam. Kepastian yang ia minta, akhirnya ia dapatkan. Namun, bukannya jawaban yang menenangkan, kepastian itu menghancurkan segala harapan yang pernah ia miliki tentang cinta mereka. Arman tidak secara eksplisit mengatakan bahwa ia berselingkuh, tetapi kehadiran wanita lain yang menjadi tempat curhatnya sudah cukup untuk membunuh setiap sisa kepercayaan dalam hati Riana. Riana menatap dirinya di cermin kamar mandi. Wajah yang dulu penuh dengan harapan dan cinta kini berubah. Matanya redup, seperti nyala lilin yang nyaris padam. Ia bertanya-tanya, bagaimana semua bisa berubah secepat ini? Di mana pria yang dulu mencintainya dengan sepenuh hati? Hari itu, Riana memutuskan untuk tidak berdiam diri lagi. Ia tidak bisa
Ketika Riana melangkah keluar dari kafe, ponselnya bergetar. Ia melihat layar, dan ada pesan dari Dina: "Bagaimana tadi? Kamu baik-baik saja?"Riana menghela napas panjang sebelum menjawab, "Sudah selesai. Aku rasa ini benar-benar berakhir."Tidak butuh waktu lama sebelum Dina membalas, "Akhirnya. Kamu sudah terlalu lama terseret dalam masalah ini. Mau aku jemput?""Tidak perlu, aku butuh waktu sendiri," balas Riana, memasukkan ponselnya ke dalam tas. Namun langkahnya belum sempat jauh ketika pintu kafe di belakangnya terbuka dengan keras."Riana, tunggu!" Arman keluar, setengah berlari. Riana menoleh, menatapnya tanpa emosi. "Apa lagi, Arman?""Aku nggak bisa biarin kita berakhir seperti ini." Arman mendekat, matanya terlihat penuh putus asa. "Beri aku kesempatan. Aku akan berubah. Demi kita.""Kamu sudah bilang itu berkali-kali," jawab Riana, suaranya tetap tenang. "Tapi tidak ada yang berubah.""Tapi kali ini aku serius, Riana!" Arman menyentuh lengan Riana, memohon. "Aku rela me
Hari-hari berlalu dengan cepat, namun waktu seolah berjalan lambat di hati Riana. Meski ia telah memulai langkah-langkah kecil untuk membangun hidupnya kembali, bayangan masa lalu terus membayangi pikirannya. Setiap kali ia mencoba melangkah maju, selalu ada sesuatu yang menariknya kembali—entah itu pesan dari Arman yang tak kunjung berhenti, atau kenangan-kenangan yang masih melekat erat di setiap sudut rumah. Riana menghabiskan sebagian besar waktunya di galeri kecil tempat ia bekerja sebagai asisten kurator. Pekerjaan itu memberikan rasa tenang yang tak bisa ia temukan di tempat lain. Dikelilingi oleh karya seni, ia merasa bahwa ia mulai menemukan dirinya kembali, seperti cat yang perlahan melapisi kanvas kosong, menciptakan gambar baru dari reruntuhan masa lalu. Namun, di balik semua itu, ada perasaan yang tak bisa ia singkirkan—apakah ia benar-benar bisa melupakan semuanya? Apakah ia mampu mengampuni Arman, atau apakah dendam masih berkecamuk di dalam hatinya? Suatu sore, keti
Dua minggu telah berlalu sejak Riana meninggalkan Arman di kafe itu. Sejak hari itu, hidupnya terasa seperti berjalan di atas kepingan kaca—setiap langkah yang diambilnya terasa menyakitkan, namun setiap pecahan kecil yang terinjak memaksanya untuk terus maju, perlahan-lahan menyatukan potongan-potongan dirinya yang hancur. Rumah yang dulu penuh dengan kenangan manis kini terasa hampa. Setiap sudutnya mengingatkan Riana pada cinta yang pernah ada, namun kini hanya ada bayangan masa lalu yang terus menghantui. Foto pernikahan mereka yang masih tergantung di dinding terasa seperti ejekan, pengingat akan janji-janji yang tak pernah ditepati. Riana memutuskan untuk tidak tinggal diam. Selama bertahun-tahun, ia mengorbankan banyak hal demi pernikahannya. Cintanya pada Arman membuatnya lupa akan dirinya sendiri. Namun, sekarang segalanya telah berubah. Kali ini, Riana memilih untuk merawat luka-lukanya sendiri, tanpa lagi berharap pada orang lain untuk menyembuhkannya. Sore itu, ketika
Hari itu hujan turun lagi, seperti langit turut berduka atas apa yang terjadi dalam kehidupan Riana. Ia menatap jendela, menyaksikan butir-butir air yang jatuh dengan cepat, memantul di permukaan kaca. Hatinya bergemuruh, penuh dengan emosi yang bercampur aduk—marah, sedih, dan yang paling menyakitkan, pengkhianatan. Hujan seperti mengiringi langkah-langkahnya, seakan alam paham betul bahwa badai besar sedang menanti di depan. Sore itu, Dina duduk di seberang Riana di sebuah kafe kecil di tengah kota. Dina menatap sahabatnya dengan penuh perhatian, mencoba membaca ekspresi Riana yang dari tadi hanya diam, menundukkan kepala sambil menatap cangkir kopi di tangannya. Dina tahu bahwa dalam diri Riana, ada ribuan pertanyaan yang ingin keluar, tetapi tertahan oleh ketakutan dan rasa sakit yang terus menggerogotinya. "Jadi, apa rencanamu sekarang?" Dina akhirnya memecah kesunyian, suaranya pelan tapi penuh pengertian. Riana mengangkat kepalanya, menatap sahabatnya dengan mata yang masi
Pagi menjelang tanpa Arman di sisi Riana. Suara jam dinding berdetak dengan ritme lambat, seolah mengingatkan Riana akan kesunyian yang semakin menyesakkan hatinya. Ia terbangun dengan kepala yang terasa berat, matanya sembab karena tangisan yang tak kunjung berhenti semalam. Kepastian yang ia minta, akhirnya ia dapatkan. Namun, bukannya jawaban yang menenangkan, kepastian itu menghancurkan segala harapan yang pernah ia miliki tentang cinta mereka. Arman tidak secara eksplisit mengatakan bahwa ia berselingkuh, tetapi kehadiran wanita lain yang menjadi tempat curhatnya sudah cukup untuk membunuh setiap sisa kepercayaan dalam hati Riana. Riana menatap dirinya di cermin kamar mandi. Wajah yang dulu penuh dengan harapan dan cinta kini berubah. Matanya redup, seperti nyala lilin yang nyaris padam. Ia bertanya-tanya, bagaimana semua bisa berubah secepat ini? Di mana pria yang dulu mencintainya dengan sepenuh hati? Hari itu, Riana memutuskan untuk tidak berdiam diri lagi. Ia tidak bisa
Malam itu, hujan turun deras membasahi jendela kamar, seakan menggambarkan suasana hati Riana yang kelabu. Di luar, kilat sesekali menyambar, menerangi langit yang gelap, tapi di dalam kamar, hanya ada kesunyian yang terasa mencekam. Arman belum pulang, lagi. Riana menatap jam dinding, jarum-jarumnya bergerak lambat, seolah mengejeknya dengan waktu yang tak kunjung memberi jawaban. Di meja makan, piring-piring yang tertata rapi kini sudah dingin. Makan malam yang disiapkannya dengan penuh cinta tadi sore kini tampak seperti hiasan tak berarti. Riana menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. Tapi pikiran-pikirannya terus berputar, menebak-nebak alasan mengapa Arman semakin sering pulang larut. "Ini hanya pekerjaan," bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan dirinya. "Arman sibuk dengan proyek baru. Itu saja." Tapi bayangan pesan singkat yang tak sengaja ia temukan di ponsel Arman beberapa hari lalu terus menghantuinya. Pesan singkat itu hanya berbun